Bab 2 - Keputusan Pahit.

751 Words
"Pergi kau dari sini! Dasar anak tidak tahu diri!!" Gelegar suara, Bapak. Membuat aku tersentak membuka mata. "Ampun, Pak. Ampun!" "Anak setaaan. Kelakuan kau dari dulu macam sampah cuma bisa bikin malu keluarga! Belum puas kau buang kotoran di wajah orangtua, hah!" Dari pintu yang terbuka, aku bisa melihat wajah sangar Bapak yang begitu menakutkan. Wajah laki-laki yang biasa lembut berwibawa itu mendadak bengis, kedua tangannya berkacak pinggang dengan mata merah yang melotot tajam. "Huhuhu ...." Lia menangis tersedu-sedu, terduduk pilu di bawah kaki Bapak. Meski samar, aku bisa melihat sudut mata dan bibirnya membiru dengan rambut berantakan. "Alloh ... Alloh ...." Bapak memejamkan mata, menarik napas dalam-dalam. Pandangan mata itu masih terlihat bengis, kilat kemarahan tergambar jelas di bola matanya. Sementara Mamah, tidak kalah berantakan. Wajah cantik full make-upnya berganti menyedihkan, air mata masih membasahi pipi satu tangannya memukuli d**a tatapannya kosong kearah, Delia. "Otak kau dimana, Lia. Calon suami Adik sendiri kau goda!" Bapak berteriak lantang, napasnya terlihat tak beraturan. Lia terisak-isak, tubuhnya gemetaran. Aku menatap datar, luka di d**a semakin sakit melihat wajah memelasnya. Delia ... Kau sungguh tega! "Li-a bingung, Pak ... Lia juga berhak bahagia!" "Bahagia?" suara Bapak kembali naik satu oktaf, gemeletak suara gigi yang beradu jelas terdengar di telinga. "Seharusnya sejak dulu kau kubu nuh saja!" Bapak mendorong kuat kepala, Delia hingga terantuk mencium lantai lalu menjambak rambutnya sendiri sambil berteriak pilu. Wajah frustasi penuh amarah itu, kini di banjiri oleh air mata. "Punya dosa apa saya ya, Tuhan. Kenapa punya anak macam hewan seperti dia ..." Bapak meratap sedih, memukul dadanya kuat-kuat isak tangisnya terdengar menyayat hatiku. Aku sendiri hanya bisa terpaku dengan tubuh yang menggigil hebat. Raga seperti melayang sakit untuk bernapas. Bapak beranjak dari tempatnya, tak lama dia datang kembali dengan sebilah parang di tangannya. Semua orang yang berada di dalam rumah menjerit histeris, saat Bapak mencoba mengayunkan benda tajam itu kearah anak pertamanya. "Istigfar, Zainal Ya Alloh ..." Uwak Komar yang sejak tadi berdiri di samping, Bapak ikut mengeluarkan suara kedua tangannya sigap menahan tubuh, Bapak. "Lepas, Bang. Biar ku hajar sampai mati anak kurang ajar ini!" Bapak memberontak, Uwak Komar semakin mendorong menjauhi Bapak dengan Delia. "Zain ... Nyebut! Biar bagaimana pun dia anakmu!" "Tidak sudi gua punya anak macam pelacuuur macam dia!" sengit Bapak sambil mengacungkan parang ke wajah Delia yang menggigil ketakutan. "Aaargh!" Uwak Komar di bantu dengan anak laki-lakinya melepas benda tajam itu dari tangan, Bapak. Bapak tersungkur di lantai dengan tubuh gemetaran. "Tidak sanggup, Bapak hidup lagi, Lia. Bu-nuh saja, Ibu dan Bapak sekalian biar kamu puas!" Bapak meratap, putus asa. Mamah terlihat sesak napas, tak sengaja mata kami beradu tatap sebelum akhirnya dia ambruk di atas lantai. Hatiku menjerit, aku menangis tergugu mendengar keributan di luar kamar. Berkali aku memukul wajah sendiri, mencakar lengan tangan yang terukir untaian hena berwarna putih, menjambak rambut yang masih tersanggul rapih dengan mahkota indah yang bertengger di atas kepala. Masih berharap kejadian memilukan ini tidaklah nyata. Masih berharap semua ini tiada terjadi dan hanya mimpi belaka. ***Ofd. Keluarga Adipati kembali datang kerumah, namun kali ini tentu saja tidak membahas pernikahan kami. Aku sama sekali tak ingin melihat wajahnya, meski sejak tadi dia memohon di balik pintu kamar. "Erina ... buka pintunya, Nak." Suara Mamah terdengar seiring dengan ketukan pintu. Aku bergeming, tubuh ini benar-benar lemas tak berdaya. Dua hari setelah kejadian, tiada makanan yang masuk ke dalam badan selain air putih. Duniaku sudah tidak baik-baik saja. Jangankan untuk mengisi perut, membuka mata saja terasa enggan. Berkali-kali aku mencoba mengakhiri kehidupan ... namun selalu saja ada yang menggagalkan. "Erina ..." Pintu kamar terbuka paksa. Mas Pati berlari menghampiriku. "Jaga sikapmu, Pati!" Desis Mamah saat melihat Mas Pati ingin memelukku. Mamah berjalan cepat, Mas Pati tertunduk mundur satu langkah. "Rin ..." Mas Pati menatap sendu, tatapan mata yang dulu selalu aku rindukan itu terlihat sayu menyedihkan. "Erina ..." Mas Pati tersungkur di bawah kaki ranjang. Ranjang ... yang bahkan masih bernuasa pengantin baru. Bunga mawar merah yang mengering masih berada di atas lantai. "Rin ... Percaya sama aku. Itu bukan anakku. De-lia ... Dia menjebakku, Rin." Aku tersenyum miris mendengar ocehannya. "Kau menidurinya ..." kalimat itu hanya tertinggal di tenggorokan. Aku bahkan tak mampu mengeluarkan suara. Mata kembali memanas, aku memalingkan wajah tak sudi menatapnya. "Saya benar-benar menyesal, Pak." Pak Kuat, Bapak Mas Pati bersuara dengan wajah merah menahan malu. Bapak hanya bergeming, wajahnya terlihat sangat-sangat kecewa. "Saya pastikan, Adipati akan bertanggung jawab!" tegas suara Pak Kuat, membuat jantung ini berdentam nyeuri. Tuhan ... setelah ini apa yang akan terjadi?
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD