3. Gaun Indah di Tubuhnya

2052 Words
Mematuhi segala aturan Nathan bukan hal yang sulit untuk Xander, namun entah sejak masalah Adhisti telah menghina keluarganya ini berdampak lain pula. Sangat membosankan hari-hari Xander sejak mengenal Gisha, dia harus ada di setiap aktivitas mengenai pernikahan mereka. Benar-benar ini berasal dari ayahnya, tetapi Xander juga membenarkan jika Gisha lemah tak bisa menolak keinginan Nathan. "Kenapa nggak gadis itu jadi ibuku aja sih?" gumam Xander memelintir pensil di tangannya, salah satu benda yang menjadi mainan kesukaan. Setelah satu jam lamanya menunggu Gisha mencoba salah satu gaun, tiba-tiba saja seorang wanita yang merupakan desainer keluarga Ivanska datang menemui Xander. "Ada apa?" "Pak, coba sini deh! Anda pasti nggak percaya." ajak wanita paruh baya bernama Cici. Xander menggeleng. "Udah, di sini aja. Nanti juga aku liat kalau kita nikah." "Ih Bapak, lupa ya sama pesan Papi?" Sial. Xander langsung membulatkan mata. Dari kata-kata itu dia mirip seperti bocah yang baru masuk taman bermain, ini sebuah hinaan. "Heh, kamu itu kerja aja yang bener! Nggak usah maksa orang segala!" Cici langsung terdiam, dia mengangguk dan berlalu ketakutan karena dari balik wajah tampan khas Xander terselip mimik seram. Layaknya pria yang suka membunuh. Cici langsung kembali ke salah satu ruangan, dia mendatangi Gisha. "Mbak, Tuan muda nggak mau ke sini. Biar aja coba gaun sendiri ya? Cantik kok, mbak Gisha cantik banget. Sumpah." Wajah itu menatap lurus, tanpa berpaling dari gaun yang memang seumur hidup Gisha baru ini pertama kali dia melihat bahkan mengenakannya. Jika bukan keluarga Ivanska, tentu dia tidak akan mampu. Tetapi dari balik keindahan itu semua Gisha merasa hatinya menanggung beban, dia belum sempat membicarakan ini dengan Avan. Kekasih Gisha. "Mbak Gisha, kenapa?" Atas suara itu barulah Gisha sadar dia sedang melamun sambil menangis. "Oh, nggak. Nggak kenapa-napa kok. Maaf, mungkin nggak sadar juga aku… Seperti mimpi." "Sabar ya Mbak," Cici meraih pundak Gisha. "Memang ini berat buat Mbak Gisha, tapi… Tuan muda itu baik kok orangnya. Maaf kalau aku lancang, tapi Tuan itu nggak pantes jadi suami wanita binal kayak Adhisti." "Binal gimana?" Gisha tidak mengerti apa yang Cici katakan. "Ya, dulu kan Tuan bawa Adhisti ke rumah itu… Pas keadaan mabuk. Si Adhisti yang mabuk," Cici membenahi gaun Gisha yang menjuntai. "Katanya udah hamil, nggak tau juga anak siapa tapi Tuan tanggung jawab." "Ya pasti anaknya Mas Xander lah Ci," Gisha tidak menganggap berat kabar itu karena bukan urusannya. "Udah, nggak baik bicarakan orang. Katanya pamali!" "Ah iya juga ya Mbak, kan Tuan mau jadi suaminya Mbak Gisha. Jangan bicarakan suami sendiri!" bisik Cici menoleh ke arah pintu. Lalu Gisha melepas kencing bagian belakang, tetapi dia merasa kesulitan. "Ci, bantuin dong! Ini susah banget." Tidak ada jawaban, di sekitar rupanya sudah sepi. Entah Cici meninggalkan Gisha sendirian. Dengan susah payah Gisha pun melepaskan kancing di bagian punggung secara perlahan, tangannya terasa lelah saat kebelakang. "Huh, Cici ke mana sih?" berlanjut lagi Gisha melepas kencing ke-5 dan masih merasa kesulitan. Tetapi kemudian dia mendapat bantuan, dan Gisha langsung mengangkat wajah Hampir saat Gisha terjatuh ketika berusaha menghindari Xander yang ada di belakangnya. "Hei, ke… Kenapa Anda di sini?" Xander menatap jengkel. "Bukannya tadi aku disuruh masuk ya?" Gisha sangat panik, dia menatap sekeliling dan terus menjauh sambil menutupi sebagian dadanya. "Ya… Tapi kan itu tadi, dan… Itu nggak sopan!" Padahal Xander sudah berusaha untuk tidak peduli, tetapi rupanya mengasyikkan jika melihat gadis itu merasa tertekan. Dia berjalan terus, mendekati Gisha yang menghindar. "Nggak sopan? Kan bentar lagi aku jadi suamimu 'kan? Jadi, nggak masalah dong kalau aku…," "Keluar!" Suara Gisha melengking hingga mendatangkan Cici dan 2 pegawai butik, mereka saling menatap saat Gisha terus melangkah mundur. Dan tak dapat disadari pula wanita itu jatuh, tubuhnya menimpa kursi kecil. Seketika Gisha meringis kesakitan, dan Xander langsung meraih pinggangnya. "Makanya, jangan jual mahal sama calon suami!" ucap Xander puas melihat Gisha menderita. Tanpa memandang Gisha dia segera keluar dari ruangan, di luar Xander mengatur napas karena baru saja dia mengalami sesuatu yang mengagetkan batinnya. Antara dia terpesona juga kurang suka dengan tingkah Gisha yang membuatnya penasaran. "b******k gadis itu, mulai buat ulah ya?" Sebenarnya Xander tidak menyalahkan Gisha atas terjadinya perjodohan ini, tetapi sumber atas hilangnya harapan mengenai Adhisti memang hilang dalam sekejap. Terutama dalam hati Nathan, laki-laki sangat membenci sosok Adhisti yang cantik namun dengan tinggi di bawah rata-rata wanita Rusia. Kenapa? Selalu saja Xander mengira ayahnya pilih kasih dalam bentuk fisik. Setelah cukup lama menunggu, akhirnya Gisha keluar dari ruangan. Xander yang sudah jenuh melenggang begitu saja tanpa mengajak, batinnya untuk apa karena Gisha sudah dewasa. Bukan dia harus bersikap layaknya pengasuh. Memang bukan, tetapi cara Nathan memerintahkan agar Xander terus bersama-sama dengan Gisha layaknya sopir juga majikan. "Kamu ngapain duduk di belakang?" Xander menegur, dia malas melihat ke wajah Gisha secara langsung. Dari ucapan itu Gisha tidak menyadari apa yang dilakukannya salah, dia hanya diam dan terus menatap keluar jendela. Dan atas sikap itulah yang membuat Xander muak lalu menghentikan mobil. "Kamu nggak paham yang aku omongin heh gadis malam?" tanya Xander sedikit menghina. Tetap Gisha tidak memberikan jawaban, dia terus melihat ke arah jalanan dengan perasaan geram tetapi malas meladeni pria itu. Dan kemudian tidak dapat disangka mobil melaju sangat cepat, Gisha yang tidak biasa segera mencari pegangan. "Apa yang Anda lakukan?" "Tidak ada, hanya memberimu pelajaran!" jawab Xander tanpa peduli. Kepala Gisha seketika pening, dia hampir mengeluarkan isi perutnya jika saja Xander tidak kembali menstabilkan laju mobilnya. Gisha terengah-engah, dia menatap kurang suka atas kelakuan calon suaminya itu. "Anda kenapa seenaknya aja sih? Nggak sopan ternyata anak yang dibanggakan keluarga Ivanska." Xander mendengus kesal. "Bangga? Kamu salah, nggak ada yang bangga sama aku. Itu kan kemauan kamu duduk di belakang. Iya 'kan?" "Tapi kalau Anda ngebut begini bisa mencelakai orang lain! Ini jalan bukan punya Anda!" pekik Gisha setengah menahan rasa kesal. "Kamu yang buat aku muak," Xander mulai marah bahkan memukul jok di sebelahnya. "Sejak kamu menampakkan wajah di depanku, jujur aku bener-bener benci kamu!" Gisha bergeming, dia menatap pepohonan yang bergerak tertiup angin. "Memangnya kita pernah kenal? Aku pernah berbuat salah? Dan apa salahnya? Di mana?" Lama keduanya memikirkan sesuatu yang entah itu berhak dipikirkan atau tidak, Gisha pun langsung turun dan berjalan ke arah trotoar untuk menyeberang. Setelah dirasa jalanan sepi, barulah dia berlari kecil ke arah seberang. Gisha menghentikan taksi yang melintas di depannya. Tidak ada yang dilakukan Xander kecuali dia menyalakan rokok, menghisap batang itu dalam-dalam. Kemudian segera membuang setelah beberapa kali dia menikmati. Xander tidak langsung bergerak meninggalkan tempat, dia menatap ke mana arah pertigaan menuju rumah Adhisti. "Nggak! Urusan aku udah selesai sama dia!" dalam nada bicarakan dia kuat, tetapi Xander merasa lemah atas ini. Tidak ingin terjerumus ke dalam rasa penasaran, Xander langsung mengubah arah jalan menuju pertigaan. Kemudian dia berhenti tepat di depan pintu pagar besi dicat hitam, terdapat pohon palem di depannya. "Ck, harga dirimu di mana Xander? Bisa-bisanya ini kedatanganmu yang ke sekian, dan sekian banyak kali. Ah bego!" Pertama Xander hanya menunggu, menghabiskan 1 batang rokok sampai akhirnya ada satpam penjaga kompleks datang menemui. Xander membuka kaca mobil sebelah kanan, dia menyapa dengan senyuman hangat. "Eh Pak Xander, kirain siapa. Gimana kabarnya, dan… Mobil baru lagi nih?" sapa satpam ramah. "Selamat siang Pak Riski, kabarnya baik. Bapak gimana? Sehat?" Xander membalas sopan. "Sehat Pak," satpam itu menatap ke rumah sepi Adhisti. "Lama ya nggak keliatan, Ibu Adhisti apa kabar ya Pak? Dia… Udah sebulan ini nggak keliatan." Sebentar. Xander kini tahu jika mantan istrinya masih di Australia, dengan teman yang merupakan selingkuhan Adhisti. "Iya Pak, dia lagi di Australia." "Wah, jauh ya. Terus kok Bapak di sini? Ada apa Pak? Mau… Beli rumah di sekitar sini lagi ya?" tanya satpam sok tahu. Xander terlanjur kesal atas keinginannya mendatangi rumah Adhisti, dia juga kurang suka jika ada orang lain yang ingin tahu mengenai apa yang dilakukan. "Nggak Pak, saya baru dari Butik Cendana Mutiara. Dan kebetulan ini lewat, dan mau pulang." "Oh, punya Bu Cici. Iya," satpam itu langsung paham. "Bapak nggak mampir dulu ke rumah Ibu Adhisti?" "Nanti aja, kalau dia udah pulang. Makasih ya Pak, atas pertanyaan dan waktunya." jawab Xander menutup kaca mobil, dia langsung menyalakan mesin dan melaju pelan meninggalkan kawasan rumah Permai di Jakarta. [...] Terik cahaya matahari seakan membakar kepala, dan setiap orang yang melintas terlihat menahan sesuatu di tubuhnya. Gisha memberi tarif yang tertera kemudian turun, lalu dia buru-buru ke rumah tetapi saat tengah membuka pagar rumahnya yang mulai reot terlihat Nathan di teras. Gisha sempat berhenti, tetapi tidak dapat menghindar karena calon ayah mertuanya itu telah memergoki. Rupanya Gisha khawatir jika Nathan bertanya sesuatu mengenai Xander, tetapi ini bukan urusannya. "Selamat sore, Tuan Nathan. Anda…," Jari telunjuk Nathan bergerak sebagai tanda penolakan. "Jangan panggil aku 'Tuan', tapi Papi!" "Emh, maaf. Belum terbiasa," Gisha tersenyum manis. "Iya, Tu… Ah Papi, udah lama?" "Nggak kok Nak, tapi segelas teh abis. Oh ya, mana Xander? Kamu pulang sendirian?" tegur Nathan menengok ke halaman, dia tidak mendapati mobil Xander di sana. Wajah Gisha tegang, dia bimbang saat akan membuat alasan. "Tadi, Tuan… Maksudku, Mas Xander ada urusan mendadak Pi." "Gitu, ya. Bentar," Nathan mengambil ponsel nya di saku jas. "Papi tanya dulu ke Xander, bisa-bisanya dia ninggalin kamu gitu aja." Benar, atas ketakutan itu Gisha mendapati wajah Nathan marah. Dia segera mendekat, berusaha memberikan pengertian berupa belaian di punggung. "Pi, ada apa?" "Xander di rumah, main sama Ibel." jawab Nathan kesal. Gisha hanya menanggapi hal itu bukan sesuatu yang buruk, tanpa bertanya lagi kepada Nathan dia pun memberikan tempat duduk lain untuk pria itu. "Pi, tenang ya, sebaiknya Papi istirahat dulu!" Nathan menahan napas ketika dia mulai emosi, rupanya Xander menentang. "Terima kasih, Gisha. Papi udah sehat kok, walau masih suka pusing. Tapi nggak apa-apa, Nak." Hal itu terkadang yang terjadi dengan ayah Gisha, tetapi dalam beberapa hari ini dia merasa tenang kondisi orang tuanya sudah mulai membaik. Walau Gisha harus ekstra dalam menjaga, karena ayahnya hanya bisa duduk di kursi roda. Cukup lama Nathan duduk di teras, Gisha setia menemani sampai kemudian calon mertuanya itu pamit pulang. Gisha dengan senang hati menuntun Nathan je mobil, dia pun berpesan agar sopir hati-hati saat berkendara. "Papi jaga kesehatan ya!" Nathan melambaikan tangan dari bagian belakang di dalam mobil. "Iya, terima kasih ya Gisha. Sampai ketemu." Pernikahan sebentar lagi, tetapi Gisha tidak juga menemukan bahwa ini tepat menjadi pilihannya. Keadaan Xander yang belum resmi bercerai membuatnya seolah menjadi perusak, bayang akan kekasih pun terlintas dan Gisha berniat akan menghubungi Avan, dia memilih tempat duduk di dekat pohon. Panggilan tidak mendapat respon, Gisha menyerah dan hanya mengirim pesan singkat jika dia ingin bertemu. "Maafin aku Mas, tapi… Aku nggak bisa memilih." Bukan jawaban dari kekasihnya, justru Gisha mendapat panggilan dari Xander dan hanya menjawab tanpa menempelkan ponselnya ke telinga. Gisha berjalan masuk sambil menenteng benda itu, dia tidak tahu apa yang dikatakan Xander hingga masuk ke kamar. Gisha langsung melempar ponsel ke tempat tidur, kemudian dia duduk di depan cermin rias. "Biar aja deh itu orang ngoceh sendiri!" rutuk Gisha karena terlalu muak dengan Xander. Walau tidak mendengarkan, namun kondisi kamar yang sepi Gisha sempat mendengar Xander. Kata-kata itu menyangkut Nathan, dia akhirnya menangkap ponselnya. "Ada apa sama Papi?" "Kamu… Macem-macem memang," terdengar suara Xander tertahan. "Kenapa nggak jawab huh? Tuli atau gimana?" "Maaf, aku baru aja dari kamar mandi." jawab Gisha beralasan palsu. "Ke mana Papi?" Gisha meraih cairan pembersih make up, dan mulai membereskan sisa make up di wajah. "Pulang." "Dia pasti bakal pidato lagi, gara-gara aku ninggalin kamu. Ah emang sial sekali hidupku." gumam Xander dari dalam panggilan. Merasa bukan perkataan penting Gisha tetap sibuk membersihkan wajahnya, tetapi kemudian terdengar suara Nathan di sana. Gisha sempat tidak peduli tetapi kemudian dia mendengar Nathan kurang suka atas sikap Xander yang pembangkang, juga terdapat perkataan bahwa ancaman akan terus berlanjut jika pernikahan gagal. Gisha tercengang, mendengar jika Ibel akan menjadi sasaran. Kenapa begitu? Gisha tidak menyangka atas kelembutan Nathan tersimpan sikap keji, tetapi dia tidak langsung percaya karena bisa saja itu suara orang lain yang hanya mirip dengan Nathan. "Itu suara Papi 'kan?" Sepi, tetapi panggilan masih berlangsung. "Pak, itu… Suara Papi 'kan? Kok Pak Xander diem aja?" Masih sama, Gisha tidak menemukan jawaban paling selain angin. Kemudian dia mengakhiri panggilan, dan pikirannya mengenai anak satu-satunya Xander. Dia semakin terpuruk atas keadaan yang sebentar lagi mengubah seluruh hidupnya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD