6 - Pria Baik Hati dan Tulus

1610 Words
Berselang hampir dua jam setelah pesan balasan Mario untuk Karina, lelaki itu tiba di mall itu. Mario berdiri tepat di depan Karina dengan napasnya yang terputus-putus. “Kka-Karina!” Mario bicara agak tersendat. Karina menatap laki-laki itu dengan wajahnya yang memerah juga matanya yang berkaca-kaca. ‘Seberapa keras kamu berusaha untuk menahan tangisanmu, Karina?’ batin Mario. “Mario, astaga, sampai ngos-ngosan begitu,” resah Karina sambil menampilkan ekspresi khawatirnya. “Sini, duduk dulu.” Karina menepuk-nepuk pelan bangku kosong di sampingnya. “Oh, ya, ini minuman buat kamu.” Karina menyerahkan satu dari dua gelas ice mango green tea yang ia beli sebelum berjalan ke bangku. Mario duduk lanjut mengatur napas. “Ah, iya, terima kasih. Harusnya aku, lho, yang tanya ke kamu. Apa kamu baik-baik saja?” Mario saat itu juga langsung merutuki diri sendiri, bicara dalam hati. ‘Pertanyaan macam apa, sih, Yo? Sudah jelas Karina nggak baik-baik saja!’ “Tapi aku sudah bisa menebak, kamu pasti berlari atau berjalan cepat untuk sampai ke tempat ini,” simpul Karina lalu tersenyum tipis. Mario, teman baiknya, selalu berjalan cepat bahkan tak ragu berlari untuk menolongnya. Sedangkan Davin, pacarnya, hanya berjalan santai terkadang diam di tempat ketika Karina butuh. Karina selalu menganggapnya seperti itu. “Aku juga baru sadar kalau aku lagi-lagi merepotkan kamu. Jadi, maaf, ya, Io.” “Hei, Karina, kamu berkata seakan-akan baru berteman beberapa bulan dengan aku,” seru Mario. “Jangan minta maaf kalau kamu nggak melakukan kesalahan apa pun.” Mario memang selalu bisa menghadirkan perasaan aman dan nyaman untuk Karina. “Kamu tadi minta tolong. Jadi, ya, aku kira kamu dalam bahaya.” “Sengaja, sih. Maaf, ya, sudah membuat kamu repot.” Karina meringis. “Tapi kalau aku dalam bahaya, aku rasa aku akan menelepon kamu, bukan mengirim pesan.” “Sampai nggak kepikiran saking paniknya,” sambung Mario sembari tersenyum tipis karena tingkahnya. “Berhentilah untuk meminta maaf, Karina. Ya, karena aku nggak suka mendengarnya.” Mario meminum segelas ice mango green tea yang Karina belikan. “Lalu, bagaimana?” “Kalau Davin memilih aku, ya, aku nggak akan duduk sendirian di sini.” Karina diam sesaat. “Tapi aku akan baik-baik saja kalau kamu sudah ada di sini.” Karina beberapa detik kemudian tersenyum, lebih lebar dari senyum yang tadi. “Serius.” Karina mengangkat jari telunjuk dan jari tengahnya, membentuk huruf V. Mario menyentuh atas kepala Karina. “Kasihan sekali, sih, temanku yang satu ini,” candanya kemudian malah mengacak-acak rambut Karina, iseng sekali lelaki satu ini. “Jangan marah sama aku, ya. Niatku baik, lho, ingin menghibur kamu.” “Iya, aku tahu, tapi rambutku jadi berantakan. Ini kan lagi di mall, Mario.” Karina menyingkirkan pelan tangan Mario lalu merapikan rambutnya yang berantakan akibat ulah teman baiknya itu. Mario pun ketawa-ketawa karena Karina yang bersungut-sungut. “Sebenarnya aku ke sini nggak hanya untuk mengganggu Davin dan Aluna, tapi juga mau belanja bahan makanan dan beberapa barang yang habis. Maka dari itu, ayo, temani aku, Io. Keburu mallnya tutup.” Karina bangkit dari duduknya kemudian menarik tangan Mario. “Setelah ini kita makan, ya? Aku lapar banget. Tapi makan di luar saja, ya? Aku bosan dengan makanan yang dijual di mall.” “Iya, Karina, terserah. Anggap saja aku setuju dengan apa pun yang kamu mau.” *** Karina dan Mario sudah selesai berbelanja kebutuhan rumah dan makan malam. Mereka juga sudah selesai memasukkan barang-barang ke dalam rumah dan saat ini sedang berada di halaman parkir. “Mario, terima kasih, ya, karena sudah mau menjemput serta menemani aku.” Karina mengatakan kalimat itu dengan senyum lebar menghiasi wajahnya. Ketika Karina sedang membutuhkan seseorang untuk menemaninya, urutan pertama yang akan dia hubungi atau datangi adalah Vania, Mario dan Danial. Namun akhir-akhir ini, rasanya sosok Mario naik menjadi urutan pertama. Bisa dibilang, Mario itu laksana zona nyaman untuk Karina. “Ya, terima kasih juga karena sudah traktir aku.” Mario balas tersenyum. “Itu nggak seberapa daripada apa yang selama ini kamu lakukan ke aku.” Karina menyanggah. “Ya, aku merasa senang saja punya kamu.” Karina beberapa detik kemudian refleks menutup mulutnya. ‘Lo ngomong apa, sih, Rin? Sejak kapan Mario jadi milik lo?’ batin Karina merutuki mulutnya yang terlalu berterus terang itu. “Hah?” Mario ternganga lalu mengusap-usap tengkuknya yang sebenarnya tidak gatal. “Kalau begitu, aku izin pulang, ya?” Mario kemudian melangkahkan kaki ke arah pintu rumah. Salah satu keunikan Mario adalah apabila merasa bingung, gugup atau salah tingkah, ia akan kehilangan arah. Contohnya, ya, saat ini. Karina berusaha menahan tawa. “Tapi, pagarnya ada di sana, Io.” Karina mengarahkan telunjuknya ke depan. “Atau kamu mau mampir dulu? Kalau iya, ayo, masuk.” Karina sengaja mengayunkan tangannya, mengajak lelaki itu masuk ke rumahnya. “Nggak, Karina, nggak,” tolak Mario dengan tangannya bergerak membentuk huruf X. “Aku pulang saja, ya, sudah malam.” Mario pun berbalik badan, pada akhirnya berjalan ke arah yang benar. “Siapa juga yang ngomong kalau ini masih pagi, Io? Tapi kamu, sudah pesan ojek online?” “Oh, iya, ya, belum pesan,” ringis Mario canggung. Otaknya mendadak agak susah untuk diajak berpikir dengan benar. Mario kemudian merogoh ponsel di saku. “Kalau begitu, aku pesan sekarang.” “Nggak perlu buru-buru banget, Io, santai saja,” sambung Karina. “Tapi aku masuk ke rumah sebentar, ya? Boleh, kan?” Karina meminta izin. “Kalau ojek onlinenya sudah datang, jangan langsung pulang, lho.” Mario hanya tersenyum singkat lanjut mengangguk. Karina tadi sempat meminta Mario untuk naik taksi online, tapi lelaki itu malah menolaknya. Katanya, Katanya lebih suka naik ojek online sekaligus ingin menikmati suasana malam. “Pakai ini, Mario.” Karina keluar dari rumahnya dengan membawa jaket bomber berwarna merah marun. “Kamu pasti benar-benar panik sampai nggak sempat memilih baju atau sekadar ambil jaket.” Karina menyerahkan jaket itu sambil mengembangkan bibir sedikit. “Banyak debu, udara malam juga cukup dingin. Jadi, kamu pakai jaket ini, ya? Ukurannya cukup besar. Aku yakin cukup untuk kamu.” “Ah, iya, terima kasih.” Mario lagi-lagi tersenyum lalu mengambil jaket itu dan menggunakannya. “Kamu benar, Karina. Jaket ini sangat pas di tubuhku. Sekitar dua hari lagi aku kembalikan.” Karina yang sekarang mengangguk. “Aku pulang dulu, ya. Ojek onlinenya sudah datang. Bye, Karina. Setelah ini istirahat, jangan keluyuran.” “Bye, Mario. Hati-hati. Pagarnya di sana, jangan hilang arah.” Mario tertawa singkat lanjut melambaikan tangan. ‘Dia baik sekali. Kenapa Davin nggak bisa bersikap sebaik itu, ya, ke gue?’ ucap Karina dalam hati setelah sosok Mario menghilang dari pandangannya. Beberapa menit kemudian Karina malah berusaha menghalau pikiran-pikiran itu. ‘Ah, Karina, ini sudah kesekian kalinya lo membandingkan Mario dengan Davin. Terima saja, kalau pacar lo itu Davin, bukan Mario.’ *** Karina sudah selesai membersihkan diri. Gadis itu tidak mengenakan baju tidur, malah mengenakan atasan lengan panjang warna hitam dengan belahan d**a rendah, juga rok mini warna coklat. Karina juga sedang berusaha menghubungi salah satu teman baiknya, Danial, sambil memoles bibirnya dengan lip cream berwarna merah. Panggilan pertama dan kedua tidak ada jawaban. Karina pun menekan lingkaran warna merah di layar ponselnya. Beberapa menit kemudian, ia melakukan panggilan yang ketiga. Pada akhirnya dijawab juga oleh laki-laki itu. “Iya, halo.” Danial berbicara dengan suara khas bangun tidurnya. “Lo tidur, ya, Dan?” Karina menimpali, agak protes. “Tumben sekali seorang Danial jam segini sudah tidur? Benar-benar sudah berhasil mengubah gaya hidup?” “Ini siapa, sih? Jam berapa ini? Ganggu waktu tidur gue saja!” “Bagaimana bisa, Danial? Masa iya, lo melupakan suara gue yang merdu ini?” Karina kembali protes. “Bangkit dari ranjang dan ke kamar mandi dulu, sana, cuci muka.” “Oh, Karina. Sudah, ya. Gue tutup. Bye!” “Lo harus menemani gue! Ke klub! Siapa yang akan menemani gue kalau bukan lo?” Danial belum sempat memutus sambungan telepon, tapi sudah dicegah terlebih dahulu oleh Karina. Lelaki itu sedang tidak bisa diajak bicara basa-basi. Maka dari itu, Karina sedikit berteriak. Membuat rasa kantuk Danial juga hilang seketika. “Ayo, siap-siap! Kemudian jemput gue! Nggak pakai lama, ya, gue tunggu!” Karina agak memaksa. “Sejak kapan gue mau diatur-atur sama lo? Pergi sendiri sana! Atau ajak saja Mario atau Vania! Lo juga, pasti bertengkar hebat, kan, sama Davin?” “Buruan, Danial! Please! Gue jenuh ini!” Karina kembali memaksa, bersikap seenaknya. “Kalau lo sengaja tutup telepon, gue akan menelepon lo lagi, berkali-kali, sampai lo mau menerima ajakan gue!” Karina menjeda kalimat. “Apa perlu gue yang jemput? Lo ada di mana? Rumah atau apartemen?” “Mematikan ponsel bukan hal yang susah untuk gue, Karina.” Karina mendadak diam, sengaja, itu caranya agar Danial segera menuruti permintaannya. “Oke, tunggu, gue siap-siap,” papar Danial setelah menghembuskan napasnya kasar. “Mungkin, butuh satu atau dua jam untuk tiba di rumah lo.” “Lebih cepat akan lebih baik, Danial. Gue tutup, ya. Bye.” Ketika Karina merasa jenuh, sudah pasti ia akan menghubungi Danial. Hanya laki-laki itu yang selalu mengiyakan ajakan Karina untuk melepas penat. Vania bisa mengiyakan, tapi hanya di waktu-waktu tertentu. Mungkin sekarang, Vania sedang hanyut dalam mimpi. Setelah Karina meninggalkan kampus, Vania juga ikut pulang karena harus membantu sang mama, pasti gadis itu lelah sekali. Sedangkan Mario, jarang sekali mau. Kalau pun mau, sudah pasti karena diundang oleh seseorang, juga karena ingin menghargai seseorang yang mengundangnya. Mario tidak suka menghabiskan waktunya di tempat seperti itu. Mario lebih memilih untuk menenggelamkan diri dalam mengerjakan laporan keuangan dari beberapa bisnis sederhananya dengan Danial, bisa juga membaca buku atau sekadar rebahan di ranjang sambil bermain ponsel.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD