Kirana menarik napasnya berulang kali kemudian menghembuskannya dengan jumlah yang sama banyak untuk membuat dirinya tetap tenang. Selang beberapa detik, ia kembali menoleh pada adik satu-satunya yang terlihat gelisah dan tidak nyaman ketika dipandangi oleh kakaknya itu.
Adam tahu Kirana marah, namun ia tidak dapat meninggalkan gadis itu begitu saja. Kirana adalah satu-satunya keluarga yang ia miliki selain kakek mereka yang sekarang dalam kondisi tidak sadarkan diri.
Kakek yang memiliki kekuatan sangat besar sebagai pelindung keluarga Bratasusena kini harus terbaring tidak berdaya hingga membuat kedua cucu sah mereka terusir dan harus melarikan diri agar tetap selamat dari ancaman pembunuhan anak angkat kakek yang mengincar harta keluarga.
Namun seperti kata Kirana, mereka tidak akan semudah itu menguasai semuanya. Anak buah mereka bisa saja berkeliaran ke seluruh penjuru Jakarta demi mencari kakak beradik ini, tapi pengacara kakek juga akan melakukan segala cara untuk menyelamatkan Kirana dan Adam.
Hanya saja, Kirana tidak tahu siapa yang sedang mencarinya saat ini. Bisa jadi pihak yang tidak menyukai keberadaan mereka.
Setidaknya mereka harus bersembunyi hingga kakek mereka sadar, walau ia tidak tahu sampai kapan.
Sialnya, mereka malah bersembunyi di rumah keluarga Wishaka, yang jelas-jelas menjadi musuh bebuyutan kakek mereka sejak lama.
"Pantes rasanya nggak enak banget waktu aku sadar tadi. Ya ampun, Dam, kamu gila banget tau nggak, sih."
Adam menggeleng.
"Mereka nggak tahu kalau kita cucu kakek. Lagian ini bukan rumah utama keluarga Wishaka. Udah aku bilang, ini rumah bang Adjie, anak ke dua. Kakaknya yang dokter itu juga nggak terlalu peduli sama urusan bisnis."
Kirana mendesah.
"Lah, si Adjie ini kenapa tinggalnya terpisah?"
Adam menggeleng.
"Nggak tahu jelas. Kayaknya karena gaya hidup dia yang bebas. Temen-temennya suka kesini, kadang nginep sampe pagi."
Kirana memijat kepalanya.
"Terus homo itu maksudnya apa? Ada calon istri, kenapa dia nyuruh aku pura-pura jadi pacarnya?"
Adam mengedikkan bahu.
"Nggak tahu. Aku jarang keluar dari kamar kecuali mau makan atau ke kamar mandi."
"Dua bulan, Dam. Lama banget tau nggak. Sekolah kamu..."
Ucapan Kirana terputus saat dilihatnya Adam menggeleng.
"Yang penting kita aman dan kamu pulih dulu. Bang Adjie kan bilang, asal kita bisa ganti rugi, kapanpun kita bisa pergi. Sepuluh juta, Na."
Mendengar kata sepuluh juta disebutkan, Kirana segera paham.
"Kartu ATM aku dimana?" Kata Kirana saat ia tersadar bahwa pakaiannya ternyata sudah berganti.
Adam menatapnya ketakutan.
"Kartu ATM apa?"
Kirana menggigit bibirnya.
"Kartu ATM sama debit aku? Di saku celana yang aku pake kemaren, Dam. Isinya lebih dari cukup kalau cuma buat bayar kerugian mobil si Adjie itu."
Adam langsung berlari keluar kamar secepat ia bisa, meninggalkan Kirana yang terpekur di tempatnya.
Lima belas menit kemudian Adam kembali. Wajahnya kusut, dan matanya merah.
"Baju sama celananya dibuang bang Adjie ke tempat sampah. Katanya dia jijik liatnya. Lebih dekil dari kain pel."
Kirana meremas rambutnya, frustasi.
"Dam, kita nggak punya duit lagi. Dua kartu itu sengaja aku sembunyiin buat kebutuhan kita dan sekarang hilang."
Adam merogoh kantung celananya.
"Dua ratus ribu aku masih ada."
Kirana mendengus.
"Gak mungkin lagi kita kabur dari sini." Sesalnya.
***
Menjalani hari sebagai orang yang berhutang banyak karena kesalahan yang tidak mereka lakukan membuat rasa kesal Kirana pada Adjie menumpuk begitu banyak, selain beberapa hal tambahan yang makin meningkatkan kadar kebenciannya pada pria itu.
Pertama, sudah jelas karena ia adalah seoran Wishaka. Entah bagaimana, secara alami seorang Bratasusena akan membenci seseorang yang berasal dari keturunan Wishaka walau ia sendiri tidak mengerti mengapa rasa benci itu harus ada. Apabila titah kakek memerintahkan untuk itu, maka mereka tidak akan ragu untuk menurut.
Kedua, pria b******k itu suka sekali memerintah. Mudah jijik terhadap sesuatu yang ia rasa berada diatas ambang non higienis, termasuk membuang pakaian Kirana, yang didalam salah satu saku celananya terdapat tiket untuk kebebasan mereka. Dia benci pria itu.
Ketiga, sejak kata homo keluar dari mulut Adjie, Kirana merasa benci jika harus bernapas di ruangan yang sama dengannya. Membayangkan adegan jeruk dengan jeruk, main anggar atau apalah membuatnya bergidik ngeri.
Magnet itu kutubnya harus beda agar bisa saling tarik menarik, bukannya malah saling menjauh.
Setelah beberapa hari, ia akhirnya paham siapa teman-teman yang dimaksud Adam.
Beberapa orang pria yang tidak ia kenal akan mampir dan hilir mudik di rumah itu yang kemudian jadi pertanda bagi Kirana untuk menyembunyikan adiknya dalam kamar dan memaksanya untuk sembunyi dibawah tempat tidur hingga mereka semua pergi.
Ada empat orang lelaki dimana dua diantaranya lebih senang bergelung di kamar Adjie selama berjam-jam disana, hiii Kirana tidak mau tahu apa yang sedang terjadi.
Lagipula mulut ceriwis Adjie sudah menunjukkan kalau dia tidak lurus, pikir Kirana.
Mana ada lelaki yang heboh melihat bajunya kena kotoran.
Fix ada yang salah dengan pria itu.
Keempat, hal yang paling membuat Kirana semakin benci kepadanya adalah Adjie tanpa sungkan memerintahkan mereka segala sesuatu seolah memang mereka adalah pembantu.
Kirana tidak masalah jika disuruh menyapu atau membereskan rumah, namun hal yang paling ia benci kemudian menjadi hal yang paling sering diminta oleh Adji.
Memasak.
Kirana tidak bisa memasak, dan dia benci harus berhadapan dengan wajan dan kompor.
Menggoreng telur saja dia harus bertarung dengan percikan minyak.
"Lo cewek apa bukan, sih? Masak aja gak becus. Ntar kalo lo kawin, laki lo mo dikasih makan apa? Batu?" Kata Adjie sambil bersungut-sungut di pagi berikutnya saat ia sedang menikmati sarapan paginya, nasi goreng acakadul ala Kirana, yang herannya tetap dimakan Adjie sampai piringnya jadi mengkilap.
"Siapa bilang cewe harus pinter masak, pak?"
Adjie membanting sendok mendengar Kirana memanggilnya "bapak".
"Pak, pak... lo kira gue pak RT?" Tanyanya sambil melotot.
Kirana menggeleng.
Kamu itu orang gila.
Saat Adjie menyeruput kopi buatan Kirana, ia langsung menyemburkan semua yang telah masuk dalam mulutnya.
"Kamu ngasih garem dalem kopi."
Kirana menatapnya bingung.
"Punya mata nggak waktu kamu masak? Cicip dulu baru ngasih orang. Lo tamat SD nggak? Nggak bisa bedain mana gula garem. Miskin juga nggak segitunya kali."
Adjie terus saja mengoceh sementara Kirana memandangnya sambil berharap ada centong nasi dari besi atau ada sendal yang tiba-tiba melayang ke atas kepala pria itu.
"Bengong aja. Ini di lap." Perintahnya.
"Gue ganteng, juga nggak segitunya lo ngeliat. Ngiler ya?" Katanya sambil melemparkan serbet yang tadi digunakannya untuk mengusap mulutnya yang basah karena semburan kopi sebelum beranjak pergi.
Kirana mendesah lalu mengambil lap yang berada di dapur untuk membersihkan kekacauan yang dibuat oleh pria itu.
Sementara Adam yang berada dibelakangnya mengguman sedih.
"Na, jangan marah." Pintanya.
Kirana menggeleng.
"Gak bisa marah lagi, Dam. Aku kayaknya pengen ngasih racun ke mulut Wishaka itu. Nggak heran kakel benci banget sama mereka."
Adam tertawa.
"Bang Rian, baek kok."
Kirana yang sedang mengangkat cangkir berisi kopi asin milik Adjie tadi menoleh pada Adam.
"Rian?"
Adam mengangguk.
"Kakak bang Adjie, yang dokter."
Mendengar kata "baik" disebutkan, Kirana langsung menghentikan gerakannya.
Bukankah orang baik bisa selalu dimanfaatkan untuk melakukan sesuatu?
Seperti membebaskan diri dari Adjie si mulut rombeng?
Kirana tersenyum.
"Kalau begitu, kita bisa kabur dari sini."
Adam menggeleng cemas.
"Kamu nggak niat menggoda bang Rian, kan?"
Kirana tersenyum.
"Buat kebebasan, apa yang nggak mungkin?"
***