02

2028 Words
"Bukankah kamu memiliki perasaan padaku? Apa kamu akan mengelak kamu mencintaiku? Jadi, harusnya kamu merasa senang dengan ajakanku tidur bersama?" "Bohong dan munafik kalau kamu nggak senang, Arna. Aku tahu kamu juga ingin." "Aku sudah memberikan kamu kesempatan, tapi kamu masih begitu berpikir dengan keras untuk menerima tawaranku? Kamu bukan tipikal yang bodoh, aku rasa. Tolong cepat berikan aku jawaban. Aku nggak akan mau menunggu dalam waktu yang lama." "Kenapa kamu punya pemikiran seperti itu? Aku tahu kamu masihlah tipe wanita yang baik-baik." Gumaman dalam nada sedikit tak percaya diloloskan Arnawa, selepas kata demi kata dilontarkan Sraya tergiang lagi. "Kenapa kamu bisa memikirkan ide gila mengajak untuk tidur bersama, disaat kita tidak terikat hubungan. Aku nggak pernah menyangka kamu akan minta hal yang bisa nggak masuk akal dan merendahkan harga diri kamu sebagai wanita berkelas, Sra." Arnawa sangat tahu perubahan sikap yang sudah ditunjukkan wanita itu, tak terlepas dari masalah dialami dan menimbulkan luka mendalam. Ia begitu ingin membantu Sraya bangkit. Namun, tidak akan semudah ekspektasinya. Banyak halangan tercipta. "Sialan." Arnawa kemudian meloloskan u*****n. Akan tetapi, dalam nada yang frustrasi. Sungguh, sukses wanita itu membuatnya bingung serta sedikit kacau. "Aku memang mencintai kamu, Sraya. Tapi, aku nggak menginginkan tubuhmu sebelum waktunya kita menikah. Aku masih mampu menahan hasratku untuk memiliki kam—" "Sorry, gue telat, Bro. Udah lama lo nunggu gue? Sorry, banget. Semoga lo paham." Arnawa pun harus memotong perkataannya sendiri, manakala sosok mitra bisnis dari perusahaan bernama Roky membuka pintu dan langsung bicara sembari masuk ke dalam ruangan kerjanya dengan langkah yang santai. Ia jelas langsung memusatkan seluruh atensi ke sosok teman baiknya itu. "Lo sudah sering telat tiap kali kita berdua punya jadwal bertemu bahas proyek. Kapan lo tepat waktu? Gue rasa nggak pernah." Selesai melontarkan balasan, Arnawa pun segera bangun dari kursi kerjanya guna menghampiri Roky yang telah duduk di atas sofa. "Lo pergi ke pub sampai pagi? Dugaan gue ini betul? Nggak mungkin gue salah." "Hahaha. Betul, Bro. Lo emang cenayang." "Cuma sampai jam satu dini hari, Bro. Gue habis itu langsung berkencan di kamar bareng cewek. Kelelahan gue. Hahahaha." "Baru cabut dari hotel jam sepuluh tadi. Nah, gue jadi lambat tiba di sini." Roky menambahkan jawabannya dengan nada ringan, terkesan senang. Tawa menyertai. "Ck, oke baiklah. Gue bisa memahami," tanggap Arnawa sedikit malas. Ia tak ingin melanjutkan bahasan mereka yang menurutnya hanya membuang waktu saja. "Jangan cuman lo pahami. Sekali-kali ikut gabung sama gue. Akan gue carikan wanita dengan pelayannya yang terbaik. Cantik dan seksi. Gue yakin lo nggak akan nyesal. Puas. Gue berani menjamin. Mau nggak lo?" "Kriteria cewek seksi gimana yang lo ingin? Gue bisa carikan semua. Percayakan hal kayak gini ke gue. Lo bakalan mendapatkan cewek seksi paling bagus. Gue yang jamin. Lo cuma perlu terima hasil bagus dari gue. Dan gue, nggak akan membuat lo kecewa." Arnawa menggeleng pelan. "Nggak, Bro. Maaf, gue nggak minat. Tapi, makasih sudah menawarkan gue cewek-cewek yang seksi." "Gue rasa gue belum tertarik. Kayaknya gue nggak akan pernah terima tawaran lo." Roky pun tampakkan seringaian, manakala mendapatkan tatapan semakin tajam dari Arnawa. "Ayolah, Bro. Nikmati hidup ini lah sekali-kali untuk senang-senang dan cari sensasi kepuasan buat diri lo sendiri sebagai pria dewasa. Jangan lo tahan-tahan terus." "Gunakan kekayaan dan juga uang lo buat hura-huralah. Mumpung kita masih muda. Sebelum tua, wajib nakal di dalam hidup lo. Gemerlang dunia yang memabukkan." Arnawa menggeleng cepat. "Bukanny gue maunya sok alim atau gimana. Gue memang merasa tidak tertarik buat senang-senang seperti gaya hidup lo maksudkan." "Lo cuman belum nyoba, Bro. Sekali nanti ngerasain. Lo akan ketagihan sama kayak gue. Jangan munafik atau tahan nafsu lo. Lagian, lo gampang dapatkan perempuan mana aja yang lo suka untuk diajak kencan dan tidur. Lo punya uang. Muka lo menjual. Mana ada perempuan yang akan nolak." Arnawa tidak langsung menanggapi balasan dari Roky. Ia memilih untuk diam sejenak. Kata-kata Sraya kembali berputar di dalam kepalanya. Terutama ajakan wanita itu yang masih kurang pantas baginya hingga kini jika ikuti etikat dan pemikiran benar tentang permintaan Sraya yang malah dirinya telah sanggupi tanpa berpikir panjang dahulu. "Gue mau tanya pendapat lo, Ky. Lo harus kasih jawaban yang jujur sama gue. Dan, lo nggak boleh mengatakan hal yang sesat ke gue. Karena, lo tahu gue nggak akan suka." Roky segera anggukan kepala. "Tanya apa? Lo bilang aja. Masalah apa memang mau lo konfirmasi ke gue? Kerja sama perusahaan kita? Kayaknya akan lumayan serius." "Bukan." Arnawa menjawab dengan suara tegas dan menggeleng pelan. "Masalah pribadi. Begini, Ky. Lo kalau diminta tidur oleh perempuan yang lo cintai sama dia sendiri. Lo akan lakukan apa? Terima atau tidak? Alasan apa yang lo punya? Lo harus katakan dengan masuk akal minimal." Kekehan tawa Roky seketika keluar. Ia jelas tergelak hingga beberapa detik. Tetapi, secepatnya diredam, tatkala memperoleh layangan tatapan cukup seram dan tambah serius dari sang sahabat. "Reaksi gue? Akan terima dengan senang hati. Terus apa lagi?" "Bodoh sampai gue nolak. Secara gue sayang itu perempuan. Kalau dia menawarkan, gue akan menerima. Gue bisa memiliki dia seutuhnya juga bukan? Gue akan menikahi dia sebagai bentuk keseriusan gue mencintai dia." Roky menjawab mantap dan masih menyeringai memandang sang sahabat. "Berarti gue awalnya bodoh. Terus gue jadi berubah pikiran mengiyakan. Artinya gue ini b******n atau gimana menurut lo?" Roky kembali terkekeh. Suara tawanya tentu lebih mengencang dari beberapa menit lalu karena jawaban bodoh sahabatnya. Perut Roky pun terasa ikut geli. Terlebih lagi kini, ia tengah disuguhkan mimik serius Arnawa. Roky tak merasa empati justru tergelak dan enggan mengerti bagaimana perasaan sang sahabat. Sungguh, terlalu konyol baginya. "Hahahaha." Roky mengencangkan tawa dan melipat kedua tangan di depan dadanya. "Sumpah lo b**o banget, Bro. Kontras sama kecakapan lo dalam berbisnis yang nggak usah gue ragukan lagi." Roky menyindir. "Kalau urusan kerjaan gue selalu dapat saja mengandalkan lo dengan baik. Tapi, kalau masalah hadapi cewek kayaknya lo payah dan kurang berpengalaman," imbuhnya. "Gue perlu turun tangan untuk kasih lo ini tips yang ampuh supaya lo nggak melulu bingung menaklukan hati perempuan yang lo sukai. Setelah gue kasih saran ke lo. Gue jamin lo akan bisa memiliki perempuan lo cintai. Anti gagal biasanya tips dari gue." …………………………….   Terlepas dari obrolannya dengan Roky siang tadi. Arnawa merasa wajib bertemu Sraya malam ini. Terlebih lagi, wanita itu seperti sengaja menghindarinya. Tak ada satu telepon darinya diangkat. Jelas, Arnawa jadi kurang suka akan tingkah ditunjukkan Sraya, sejak tiga hari lalu. Sangat berusaha ingin menjaga jarak, bahkan menjauhinya. Alhasil, ia memutuskan mendatangi rumah wanita itu. Namun, nihil. Kediaman Sraya kosong, tak ditemukan seorang pun. Meski demikian, Arnawa tahu keberadaan dari mantan istri sohib karibnya itu. Ia sangat yakin Sraya tengah tinggal di vila, sengaja ingin bersembunyi darinya. Arnawa menyusul wanita itu. Tentu, ia tak mampu menyerah dan pasti akan menemuiny Sraya. Sekalipun kehadirannya mengganggu, tidak memperoleh sambutan yang baik. Arnawa bertekad berjumpa langsung dengan wanita itu. Sebab, ia dilanda kian kuat kekhawatiran. "Mau apa kamu ke sini, Arna? Pergilah." Pertanyaan sarat akan kesinisan yang baru saja dilontarkan Sraya, telah diduganya. Rangkaian jawaban di dalam kepala, sudah disusun rapi. Tak hanya balasan lisan. Ia turut menyiapkan antisipasi dalam bersikap. Arnawa enggan kalah. Terlebih, ia merasa tak melakukan kesalahan apa-apa yang bisa sampai membuat hubungan mereka berdua jadi merenggang. Arnawa harus meluruskan semua. Mereka bukan remaja lagi yang akan selesaikan masalah hanya dengan diam. "Kenapa?" Arnawa berikan penekanan pada satu patah kata dilontarkan guna bertanya. "Kamu kira aku nggak tahu kamu akan kemari? Aku yakin kamu akan menemuiku." Arnawa melayangkan tatapan yang cukup tajam, saat memandang wajah Sraya. "Sampai kapan juga mau menghindariku? Kamu pikir aku akan mau menjauh?" "Nggak, Sra. Aku nggak akan pernah mau kita kayak begini. Kamu jangan egois dan cuma mementingkan keinginan kamu saja. Kamu harusnya memikirkan bagaimana aku berpendapat juga. Bisa kamu mengerti?" Dengan sigap Arnawa menahan dorongan yang dilakukan oleh Sraya pada pintu utama vila supaya tidak ditutup. Belum terlolos sepatah kata dari mulut wanita itu yang dinanti-nantinya. Ia ingin mendengar alasan pasti. Tidak akan pernah pergi sebelum bisa memperoleh keterangan jujur dari Sraya. "Tolong jangan mengajakku bertengkar. Aku lagi pusing, Arna. Pulanglah. Biar aku sendiri di sini dulu. Aku nggak mau kamu ganggu dengan kata-katamu itu. Tolong juga kamu mengerti gimana keadaanku, ya." Gelengan kepala tanda tidak akan dapat menuruti permintaan diutarakan serius oleh Sraya. "Nggak. Aku nggak akan pergi." "Aku akan tetap di sini menemani kamu. Berapa banyak sudah kaleng bir yang kamu minum sampai tadi? Bagaimana kepala kamu nggak pusing, Sraya?" Arnawa pun melontarkan tanya dengan intonasi kian meninggi. Ekspresinya tampak sangat serius. "Aku tidak ingat," jawab Sraya dalam suara yang semakin dingin. Begitu juga sorot matanya. "Untuk apa juga kamu tahu? Ada manfaat? Minum bir satu kaleng saja kamu keok. Jangan mengurus aku minum berapa." "Bukan nggak bisa. Aku cuma nggak suka minum banyak. Untung apa yang bisa diberi, kalau kita mabuk? Aku rasa nggak ada sama sekali. Selain keadaan kita akan jadi semakin kacau. Masalah juga nggak bisa selesai." Sraya keluarkan senyuman sinis. Merasa sangat tersindir akan lontarkan kata-kata Arnawa, meski pria itu ucapkan dengan nada yang terbilang lembut. "Gunanya apa? Akan membantu melupakan masalah beratku! Semua beban yang aku lagi pikul!" "Kamu nggak pernah mengalami, kamu pastinya nggak akan merasakan kesakitan begitu luar biasa," ujar Sraya kian dingin, intonasi suara bertambah tinggi. Ia pun belum memindahkan pusat pandangan dari Arnawa. Tatapan tajam diperlihatkan. "Aku memang tidak pernah mengalami masalah seperti yang menimpa kamu, Sra. Kalaupun, aku alami. Aku akan mencari solusi untuk bangkit. Bukan malahan melakukan hal-hal buruk yang bisa merusak diri sendiri. Nggak akan ada untungnya." Tak butuh waktu lama bagi Sraya untuk loloskan respons berupa decakan cukup keras. "Kamu memang bijak, Arna. Aku nggak akan pernah bisa meragukan." "Tapi, perlu kamu pahami juga. Kamu belum merasakan seperti yang aku alami. Jangan berakting seolah kamu dapat memahami penderitaan yang harus aku tanggung, ya." Tatapan yang semakin sinis dilayangkan oleh Sraya. "Sekarang ini, aku nggak perlu saran dan kata-kata bijakmu. Kalau kamu ingin menolongku bangkit, pikirkan saja tawaranku beberapa hari lalu. Saat kamu bersedia, aku akan bi—" Sraya tak dapat selesaikan kata yang hendak ia keluarkan karena bibirnya dibungkam Arnawa. Sraya tak menyangka bahwa pria itu akan menciumnya. Namun, ia tidak menunjukkan penolakan. Sraya lingkarkan kedua tangan di leher Arnawa, lalu membalas perlahan-lahan. Namun beberapa detik kemudian, pria itu akhiri semua. "Aku akan mempertimbangkan tawaranmu, Sra. Tidur denganmu." Arnawa berkata mantap, tanpa menunjukkan rasa ragu. "Aku sudah memikirkan dengan matang dan aku harus menerima. Kamu benar, aku yang akan diuntungkan. Aku bisa tidur bersama wanita yang aku cintai. Bahkan, Nugraha belum menyentuhmu sama sekali, 'kan? Aku akan jadi yang pertama untukmu juga." "Tapi, kamu harus berjanji padaku akan berhenti minum bir. Apa bisa kamu lakukan untukku, Sraya?" Arnawa bernegoisasi. Ia harus melakukan demi kebaikan Sraya juga. Semakin dilekatkan tatapannya pada sosok Sraya, menanti jawaban wanita itu. Reaksi atas ucapannya sudah terlihat. Sepasang mata Sraya lebih membulat, menandakan bahwa wanita itu merasa terkejut dengan keputusannya. Respons yang memang telah Arnawa duga akan ditunjukkan Sraya. "Bagaimana? Kamu mau apa nggak? Tolong cepat beri aku jawaban. Karena, apa yang akan kamu katakan, memengaruhiku juga. Aku bisa saja mengubah pikiranku un--" "Oke. Nggak masalah." Sraya memotong cepat dalam nada mantap. Kepalanya turut diangukkan. "Aku akan berhenti minum." "Kamu bisa memegang janjiku ini. Kamu sudah tahu kalau aku nggak akan mungkin melanggar apa yang aku ucapkan kepadamu hari ini." Sasmita tambahkan dengan suara datar yang dingin. Begitu juga ekspresinya. "Penuhi kata-katamu. Jangan pernah kamu ubah. Kamu akan diuntungkan kalau tidur bersamaku. Harusnya nggak ada yang bisa membuat kamu ragu, kecuali kamu masih punya kemunafikan yang tinggi, ya. Tapi, aku yakin kamu akan kesampingkan." Arnawa merasakan ketersinggungan akibat ucapan Sraya yang menyindir keras dirinya. Namun, ia enggan melampiaskan ataupun membalas dengan kata-kata. Hanya timbul pertengkaran yang semakin sengit saja nanti di antara mereka. Arnawa menghindari. Tak ingin sampai hubungannya dengan wanita itu jadi tambah memburuk. Bagaimanapun juga, ia merasa harus berada di dekat Sraya. "Jangan menuduhku kayak gitu. Aku yakin kamu masih tahu cara yang bagus padaku bagaimana." Arnawa berujar dengan suara lembut. Tak ada emosi di dalam dirinya. "Aku nggak menuduh sembarangan. Kamu memang munafik! Aku kasih kamu pilihan yang bagus. Tapi, kamu menolak. Atau kamu kurang normal? Nggak tertarik dengan s**s bukan? Apa aku salah berujar lagi, Arna?" .............    
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD