Dua

1558 Words
Mendengar suara si pengemudi yang berteriak sambil mengejar mereka, Adam seperti orang kesetanan, berlari tanpa menyadari kondisi Kirana yang sudah tidak berdaya sama sekali. Pada detik kesepuluh, gadis itu langsung tersungkur menabrak tubuh adiknya. Saat Adam memeluk tubuh kakaknya, sipengejar sudah lebih dulu menarik kerah belakang bajunya yang basah karena keringat. Ia mendengus jijik, namun kemudian mengalihkan cengkramannya ke arah leher Adam. "Lo liat gak mobil gue ancur nabrak tiang? Pake lari lagi, punya mata gak?" Katanya dengan mata melotot.  "Ampun, bang. Nggak sengaja, beneran ampun." Balas Adam dengan panik sembari berusaha menahan tubuh Kirana agar tidak tumbang. "Gue kaga mau tau. Ganti rugi mobil gue." Adam menggeleng kuat. "Nggak punya duit, bang." Balasnya panik. Kirana yang melihat adiknya dicekik oleh pria yang tidak mereka kenal berusaha mengulurkan tangannya. "Jangan ganggu dia." Bisiknya parau. Pria itu melirik Kirana, mencoba memindai penampilan wanita dengan rambut acak-acakan, baju dekil dan terlihat lemas. Namun dengan cepat, ia kembali mengalihkan perhatiannya pada Adam lagi. "Ganti, atau gue lapor polisi." Katanya. Adam menggeleng panik. "Kami nggak ada duit, bang. Bener nggak bohong." Pria itu menghela napasnya. "Orang miskin. Napas aja nggak mampu bayar pake sok-sokan nabrakin mobil gue. Gile lo, gue nggak mau tahu, ganti atau gue lapor polisi sekarang." Adam hendak mencegah pria itu, namun Kirana menghambat gerak langkahnya. "Bang, tolong bang. Jangan sampe polisi tahu. Saya punya duit, dua ratus ribu." Adam sebenarnya tidak ingin mengeluarkan uang yang mereka punyai, tapi polisi akan tahu siapa mereka jika pria itu tetap berkeras. Pria itu menoleh. "Dua ratus lo bilang? Lu kira mobil gue odong-odong? Bensinnya aja sekali ngecrot dua ratus ribu." Makinya. "Gimana dong, nggak ada lagi duitnya." Adam ketakutan. Pria itu meludah. "Orang miskin banyak gaya. Sok make bahasa sopan, lagi. Lo kira ada dimana? Sekolahan?" Adam menggeleng. Sesekali ia melirik Kirana yang tubuhnya semakin pucat, panas dan berkeringat. Rembesan darah diperutnya semakin jelas terlihat. "Mana duitnya?" Pria itu mengulurkan tangannya. Adam takut-takut merogoh saku celananya, sementara dari sudut penglihatannya yang lain, Kirana bergumam begitu pelan. "Lari." Adam meliriknya. "Lari, Dam. Kita nggak bakal selamat." Bisik Kirana terengah-engah. "Lo bedua pada ngomong apa? Buruan duitnya?" Dengan sisa tenaganya, Kirana mendorong pria itu hingga terjatuh, sebelumnya ia sempat berteriak pada adiknya. "Adam lari..." Adam terpaku di tempatnya, sementara Kirana dan pria itu jatuh tersungkur di jalan aspal. "Ih, apaan nih, jijik banget." Katanya menggeser tubuh Kirana dengan kasar. Gadis itu sudah tidak sadarkan diri ketika tubuhnya terdorong ke aspal. Si pria malah mengeluh saat menemukan jejal darah di kaus putihnya yang mahal. "Sial. Sial banget gue hari ini." Ia mencoba mengelap darah yang menempel di tangannya ke aspal dengan ekspresi jijik yang kentara sekali. Sementara Adam yang tadi diam ditempatnya mendekati Kirana yang pingsan sambil menahan matanya yang merah. "Bang..." Katanya sambil berjongkok di sebelah pria itu. "Bang...bang, lo kira gue bangku?" Gerutunya, berusaha bangkit tanpa peduli raut wajah Adam yang menjadi suram. "Tolongin kakak saya, bang." Pintanya penuh harap. Pria itu mendecih. "Urusan mobil belum beres, baju mahal gue darah semua, lo minta tolong ngurusin kakak lo, emang gue panti sosial?" Adam menggeleng. "Aku rela ngelakuin apa aja asal abang nolong kakak aku. Cuma dia yang aku punya, bang. Tolong kami." Air mata Adam jatuh bercucuran. Untuk pertama kali dalam hidupnya, ia memohon pada orang lain demi nyawa Kirana yang berada dalam kondisi darurat. "Tolong, bang. Aku nggak bisa hidup kalau terjadi apa-apa sama kakak aku." Pintanya, kali ini tanpa ragu memeluk kaki kanan sang pria yang terdiam melihat ulahnya. "Dia nyawa aku, bang. Aku mohon." Pria itu mendesah. Lo cari mati, Djie. *** Rasanya sudah begitu lama ia tertidur, hingga saat membuka matanya, Kirana menyadari bahwa saat ini ia berada di sebuah ruangan kecil, dengan sebuah jendela yang terbuka tidak jauh dari tempatnya terbaring saat ini. Mata dan kepalanya tidak lagi terasa berat hingga kemudian ketika ia memutuskan untuk bangun, ia tersenyum karena rasa sakit di perutnya nyaris hilang. "Udah bangun, Na?"  Suara Adam yang ternyata duduk di samping tempat tidur membuat Kirana menoleh. Ia tersenyum dan tidak menolak pelukan lembut Adam yang langsung memerah matanya. "Aku seneng kamu udah sadar." Isaknya.  "Kita dimana?" Tanya Kirana kembali melayangkan pandangan ke sekelilingnya. "Rumah bang Adjie. Dia orang yang mobilnya nabrak tiang listrik waktu itu. Dia nyelametin kamu, dan juga kita dari kejaran mereka." Kirana menatap wajah Adam yang tampak sehat, jauh lebih baik dari saat terakhir sebelum ia tidak sadarkan diri. Lalu ia teringat sesuatu. "Udah berapa lama aku pingsan?" "Hampir tiga hari. Kakak bang Adjie dokter, jadi kamu sekalian dirawat di sini." Kirana menghela napasnya. "Kamu cerita sama mereka tentang kita?" Adam menggeleng hingga membuat Kirana sekali lagi menghela napas dan mengucap syukur. "Denger, Dam. Kita harus lari selagi kita bisa." Katanya, namun saat Adam menggeleng Kirana menyadari ada sesuatu yang aneh sedang terjadi. "Kamu kenapa? Kenapa si Adjie, Adjie ini bisa nolong kita?" Tanyanya panik. Adam membelai lengan Kirana, mencegah kakak semata wayangnya itu histeris sebelum ia bicara lagi. "Nggak ada yang aneh-aneh. Kamu nggak usah takut. Bang Adjie cuma nolong kita tinggal sementara di sini, di rumahnya sampai kamu sembuh. Masalah mobilnya yang rusak juga bakal dibahas setelah kamu bangun. Selama tiga hari, aku diperlakukan dengan baik. Mereka nggak tahu siapa kita, cuma menyangka kita anak jalanan doang." Mata Kirana menyelidik ke dalam mata adiknya. Ia tahu kapan Adam berbohong, namun saat menemukan kejujuran disana ia malah ketakutan. "Bang Adjie agak aneh orangnya. Tapi dia nggak ribut lagi tentang mobilnya yang rusak. Cuma dia bilang, kalau kamu bangun, dia mau bicara." "Aku bilang kalau nama kamu Nina. Nama aku Sadam." Kirana mendesah. "Nggak kepikiran nama yang lain, sori." "Bukan itu." Balas Kirana. "Kenapa kamu nggak lari ninggalin aku?" Adam menatap Kirana dengan tatapan sedih. "Kenapa kamu selalu nyuruh aku lari? Apa kamu begitu nggak berharga sampai harus aku tinggalkan? Sekarang kita malah aman di sini." Kirana menggaruk kepalanya. Ia merasa bingung sekaligus tidak nyaman berada di tempat asing yang sepertinya membuat bulu kuduknya meremang. Ia tidak tahu apa alasannya, yang pasti ia ingin pergi sesegera mungkin. Lalu pintu ruangan tempat mereka sekarang berada mulai terbuka dan sosok yang pernah Kirana lihat sebelumnya muncul di ambang pintu sambil tersenyum pada Adam yang menatapnya kikuk. "Jadi kakak lo udah bangun?" Tanyanya sambil tersenyum dengan mata terpicing.  Kirana terdiam saat melihat wajahnya. Ia yakin pria inilah yang bernama Adjie sepertinyang disebutkan oleh adiknya.  Wajah Adjie sangatlah tampan. Tipe anak muda masa kini yang terlihat modis dan gaul di usia pertengahan dua puluhan, mirip artis terkenal yang Kirana lupa namanya, bertubuh tinggi tegap namun seperti yang ia ingat, pria itu memiliki senyum yang menyebalkan. Adjie tanpa sungkan masuk dan menarik kursi yang berada tidak jauh dari pintu. Ia meletakkan sandarannya secara terbalik, hingga saat duduk, tangannya bisa bertumpu pada sandaran itu, lalu kepada Kirana ia tersenyum lagi. "Well, Nina. Sekarang saatnya kita bicara. Gue punya penawaran buat lo, yang gue harap tidak perlu ditolak, karena kalo sampe lo berani nolak, adek lo nggak gue jamin keselamatannya." Raut wajah Kirana berubah panik. Adjie tersenyum lagi. "Wow, nggak perlu panik gitu lah. Sadam aman sama gue." Adjie menepuk pelan bahu gempal Adam sebelum mengalihkan perhatiannya kembali pada Kirana. "Lo mesti nolong gue, sebagai balas budi udah nyelametin kalian." Kirana memejamkan matanya selama dua detik, mengumpulkan seluruh keberaniannya, sebelum ia mulai bicara lagi. "Anda mau apa?" "Lo bisa bantu gue?" Tanyanya. "Bantu apa?" "Bantu gue ngeyakinin emak gue kalau gue bukan homo." Kirana terperanjat, jijik dan geli disaat yang bersamaan. "Hei, santai aja gak perlu melotot. Gue emang bukan homo. Mak gue aja yang nggak percaya." Kata Adjie terkekeh ketika melihat perubahan di wajah gadis itu. "Kalau saya nggak mau, gimana?" Adjie tersenyum dengan enteng. "Lo berdua harus ganti rugi semua kerusakan mobil gue, kalo nggak gue lapor ke polisi. Gimana, deal?" Kirana hendak menggeleng, namun ketika melihat Adam menganggukkan kepala kepadanya, ia tahu, mereka tidak akan bisa lari lagi. Ia terpaksa mengangguk. Adjie tersenyum penuh kemenangan. Ia langsung bangkit dari tempat duduknya. "Bagus. Oh iya, jangan lupa, didepan mak gue, lo bakal akting jadi pacar gue. Tapi kalo nggak ada beliau, lo bedua jadi pembantu." Kirana langsung menggeleng. "Anda nggak bisa sepihak memutuskam seperti itu. Kerusakan mobil anda harus dihitung nilainya. Kalaupun menjadikan kami pembantu, tidak mungkin kami harus terjebak di sini selamanya. Adjie mengangguk. "Emang. Lo kira gue gila nampung makan dua orang miskin kayak lo? Cuma sampai emak gue dan calon istri gue sadar doang. Paling satu atau dua bulan, lah." Kirana menatap Adam yang ketakutan saat melihat matanya. Lalu mengalihkan kembali pandangannya ke arah Adjie yang mulai membuka pintu kamar untuk keluar. "Kami nggak punya waktu selama itu." Adjie menggeleng. "Kecuali lo bedua punya duit sepuluh juta buat ganti rugi mobil gue, lo nggak punya pilihan lain." Dengan senyumnya ia kemudian menutup pintu, meninggalkan Kirana yang kini meremas rambutnya yang panjang dengan kesal. "Kenapa kamu nggak lari aja sih, dek dan biarin aku mati?" Adam menggeleng. "Kita nggak punya pilihan. Lagipula kamu bakal kaget kalau tahu siapa bang Adjie. Tempat ini yang paling aman dari seluruh tempat yang pernah kita datangi." "Memang ini tempat siapa?" "Ini rumah saingan bisnis mereka. Satu tempat yang nggak bakal di datangi oleh mereka sampai kapanpun." "Maksud kamu?" "Ini rumah keluarga Wishaka. Saingan bisnis keluarga Bratasusena." Kirana mendesah. Jadi sekarang mereka keluar dari mulut singa, hanya untuk mampir ke mulut buaya? "Kamu nyari mati, Dam. Beneran nyari mati." Kirana memejamkan matanya dengan perasaan kacau balau. ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD