03

2027 Words
"Sraya, kamu nggak boleh terus terpuruk. Segera bangkit. Aku yakin kamu pasti bisa." Arnawa berujar sungguh-sungguh sembari menggenggam tangan wanita yang ia cintai dengan begitu erat, seakan-akan enggan dilepaskan. Salah satu caranya menguatkan. "Kamu adalah perempuan tangguh. Aku tahu jika semua berat untuk kamu, Sraya. Tapi, aku sangat yakin kamu akan bisa melewati." Arnawa kembali meluncurkan kata-kata dukungan dalam suara masih begitu pelan. Namun, sangatlah serius. Atensinya tidak ingin dialihkan dari sosok Sraya yang terlelap. Memandang wajah damai wanita itu ketika tertidur berhasil menimbulkan denyutan sakit di dadanya. Ia benar-benar tak sanggup melihat Sraya menderita. Ia ikut hancur. Perasaan sayang dan cinta yang besar pada wanita itu pun menyebabkan Arnawa tidak menghendaki hal buruk menimpa Sraya lebih banyak. "Aku sayang kamu, Sra." Arnawa berucap sedikit lirih. Tetapi, masih penuh dengan kesungguhan. "Aku mencintaimu." "Kalau kamu cinta padaku. Kenapa sulit untukmu kabulkan yang aku mau sekarang, Arna? Tidur bersama. Bukan syarat sukar menurutku. Kamu nggak akan rugi. Kecuali kamu terus bertekad sama kemunafikan." Keterkejutan seketika melanda Arnawa sebab tak menyangka Sraya sudah bangun dan hanya pura-pura. Ia bahkan kian dibuat kaget oleh lontaran pertanyaan dari wanita itu. Selalu mengarahkan pembicaraan mereka ke topik yang hingga detik ini, belum mampu ditemukannya solusi terbaik. Ia tak mau sampai timbulkan sesal nanti. "Masih aku pertimbangkan. Beri aku waktu. Tolong jangan mendesak aku sekarang, Sra. Harus berapa kali aku bilang. Aku masih anggap permintaan kamu konyol dan nggak masuk akal. Bukan karena aku munafik, ya." "Apa kamu memang pria normal?" Sraya kembali meloloskan kalimat balasan, kali ini lebih menohok. Memang disengajanha. "Maksud kamu apa bilang begitu? Justru kamu itu wanita yang punya pikiran gila, Sraya!" Arnawa tanpa sadar meninggikan suara, tak terima mendapat tuduhan. "Apa? Aku gila?" Sraya mengulang sepatah kata yang dilontarkan Arnawa dan kurang bagus di telinganya. Dialunkan sinis. "Ya, pikiran kamu yang berniat mengajakku tidur bersama dan having s*x itu gila! Mana harga dirimu yang tinggi sebagai wanita baik-baik, Sra?" Arnawa pun kian tak bisa mengontrol ucapan yang terlolos secara refleks. Ada emosi di dalam suaranya juga. "Berhenti meminta hal konyol dan nggak masuk akal! Aku kecewa kamu seperti ini, Sra!" Kembali, terlolos kalimat demi kalimat dengan intonasi suaranya kian meninggi. Emosi mulai tidak dapat Arnawa kontrol. "Konyol? Ckckck. Baiklah. Terserah kamu berniat bilang aku kayak apa." Sraya menanggapi segera dengan kesinisan yang kian bertambah di setiap kata terlontar. "Bukahkah kamu sudah bilang akan coba pikirkan lagi? Kenapa, sekarang kamu jadi berubah dengan cepat, Arna? Kamu sudah menjadi orang yang nggak konsisten?" Sementara, Arnawa tak segera memberikan balasan. Enggan menimbulkan perdebatan lebih lanjut yang baginya sama sekali tak akan memberikan manfaat baik. Justru hanya mampu menciptakan hubungan kian memburuk yang akan membawa dampak semakin tidak bagus nantinya bagi mereka. "Kenapa kamu diam aja? Aku butuh jawaban dari kamu, Arna. Bukankah kamu sudah mendengar semua? Aku nggak akan suka kamu yang pura-pura mengabaikan ucapan aku tadi." Sraya memperingatkan dengan tak bersahabat. Tatapan masih tetap tajam. Sraya sangat paham bahwa perkataan yang baru beberapa detik lalu dilontarkannya dengan nada sinis, cukup tak terbilang sopan. Namun, ia benar-benar enggan diam dan hanya menunggu jawaban dari Arnawa, lama-lama. Menambah rasa jengkel dalam dirinya saja disaat emosi yang belum dapat stabil. Sraya tak bisa mengontrol amarah. "Jawaban apa lagi, Sra? Harus berulang kalikah, aku bilang kalau aku butuh waktu? Aku nggak akan bisa memutuskan secara cepat. Tolong kamu mengerti. Masih harus aku pikirkan lebih lama lagi." Sraya langsung berdecak, sudah menduga jika sahutan demikianlah akan dikeluarkan oleh Arnawa. Ia mudah menebak. Pria itu selalu suka berkata jujur dan apa adanya. Tetapi kali ini, ia tidak akab tinggal diam. "Hmm, anggap saja apa yang aku minta padamu, maksudku tentang mengajak tidur, nggak pernah kamu dengar atau tidak aku katakan. Lupakan saja, Arna." Sraya melemparkan tatapan serius. "Sudah aku putuskan aku akan mencari pria lain. Kamu tenang saja. Kamu nggak usah yang lama lagi berpikir. Aku nggak perlu bantuan dari kamu kalau kamu memang nggak mau." "Apa maksudmu, Sra? Kamu ingin tidur dengan pria lain?" Arnawa pun merespons secara cepat, spontan. Nada keterkejutan terdengar jelas di dalam suaranya. Balasan dari Sraya sungguh tak ia pikirkan. Dan, sangat tak masuk akan baginya. Arnawa jelas diselimuti kekagetan secara mendadak pula. Namun, sulit anggap perkataan wanita itu tak sungguh-sungguh, kala kepala diangguka oleh Sraya guna menjawab pertanyaannya. "Kamu benar-benar sudah kehilangan akal sehat dan kewarasanmu, aku kira, Sra!" Arnawa meninggikan nada suara dan berikan penekanan keras disetiap kata. Emosinya mendadak jadi muncul, sebabkan d**a panas. Timbul pula kecemburuan dan ketidakrelaan. Tak bisa dimungkiri bahwa ide dari Sraya membuat Arnawa seketika kalang-kabut. Sudah pasti enggan menyetujui. "Kamu mungkin benar, Arna. Aku sudah semakin kehilangan akal sehat. Aku sudah gila. Tapi, aku berniat tetap melakukannya bagaimana? Lagian, aku yang akan menanggung risiko semua nanti. Kamu tenang saja." "Bagaimana aku bisa tenang, kalau kamu nanti akan bisa dipermainkan pria-pria berengsek?" Arnawa pun masih tinggikan nada suaranya. "Aku nggak akan rela melihat kamu disakiti lagi, Sra. Kamu tolong mengerti maksudku sedikit. Kamu jangan turuti kemauan konyolmu lagi." "Baiklah. Aku akan berupaya mengerti. Tapi, aku punya syarat. Gimana? Kamu akan mau menuruti juga at—" "Tidur denganmu 'kah masih syaratnya? Apa belum berubah keinginanmu, Sra?" Arnawa potong cepat. Sudah tahu ke arah mana pembicaraan Sraya. "Maukah kamu menikah dulu denganku? Kita akan bisa bebas tidur bersama. Aku nggak akan beban menyentuh kamu, Sra? Bagaimana? Apa kamu mau menyetujui?" Sraya berdecak. "Ckck. Kamu ingin aku gagal untuk yang kedua kali dalam pernikahan? Lukaku belum sembuh." "Aku tahu, Sra. Tapi, aku nggak akan mampu menyakiti ka—" Arnawa tidak lanjutkan ucapannya karena kaget melihat Sraya membuka kancing-kancing kemeja yang dipakai. Arnawa lantas meraih kedua tangan wanita itu. "Jangan jadi perempuan murahan, Sra! Berapa kali harus kamu diingatkan olehku?" Arnawa tinggikan kembali suara. "Murahan? Aku tidak menjual tubuhku. Malah, aku mau memberikan padamu secara gratis. Dan, kamu hanyalah wajib membuatku puas. Apa kamu tetap nggak mau?" Arnawa segera menggeleng. "Bukannya aku nggak mau. Ayo, kita melakukannya setelah kita menikah, Sra. Apa kamu mau menjadi istriku?" tanyanya dengan begitu serius. "Aku tidak mau menikah, Arna!" balas Sraya formal. Nada suaranya pun meninggi. Sorot kedua mata yang juga turut dipertajam. ………………………………… Sejak kemarin sampai siang ini, Arnawa tak ingin meninggalkan Sraya, walau mereka berdua sempat terlibat pertengkaran pagi tadi. Arnawa tentu tidak akan dapat marah lama-lama, ia justru dirundung oleh rasa bersalah karena sudah meladeni ucapan Sraya. Harusnya ia mampu mengendalikan diri sebelumnya. Bukan memperkeruh lagi kondisi yang membuat wanita itu kesal. Mengenai Sraya, Arnawa cukup bersyukur dan lega karena masih menerima ajakannya makan bersama, meskipun wanita itu tetap membungkam mulut. Tak ada satu patah kata dilontarkan oleh Sraya kepada dirinya. Arnawa hanya bisa menerima. Tidak akan banyak memancing wanita itu berbicara. Untuk pesanan menu makanan, Arnawa yang memilihkan sendiri. Untung ia tahu masakan favorit dari Sraya di restoran tempat mereka sering makan. Walau, belum meminta persetujuan langsung, ia yakin wanita itu akan suka. Tanpa mengeluarkan protes ataupun keengganan sama sekali. "Aku minta maaf, Sra. Kata-kataku mungkin bagi kamu kasar dan menyakitkan." Arnawa berucap serius. Begitu juga mimik wajahnya. Dan, balasan yang hanya diperolehnya dari Sraya adalah anggukan singkat dengan raut wajah datar. Tak apa, ia akan bisa mengerti kenapa wanita itu bersikap menjadi kurang menyenangkan. Perdebatan mereka tidak mungkin mampu dilupakan cepat maupun dianggap sepele oleh Sraya. Disaat keadaan yang belum sembuh dari luka batinnya. "Aku minta maaf sekali lagi, Sra." Arnawa  berujar lirih. Menatap kian lekat wanita itu. "Aku seharusnya lebih bisa menjaga ucap—" "Jangan dibahas terus." Sraya memotong segera dengan kata-kata yang dialunkannya dalam nada mengesankan kedinginan nyata. "Aku sudah memaafkanmu. Lagipula, aku salah juga. Aku minta maaf. Kamu mau memaafkanku?" Sraya sedikit melembutkan suara dan juga sorot matanya memandang sosok Arnawa yang juga balik menatap. "Iya, Sra." Arnawa tak butuh waktu yang panjang untuk dapat mencerna baik semua lontaran kalimat dari Sraya. "Kita harus saling memaafkan, Sra. Pertengkaran tadi memang mungkin terjadi karena salah kita berdua. Bukan hanya satu orang saja." "Aku yang belum bisa menanggapi dengan positif kemauan kamu. Karena bagiku nggak ada manfaat. Atau kamu memang benar ya soal kemunafikanku. Tapi, aku lebih anggap sebagai prinsip yang aku pegang teguh." "Manfaat maksud kamu, Arna? Kita berdua akan mendapat kepuasaan. Apa nggak cukup?" Opini terlolos lancar dan tanpa keraguan sama sekali dari mulut Sraya. "Selain, membuktikan kalau aku akan bisa mendapat pria mapan dan jauh lebih tampan daripada dia," tambah wanita itu. Alasan yang sudah disampaikan, diperkuat lagi guna semakin memperjelas tujuannya tersebut. Masuk akal untuknya, tentu saja. "Sudahi debat tentang ini dulu, Sra. Kamu makan spagetti yang aku pesankan. Perut kamu butuh diisi dulu.  Nanti kita bahas lagi soal ini. Dalam keadaan lapar, aku nggak bisa berpikiran jernih untuk menjawab." Sraya masih melemparkan tatapan tajam ke arah Arnawa. "Terserah kamu saja. Tapi, aku nggak berniat makan," sahutnya mantap. "Aku kehilangan nafsu. Aku belum merasa lapar juga. Kamu makan saja sendiri." "Kamu jangan menentang atau abaikan ucapan aku ini. Demi kebaikan kamu juga, Sra. Aku rasa kamu semakin kurus sekarang. Pola makanmu harus tetap diperhatikan. Jangan sampai kamu nanti sakit." Pemberian penekanan di setiap kata dilakukan oleh Arnawa sengaja agar Sraya mampu mengartikan dengan jelas apa maksudnya. "Kalau kamu jatuh sakit, aku akan cemas, Sra. Apa kamu nggak bisa sedikit menaruh rasa kasihan padaku yang cemaskanmu?" Dipandang juga secara menerus sosok wanita itu yang hanya memerlihatkan tatapan lekat, sejak mereka berdua saling beradu pandang. Sorot mata Sraya tidak mampu untuk Arnawa terjemahkan secara cepat. Antara pancaran rasa sakit dan juga terluka yang teramat besar. Telah lama ditampakkan, semenjak wanita berpisah dengan sahabat baiknya. "Apa kamu dengar kata-kata panjangku tadi? Aku yakin kamu sudah mendengarnya." Sraya menggeleng, kini. Lekas merespons pertanyaan Arnawa. "Ya, aku dengar semua. Aku juga akan makan," jawab wanita itu dengan suara yang santai. "Kamu tenang aja, Arna. Aku cuma malas menjawab apa." "Aku juga nggak akan biarkan diriku sakit ataupun membuat kamu jadi cemas. Kalau aku sampai sakit, dia nggak pernah tahu dan memerdulikan keadaanku. Hanya aku saja yang akan menanggung semuanya bukan?" "Kamu masih memikirkan bagaimana reaksi Nugraha saat melihat keadaan kamu yang kacau kayak gini, Sra?" Arnawa pun bertanya dalam nada suara sedikit sinis, tanpa disengaja. Spontan saja. Ketidaksukaan ditunjukkan dengan cukup terang-terangan. Rasa panas di d**a pun semakin menjadi. Arnawa tak akan mampu memungkiri jika timbul kecemburuan, setiap kali bahasan mereka berkaitan akan sosok Nugraha, sahabatnya sendiri. Pria yang dicintai Sraya. Ia merasa kurang suka. "Dan, gimana menurutmu, Arna? Aku bodoh bukan, masih pikirkan saja terus dia? Ck, aku memanglah perempuan yang bodoh." Arnawa lekas anggukan kepala, tanggapan atas pertanyaan Sraya untuknya. "Benar, Sra. Kamu memang wanita yang bodoh." "Bodoh karena memintaku tidur denganmu, tapi hatimu masih ada untuk mantan suamimu. Apakah itu akan bagus untukku?" Arnawa menanggapi tak santai, penekanan di setiap kata diberikannya. Semakin jelas menunjukkan kecemburuan dalam hatinya. "Kamu nggak suka, kalau aku masih saja peruntukan hati dan cintaku pada Nugraha sampai hari ini? Benar bukannya begitu, Arnawa? Apa dugaan aku nggak salah?" "Kamu cemburu, ya? Akui saja. Nggak apa. Lebih baik bilang." Sraya memancing. Semakin dilekatkan tatapan pada sosok Arnawa, ingin sekali ia saksikan langsung perubahan ekspresi pria itu. Dan, mengenai sorot mata Arnawa, Sraya pun bisa saksikan nyata jika bertambah tajam memandang ke arahnya. Namun, belum bisa diterjemahkan. "Iya, Sra. Aku cemburu." "Harusnya kamu nggak hanya tawarkan tubuhmu saja, Sra. Tapi, juga hati kamu harus mulai diberikan padaku," tambah Arnawa. Sraya meninggikan salah satu sudut bibirnya. "Aku sudah tebak, Arna. Kelihatan jelas kamu cemburu," tanggap wanita itu santai. "Nggak apa mengakui. Aku senang mendengarnya. Karena, berarti pula kamu masih mempunyai perasaan yang dalam untukku." "Bukankah tugas kamu mudah sekarang, setelah aku dan juga dia berpisah, Arna? Kamu punya kesempatan yang besar juga." "Apa maksud kamu, Sra?" Arnawa menanggapi secara cepat. "Maksudku, kamu harus mencari cara agar aku bisa mencintaimu, Arna. Aku sudah berjanji untuk membuka hati untuk orang baru." Sraya masih memandang serius sosok Arnawa yang tampakkan raut wajah bingung, kini. "Mungkin salah satu tolok ukur. Saat kamu bisa memberikan aku kepuasaan, aku akan bisa mencintai kamu balik, Arna. Bagaimana menurut kamu? Akan setuju?" "Bagaiman juga menurutmu yang harus aku lakukan di Jakarta nanti, waktu bertemu Nugraha? Aku harus memukulnya atau kasih balasan lebih parah karena sudah menyakitimu? Akankah kamu setuju juga dengan ide gilaku ini, Sra? Bukankah harus begitu?"     
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD