Seminggu telah berlalu semenjak Merry mengajukan tawarannya kepada Miranda. Sejak saat itu, Miranda sering kali terlihat murung. Ia bahkan beberapa kali melakukan kesalahan saat mempersiapkan pesanan makanan para tamu yang datang ke restoran tempatnya bekerja. Beruntung ada Mita, gadis itulah yang selalu membantu Miranda.
Miranda seperti sedang berada di persimpangan jalan. Ia kebingungan memilih antara mengikuti saran Merry atau tidak. Jalan pintas yang diajukan Merry memang sungguh menggiurkan. Hanya dengan satu malam dan ia bisa mendapatkan uang yang cukup untuk biaya pengobatan mamanya. Sementara, jika Miranda menolak, itu berarti ia harus mencari donasi dari satu tempat ke tempat yang lain dan itu memakan banyak waktu. Kondisi tumor yang ada di p******a mamanya semakin mengkhawatirkan dan perlu segera dioperasi.
Dalam keraguan yang masih menyelimuti hati dan pikirannya, Miranda tetap melaksanakan pekerjaannya. Ia tak menceritakan kepada siapa pun mengenai tawaran Merry, termasuk kepada Mita.
Ketika jam istirahat, Miranda membuka ponselnya yang sedari tadi ia simpan di dalam loker. Sambil menikmati sarapan yang kesiangan, gadis itu berniat membaca pesan masuk. Matanya tertuju pada pesan yang dikirim oleh Merry. Sudah ada beberapa pesan yang belum terbaca.
Miranda meletakkan sendok dan garpu di piringnya yang hampir kosong. Dengan tangan gemetar, ia menyentuh layar ponselnya dan pesan dari Merry segera dapat ia baca. Gadis itu mengangkat kepala, mengamati ke kanan dan ke kiri. Ia khawatir ada orang lain yang ikut membaca pesan dari ponselnya.
[Mir, aku ada kabar baik. Seorang pria kaya bersedia membantumu dan memberikan imbalan sebesar 250 juta rupiah.]
[Kamu hanya perlu menemaninya satu malam saja.]
[Ambillah kesempatan emas ini.]
[Nanti siang aku datang ke tempatmu bekerja.]
Miranda menelan ludah saat membaca setiap pesan yang dikirimkan oleh Merry. Ia segera menghapus pesan-pesan itu. Kebimbangan yang ada di hatinya kian memuncak. Melihat angka nominal yang dituliskan Merry membuatnya tergiur.
Cepat Miranda menyingkirkan piring yang ada di mejanya. Ia menenggak habis es teh manis yang kemudian menyegarkan tenggorokannya. Gadis itu menyimpan kembali ponselnya ke dalam loker. Ia merapikan rambutnya yang sempat berantakan dan memperbaiki penampilannya. Memejamkan mata, ia menarik napas dalam dan mengembuskannya perlahan.
Miranda kembali melanjutkan pekerjaannya. Jam makan siang sudah hampir tiba. Ia bersiap untuk melayani para tamu. Wajah Miranda yang tadinya murung, kini sudah kembali tersenyum. Namun, tak ada yang tahu, bahwa senyuman manisnya itu hanyalah sebuah topeng untuk menutupi kegundahan hatinya.
Restoran Gracia tutup lebih lama dari biasanya. Jam di dinding sudah menunjukkan pukul setengah empat sore. Miranda berkali-kali mengamati parkiran di depan restoran. Ia bernapas lega saat melihat mobil merah Merry tak ada di sana.
Miranda dan Mita berencana untuk pulang bersama. Setelah selesai membantu karyawan lain merapikan meja dan kursi, kedua gadis itu segera mengambil barang-barang pribadi dari loker. Mereka kemudian berpamitan dengan karyawan belum pulang lalu meninggalkan restoran.
Baru saja Miranda dan Mita berjalan di area parkiran ketika sebuah mobil merah bergerak masuk. Pengemudinya segera membunyikan klakson seolah memanggil mereka berdua. Kedua gadis itu menghentikan langkah mereka.
Sosok yang sangat dihindari Miranda keluar dari mobil. Wanita itu adalah Merry. Ia selalu tampak cantik dengan dandanannya yang terlihat mewah. Miranda menjadi serba salah. Ingin ia menghindar, tetapi sudah terlambat. Dengan terpaksa, Miranda menunggu Merry yang sedang berjalan mendekat.
“Hai, Miranda, maaf aku datang terlambat,” sapa Merry sambil membuka kacamata hitamnya. Ia kemudian menyimpan benda itu di dalam tas kecil yang tersampir di pundaknya.
“Hai, Kak,” sahut Miranda salah tingkah.
“Mir, Kakak mau bicarain soal pesan Kakak tadi,” ucap Merry.
Miranda semakin salah tingkah. Ia khawatir Mita akan tahu apa yang sedang dibicarakan Merry. Ia kemudian menoleh ke arah sahabatnya yang sedari tadi tersenyum kepada Merry.
“Mit, kamu pulang sendiri, ya. Aku ada perlu sama Kak Merry.” Miranda berharap Mita tak bertanya macam-macam kepadanya.
“Emm … kamu sama Kak Merry ada urusan apa, Mir?” tanya Mita penasaran. Ia juga mengenal sosok Merry yang selalu sopan dan baik hati.
Miranda menatap Merry sambil menggigit bibirnya. Merry paham kode yang diberikan Miranda. Ia kemudian menjawab pertanyaan Mita. “Ada urusan penting, Mita. Maaf kali ini aku tak bisa mengajakmu. Kakak janji, kalau ada waktu senggang, Kakak akan ajak kalian berdua jalan-jalan.” Senyuman manis Merry sanggup meyakinkan Mita.
Mita mengangguk pelan. Ia percaya akan apa yang dikatakan Merry. Gadis itu pun kemudian pamit dan berjalan meninggalkan area parkiran.
“Kak Mer,” ucap Miranda pelan.
“Ayo, naik ke mobil.” Dengan patuh, Miranda mengekori langkah Mita. Ia duduk di samping kursi kemudi.
“Kamu ngga usah takut, Mir. Harus ada pengorbanan untuk mendapatkan sesuatu yang ingin kita capai,” ucap Merry. Ia menyalakan mesin mobil.
Dalam hati, Miranda setuju akan apa yang dikatakan Merry. Namun, ia tak menyangka pengorbanan yang akan ia berikan sangatlah besar.
Mobil Merry melesat meninggalkan wilayah restoran Gracia. Jalanan sore itu cukup ramai, sehingga Merry melajukan kendaraannya dengan kecepatan normal. Miranda terus diam sambil mengamati gedung-gedung pencakar langit yang menjadi pemandangan di sepanjang jalan. Ia masih merasa berat untuk menerima tawaran Merry.
“Mir, apa kamu sudah mengambil keputusan?” tanya Merry sambil terus menatap ke depan.
“Apakah tidak ada jalan lain, Kak?” Miranda balik bertanya.
“Mir, kalau ada jalan yang lain mengapa Kakak tawarkan hal ini sama kamu? Kakak sudah tunjukkan fotomu kepada salah satu kenalan Kakak. Dia tertarik sama kamu.” Merry menoleh sebentar ke arah Miranda lalu kembali melihat lurus ke depan.
Miranda menautkan kedua tangan di pangkuannya. Ingatan akan perkataan dokter kembali terngiang-ngiang di kepalanya.
“Mir, kanker itu cepat menyebar. Jika mamamu ditangani lebih cepat, maka kesempatannya untuk sembuh akan lebih besar,” ucap Merry yang mengetahui kebimbangan Miranda.
“Ya, Kak,” sahut Miranda. Ia membenarkan apa yang dikatakan Merry karena dokter pun mengatakan yang sama.
“Jadi, apakah kamu setuju dengan tawaran Kakak?” Pertanyaan Merry terdengar jelas di dalam mobil yang hening.
“Aku … aku ….” Miranda tak sanggup melanjutkan kalimatnya.
Merry tak memaksa. Setelah sampai di sebuah salon, ia menghentikan mobilnya dan mengajak Miranda keluar.
“Ayo, kita ke dalam. Kakak akan membuatmu menjadi lebih cantik.”
Dengan langkah pelan, Miranda ikut masuk. Ingin ia menolak, tetapi ajakan Merry seperti sebuah rayuan maut yang sulit untuk ditolak.
“Duduk di sini,” ujar Merry.
Miranda menurut, ia duduk di sofa berwarna gelap sementara Merry berbicara dengan pemilik dan pegawai salon. Miranda mengamati seisi salon yang terlihat mewah. Ia belum pernah datang ke salon sekelas itu. Dalam hati, Miranda menebak-nebak berapa banyak biaya yang dihabiskan untuk melakukan perawatan tubuh di tempat itu.
Merry dan seorang pegawai salon mendekati Miranda. “Kenalin, ini Miranda,” ucap Merry sambil menunjuk Miranda.
“Hai, Miranda, aku Selin.” Miranda dan Selin saling berjabat tangan. “Kamu cantik, rambutmu sangat indah,” puji Selin sambil mengamati tubuh Miranda dari atas ke bawah. Baju kaus putih polos dan celana jeans yang sederhana tak mengurangi kecantikan gadis itu.
“Benar kataku ‘kan Selin, kamu tak perlu bekerja keras.” Merry menyahut dengan nada bangga.
“Benar, Mer. Aku hanya perlu memoles sedikit saja.” Selin menjawab dengan penuh semangat. Tak sabar, ia menyuruh Miranda untuk berpindah ke kursi lain yang berada di depan cermin besar. Jemari lentiknya mulai bekerja di wajah Miranda yang mulus.
Miranda tak bisa menolak. Dengan terpaksa, ia menuruti apa kata Merry. Satu malam saja dan setelah itu semua akan membaik, pikirnya.