Chapter 05

1415 Words
Malam itu seperti malam-malam sebelumnya, Tae Hwa berkumpul di ruang makan bersama keluarga kecilnya. Putranya yang sudah semakin dewasa, dan istrinya yang meskipun seorang wanita karir namun tak melupakan tugasnya untuk mengurus keluarga. Kebahagiaan yang sempurna bagi pebisnis yang merintis karir sejak usia muda itu. Tae Hwa menempati kursinya dengan membawa sebuah teguran, "selamat malam." "Selamat malam," sahut Joo Hyeon, namun Chang Kyun diam saja. Tae Hwa lantas memandang Chang Kyun. "Kau tidak menjawab teguran ayah?" "Kita sudah bertemu tadi," jawaban yang membuat senyum menghiasi wajah kedua orang tuanya. Joo Hyeon kemudian mengisi piring Tae Hwa dan juga Chang Kyun bergantian, baru setelahnya mengambil makanan untuk dirinya sendiri. Namun ada hal yang sedikit mengganggu Joo Hyeon, di mana saat itu Tae Hwa mengenakan pakaian yang terlalu formal untuk sekedar makan malam di rumah. Kembali ke tempat duduknya, Joo Hyeon lantas menegur, "Suamiku, kau yakin tidak salah mengambil pakaian?" Tae Hwa memandang pakaian yang ia kenakan, begitupun dengen Chang Kyun yang turut memandangnya. Dia kemudian menggeleng, menatap penuh tanya ke arah Joo Hyeon. "Tidak, memangnya ada apa?" "Bukankah kau terlalu formal hanya untuk makan malam di rumah?" Tae Hwa tersenyum lebar, istrinya itu benar-benar orang yang peka. Dia kemudian memberikan jawaban yang diinginkan oleh Joo Hyeon. "Setelah ini aku akan menghadiri undangan makan malam." "Kalau begitu kenapa Ayah makan di sini?" Chang Kyun menengahi. "Tentu saja karena ayah ingin makan bersama kalian." Joo Hyeon kembali menarik perhatian Tae Hwa. "Dengan rekan bisnis?" sebuah pertanyaan bernada menyelidik. "Bukan, teman lama mendiang ayah." "Oh ..." Joo Hyeon mengangguk paham. "Kau pergi sendiri?" Tae Hwa mengangguk, tak menyadari bahwa Joo Hyeon tengah menahan diri untuk tidak menanyakan sesuatu. "Bibi Seul Gi tidak pergi bersama Ayah?" pertanyaan yang tidak bisa diucapkan oleh Joo Hyeon justru dengan sangat mudah diucapkan oleh Chang Kyun. "Tidak. Ini bukan urusan pekerjaan, jadi Bibi Seul Gi tidak ikut." Joo Hyeon kemudian menengahi, "kalau begitu, kita makan dulu. Jangan sampai kau terlambat." Keluarga kecil itu melangsungkan makan malam seperti biasa, dipenuhi candaan yang kerap mengundang tawa dari para orang dewasa. Dan setelah makan malam selesai, Tae Hwa memutuskan untuk kembali ke kamar lebih dulu guna bersiap-siap untuk pergi. Dalam perjalanan menyusuri anak tangga menuju lantai atas, panggilan dari Seul Gi masuk ke ponsel Tae Hwa. Seulas senyum tipis terlihat di wajah Tae Hwa sebelum ia menerima panggilan tersebut. "Ada apa?" tegur Tae Hwa begitu telepon tersambung. "Hanya ingin memastikan sesuatu." "Kau di mana?" "Aku tidak di rumah." "Kau pergi minum? Sendirian?" "Aku pergi bersama teman-temanku." "Pria?" "Presdir jadi pergi atau tidak?" Seul Gi mengalihkan pembicaraan. Tae Hwa kembali tersenyum. Membuka pintu kamarnya sembari memberikan jawaban, "aku akan pergi." "Aku sudah mengirimkan alamatnya, jangan sampai terlambat. Dan satu lagi," suara Seul Gi mendadak terdengar serius. "Apa?" "Jangan menandatangani apapun yang mereka berikan pada Presdir, mengerti?" Sebelah alis Tae Hwa terangkat, mencurigai sesuatu. "Kenapa?" "Bukankah Presdir mengatakan tidak ingin terlibat dengan Rising Moon? Maka dari itu jangan menandatangani apapun. Cukup pergi makan dan pulang setelah selesai." Tae Hwa tertawa ringan dengan suara yang pelan untuk beberapa detik. "Aku bukan anak kecil, jangan pulang malam-malam dan ingat bahwa kau masih memiliki pekerjaan besok." "Bicara apa kau ini?" "Aku tutup teleponnya." Tae Hwa menutup teleponnya dengan senyum yang mengembang di kedua sudut bibirnya, dan saat itu Joo Hyeon memasuki kamar. Terlihat heran setelah mendapati senyuman lebar Tae Hwa. Joo Hyeon kemudian menegur sembari berjalan mendekat, "kenapa? Kenapa kau tersenyum sendiri?" "Tidak, bukan apa-apa." Joo Hyeon menatap penuh curiga. "Kau sangat mencurigakan." Senyum Tae Hwa kembali melebar. "Aku tidak akan berselingkuh meski kau tidak melihatnya." "Baiklah, kalau begitu aku yang akan berselingkuh selama kau tidak melihatnya." Tae Hwa tertawa ringan mendengar candaan Joo Hyeon yang kini sudah berdiri di hadapannya dengan tangan bersedekap. "Apa yang baru saja kau katakan?" "Aku pikir tidak ada salahnya berselingkuh asalkan pasangan kita tidak tahu." "Lalu, kau ingin berselingkuh dariku?" Joo Hyeon menatap sinis sebelum mencubit perut Tae Hwa dengan gemas dan kembali membuat Tae Hwa tertawa ringan. Joo Hyeon kemudian berjalan menuju lemari pakaian. Tanpa di minta, ia mengambilkan dasi beserta jas untuk suaminya. Kembali dengan sebuah jas yang menyampir di lengannya dan sebuah dasi di tangan, Joo Hyeon kembali berdiri di hadapan Tae Hwa dan memasangkan dasi pada suaminya itu. Melakukan rutinitas hariannya. Karena Tae Hwa tidak bisa memakai dasi sendiri, Joo Hyeon harus bergerak lebih cepat sebelum ada wanita lain yang menjadi relawan untuk memasangkan dasi untuk suaminya itu. Dengan senyum yang tertahan di kedua sudut bibirnya, Tae Hwa memperhatikan Joo Hyeon. Dan tentu saja Joo Hyeon menyadari hal itu. "Kenapa melihatku seperti itu?" Tae Hwa menggeleng. "Tidak. Ternyata istriku sangat cantik." Senyum itu mengembang, namun menciptakan kekesalan yang dibuat-buat di wajah Joo Hyeon. "Kau baru menyadarinya?" Joo Hyeon balik memandang Tae Hwa setelah selesai memasangkan dasi. "Kau terlihat cantik setiap waktu." "Aku harap kau tidak mengatakan hal itu pada wanita lain di luar sana." Tae Hwa tersenyum lebar dan memeluk Joo Hyeon. "Kenapa kau selalu berpikiran buruk tentang suamimu ini?" Joo Hyeon membalas pelukan itu dan berucap, "entah kenapa sangat sulit berpikiran baik tentangmu," terucap sebagai sebuah candaan. Pelukan itu terlepas dengan menyisakan seulas senyum di wajah keduanya. "Kau tidak ingin pergi ke butik?" Joo Hyeon menggeleng. "Tidak, aku sudah menyerahkan semuanya pada Hana. Kenapa?" "Tidak. Jika kau ingin pergi ke butik, kita bisa pergi bersamanya." "Aku akan tidur lebih awal hari ini." "Kalau begitu aku pergi dulu." Tae Hwa mengambil alih jas di tangan Joo Hyeon dan mendaratkan kecupan singkat pada kening istrinya. "Aku mungkin akan pulang larut malam, jadi jangan menungguku. Aku pergi." "Hati-hati di jalan." Tae Hwa mengangguk dan meninggalkan Joo Hyeon. Berjalan menyusuri anak tangga menuju lantai dasar, pandangan Tae Hwa menangkap sosok putranya yang berada di ruang tamu. Duduk di sofa dengan tubuh bagian atas yang menggantung pada sandaran tangan dan tampak menggunakan telepon rumah. Seulas senyum kembali terlihat di wajah Tae Hwa. Sampai di lantai dasar, ia bergegas menghampiri putranya yang sepertinya tak menyadari kedatangannya. "Tidak bisa ... besok malam kita ada bimbingan belajar. Sepulang sekolah saja bagaimana?" suara Chang Kyun sedikit berbisik dan terdiam untuk beberapa detik. "Kita pergi bersama Pak Han saja. Nanti aku yang akan mengantarmu pulang." Sempat terdiam, Chang Kyun kemudian menghela napas frustasi. Namun saat itu pandangannya menangkap ujung sepatu Tae Hwa yang sudah berada di hadapannya. Perlahan Chang Kyun mengangkat wajahnya dan sangat terkejut ketika melihat ayahnya sudah berdiri di sana. Dengan suara berbisik, Chang Kyun dengan cepat mengakhiri sambungan. "Nanti kita bicara lagi." Chang Kyun segera mengembalikan telepon itu ke tempat semula dan terlihat sangat gugup. "Sejak kapan Ayah di situ?" "Sejak kau melihat ayah berdiri di sini." Chang Kyun menatap penuh selidik, namun Tae Hwa justru tersenyum lebar. "Kau sudah selesai?" Chang Kyun mengangguk. "Sepertinya belum. Kau menyembunyikan sesuatu dari ayah?" "Tidak, aku hanya ingin pergi bersama temanku besok setelah pulang sekolah." "Teman yang mana?" "Jisung." "Jisung?" Tae Hwa terlihat mempertimbangkan sesuatu. Mencoba mengingat-ingat teman yang dimaksud oleh Chang Kyun. Namun sayangnya pekerjaan yang menyita banyak waktunya telah membuatnya kehilangan waktu berharganya untuk mengenali lingkungan sekolah putranya. Chang Kyun kemudian berbicara, "temanku hanya satu, Ayah melupakan Jisung?" Tae Hwa tersenyum lebar. "Ayah akan berusaha mengingat temanmu itu." "Tapi ... apakah aku boleh pergi?" "Tentu saja, asal jangan melupakan bimbingan belajarmu dan jangan pergi terlalu jauh." Chang Kyun mengangguk, menyetujui persyaratan yang terlalu mudah baginya. "Tapi, kenapa kau menggunakan telepon rumah? Tumben sekali." "Aku lupa menaruh ponselku di mana." "Ya sudah, minta bantuan ibumu untuk mencarinya. Ayah pergi sekarang." Tae Hwa mengecup singkat dahi Chang Kyun. "Jaga ibumu dan jangan tidur malam-malam. Ayah pergi dulu." Usakan singkat mengakhiri pertemuan keduanya. Tae Hwa berjalan menuju pintu dan tanpa ia ketahui bahwa saat itu Chang Kyun melambaikan tangan ke arahnya. "Ayah," tegur Chang Kyun begitu Tae Hwa membuka pintu. Sejenak menghentikan langkahnya, Tae Hwa memandang putranya. "Ada apa?" "Hati-hati di jalan." Senyum Tae Hwa mengembang. "Tentu saja. Ayah pergi sekarang." Tae Hwa melambaikan tangannya sebelum menghilang dari pandangan Chang Kyun setelah ia menutup pintu rumah dari luar. Meninggalkan keluarga kecilnya, Tae Hwa kembali berbaur dengan kesibukan Ibu Kota di malam hari. Menikmati angin malam seorang diri ketika yang terkasih tak berada di sisinya. Dan di saat-saat seperti itulah, dia baru bisa merenungkan apa saja yang ia alami sejauh ia bernapas hingga detik ini. Penyesalan tentu saja kerap menggoyahkan hatinya, namun ketika ia kembali melihat putranya. Saat itulah ia menemukan jalan untuk kembali pada keluarganya. Melepaskan apa yang tidak bisa ia miliki di masa sekarang setelah ia melepaskan hal itu di masa lalu.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD