7 - Berakhir dengan Penuh Tanda Tanya

1767 Words
Mata Mario kembali terpusat pada layar laptop sekaligus jari-jarinya bergerak lincah menekan huruf-huruf. Ini sudah akhir bulan, lelaki itu sampai rela meninggalkan kegiatan menyusun laporannya hanya karena Karina mengirim pesan padanya, meminta tolong. Mario sibuk, tapi ia benar-benar tidak bisa mengabaikan salah satu teman baiknya itu. Satu jam kemudian, mata Mario malah melihat ke arah benda yang sejak tadi ia letakkan di atas meja. Laki-laki itu segera mengambil ponsel, melihat wallpaper yang terpasang. Foto itu diambil satu tahun lalu di Thailand. Tangan Mario berada di bahu Karina, sedangkan tangan Danial berada di bahu Vania. Mario dan tiga teman baiknya secara diam-diam berlibur ke negara itu. Oh, ralat, Karina yang diam-diam berlibur ke sana. “Kenapa akhir-akhir ini aku nggak bisa menghilangkan nama kamu dari pikiranku? Apa nggak masalah, memikirkan perempuan yang sudah menjadi milik laki-laki lain?” Mario bicara sendiri. Sejujurnya, mata Mario hanya fokus ke dirinya dan Karina. Mario dan Karina tersenyum sangat lebar ke arah kamera. “Setelah bertahun-tahun, apa perasaan spesial itu benar-benar muncul lagi?” Mario masih belum sepenuhnya yakin akan hal itu. “Tapi, bagaimana dengan–” Mario kembali berucap, menggantung. Ada dua nama yang berhasil bertahan di pikiran Mario. Karina Anastasia, teman baiknya. Milla Karenina, mantan pacar sekaligus cinta pertamanya. Tidak mudah bagi Mario untuk menjatuhkan hati pada seseorang. Banyak sekali perempuan cantik yang Danial kenalkan padanya, tapi tidak ada yang berhasil menarik perhatiannya. Padahal dari ‘kacamata’ laki-laki lain, beberapa perempuan yang dikenalkan oleh Danial mungkin saja lebih baik dari Karina dan Milla. “Sudah lama sekali aku nggak mendengar kabar kamu. Apa kamu hidup dengan baik? Apa kamu sudah menemukan penggantiku? Kalau iya, siapa laki-laki itu, Milla?” Mario masih belum bisa benar-benar menghilangkan nama Milla di hati juga pikirannya. Foto-fotonya dengan Milla bahkan sengaja masih ia simpan dengan baik di ponsel mau pun laptopnya. Jujur saja, ia kangen sekali dengan gadis cantik yang bertubuh mungil itu. Gadis itu benar-benar hilang tanpa kabar. Detik itu juga, Mario kembali mengingat hari di mana hubungannya dengan Milla berakhir. Salah satu momen yang menyakitkan dalam hidupnya. Kalau saja Mario diberikan kesempatan untuk memperbaiki kesalahan, mungkin saat ini ia masih menjalin hubungan dengan gadis itu. Sungguh, Mario bukan termasuk laki-laki yang suka berganti-ganti pasangan. Mario selalu menginginkan keseriusan dalam sebuah hubungan, ia tidak suka bermain-main dengan seorang perempuan. Milla: Mario, kita putus saja, ya? Maafkan aku. Milla mengirim pesan tersebut ketika Mario sedang berada di Bandung. Mario dan sang kakak, Marsha, diajak oleh orang tuanya untuk menghadiri resepsi pernikahan. Setelah berjam-jam tidak memberi kabar, tiba-tiba Milla mengirimkan pesan mengagetkan serta menyakitkan itu. Membuat Mario kaget luar biasa kemudian langsung menelepon sang pacar guna meminta penjelasan. Laki-laki itu tidak bisa menerima kabar buruk itu. Setelah tiga kali menelepon, akhirnya Milla menjawab. “Sayang, maksud kamu apa?” Milla belum sempat bicara, Mario terlebih dahulu kembali bertanya. “Kamu serius dengan perkataan kamu? Kamu tahu, kan? Aku nggak suka apabila kamu bercanda dengan kalimat yang seperti itu." "Aku serius, Mario, aku minta maaf." Milla diam sesaat. "Aku nggak bisa menjalin hubungan lagi sama kamu. Aku juga mau pamit, karena sekarang aku sudah berada di airport. Aku memutuskan untuk kuliah di London. Sekali lagi, aku minta maaf, Mario." Mario masih berusaha mencerna permintaan dadakan Milla. “Melanjutkan studi ke luar negeri tentunya butuh persiapan yang sangat matang. Iya, kan? Maksudku, menyiapkan dokumen dan sebagainya. Kapan kamu melakukannya, Sayang? Aku rasa, kamu nggak pernah menceritakan hal itu ke aku. Kamu nggak sedang berbohong, kan?” Mario tidak bisa menghalangi pikiran-pikiran negatifnya, rasa curiganya ke perempuan yang sudah menjalin hubungan dengannya selama hampir enam tahun. “Kamu sangat sibuk, Mario. Kamu nggak memberikan aku kesempatan untuk bercerita ke kamu.” Milla tersenyum miris. Dua tahun terakhir, Mario menyibukkan diri dengan berbagai kegiatan. Organisasi Siswa Intra Sekolah atau OSIS, bergabung dengan komunitas dan lain sebagainya. Milla rasa, saat itu dirinya sudah tidak menjadi prioritas Mario. Milla kangen sekali dengan Mario yang dulu, Mario yang selalu ada untuknya. “Oh, ya, sejak kapan kamu menaruh rasa curiga yang berlebihan ke aku?” “Aku melakukan hal itu demi masa depanku. Kamu juga, belum pernah membahas masalah ini. Kenapa, Milla? Bisa kamu jelaskan ke aku?” “Kamu selalu berkata seperti itu,” potong Milla, mulai merasa kesal. “Lalu, bagaimana aku bisa membahasnya, Mario? Kalau kamu saja nggak memberikan aku kesempatan. Kita memang masih bertemu di sela-sela kegiatan kamu, tapi hanya sebentar. Kamu selalu meninggalkan aku dengan alasan, kamu sibuk.” Milla pada akhirnya bisa berbicara jujur tentang segala hal yang mengganjal di hatinya selama dua tahun terakhir. Ah, ternyata sudah terlalu lama perempuan itu memendamnya. “Kenapa tiba-tiba sekali? Kenapa juga kamu berbicara ketika aku sedang berada di Bandung? Bagaimana bisa kita membicarakan hal ini hanya melalui sambungan telepon?” Mario kembali bertanya, menggebu-gebu. Hatinya seketika merasa gusar. “Ini nggak tiba-tiba, Mario.” Milla membalas. “Aku membutuhkan waktu satu tahun untuk memutuskan apa yang sebenarnya ingin aku lakukan. Aku juga membutuhkan waktu hampir satu tahun untuk mempersiapkan semuanya.” “Keputusan ini adalah keputusan yang sangat penting dan aku ini pacar kamu. Bahkan kita sudah menjalin hubungan selama hampir enam tahun,” cecar Mario. “Bagaimana bisa kamu nggak mendiskusikannya terlebih dahulu dengan aku? Aku berhak tahu apa pun yang sedang kamu rencanakan, Milla. Aku berhak tahu apa pun tentang kamu." Mario menjeda kalimatnya. “Enam tahun itu, bukan waktu yang sebentar, kan? Bagaimana bisa kamu melakukan hal ini ke aku?” “Akui saja kalau kamu sudah melakukan kesalahan, Mario,” geram Milla. “Bahkan kamu sama sekali belum mengucapkan kata maaf untuk aku.” “Apa hanya aku yang melakukan kesalahan?” Mario merasa kecewa dengan apa yang sudah ia lakukan, juga pada apa yang Milla lakukan padanya. Mario baru sadar kalau dua tahun terakhir ia kurang memerhatikan Milla, juga menomorsekiankan gadis yang ia sayangi itu. Mario menyesali perbuatannya. “Aku minta maaf, Sayang. Aku benar-benar nggak bisa mengakhiri hubunganku dengan kamu.” “Aku minta maaf karena baru bisa berkata jujur. Maaf juga kalau aku membuat kamu kecewa.” Milla kemudian menarik napas cukup panjang dan segera mengeluarkannya. “Tapi aku nggak bisa menuruti permintaan kamu untuk mempertahankan hubungan kita.” Milla berbicara dengan suaranya yang agak bergetar. “Sekali lagi, aku benar-benar minta maaf.” “Semudah itu, ya, kamu mengakhiri hubungan yang sudah terjalin selama hampir enam tahun?" Mario menukas. “Aku butuh kamu yang kembali berkata jujur, Milla. Apa yang kamu sembunyikan dari aku?” Mario benar-benar tidak bisa menghalau pikiran kalutnya. Hubungannya dan Milla sudah di ambang perpisahan, Milla seakan tidak mudah untuk dibujuk, padahal dulunya Milla tidak seperti itu. “Mau sampai kapan kamu menuduhku, Mario?” “Kalau kamu mau memberikan aku kesempatan, aku akan memperbaiki semuanya,” ungkap Mario. “Apa pun. Aku serius. Apa pun yang kamu minta akan aku lakukan, asalkan kamu menarik perkataan kamu untuk putus dari aku.” “Aku rasa, keputusanku sudah tepat. Aku nggak akan mengubahnya. Memang ini yang aku inginkan. Aku harap kamu bisa menerima keputusanku.” “Aku sangat yakin ada sesuatu yang kamu sembunyikan. Nggak biasanya kamu bersikap seperti ini. Awal pacaran sampai menginjak empat tahun, aku rasa kamu selalu bercerita apa pun yang kamu rasakan ke aku. Tapi sekarang, kenapa malah seperti ini?" Mario merasa sangat kacau. Akan tetapi masih saja berusaha bicara dengan intonasi yang lembut. Sang mama dan papa selalu berpesan sekaligus mengajarkan Mario untuk memperlakukan perempuan dengan cara yang baik. “Aku nggak bisa, Mario. Aku minta maaf.” Milla berkata dengan suara yang semakin bergetar. Gadis itu bersusah payah untuk menahan tangisnya. “Di sudut pandang kamu, kesalahanku begitu besar, ya?" Mario menimpali. “Sampai-sampai rasanya terlalu susah untuk kamu memaafkan aku.” Mario bergeming sejenak. “Apa benar-benar sudah tidak ada kesempatan lagi untuk aku?” Mario sangat frustasi karena Milla sangat keras kepala dengan keinginannya. “Aku memang kecewa dengan kamu. Tapi aku bisa pastikan kalau aku sudah memaafkan kamu. Hanya saja, aku nggak bisa menjalin hubungan lagi dengan kamu. Jangan membebani aku dengan kata-kata kamu itu. Kamu berkata seakan-akan aku yang berbuat jahat ke kamu. Itu menyakitkan, Mario. Aku mohon, berhentilah bersikap seperti ini.” “Kalau kamu mau kuliah di London, aku nggak akan melarang kamu. Ini untuk pendidikan sekaligus masa depan kamu. Justru aku sangat senang sekaligus sangat bangga memiliki pacar yang sangat mengedepankan pendidikan, sampai-sampai memilih untuk kuliah di luar negeri. Kamu tahu, kan, nggak semua orang bisa mendapatkan kesempatan emas itu. Tapi, kenapa juga harus putus? Kita masih bisa menjalani hubungan jarak jauh, Milla.” “Nggak bisa, Mario.” Milla menjawab dengan sangat singkat. “Aku nggak bisa melakukannya. Aku harap kamu bisa menerima keinginan aku. Kamu juga nggak bisa memaksakan kehendak kamu ke aku.” Mario seketika meneteskan air mata, terbawa suasana. Mario tidak mau kehilangan gadis yang sudah hampir enam tahun ini mengisi hari-harinya. "Aku mohon. Jangan pernah memintaku untuk mengakhiri hubungan,” pinta Mario. "Apa kamu sudah nggak memiliki perasaan lagi untuk aku? Sama sekali?” “Masih ada perasaan yang tersisa untuk kamu, Mario.” Kalimat Milla barusan, menyiratkan beberapa makna untuk Mario. Laki-laki itu terdiam selama beberapa menit. Berusaha membuat keputusan sekaligus kepikiran akan sesuatu. "Oke, kalau memang ini kemauan kamu. Aku menyetujuinya. Aku nggak akan memaksa kamu lagi untuk mempertahankan hubungan.” Mario kembali diam. “Ya, untuk apa juga mempertahankan seseorang yang sudah nggak ingin bersama aku. Bukankah itu akan sangat menyakitkan untuk kamu mau pun aku?” “Ya, kamu benar, Mario.” “Kalau kamu kasih kabar, aku bisa mengantarkan kamu ke airport, lho. Jadi, kita bisa bertemu dan kita nggak perlu mengakhiri hubungan hanya melalui sambungan telepon,” ujar Mario. “Jujur saja, aku nggak suka mengakhiri hubungan dengan cara seperti ini.” Milla tidak merespon perkataan Mario, malah berpamitan. “Mario, aku tutup, ya?” Milla menjeda kalimatnya. “Tapi sebelum aku tutup, aku ingin kamu mengetahui sesuatu.” "Dari pertama kali aku mengenal kamu sampai detik ini, kamu adalah laki-laki yang baik. Bahkan nggak hanya kamu, tapi orang tua dan kakak kamu juga bisa menerima aku dengan baik. Jujur saja, aku senang karena sempat berada di tengah-tengah keluarga kamu. Ya, kamu memang sempat melakukan kesalahan, tapi hal itu nggak akan pernah menghapus kebaikan-kebaikan yang pernah kamu lakukan ke aku.” Milla tersenyum tipis. “Maka dari itu, aku berharap kamu bisa bertemu dengan perempuan yang sama baiknya dengan kamu. Aku serius, Mario. Aku benar-benar menginginkan apa pun yang terbaik buat kamu dan kehidupan kamu kedepannya. Kamu pantas mendapatkannya. Aku pamit, ya. Bye, Mario.” Milla langsung saja memutus sambungan telepon itu. Gadis itu pergi dengan meninggalkan begitu banyak pertanyaan di benak Mario.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD