BAB 4 – Ditampar

1500 Words
Sesampainya Andhini di swalayan Gembira, ternyata Reinald sudah menunggu disana. “Masuklah Dhini.” “Ini mobil siapa? Mobil mas Rei, mana?” Andhini heran karena Reinald menggunakan mobil lain untuk menjemputnya. “Ini mobil teman mas, mas sengaja pinjam mobil ini agar tidak ada yang mencurigai kita. Ayolah kita berangkat sekarang.” “Yang dibelakang itu belanjaan siapa, Mas?” Andhini melihat ada beberapa kantong berisi sayuran di kursi belakang. “Mas yang tadi beli, untuk kamu bawa pulang nanti.” “Owh, Makasih ya, Mas.” Andhini tersenyum, senyuman yang membuat Reinald tidak tahan ingin melumàt bibir ranum Andhini. “Oiya, mas berencana ingin membeli rumah lagi, tapi yang sederhana saja.” “Oiya, baguslah. Rumah investasi masa depan. Selagi mampu, nggak apa-apa beli sebanyak mungkin.” “Bukan untuk Investasi, tapi itu untukmu, Andhini,” Andhini tersentak mendengar perkataan Reinald. “Maksud mas Rei?” tanya Andhini. “Aku mau beli rumah untuk kamu, untuk kita berdua.” Reinald menggenggam telapak tangan kanan Andhini, lalu mencium punggung tangan wanita itu.  “Tidak perlu, Mas. Aku tidak butuh semua itu.” “Tidak masalah, Andhin. Dari pada kita harus ke rumah teman mas? Kamu mengertikan maksud mas?” Pertanyaan Reinald mengandung makna yang dalam, Andhini jengah. Wanita itu benar-benar jengah. Ia memalingkan wajah ke arah samping untuk menyembunyikan rona merah di pipinya. Andhini menyadari apa yang ia lakukan dengan Reinald adalah salah dan dosa besar. Namun ia juga tidak bisa menahan perasaan hatinya yang memang sudah terikat dengan Reinald. Ditambah sikap Mira kepadanya, membuat Andhini semakin mendendam dan menginginkan pria itu. “Kita sudah sampai, Mas buka pagar dulu ya.” Reinald turun dari mobil, membuka pagar dan memasukkan mobil kepekarangan rumah Andi. “Mas, Andhini malu mas, gimana kalau nanti teman mas tiba-tiba pulang?” “Tidak akan pulang, percayalah.” Reinald mencoba meyakinkan Andhini. Setelah menutup pagar, Reinald menuntun Andhini masuk kedalam rumah Andi. Andhini masih terpana. Wanita itu sangat berdebar, ia ingin mengurungkan niat untuk bersama Reinald siang ini. “Mas ... aku pulang saja.” Andhini berbalik, namun di belakang, tubuh Reinald sudah menunggunya. Pria itu segera mendekap Andhini masuk ke dalam pelukannya. Sesaat netra mereka beradu, ada getaran hebat dalam hati masing-masing. “Dhini, lupakan semuanya ya ... Sekarang mas ada di sini. Mas akan membahagiakanmu.” Reinald semakin mendekatkan wajahnya. Hidung bangir mereka berdua beradu. Andhini maupun Reinald merasakan deru napas masing-masing, hangat dan melenakan. Perlahan Reinald mulai mengecup bibir ranum Andhini. Awalnya pelan, namun semakin lama semakin dalam. Andhini membalas, wanita itu merasa sangat nyaman.  Reinald kemudian menggendong tubuh Andhini menuju kamar, sementara bibir mereka berdua masih melekat seperti magnet yang sulit di lepaskan. Reinald meletakkan tubuh indah Andhini diatas ranjang. Pria itu melepaskan ciumannya dan segera menuju pintu untuk mengunci pintu tersebut. Reinald tidak ingin gegabah. “Dhini ... aku mencintaimu ....” Reinald segera mendekati kekasih haramnya. Membelai lembut rambut panjang nan halus itu. Andhini meremàng. “Mas ....” Reinald segera melahap bibir indah Andhini. Menikmati daging lembut itu luar dan dalam. Andhini pun membalas, ia tak kalah bersemangat. Saling gigit dan saling hisàp, sungguh melenàkan. Reinald segera menarik baju kaos dan rok yang dikenakan Andhini. Napasnya semakin menggebu ketika melihat gundukan sintal Andhini yang menyembul dibalik pengaman yang dikenakan wanita itu. Pria itu semakin kalap. Sekali tarik, pengaman itu terlepas. Reinald semakin menggilà. Tak butuh waktu lama bagi Reinald membuat dirinya polos tanpa sehelai benang pun. Andhini terkesima melihat dàda bidang dan kulit putih bersih Reinald. Pria itu memang sangat tampan, tubuhnya  khas pria Asia. Wajahnya lembut dan memesona. “Sayang ... aku mencintaimu.” Reinald membisikkan kata-kata itu ke telinga Andhini, wanita itu meremang “Aku juga, Mas ....” Andhini balik membisikkan kalimat itu ke telinga kekasih haramnya. “Bagaimana sayang? Kamus suka bukan?” Reinald kembali menciumi semua yang bisa ia cium. Andhini tersipu malu, wajahnya merona. Reinald memperlakukan Andhini bak ratu di hatinya. Menyelesaikan semua rasa dalam balutan dosa. Bermandikan keringat hingga tiada sadar bahwa ada hati yang menangis di luar sana. Cinta sudah membutakan mata dan hati mereka. Cinta yang seharusnya suci, kini sudah ternoda. Andhini dan Reinald terus saja menikmati siang mereka hingga lupa waktu dan lupa segalanya. Terlelap setelah selesai dengan tujuannya masing-masing. - - - - - “Mas, ini sudah sore. Dihi harus pulang sekarang.” Andhini bangkit dari ranjang hendak membersihkan diri. Melihat Andhini berdiri tanpa sehelai benàng pun, Reinald kembali terbakar. Dia langsung menarik wanita itu kembali kedalam dekapannya. “Sekali lagi ya sayang.” Bisik Reinald ke telinga Andhini. “Tapi ini udah hampir sore mas.” Reinald tidak peduli dengan apa yang dikatakan adik iparnya itu. Pria itu kembali menyambar bibir Andhini, melumat daging lembut itu tanpa pernah puas. Reinald benar-benar candu. “Mas Dhini mohon hentikan semua ini.” Andhini mencoba melepaskan pelukan Reinald. “Sekali lagi tanpa pemanasan, setelah itu kita akan segera pulang.” Reinald langsung membuat penyatuan, membuat wanita itu kembali tak kuasa untuk menolak. “Aaaahhhhhh.....” Mereka berdua sama-sama mencapai tujuannya. Andhini segera bangkit menuju kamar mandi untuk membersihkan diri. Ia menatap tubuh pŏlosnya di cermin yang ada di westafel dalam kamar mandi. Mengapa kamu melakukan ini Dhini. Bukankah kamu tahu ini sangat memalukan dan ini sebuah dosa besar. Ada apa denganmu? Dhini berperang dengan kata hatinya sendiri. Dia memandang jijìk tubuhnya. Merasa bahwa dirinya tak lebih dari seorang wanita jalàng. Air matanya keluar membanjiri pipinya yang mulus.  Dia mengutuk dirinya sendiri. Tapi wanita itu juga tidak mampu menahan hasràt ingin selalu dalam dekapan Reinald. Kakak iparnya itu mampu membuat Andhini begitu nyaman. Reinald juga mampu memberikan kepuàsan untuknya. Kepuàsan yang tak pernah ia dapatkan dari Soni—suaminya. Reinald juga begitu perhatian dan romantis. “Sayang, kenapa kamu lama sekali di dalam. Cepatlah, nanti keburu sore.” Reinald membuat Andhini tersentak. Ia kemudian menghapus air matanya dan bergegas membersihkan diri. “Sudah mas, sekarang giliranmu. Antarkan aku ke gerbang komplek saja, biar nanti aku pesan ojek online.” “Baiklah, tunggu sebentar ya.” Reinald mengecup lembut kening Andhini. Hal biasa yang mampu membuat jantung Andhini berdebar. Setelah semuanya beres, Reinald dan Andhini meninggalkan rumah Andi. Reinald meninggalkan Andhini di gerbang komplek perumahan Andi. Tak lupa Reinald memberikan beberapa kantong belanjaan yang sudah dia siapkan sebelum menjemput Andhini. “Mas duluan ya, hati-hati di jalan.” Reinald berlalu meninggalkan Andhini. Tidak lama ojek online pesanan Andhini datang, dan Andhini segera pulang ke rumahnya. Hatinya sudah sedikit lega sekarang. Perhatian dan dekapan hangat yang diberikan Reinald mampu menenangkannya. Membuat dia lupa sejenak dengan perihnya perlakuan Mira terhadapnya. - - - Sesampainya Andhini di pintu rumahnya. Ia seketika mendapat bentakan dari Mira. “Darimana saja kamu, jam segini baru pulang, ha?” Bentakan dari Mira membuat Andhini terkejut. “Bukankah sudah aku bilang, aku ada keperluan, Mbak. Sekalian tadi aku pergi belanja.” Andhini berusaha tenang menghadapi Mira. “Keperluan apa dari siang baru pulang sore begini. Mentang-mentang suamimu tidak ada di rumah, seenaknya kau kelayàpan.” Kali ini muka Andhini memerah mendengarkan perkataan kakaknya itu. Andhini mencoba menahan emosi. Ia menggenggam erat kantong belanjaanya. Andhini mencoba berlalu melewati Mira. Wanita itu berusaha sekuat tenaga agar tidak tersulut emosi oleh sikap dan perkataan Mira. “Ma ... maafkan Dhini pulang telat ya. Tadi dhini ada keperluan ke rumah teman, sekalian mampir ke pasar untuk membeli sayuran.” Andhini menyalami ibunya yang sedari tadi memperhatikan sikap Mira. “Iya, tidak masalah. Maafkan kakakmu ya, Nak. Mama senang melihat Dhini masih bisa megendalikan amarah.” Wajah teduh ibunya membuat Andhini sedikit lebih tenang. “Belain terus tu anak kesayangan mama. Dasar nggak tahu diuntung.” “Mbak, sudah cukup! Aku diam bukan karena aku lemah, tapi karena aku menghargai mbak sebagai kakak aku. Aku juga khawatir dengan kondisi mama dan papa kalau harus ribut dengan mbak. Mbak tu emang nggak punya hati ya. Nggak kasihan apa, sama mama dan papa.” Andhini tidak mampu lagi menahan emosinya. “Owh, pinter bantah kamu sekarang ya.” “Sudah cukup mbak! Emang mbak pikir kelakuan mbak lebih baik. Suami pergi kerja banting tulang, mbak malah pergi-pergi tidak jelas bersama teman-teman sosialita mbak. Mbak bisanya cuma nuntut suami tapi tidak pernah mengurus suami. Mbak pikir mbak hebat dengan begitu. Mama dan papa sakit juga mbak tidak peduli.” Plak ... Sebuah tamparan melayang ke pipi Andhini. Mira menampar adiknya itu. Reinald yang kala itu memang sudah  masuk ke rumah langsung menarik tangan Mira dengan kasar. “Cukup!” Suara mama Andhini bergetar ketika Mira menampar adik perempuannya itu. “Cukup Mira! kau sudah kelewatan. Harusnya kau sadar apa yang dikatakan Andhini itu memang benar. Sekarang ikut aku.” Reinald menarik paksa istrinya itu menuju kamar mereka. Sementara Andhini meringis kesakitan. Pipinya memerah sehabis ditampar oleh Mira. Mama Andhini menangis melihat pipi anak bungsu kesayangannya. Mama Andhini mengambil obat memar dan mengoleskannya ke pipi putri kesayangannya itu. “Au ....“ Andhini meringis kesakitan. “Maafkan sikap Mira ya, Nak.” Mama Andhini tak kuasa menahan airmatanya melihat Andhini meringis kesakitan. Andhini hanya bisa diam. 
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD