BAB 17 – Tampak Lelah

1737 Words
“Sudah’kan?” bisik Reinald dengan lembut ke telinga Natasha. “Sekarang giliranmu pak? Punyamu sudah keras aku keluarkan sekarang?” “Tidak perlu,” bisik Reinald seraya bangkit dari tempatnya bergumul. “Kenapa?” Natasha dengan tubuh polos merasa heran. “Tidak kenapa-napa. Aku belum ingin melakukannya dengan orang lain.” Reinald mulai merapikan kembali pakaianya, sementara Natasha juga mulai mengenakan kembali pakaiannya. “Beruntung sekali istrimu pak,” gumam Natasha. “Hhmmm ....” Reinald berbohong. Sampai saat ini, Reinald tidak ingin membagi miliknya kepada yang lain selain Andhini dan Mira. Mira, karena ia adalah istri sahnya, sementara Andhini adalah kekasih hati yang begitu ia cintai. Selama ini Reinald memang suka bermain wanita, entah itu di klub malam atau hanya sekedar teman dekat. Tetapi Ia tidak pernah melakukan hal yang lebh intim lagi. Ia tidak ingin membagi miliknya yang berharga dengan siapapun jika bukan hatinya yang meminta. “Sudah maghrib, aku mau pamit dulu.” Reinald berlalu meninggalkan rumah Natasha tanpa meminum terlebih dahulu teh yang sudah dibuatkan oleh wanita itu. “Terimakasih pak untuk sore ini,” gumam Natasha pelan yang tentu saja tidak di dengar oleh Reinald. Reinald melajukan mobilnya dengan kecepatan tinggi. Adegan panas tadi membuat birahinya tertahan. Tentu saja ia ingin segera menemui Andhini untuk melepaskan semua keinginannya. Sesampai di butik miliknya, Reinald masuk dan menyapa pegawainya yang tengah asyik melayani seorang pembeli. “Ibu Andhini mana?” tanya Reinald ramah. “Ada pak, sedang istirahat di ruangannya. Ibu kelihatan sangat lelah, tadi pembeli sangat ramai dan ibu ikut serta melayani mereka.” Mona menjelaskan. Reinald hanya mengangguk dan segera berjalan ke lantai dua gedung itu. Reinald membuka pintu ruangannya dan berharap akan memberi kejutan kepada Andhini dengan kehadirannya. Namun Reinald gagal, pria itu melihat Andhini sedang tertidur di atas meja kerjanya. Reinald kembali menutup pintu dengan perlahan dan menguncinya. Reinald mendekati meja Andhini, menghirup aroma tubuh wanita itu yang begitu eksotis bagi Reinald. Perlahan ia mulai membelai kepala Andhini. Andhini seketika tersentak waktu merasakan sesuatu menyentuh kepalanya. “Mas Rei, kapan datang?” Andhini merapikan rambut dan mengucek-ngucek matanya. “Barusan. Kamu tampak sangat lelah sayang. Kata pegawai, kamu ikut melayani pembeli? Bukankah itu bukan tugasmu?” Reinald mengambil bangku kecil yang lain dan duduk di sebelah Andhini. “Tidak apa-apa, lagipula aku senang melakukannya. Oiya mas, kenapa dari tadi telponku tidak kamu angkat mas?” “Aku sedang sibuk, tadi ada rapat penting. Jadinya aku tidak bisa mengangkat telponmu. Kenapa sayang? Kamu merindukanku?” Reinald bangkit dari duduknya, meraih bahu Andhini dan menuntun Andhini untuk bangkit bersamanya. “Aku—.” Belum selesai Andhini berucap, Reinald langsung menyambar bibir indah Andhini. Kembali memberikan sensasi hangat di organ itu. Andhini merangkul tubuh Reinald dan membalas ciuman itu. Andhini tidak lagi malu dan berpura-pura menolak kehangatan dan kenikmatan yang diberikan kekasihnya. Reinald yang masih mengulum bibir Andhini, menuntun tubuh wanita itu menuju sofa besar yang terdapat di ruangan tersebut. Tubuh Reinald menindih tubuh Andhini dan mereka masih menikmati pergumulan dengan bibir masing-masing. Beberapa menit mereka masih bermain-main dengan lidah dan gigitan-gigitan kecil pada lidah mereka. “Aaahhh ....” Andhini kembali mengerang pelan ketika Reinald menghisap kuat bibirnya dan kemudian melepaskannya. Reinald mengusap lembut bibir merah dan bengkak itu. Andhini menjilati jemari Reinald yang bermain-main di bibirnya. Hal itu membuat sensàsi berbeda di tubuh Reinald. Pria itu kemudian mengecup lembut ke dua mata Andhini. Sangat lembut, sehingga Andhini merasakan napas hangat Reinald mengenai jantung hatinya. Andhini mulai tidak tahan dengan perlakuan Reinald terhadapnya. Ia mulai melucuti sendiri pakaiannya dan melucuti pakaian pria yang ada di hadapannya. Reinald tersenyum melihat tingkah Andhini. Ia senang melihat Andhini mulai agresif dan tidak malu lagi ketika menginginkan dirinya. Reinald semakin tidak tahan melihat wajah merah Andhini yang sudah dipenuhi birahi. Ia segera membuat penyatuan, lagi. Entah untuk yang keberapa kali. Dan semakin lama, penyatuan itu semakin melenakan seakan mereka akan hidup selamanya. - - - Mata Andhini terbuka, ia masih berada dalam dekapan Reinald di atas lantai beralas karpet tanpa penutup tubuh. Hawa dingin AC mulai menusuk tubuh Andhini yang pólos tanpa busana. Wanita itu segera melepaskan dirinya dari pelukan Reinald. Andhini melihat di dinding dan ternyata jam sudah menunjukkan pukul delapan malam. Andhini bergegas bangkit menuju kamar mandi untuk membersihkan diri. Beruntung ruangan itu memiliki kamar mandi pribadi di dalamnya. Tak lama setelah Andhini masuk ke dalam kamar mandi, Reinald terbangun. Pria itu juga merasakan hawa dingin menusuk ke dalam tubuhnya karena mereka terlelap tanpa mengenakan penutup tubuh. Reinald segera mengenakan kembali pakaiannya dengan baik tanpa membersihkan diri terlebih dahulu. Andhini keluar dari kamar mandi, mengambil pakaiannya dan mulai mengenakannya kembali. Reinald masih saja menggoda wanita itu dengan memeluknya dan menciumi leher jenjang Andhini berkali-kali. Aroma tubuh wanita itu begitu di sukai Reinald. “Mas, ini sudah jam delapan malam, aku harus segera keluar melihat perkembangan butik kamu.” Andhini berusaha melepaskan pelukan Reinald. “Bukan butik kamu sayang, tapi butik kita.” Reinald mengecup lembut puncak kepala kekasihnya. “Ya, terserah kamu mas.” Andhini tersenyum dan mulai merias wajahnya agar terlihat lebih segar. “Kamu sangat cantik, bagaimana kalau malam ini kita menginap di apartemen kita.” Reinald menatap Andhini yang masih sibuk merias wajahnya. “Jangan bercanda mas, aku tidak mungkin menginap. Apa nanti kata mama, papa dan mbak Mira. Memangnya kamu belum puas hari ini. Sudah dua ronde kan?” Andhini tersenyum seraya menggoda Reinald. “Aku tidak akan pernah puas denganmu sayang.” Reinald kembali memeluk Andhini dan mengecup lembut bibir wanita itu. “Sudah, jangan lagi. Lipstikku rusak lagi karena ulahmu.” Andhini mendengus kesal. Reinald tertawa kemudian menjauhi Andhini. Reinald tau betul, jika dirinya sulit mengendalikan diri jika berada di samping Andhini. Betapa tersiksanya ia ketika berada di rumah Neti. Reinald hanya mampu menatap Andhini tanpa bisa menyentuhnya. Tanpa bisa bercakap hangat, bahkan hanya untuk memuji masakan Andhini saja, tidak akan bisa ia lakukan. Semua itu demi menjaga harga diri Andhini dari keluarga dan istrinya. “Mas, aku mau keluar dulu.” Andhini mendekati Reinald dan mengecup lembut pipi pria itu. Reinald merona dan mengusap pipinya dengan perasaan penuh suka cita. “Kamu nakal Dhini,” gumam Reinald pelan. Andhini melihat Vivi sudah tidak berada di mejanya. Gadis itu memang bekerja hanya sampai jam tujuh malam, karena tugasnya hanya melayani pembeli online. Asep masih sibuk membereskan gudang, karena tugas pria itu merangkap sebagai tenaga kebersihan. Jadi dari semua pegawai Reinald, Asep akan pulang lebih akhir dari yang lainnya. Anton juga tidak berada di gudang lagi. Pria itu pasti sedang mengantarkan pesanan ke ekspedisi, setelah itu langsung pulang. Besok Anton akan memberikan rekapan resi pengiriman kepada Vivi. Andhini kemudian menuruni tangga menuju lantai satu. Mona, Sisil dan Yesi tampak melayani beberapa pelànggan yang datang. Andhini langsung menghampiri pelanggan-pelanggan tersebut. Dengan cekatan dan ramah, Andhini melayani mereka. Para pelànggan itu sangat senang dengan sikap dan pelayanan dari Andhini. Reinald memperhatikan kejadian itu dari kejauhan. Menatap Andhini dengan perasaan bangga dan sayang. “Hei Mona, ke sini sebentar.” Reinald memanggil salah seorang pegawainya. “Ya pak.” Gadis itu menjawab dengan sopan dan berjalan menuju pemilik butik tempatnya bekerja. “Apakah ibu Andhini melakukan itu sedari tadi?” “Iya pak, ibu Andhini sangat pandai menggaet hati pelànggan. Penjualan hari ini cukup baik, pak. Semua berkat ibu Andhini, kami patut belajar banyak dari beliau.” Mona menjelaskan panjang lebar. “Baguslah, apa kalian nyaman?” “Sangat nyaman pak. Bahkan bu Andhini tidak mau kami memanggilnya dengan sebutan ibu, katanya terlalu formal. Beliau ingin menciptakan suasana penuh kekeluargaan di sini.” Mona begitu memuji atasan barunya. “Baiklah, kembali bekerja.” Mona kembali ke tempatnya semula dan Reinald beranjak ke lantai dua untuk kembali ke ruangannya. Ia terus menatap Andhini melalui rekaman CCTV yang ada pada layar laptopnya. Andhini tampak sangat cekatan melayani setiap pelànggan yang datang. Apalagi jika ada pelànggan yang hanya melihat-lihat atau tampak bingung dengan pilihannya, Andhini akan segera menghampiri pelànggan tersebut. “Kamu memang sangat pintar Dhini. Andai saja aku tau dari dulu, pasti aku akan menyerahkan pengelolaan butik ini kepadamu sedari awal.” Gumam Reinald yang masih menatap rekaman CCTV. Pria itu kemudian mengambil ponsel dan mulai menghubungi seseorang. “Halo, mas.” “Dhini, mas pulang lebih dulu ya. Mas tidak ingin orang di rumah curiga jika kita pulang bersamaan.” “Iya mas, hati-hati di jalan.” “Kamu juga hati-hati. Kalau nanti butik sudah mulai sepi, boleh tutup saja dan segera pulang. Nanti pesan taksi onine saja.” Reinald mulai mematikan laptopnya. “Iya mas.” “Ya sudah, aku matikan ya. Aku mencintaimu.” “Aku juga, kamu hati-hati mas.” Reinald mengakhiri panggilan suara tersebut. Ia kemudian bergegas meninggalkan butik dan kembali ke rumah lebih dahulu. Pukul 9.10 malam, butik mulai sepi. Andhini memutuskan untuk segera berkemas-kemas. Andhini memerintahkan agar Mona, Yesi dan Sisil mulai mengemasi barang-barang dan mengganti tempelan di pintu kaca dengan tulisan “closed”. “Maaf kak, ini masih jam 9.10. apakah tidak terlalu cepat kita tutup? Biasanya dengan pak Dhani sampai jam 10 malam, itu juga terkadang kami sering sekali pulang terlambat karena setelah itu kami harus membereskan semuanya.” Yesi menjelaskan kepada Andhini. “Sekarang atasan kalian adalah aku, bukan pak Dhani. Jadi aku yang akan membuat peraturan. Mulai sekarang kita akan tutup lebih awal di hari senin hingga Kamis. Jum’at tetap tutup, dan di akhir pekan kita akan tutup lebih akhir, itu juga jika butik masih ramai pengunjung.” Andhini menjelaskan keputusan baru yang ia buat. “Benarkah kak?” Yesi dan Sisil menjawab hampir bersamaan. Mereka tampak sumringah mendengar keputusan yang di buat atasan baru mereka. “Ya ... mari kita mulai berkemas. Oiya, Sisil, tolong panggilkan Asep. Aku ingin minta tolong sesuatu.” Sisil segera berjalan ke lantai dua setelah mendengar perintah Andhini. Andhini menyuruh Asep membelikan dua buah martabak spesial untuk di bawanya pulang. Ini adalah hari pertamanya bekerja, Andhini ingin membawa pulang buah tangan untuk keluarga tercintanya. === === === Mulai greget ya sama karakter Reinald? hehehe ...  Jangan terlalu membenci Reinald dear's, nanti lama-lama jadi cinta lo ... hahaha ...  So, makasih untuk teman-teman yang masih mengikuti mereka. Jangan lupa krisan YANG MEMBANGUN, jangan yang menjatuhkan apalagi bikin author down, hiks ...  Kalau ada Typo juga silahkan tulis di kolom komentar. Buat yang belum tap love atau follow, KUY ACH FOLLOW DAN TAP LOVE dulu, biar author makin semangat buat cerita. Biar suasana yang dingin berubah menjadi Hareudang, wkwkwk KISS ...
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD