Chapter 04

1666 Words
Tae Hwa keluar dari ruangannya, bergegas untuk pulang. Namun begitu ia membuka pintu, Seul Gi tiba-tiba berdiri di hadapannya dan hampir membuatnya terlonjak. "Ada apa? Jangan menatapku seperti itu," ujar Tae Hwa tanpa minat ketika ia sudah mengerti apa yang diinginkan Seul Gi darinya. "Memangnya bagaimana caraku menatap Presdir?" "Aku tidak akan pergi, jadi lupakan saja." Tae Hwa meninggalkan Seul Gi, namun Seul Gi segera mengejarnya. Keduanya bersama-sama memasuki lift. Dan saat berada di dalam lift, Seul Gi kembali memulai pembicaraan. "Presdir yakin tidak akan datang?" Tae Hwa menjawab dengan sebuah gumaman yang tampak acuh. "Aku dengar banyak bos besar di Rising Moon, jika Presdir bergabung dengan Rising Moon. Presdir pasti akan jauh lebih terkenal." "Jangan menghasutku. Ini hanyalah siasat untuk menutupi keterlibatan mereka dengan dunia politik, aku tidak akan menjadi anjing mereka." "Ya ampun ... kenapa Presdir berpikir terlalu jauh?" "Aku yang berpikir, jadi terserahku mau memikirkan apapun." Tae Hwa keluar dari lift terlebih dulu. Dan Seul Gi tetap mengimbangi sang pimpinan tertinggi perusahaan tempat ia bekerja tersebut. "Semakin tua, Presdir semakin sulit untuk dimengerti." Tae Hwa menghampiri seorang petugas keamanan yang sudah menyiapkan mobilnya sembari berucap pada Seul Gi, "meskipun dia teman mendiang ayahku, bukan berarti aku juga harus berteman dengannya." Seul Gi menghentikan langkahnya dan menghela napas dengan tatapan yang terlihat kesal. Namun Seul Gi segera menyusul Tae Hwa begitu pria itu masuk ke mobil. Belum ingin mengakhiri debat mereka, Seul Gi turut masuk ke mobil Tae Hwa dan mengurungkan niat Tae Hwa yang akan pergi. "Kau tidak membawa mobil?" tegur Tae Hwa. "Mobilku ada di parkiran." "Lalu, kenapa kau ada di sini?" Seul Gi kemudian membujuk dengan cara yang lebih halus, "ayolah, Presdir ... kenapa kau sangat keras kepala?" "Apa untungnya aku berinvestasi pada Rising Moon? Memangnya apa yang akan aku dapatkan setelahnya? Hidupku sudah bersih, untuk apa aku mengotorinya. Lagi pula aku akan kehilangan waktu bersama putraku jika aku bergabung dengan Rising Moon." "Siapa yang menyuruh Presdir berinvestasi pada Rising Moon?" "Kau tidak menyuruhku?" Seul Gi sedikit mendongak dan menghela napasnya, lelah. "Sepertinya aku harus memeriksa tekanan darahku setelah ini." Tae Hwa tersenyum lebar dan kembali menarik perhatian Seul Gi. "Kenapa kau bersikeras ingin agar aku memenuhi undangan itu?" "Aku dengar bukan hanya Direktur Rising Moon yang datang ke sana." "Lalu?" Seul Gi berucap dengan lebih hati-hati. "Pemilik Yongsam Group, putra dari Wali Kota ... aku dengar dia ingin bertemu denganmu." Tae Hwa tampak mempertimbangkan sesuatu, mencoba mencari jawaban atas pertanyaan yang belum ia ungkapkan. Dia kemudian bergumam, "Yongsam Group, siapa? Aku tidak merasa bahwa aku pernah berurusan dengan mereka." Seul Gi kemudian menjawab dengan sedikit kesal namun terlihat kehilangan minatnya, "Jung Jae Hyun, Presdir lupa dengan anak itu?" Tae Hwa menatap dengan raut wajah yang tak menunjukkan perasaan apapun. Dia kembali bergumam, "Jung Jae Hyun?" Seul Gi menjawab dengan lebih malas, "kalian pernah hampir mematahkan tangan satu sama lain saat di SMA. Presdir benar-benar melupakan berandalan itu?" Tae Hwa kemudian tersenyum tak percaya ketika ingatannya menemukan sosok yang dimaksud oleh Seul Gi. "Anak itu masih hidup?" "Dia adalah orang terpandang sejak lahir, bagaimana mungkin Presdir tidak tahu jika dia yang memimpin Yongsam Group saat ini ... kau benar-benar orang yang kolot." "Berhenti mengataiku. Lagi pula kenapa orang itu ingin bertemu denganku? Putraku sudah besar, akan sangat memalukan jika aku terlibat baku hantam lagi dengan orang itu." "Itu urusan kalian berdua, aku hanya menyampaikan pesan dari bos Rising Moon ... jadi, Presdir akan datang atau tidak?" "Jam berapa?" "Sepuluh." "Itu sudah lewat dari jam makan malam." "Itu bukan urusanku, mereka yang menentukan pertemuannya." "Di mana tempatnya?" "Rising Moon." Sempat tertegun, Tae Hwa kemudian tersenyum tak percaya. "Apakah Rising Moon memiliki restoran?" Seul Gi menggeleng. "Sepertinya tidak." "Kalau begitu lupakan, bagaimana aku bisa makan malam di Rising Moon?" "Eih ... kau benar-benar orang yang sulit." "Ganti tempat pertemuannya dan aku akan datang. Tidak ada negosiasi ... aku masih terlalu waras untuk menghadiri undangan makan malam di Rising Moon." Seul Gi membuka pintu mobil sembari mengeluh, "Ya ampun ... aku benar-benar mengalami masa yang sulit." Tae Hwa tersenyum mendengar hal itu. "Mau kuantar?" "Tidak perlu, mobilku sudah menunggu," ketus Seul Gi yang kemudian keluar dari mobil. "Jangan abaikan pesanku," ucap Seul Gi sebelum menutup pintu mobil Tae Hwa. Tae Hwa kemudian pergi, meninggalkan helaan napas panjang Seul Gi yang disusul oleh gerutuan frustasi. "Aish ... aku bisa gila jika seperti ini?" "Kau harus mendinginkan kepalamu setiap detik, Nona Bae." Seul Gi menoleh ke sumber suara dan mendapati Jung Ho Seok—si petugas keamanan yang sebelumnya memberikan kunci mobil pada Tae Hwa. Seul Gi kemudian berbalik, berhadapan dengan pria yang seumuran dengannya itu dan tentunya masih lajang. Ho Seok tersenyum sebelum kembali menegur, "apa Presdir berulah lagi?" "Tidak ada hari tanpa membuatku kesal." Ho Seok tertawa pelan dan singkat. "Aku dengar kalian membicarakan tentang Rising Moon. Ada apa dengan Rising Moon?" "Sepertinya Rising Moon mengincar Presdir sebagai investor baru." "Eih ... lupakan. Sebaiknya jangan biarkan Presdir berurusan dengan Rising Moon." "Kenapa? Sepertinya kau tahu banyak tentang Rising Moon." Ho Seok memandang sekeliling sebelum mendekati Seul Gi. Sedikit merendahkan kepalanya, Ho Seok lantas berbisik. "Aku dengar pihak Kejaksaan sedang menyelidiki mereka." Seul Gi memandang dengan tatapan penuh tanya. "Kenapa? Apa masalahnya?" Ho Seok mengendikkan bahunya. "Itu hanya rumor yang belum menyebar." "Lalu dari mana kau mendapatkan rumor semacam itu?" "Adikku seorang polisi, sangat mudah mendapatkan informasi semacam itu." "Tapi kau sudah membagikan informasi itu padaku." Ho Seok tersenyum lebar. "Hanya padamu." "Bagaimana jika aku menyebarkan rumor itu?" "Eih ... kau ingin menghancurkan penyelidikan? Jika mereka tahu bahwa mereka sudah diincar Kejaksaan, mereka pasti akan segera melenyapkan barang bukti." "Jika kau sudah tahu, jangan memberikan informasi sembarangan." Seul Gi kemudian meninggalkan Ho Seok, bergegas menuju area parkir bawah tanah untuk mengambil mobilnya. Ho Seok kemudian menegur dengan suara yang cukup lantang, "Nyonya Bae Seul Gi." Seul Gi segera berbalik, menatap tajam pada orang yang baru saja menegurnya. "Aku belum menikah, jadi berhenti memanggilku dengan sebutan itu." Terlihat kesal, Ho Seok kemudian tertawa tanpa suara sebelum menyusul langkah Seul Gi. "Mau kuantar?" "Lupakan ... aku tahu jalan yang benar menuju rumahku," balas Seul Gi dengan acuh. "Kalau begitu biar aku yang menumpang. Mobilku masuk bengkel." "Siapa yang peduli? Kau pria, jangan merepotkan wanita." Ho Seok kembali tertawa ringan setelah melihat reaksi Seul Gi. "Ya! Sekretaris Bae, kau marah?" "Tentu saja, oleh sebab itu jangan mengangguku." "Aku akan membelikanmu kopi jika memberiku tumpangan malam ini." "Jangan terlalu mania, itu membuatku muak." "Deal!" Keduanya kemudian berjalan beriringan, meski Seul Gi tak henti-hentinya menggerutu. °°°° Tae Hwa sampai di kediamannya. Turun dari mobil, Tae Hwa segera disambut oleh pak Han—supir yang bekerja di rumahnya. "Tuan sudah pulang?" Tae Hwa menjawab dengan seulas senyum. "Semua sudah berada di rumah?" "Tuan muda tidak pergi ke mana-mana sejak pulang dari sekolah, sedangkan nyonya sudah pulang belum lama ini." "Pak Han sudah makan?" "Ini masih terlalu sore untuk makan malam," jawab pak Han dengan sebuah tawa ringan. "Kalau begitu, selesai makan malam Pak Han beristirahat saja. Mobilku biarkan tetap di sini, aku akan memakainya lagi nanti malam." "Ye, Tuan." Tae Hwa kemudian memasuki kediamannya yang cukup besar untuk dihuni oleh keluarga kecilnya. Pada kenyataannya rumah sebesar itu hanya ditinggali oleh lima orang. Tae Hwa bersama putra dan istrinya. Serta pak Han dan juga bibi Jang—sang asisten rumah tangga. Seperti biasa, tak ada sambutan untuk kedatangan Tae Hwa. Terkadang Chang Kyun duduk di ruang tamu saat Tae Hwa pulang. Sedangkan Joo Hyeon hampir tak pernah lagi berada di rumah saat Tae Hwa pulang sejak wanita itu mengelola butiknya sendiri. "Rumahku begitu sepi," gumam Tae Hwa yang langsung menuju ruang kerjanya yang berada di lantai dasar. Namun langkah Tae Hwa terhenti di tengah perjalanan ketika pendengarannya menangkap suara bising dari ruang keluarga. Memutar langkahnya, Tae Hwa memilih untuk melihat siapakah yang tengah menonton di ruang keluarga. Dan ketika langkah itu terhenti di ambang pintu, bisa ia lihat bahwa putranya tengah fokus pada layar televisi yang menyala. Kim Chang Kyun. Pemuda berusia enam belas tahun yang saat ini tengah mempersiapkan diri untuk ujian awal semester itu merupakan kebanggaan bagi Kim Tae Hwa. Pemuda pemilik senyuman manis yang sangat lucu. Namun kenyataan bahwa suara pemuda itu terdengar lebih berat sari anak-anak seusianya, membuatnya terkadang lebih tua dari usianya yang sebenarnya. Namun jika berada di lingkungan keluarga, Chang Kyun adalah pemuda polos yang akan mematuhi aturan di lingkungan tempat ia berada. Tae Hwa mendekati putranya. Dan saking fokusnya pada layar televisi, pemuda itu tidak sadar jika sang ayah telah berdiri di belakang sofa yang ia duduki. Untuk beberapa saat, Tae Hwa memperhatikan wajah putranya dari samping. Sebenarnya ada hal yang membuat Tae Hwa bertanya-tanya hingga detik ini. Seperti saat ini, Chang Kyun sedang menonton drama komedi di mana akan membuat para permirsa tertawa. Namun yang dilakukan Chang Kyun justru sebaliknya. Wajah pemuda itu tampak sangat serius dan terkesan tegang. Namun meski sedikit aneh, Tae Hwa memandang Chang Kyun sebagai anak yang lucu. Setelah beberapa saat, Tae Hwa memutuskan untuk menegur. "Kau melihat drama komedi, tapi kenapa wajahmu setegang itu?" Chang Kyun menoleh dengan mata rubahnya yang sedikit melebar. Mata pemuda itu tidak terlalu besar namun juga tidak terlalu sipit. Tae Hwa sering menyebutnya sebagai mata rubah. "Sejak kapan Ayah berdiri di situ?" tegur Chang Kyun setelah menguasai rasa terkejutnya. "Belum lama," Tae Hwa kemudian memutari sofa. Menaruh tas kerjanya di lantai dan duduk berdampingan dengan putranya. "Tumben sekali, biasanya kau akan belajar di kamar pada jam segini." "Ibu tadi menyuruhku turun untuk makan malam, tapi makanannya belum siap." "Di mana ibumu sekarang?" "Di dapur bersama bibi Jang." "Ya sudah, ayah akan mandi dulu. Kita bertemu di meja makan." Tae Hwa berdiri, sejenak mengusap surai hitam putranya sebelum memberikan kecupan singkat pada puncak kepala pemuda itu, lalu meninggalkan tempat itu. Pandangan Chang Kyun sempat mengikuti pergerakan Tae Hwa, hingga sang ayah tak lagi terlihat dan ia kembali fokus pada layar televisi. Wajah yang familiar dengan tatapan teduh yang menunjukkan sebuah kesedihan. Kim Chang Kyun, si Rubah kecil yang hampir tidak pernah menangis dalam kehidupannya yang sekarang.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD