“Maaf, Kak. ini dua kotak martabat pesanan kakak.” Asep memberikan satu kantong kresek yang berisi dua kotak martabak kepada Andhini.
“Oiya, makasih ya Sep. Asep, kami berempat pulang duluan ya. Nanti jika pekerjaanmu telah selesai, segeralah pulang dan jangan lupa mengunci semua pintu.” Perintah Andhini dengan ramah.
“Siap kak, hati-hati di jalan.”
Andhinipun segera meninggalkan butik milik Reinald. Ia kemudian naik ke atas ojek online yang sudah ia pesan. Andhini memang lebih senang naik ojek online daripada taksi. Selain lebih murah, ia juga bisa menikmati udara malam kota Bandung.
“Makasih ya mas,” ucap Andhini kepada pengemudi ojek seraya memberikan helm milik pengemudi tersebut.
“Sama-sama kak.”
Ojek itupun pergi, sementara Andhini mulai masuk ke rumahnya. Andhini melihat pintu rumahnya tidak tertutup dan mama serta papanya tengah asyik menonton televisi.
“Ma, pa ....” Andhini menghampiri ke dua orang tuanya, menciumi punggung tangan mereka dengan takzim.
“Sudah pulang Dhini? Kok cepat? Katanya butik tutup jam 10, ini belum jam 10 sudah sampai rumah,” ucap Neti seraya membelai lembut pipi putri bungsunya.
“Iya ma, tadi jam 9 butik udah sepi. Jadi Andhini putuskan untuk tutup lebih awal. Oiya, ini Dhini bawain martabat kesukaan mama dan papa.” Andhini memberikan sekotak martabak untuk sepasang paruh baya itu.
“Dhini, kan baru kerja satu hari. Masa sudah beli-belikan buah tangan. Gak perlu sayang.” Papa Andhini tetap menerima martabak itu, walau ia masih khawatir dengan keuangan putrinya.
“Nggak apa-apa pa, sesekali.” Wanita itu tersenyum hangat.
Andhini melihat Mira keluar dari kamar menuju dapur untuk mengambil sesuatu. Andhini pun bangkit dan menyusul kakaknya.
“Belum tidur mbak?” sapa Andhini ramah dan hangat.
“Kamu lihat bagaimana?” jawab Mira ketus.
“Ma–maaf ... oiya, ini aku beliin martabak untuk mbak dan mas Rei. Aku harap mbak suka.” Andhini memberikan sekotak martabak untuk Mira. Wanita itu memang sudah menyiapkannya, ia ingin mencoba berdamai dengan kakaknya. Andhini lelah setiap hari harus mengalami keributan dengan kakak kandungnya sendiri.
“Baru kerja sehari sudah bisa beli-beli makanan pulang. Jangan-jangan kamu nyolong uang jualan ya.” Menyakitkan, tentu Andhini merasakan sakit hati atas ucapan Mira. Tapi ia masih tetap berusaha tenang. Sementara Reinald yang ikut mendengarkan ucapan Mira, hanya bisa menahan amarah.
“Mbak ngomong apa? Ini aku beli dengan uangku sendiri mbak. Bukan dapat nyolong.” Andhini membela diri.
“Halah ... alasan. Kamu makan saja sendiri uang hasil curianmu itu, aku nggak mau ikut-ikutan.” Mira benar-benar tidak menghargai sikap baik adiknya.
“Mira! Tutup mulutmu. Mama tidak suka kau mengatakan hal itu kepada Andhini. Harusnya kau berterima kasih Andhini sudah peduli padamu dan suamimu.” Neti marah mendengarkan perkataan Mira terhadap Andhini.
“Bela aja terus anak kesayangan mama. Sedari kecil diakan memang tidak pernah salah.” Mira mendengus kesal, ia berjalan dan menabrak lengan Andhini yang masih memegang sekotak martabak. Martabak itu terlepas dan jatuh ke lantai.
Andhini menghela napas panjang. Ingin rasanya ia memaki bahkan mencakar muka kakaknya itu. Tapi ia tau, itu hanya akan membuat keributan lagi. Mama dan papanya akan semakin terluka jika itu terjadi. Akhirnya Andhini diam dan mulai membereskan sekotak martabak yang terjatuh ke lantai.
Reinald berpura-pura ingin mengambil minum ke dapur dan melihat Andhini duduk termenung di kursi makan dengan sekotak martabak yang sudah berantakan di depannya.
“Dhini, boleh aku minta martabaknya,” ucap Reinald berhati-hati. Ia tidak ingin keceplosan mengatakan hal yang tidak biasa hingga bisa membuat anggota keluarga curiga.
Andhini juga berusaha bersikap biasa didepan Reinald, “Maaf mas, martabaknya sudah terjatuh. Ya, walaupun masih berada di dalam kotak, tapi sudah berantakan. Biar besok anak-anak saja yang makan.”
Reinald sedih melihat warna wajah Andhini yang tampak murung. Ia tau, sikap Mira keterlaluan. Tapi Andhini juga sudah bersikap benar dengan tidak tersulut emosi atas sikap Mira. Bukan karena Andhini lemah, tapi karena Andhini menyayangi ke dua orangtuanya.
Reinald hanya terdiam dan segera kembali ke kamarnya. ia khawatir tidak mampu menahan diri jika menatap Andhini terlalu lama.
“Mira, apa-apan kau. Mengapa kau tega mengatakan hal itu kepada adikmu sendiri. Bukankah dia sudah baik, membelikan kita buah tangan di hari pertama ia bekerja.” Reinald bicara sedikit keras kepada istrinya.
“Memangnya kenapa, Mas? Apa yang aku katakan benarkan? Dia baru keja sehari, terus dapat uang dari mana kalau tidak nyolong uang jualan?” Mira menjawab Reinald dengan suara tak kalah meninggi.
“Mira! Kalau suami bicara, tolong pelankan suaramu. Kau sama sekali tidak menghargaiku.” Reinald berkacak pinggang di depan istrinya.
“Siapa suruh kau membela wanita itu. Mama, papa, mas-masku semua dan sekarang kau juga ikut membelanya.”
“Aku tidak membelanya, Mira. Aku hanya memperingatkan dirimu karena kau adalah istriku. Tidak bisakah kau menghargai usaha orang lain untuk berbuat baik kepadamu, sedikit saja, ha?”
“CUKUP MAS! Aku sudah muak mendengar semua orang membelanya. Minggu ini kita harus pindah dari sini. Aku ingin kita mengontrak saja.” Suara Mira semakin meninggi hingga terdengar sampai ruang keluarga.
“Terserah!” Reinald ketus dan langsung merebahkan diri di atas ranjang. Pria itu lelah menghadapi sikap Mira, ia lebih memilih diam dan beristirahat.
“Bertengkar lagi?” Papa Andhini bicara kepada istrinya.
“Huh ....” Neti menghela napas panjang tanpa menjawab pertanyaan suaminya. Sepasang paruh baya itu tengah asyik menikmati martabak yang dibawa Andhini.
Andhini segera menuju kamarnya sendiri setelah lebih dahulu menyimpan martabak ke dalam lemari pendingin. Ia cukup lelah hari ini. Tak hanya lelah fisik, tapi juga lelah hati. Ia tidak menyangka niatnya untuk mengambil hati Mira malah berujung luka.
Andhini menutup pintu kamar tanpa menguncinya. Ia meletakkan tas di atas sofa kecil yang ada di kamarnya, kemudian terduduk di atas ranjang. Andhini menatap wajahnya di depan kaca. Tiba-tiba tetesan air asin keluar dari pelupuk mata Andhini. Tetesan bening yang mulai mengalir deras melewati pipi putih dan mulus.
Usia wanita itu memang sudah tiga puluh tiga tahun, namun parasnya masih sangat cantik dan awet muda bak wanita yang masih berusia dua puluh tiga tahun. Ia terus menatap dirinya di balik cermin. Sesekali ia memuji kecantikannya sendiri, namun di lain sisi, ia malah mengutuk dirinya.
Bukan salah Andhini jika selama ini semua orang menyukainya. Bukan juga salah Andhini jika ke dua orang tuanya lebih menyayanginya dari pada Mira dan Resti. Andhini hanya berusaha baik kepada semua orang. Andhini hanya ingin semua orang senang berada di dekatnya. Jadi apa salah dirinya?
Andhini juga sudah berusaha baik kepada Mira dan Resti. Tapi ke dua kakaknya itu selalu saja membenci dirinya. Terutama Mira, yang tinggal satu kota dengan Andhini dan saat ini sedang menumpang di rumah orang tuanya karena rumah Mira sedang di renovasi.
Aku lelah dengan semua ini, Andhini membatin. Ia mengusap air mata yang sudah membasahi baju bagian d**a. Wanita itu bangkit dan kemudian berganti pakaian dengan pakaian tidur. Ia ingin istirahat, sebab besok pagi ia harus menyiapkan sarapan dan kembali pergi bekerja.
-
-
-
Reinald merasa gelisah. Ia sudah berusaha memejamkan mata, namun sia-sia. suasana kamarnya sudah temaram karena Mira sudah mematikan lampu utama. Reinald menatap dinding kamar. Samar-samar ia melihat jam dinding sudah menunjukkan pukul dua belas malam. Ia lihat Mira sudah terelap. Wanita itu sedikit mendengkur, walau tidak keras tapi cukup membuat Reinald merasa tidak nyaman.
Reinald ke luar kamar menuju dapur, mencari sesuatu untuk ia makan. Matanya sulit terpejam, ia berniat ingin menonton televisi sembari makan camilan. Reinald melihat rumah sudah sangat sepi dan temaram. Hening, tak ada siapapun yang masih terjaga di rumah besar ini.
Tiba-tiba niatnya berubah. Awalnya Reinald hendak ke dapur, namun matanya tertuju pada pintu kamar Andhini. Pintu itu tidak tertutup dengan sempurna. Reinald kemudian melangkah dengan pelan menuju kamar Andhini. Melihat sekitar dan berhati-hati jika tiba-tiba ada yang melihatnya mendekati kamar Andhini.
Setelah di rasa aman, Reinald segera masuk ke kamar Andhini, menutup pintu dan menguncinya. Kamar Andhini juga temaram, hanya lampu tidur yang menerangi kamar itu. Reinald perlahan mendekati Andhini yang tengah tertidur pulas. Selimut yang Adhini kenakan melorot hingga bagian pinggang.
Reinald menahan salivanya melihat belahan dàda Andhini menyembul hebat lewat gaun tidur tipis yang wanita itu kenakan. Walau Reinald sudah melihat itu berkali-kali, namun tetap saja pria itu tidak mampu menahan diri jika menatap lekat tubuh kekasihnya.
Seketika Reinald kasihan melihat wajah Andhini yang tampak polos dalam lelapnya. Reinald duduk di atas ranjang Andhini dan membelai puncak kepala wanita itu dengan lembut. Ketika Reinald hendak mencium kening Andhini, wanita itu terjaga.
“Sssttt ....” Reinald segera menutup mulut Andhini ketika wanita itu spontan hendak berteriak.
“Apa yang mas lakukan di sini? Bagaimana jika ada yang melihat?” gumam Andhini pelan.
“Tidak ada yang melihat, semua orang sudah terlelap. Mas tidak bisa tidur dari tadi. Mas berniat mengambil camilan untuk teman nonton TV, tapi mas lihat pintu kamarmu tidak tertutup sempurna. Jadi mas ke sini.” Reinald menjelaskan dengan suara setengah berbisik.
“I–iya, tapi ini bahaya mas. Bagaimana jika ada yang terjaga dan melihat kita?” Andhini khawatir.
“Sudahlah, tidak akan ada yang melihat kita.” Reinald menarik pinggang Andhini dengan sebelah tangannya, membuat bagian perut Andhini dan perutnya menyatu.
“Tapi mas—.” Lagi, Reinald berhasil membuat Andhini bungkam dengan ciumannya.
Reinald melahap hebat bibir Andhini. Andhini berusaha menahan erangannya. Ia menikmati kehangatan yang di berikan Reinald tapi juga khawatir jika erangàn dan desàhannya di dengar orang lain di rumah ini.
Kamar yang dingin berubah menjadi panas. Gaun malam tipis yang di kenakan Andhini sangat seksi di mata Reinald. Dàda sintal itu benar-benar membuat Reinald gilà. Reinald sudah buta, ia bahkan tidak peduli jika ada yang melihatnya sedang bercintà dengan Andhini saat ini.
“Mas, aku mohon, jangan mengeluarkan suara. Nanti ada yang mendengar,” bisik Andhini lembut di telinga Reinald. Napas Andhini terasa hangat dan semakin membuat Reinald meremang.
“Nikmati saja, Sayang.”
Reinald melucuti gaun Andhini. Menikmati setiap inci tubuh wanita itu. Tubuh yang tidak pernah membuat Reinald bosan walau sedetik. Mereka berdua masih bergumul panas di atas ranjang Andhini.
“Ma–mas, kita lanjutkan di kamar mandi. A–aku tidak tahan jika tidak mengeluarkan suara.” Andhini terengah-engah dan berusaha menahan erangannya. Reinald setuju.
Ia segera melepaskan penyatuan dan mengangkat Andhini ke dalam kamar mandi. Menutup rapat pintu itu. Kemudian membalik tubuh Andhini dan kembali membuat penyatuan. Andhini mengeràng hebat. Kesedihannya seakan sirna oleh kelembutan yang di berikan suami kakaknya.
===
===
===
Hai dear's ...
Tinggalin comment dong, bagian mana sich yang paling kalian suka pada episode kali ini, dan bagian mana yang paling kalian sebel, hehehe ...
Btw, makasih untuk yang masih setia menunggu kejahilan Reinald berikutnya. Endingnya dijamin tidak terduga, hehehe ...
Salam sayang untuk semua, kiss ...
Ups, yang belum tap Love, plis tap love dulu dong, Luv U all.