BAGIAN 1 ; MEET UP

1407 Words
Hubungan antara seorang laki-laki dan perempuan tidak akan pernah kekal murni sebagai sahabat. Semua memiliki daya tarik untuk menetapkan rasa hati. Entah pihak wanita atau sang lelaki.  Bagi Gina dan Kana, semuanya terasa samar. Mereka tau isi hati satu sama lain, tetapi tidak mengerti mengapa mereka dipisahkan. Dunia tidak sekejam yang terlihat, jika kita sendiri tidak memberi sugesti membebani diri sendiri. Semua manusia memiliki Tuhan yang mereka percayai. Apapun itu, mereka semua memiliki keyakinan yang mungkin tidak orang lain bisa pahami. Intinya, saling menghargai.  Begitu juga Gina, dia menghargai apa yang keluarganya inginkan. Gina tidak pernah memiliki niatan sekecil apapun, untuk merusak hubungan antara sahabatnya dan kakak kandungnya. Tetapi Gina juga tetap menghargai Kana yang selalu membutuhkan dirinya.  "Kenapa kamu malah minta aku ke sini? Harusnya kamu langsung nemuin Mbak Lita."  Kana tidak menggubris, dia masih asik dengan ponsel sendiri. Di dalam hati, Gina merutuki diri karena selalu saja menurut pada lelaki yang dia anggap sebagai sahabatnya. Gina membatasi diri, hati, dan pemikirannya atas Kana. Namun, bukan Kana jika tidak kuat memaksakan kehendak.  "Bikinin aku kopi dong, Gin!" seru Kana mematikan layar ponsel, dan berganti melihat Gina yang duduk di sampingnya.  Gina lelah berdebat, dari beberapa orang, Kana termasuk dalam jajaran orang menyebalkan yang selalu membuatnya mendebat. Gina memilih diam, berjalan menuju dapur Kana. Kana yang melihat kegiatan itu, langsung membuka mulut kembali. "Jangan terlalu manis," ucap Kana menambahkan.  Dengan cepat, Gina menyuguhkan kopi yang sudah ia hafal betul takaran pemesannya. Kana, dia memang pribadi yang sungguh Gina pahami.  "Kamu diem aja? Nggak mau ngomong?"  Gina sudah mengajaknya bicara, tetapi Kana menghempaskan atensi pada ucapan sebelumnya. Tentu saja, itu karena Gina membahas mengenai Lita. Kana enggan membahas wanita itu, dan Gina selalu kecewa jika Kana memilih mengenyahkan pembahasan mengenai Kakak perempuannya itu.  "Kamu baru dateng, dan malah minta aku dateng ke sini. Kamu punya prioritas utama buat Istri kamu yang statusnya juga sebagai—" "Kakak kamu!" selak Kana membuat Gina menghentikan kalimatnya. "Aku tau, Gin. Sangat tau! Tapi kenapa kamu nggak pernah ngurusin diri kamu dulu? Lita udah terlalu banyak mendapat kebahagiaan dalam hidupnya, sedangkan kamu... kamu bahkan mengalah saat orang tua kamu mengikat aku dan kakakmu itu!"  Ada kemarahan dalam ucapan Kana. Sering kali keduanya berdebat hebat. Momok masalah yang sama, tanpa ada ujung perbaikannya.  "Kana... ini udah dua tahun. Dua tahun kamu pergi tanpa memedulikan Mbak Lita. Dia istri kamu, tapi justru aku yang selalu kamu tanyakan kabar?" Gina menghembus napas berat. "Ke mana jiwa pelindung Kana yang dulu?"  "Nggak ada."  Gina mengarahkan netranya terhadap hal lain. Gina sengaja membuat keberadaan Kana tidak memiliki keunikan untuk menariknya.  "Semua berubah, Gin. Semenjak bukan kamu yang ada di sisiku...."  "Apa? Aku selalu ada buat kamu sebagai sahabat, mencoba sebaik mungkin mendengar keluhanmu, membantu mencari jalan ke luar—" "Bukan sebagai seorang sahabat! Tapi wanita yang ku cintai dan hidup bersamaku!" cecar Kana.  Gina merasa pembahasan mereka sudah tidak berbobot lagi. Arahnya menyimpang, jika Gina masih bertahan maka Kana akan menyatakan isi hatinya yang lebih besar dan membuat hati Gina membaut kesakitan lagi. "Aku harus pulang," ujar Gina cepat. Cepat juga untuk melangkah pergi membuat Kana tergugu dalam diam. * Setelah pertengkaran dengan Kana tadi siang. Gina benar-benar pulang, pekerjaan yang lebih santai, sebagai pemilik usaha fashion online nya membuat Gina bisa kapan saja mondar- mandir ke mana saja. Ada usaha lain yang Gina miliki tetapi lebih tepat sebagai usaha keluarganya saat ini. Rumah makan yang bermodal dari Gina, kini dia mengikhlaskan semua itu. Bisa dikatakan, Gina adalah tulang punggung. Kedua kakaknya, Lita, dan Joan. Memiliki adik bernama Hilmi. Posisi anak tengah, sepertinya memang berat. Joan, terlalu sibuk mengurus keluarga kecilnya tapi tidak sepenuhnya mandiri, Joan sering meminta uang pada orang tuanya. Bukan Gina tidak ingin membantu, hanya saja latar belakang keluarga yang biasa saja... membuat Gina berpikir ulang juga mengenai ekonomi keluarganya.  Lita, dia menikah dengan Kana—sahabat Gina yang memiliki keluarga berkecukupan. Lita tidak pernah mengandalkan uang keluarga Kana, karena semua itu memang untuk Lita, bukan keluarganya. Jadilah Gina yang menyetir keuangan keluarga, biaya pendidikan Hilmi... Gina juga yang memutar otak.  "Assalamualaikum," ucap seseorang yang suaranya menggema dalam ruang tamu keluarga Gina.  "Waalaikumsalam," balas seluruh komponen anggota yang ada di sana. Gina hafal betul bentuk suara siapa yang sedang digadang-gadang oleh orang tuanya. Lita yang mendengar riuh, langsung menghampiri suaminya dengan senyum merekah.  Mau tak mau, Gina ikut tersenyum ramah. Lita menghambur peluk pada Kana. Gina miris, tetapi juga bahagia melihat Kakaknya bahagia.   "Kenapa baru pulang, nak Kana?" Ibu Marti bertanya pada menantunya itu.  Kana memasang senyum penuh arti, "Iya, Bu. Di luar cabang perusahaan dalam keadaan hampir gulung tikar." Pembicaraan itu terus berlanjut, meski Kana selalu menjadi pihak pasif. Gina berinisiatif membuat minuman dan hidangan pengisi suasana. Kana sangat berarti penuh dalam keluarga Gina, padahal tidak terlalu banyak yang berubah dalam kondisi keluarga tersebut. Mata Kana tidak pernah sepenuhnya fokus pada orang-orang yang mengajaknya bicara. Kana menikmati pemandangan perempuan yang sibuk melayani aspek-aspek kebutuhan keluarga. Dia perempuan yang sangat penurut, tidak banyak meminta, tapi justru memberi. Ginaila Aksaka Rauwlia. Kana hanya menitik fokuskan hati pada perempuan itu.  "Bu, Pak, Gina angkat telepon dulu." Gina meminta izin pada anggota yang sedang berkumpul.  Di halaman belakang, Gina tengah menghadapi satu lagi lelaki yang menghabiskan kesabarannya. Waktu demi waktu bergulir, Gina seperti seorang perempuan yang tengah berselisih paham dengan kekasihnya.  Gina tidak menyadari, Kana menatapnya heran. Katakan lah Kana menguping, memang dia ingin mengetahui apa yang berhasil mengambil alih perhatian Gina.  "Oke. Fine! Kamu bisa melakukan apa aja yang kamu mau... aku nggak peduli!"  Gina baru saja menggerakan ponselnya menjauh dari telinga, tetapi gerakannya terhenti dengan pengusik lainnya. Kana memeluk tubuhnya dari belakang. "Kana! Lepas, nanti ada yang ngeliat!"  "Berarti kita bisa lebih lama selama nggak ada yang liat," timpal Kana dengan santainya.  "Aku nggak bisa kayak gini! Jangan buat aku menjauhi kamu karena hal konyol yang kamu buat!"  Kana melepaskan pelukkannya, gerakan tangannya sangat tidak rela. "Maaf," lanjut Kana. Lelaki itu memilih pergi terlebih dulu. Kana merasa malu pada Gina dan dirinya sendiri. * "Mau ke mana?" Marti menyiapkan sarapan, karena Gina yang belum mengambil alih dapur setelah shalat subuh tadi.  Gina menuangkan air mineral, mengambil kursi untuk meneguk airnya. "Ada janji, Bu sama teman. Dia bikin cabang usaha, dia mau aku bantuin dia."  Beberapa orang mulai muncul, berdatangan mengisi meja makan. "Kamu nggak sarapan bareng, Gin?" Lita selalu berusaha memberi perhatian pada adik perempuannya itu. Gina menggeleng pelan, lalu menyalami Ibu dan Ayahnya. Tak lama, Kana ke luar dari kamar dengan setelan yang sudah rapi. Gina berjalan biasa melewati Kana.  "Mas? Mau pergi?" Lita membukan suara.  "Iya, aku harus buru-buru, Lit."  "Nggak mau makan dulu?"  Dengan gelengan yang sama seperti Gina, Kana membalas tawaran Istrinya. "Nggak bisa, maaf."  "Kalo gitu, kamu bareng anterin Gina nggak apa-apa, kan?"  Tentu saja. Kana sudah sangat semangat saat melihat Gina rapi menggunakan pakaian. "Iya," balas Kana.  Kana berjalan terburu-buru, karena Gina sudah beralan terlebih dulu. Kana melajukan mobilnya, mencari keberadaan Gina sebelum sampai di pemberhentian angkutan umum.  Menangkap sosok tersebut, Kana meng-klakson Gina hingga membuat perempuan tersebut terlonjak kaget. "Ayo, naik!" seru Kana agar suaranya tidak termakan deruan mesin kendaraan lain. "Nggak. Kamu duluan aja," tolak Gina halus.  "Jangan bikin aku maksa kamu, Gin!" Ancaman Kana berhasil. Gina memilih mencari aman, dan duduk nyaman di kursi sebelah kemudi Kana.  Gina memilih bungkam. Bukan marah pada kejadian semalam, Gina hanya ingin menghindari bertatap muka dengan Kana.  "Sorry, semalam..."  "Nggak usah dibahas tentang kamu yang meluk aku, bisa?"  Kana mengerutkan dahi, Gina menyelak apa yang ingin lelaki itu sampaikan. "Bukan itu yang mau aku bahas," jelas Kana yang fokus atas jalanan di depannya.  Gina tidak menjawab, dan Kana menyimpulkan jika itu salah satu bentuk perizinan Gina akan apa yang ingin Kana sampaikan. "Yang nelepon kamu semalam... dia pacar kamu?"  Agak lama Gina menjawab. Lalu jawaban yang Kana rutuki agar tidak terungkap dari bibir Gina, malah benar-benar apa yang ia takutkan.  "Ya." Singkat memang, tapi cukup membuat Kana tegang. Kana tidak napsu membahas jauh. Dia memilih mengalihkan diri dan mengantar Gina menuju tempat yang sudah Gina katakan di mana lokasinya.  "Thanks," ucap Gina seraya membuka sabuk pengamannya. Langkah Gina sangat cepat. Di seberang, kafe yang menjadi saksi di mana Gina memeluk mesra seorang laki-laki. Sontak jemari Kana memutih karena terlalu kuat menekan setir, hatinya berkobar. Dia selalu menahan diri untuk memeluk Gina, tetapi laki-laki yang terlihat tidak cocok dengan Gina—di mata Kana—berhasil dengan mudahnya mendapat dekapan erat Gina. Aku nggak sanggup melihat kamu melakukannya dengan laki-laki lain Gin... aku nggak bisa.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD