2 - Hubungan Beracun Sejak Tiga Tahun Lalu

2184 Words
“Tampaknya nggak lama lagi dua teman baik gue akan menikah,” Karina berjalan beriringan dengan Vania dan Mario ke parkiran mobil. Sedangkan Danial pamit sebentar untuk bertemu temannya. “Danial memang susah untuk ditebak. Iya, kan?” Karina sengaja menyenggol keras lengan Vania, menggodanya habis-habisan. “Lama-lama sakit, lho, Karina. Lagipula Danial itu hanya bercanda! Semua perempuan yang pernah dia dekati dan pacari pasti pernah dia goda dengan kalimat semacam itu!” Vania mengelak keras. “Gue sangat yakin!” “Aku bisa pastikan hanya kamu perempuan yang pernah dia ajak menikah,” sambung Mario ikut meledek. “Aku sedikit tahu kalimat apa saja yang pernah dia ucapkan ke perempuan-perempuan itu. Dan, ya, tidak pernah ada kalimat yang seperti tadi. Danial bukan laki-laki yang mudah untuk mengajak seorang perempuan menjalani hubungan serius.” “Aku anggap kamu sedang berbohong, Mario. Danial juga, pasti dia sengaja mempermalukan aku. Ya, kamu lihat saja tadi, Danial sengaja mengeraskan suaranya. Kemudian aku dan dia diledek habis-habisan oleh teman-teman yang masih ada di kelas. Mau taruh di mana mukaku setelah ini, Mario? Aku malu sekali!” “Aku sudah belasan tahun mengenal Danial, Van. Jauh lebih awal dari kamu dan Karina mengenalnya.” Mario dan Danial pernah bersekolah di SD yang sama. Mengenal sejak bocah sampai menginjak dewasa awal dan masih saja berteman baik. “Mungkin kamu sesuai dengan kriteria perempuan yang ingin Danial jadikan pendamping hidup.” Mario menambahkan. “Aku juga yakin, Danial akan ‘menghantui’ kamu dengan kata-kata itu. Jadi, apa kamu nggak mau mempertimbangkannya? Bukankah kehidupanmu akan sangat berwarna apabila menikah dengan Danial?” “Harus ‘tahan banting’. Mantan pacar, teman perempuan juga penggemar beratnya bisa dipastikan akan menggila.” Vania kembali mengoceh. “Nalau aku tekanan batin bagaimana, Io? Ya, memangnya perempuan mana yang siap menghadapi hal-hal seperti itu?” Karina tiba-tiba menyela. “Kepribadiannya hangat dan mudah bergaul. Penampilan fisik diatas rata-rata. Kemampuan mengelola keuangannya bisa dikatakan cukup baik meski pun masih suka foya-foya. Masih kuliah tapi sudah memiliki penghasilan sendiri yang gue rasa cukup menjanjikan.” “Danial juga terlahir sebagai anak tunggal dari keluarga yang sangat berkecukupan. Satu-satunya pewaris dari bisnis skala besar milik orang tuanya. Jadi, wajar sekali kan kalau banyak perempuan yang mengantre untuk mendapatkan hatinya? Lo sendiri antrean nomor berapa, Van? Lalu, kalimat lo yang tadi dapat diartikan sebagai lo yang sempat kepikiran konsekuensi apabila menikah dengan Danial. Iya, kan?” Vania mendadak menghentikan langkah kaki. “Nama lo dan Mario masih mau gue cantumkan atau nggak? Kalau masih mau, berhentilah bicara!” Karina dan Mario ikut menghentikan langkah kaki. “Nggak masalah kalau pisah kelompok. Gue dengan Mario, lo dengan Danial. Itu yang lo mau, kan?” Karina lanjut bercanda. “Ayo, sekarang kita bertiga ke ruang dosen, siapa tahu ada Bu Devi.” Vania mendadak bersedekap. “Lo dan Mario ingat baik-baik, ya. Gue dan Danial hanya berteman. Sampai kapan pun akan tetap seperti itu. Titik.” “Hati-hati saja, Van, takutnya kemakan omongan sendiri.” Mario masih saja iseng kemudian berjalan sambil memasukkan tangan ke saku. “Jadi mengerjakan tugas? Kalau nggak jadi, aku balik, ya? Bye, Karina dan Vania. Aku nggak jadi antar kamu pulang, Van. Nggak masalah, kan, kalau kamu diantar sama Danial?” Karina pun langsung saja menarik tangan Vania, mengikuti langkah kaki Mario menuju parkiran mobil. *** “Karina!” Karina langsung saja menolehkan kepala ketika mendengar seseorang memanggil namanya. Dia kenal sekali dengan suara ini, milik salah satu orang terdekatnya. “Mau ke mana kamu?” “Davin? Kamu ada di sini? Sejak kapan?” Karina cukup kaget, langsung saja ia melepaskan tangannya dari handle pintu mobil Danial. Mario pun mengikuti pergerakan Karina. Davin Pradiftha atau Davin sudah menjalin hubungan dengan Karina selama lebih dari tiga tahun. Tiga tahun lebih pacaran, tapi hanya beberapa bulan Karina merasa benar-benar bahagia. “Sejak tadi kamu mengintai aku?” “Satu setengah jam yang lalu, mungkin.” Davin mendekatkan jarak. Karina mulai was-was, karena Davin terlihat dingin sekali. “Kamu belum menjawab pertanyaanku, Sayang.” “Mau ke kafe atau mall. Mengerjakan tugas.” Danial tiba-tiba muncul. Berjalan mendekati Davin dengan seringai di wajah tampannya. Sementara Vania hanya bersandar di mobil, terlalu malas menimpali Davin. “Kenapa memangnya? Mau ikut?” “Kalau mau ikut, silakan. Siapa tahu lo betah duduk satu meja dengan Vania, Mario dan gue. Gue jamin, kita bertiga adalah orang yang menyenangkan.” Danial malah meledek. Davin balas menyeringai. “Gue tanya ke pacar gue, bukan lo. Lo ini, terbiasa untuk memotong omongan orang lain?” Davin tidak suka sekali apabila ada orang asing yang ikut campur dengan urusannya. “Cukup, Davin, hentikan,” sela Karina. “Katakan saja apa yang kamu mau.” “Kamu, Karina! Ikut denganku!” “Hei, Davin, lo paham omongan gue kan?” Danial berusaha bicara dengan nada sesantai mungkin. “Vania, Mario dan gue ada perlu sama Karina. Mengerjakan tugas kuliah. Lo nggak berhak mengatur Karina mau melakukan apa, pergi ke mana dan bersama siapa.” “Lo sendiri punya hak apa untuk mengatur apa yang mau gue lakukan?” Davin menatap nyalang Danial. “Bahkan gue dan lo saja nggak berteman. Oh, jangankan berteman, kenal juga nggak.” “Lo sudah memancing keributan di tempat ini, Davin. Pergi sekarang sebelum gue dan Danial mengusir lo dengan cara yang agak kasar.” Mario ikut berbicara sembari berjalan mendekati Davin. “Aku baru tahu, Sayang. Sekarang kamu sewa dua bodyguard untuk melindungi kamu?” Davin bicara dengan nada merendahkan. “Kamu bayar berapa dua laki-laki ini?” Danial tersenyum mengejek. “Kalau Karina punya bodyguard seperti Mario dan gue, yang ada posisi lo akan terancam. Lo siap kalau posisi lo akan digantikan oleh Mario atau gue?” Davin mengepalkan tangannya. Kepalan tangannya ini sebenarnya sudah sangat siap untuk membungkam mulut dua lelaki itu. Akan tetapi lelaki itu memilih untuk menahannya. “Mario! Danial! Davin! Berhenti!” Karina agak menyentak setelah melihat kepalan tangan Davin. Kalau dia tidak berusaha memisahkan, tiga laki-laki itu pasti akan berakhir baku hantam. Karina juga kesal karena Vania terlihat santai, tidak berinisiatif untuk membantunya. Davin menyeringai. “Bahkan sekarang namaku kamu sebut paling terakhir.” Davin kemudian menatap nyalang sang pacar. “Aku harus bicara dengan kamu. Sekarang. Hanya berdua.” “Oke, aku akan ikut dengan kamu,” sambung Karina. “Aku pergi dengan Davin dulu, ya, Mario. Aku janji akan menyusul kamu, Danial dan Vania.” Karina melakukan kontak mata dengan seseorang yang posisinya paling dekat dengannya, Mario. Laki-laki itu juga refleks mengangguk. “Vania, Danial, gue duluan. Jangan lupa, kasih kabar ke gue.” “Ya, Karina, hati-hati. Oh, ya, gue tunggu.” Vania pada akhirnya bersuara. Davin langsung saja menggenggam erat pergelangan tangan Karina, menariknya menuju ke mobil yang ternyata terparkir tidak jauh dari mobil Mario. “Pelan-pelan saja jalannya, Davin. Selain itu, jangan menggenggam pergelangan tanganku terlalu erat. Itu menyakitkan!” Karina menggerutu dikarenakan sang pacar yang selalu saja bersikap seenaknya. “Egois sekali orang itu,” kritik Vania untuk Davin sembari bersedekap. “Selalu saja mengacaukan semuanya. Karina juga, selalu merasa tidak punya kekuatan serta keberanian untuk melawan. Padahal sejauh ini Davin hanya mengumbar kata-kata. Bukankan itu sangat menyebalkan? Benar begitu, kan?” Vania menatap bergantian Mario dan Danial. Dua laki-laki itu secara serentak bergeleng, tercengang dengan tingkah Davin. “Ayo,” kata Danial kemudian gegas masuk ke mobil. “Gue sudah janji ke Karina untuk tanggung jawab. Kalau kalian berdua hanya diam di tempat, kita bisa kehilangan jejak.” *** Karina sudah berkendara bersama Davin hampir dua puluh menit. Akan tetapi sampai detik ini, Davin sama sekali tidak mengajak Karina berbicara. Jangankan bicara, melihat ke arah Karina saja tidak, hanya fokus ke badan jalan. “Kalau kamu tidak ada keinginan untuk mengajak aku bicara, kenapa juga kamu minta aku untuk ikut dengan kamu?” Davin masih saja bergeming. “Tadi kamu mendengarkan perkataan Danial dan Mario, kan? Aku mau mengerjakan tugas dengan teman-temanku tapi kamu malah bersikap seenaknya!” Karina berbicara dengan nada cukup tinggi. “Sudah puas mengeluhnya?” Davin akhirnya buka suara. “Jangan menjadikan mengerjakan tugas sebagai alasan kamu untuk menghindari aku,” lanjutnya dengan membentak. “Apa kamu benar-benar tidak menyadari kesalahan kamu?” “Aku minta maaf karena nggak angkat telepon dan balas pesan. Maaf karena aku berusaha untuk kasih kabar ke kamu.” “Kamu benar-benar keterlaluan, Karina! Kamu membohongi aku!” Davin meninggikan suara, jauh lebih tinggi dari suara Karina tadi. Karina agak melonjak. “Aku rasa ini hanya kesalahan kecil. Jadi kamu tidak perlu bicara dengan suara sekeras itu,” tegur Karina. “Lagipula aku sudah minta maaf. Apa itu belum cukup? Kamu juga, bisa nggak sih, jadi orang yang sabar sedikit? Jangan apa-apa pakai emosi. Padahal aku sudah sering memperingatkan kamu. Masih belum mengerti juga?” “Kalau begitu, mulai besok kamu tidak usah lagi berteman dengan Vania, Danial dan Mario!” Davin masih berbicara dengan nada sangat tinggi. “Kamu tidak bisa mengaturku, Davin. Aku bebas berteman dengan siapa pun, selama itu bisa membuatku merasa senang. Mami dan Papi saja tidak pernah melarang aku. Lalu kenapa kamu dengan seenaknya melarang aku?” Karina tak terima diperlakukan seperti itu. “Kalau kamu seenaknya saja mengaturku. Apa aku bisa melakukan hal yang sama ke kamu?” Karina kembali bicara dan Davin malah memalingkan muka. “Aku nggak suka melihat kamu bersama dengan Mario dan Danial. Mereka itu bisa jadi ancaman buat aku,” papar Davin. “Perlu kamu simpan baik-baik di ingatan kamu itu. Aku nggak ingin posisiku digantikan oleh siapa pun.” “Kamu terpengaruh dengan perkataan Danial? Jangan terlalu serius dalam menanggapi perkataannya.” Karina menaikkan salah satu sudut bibirnya. “Aku hanya berteman dengan Mario dan Danial.” “Sampai sekarang Mario masih belum bisa melupakan mantannya. Kalau Danial, aku nggak akan pernah cocok dengannya. Danial itu sangat tidak suka dengan perempuan berkarakter manja dan kekanakan seperti aku.” “Kalau dia tidak tertarik dengan kamu, bagaimana bisa dia berkata seperti itu?” Davin seketika meminggirkan mobil sekaligus mengerem mendadak, membuat Karina terkaget. “Bukankah peluangnya akan menjadi lebih besar, untuk kamu dan salah satu dari mereka?” “Kamu menuduhku akan berselingkuh?” Karina merasa kekesalannya sudah naik ke ujung kepala, bisa saja akan meledak. “Bagaimana bisa, Davin?” “Aku tidak akan pernah percaya dengan dua laki-laki itu.” Davin kembali menghadap depan. “Kamu juga berkata bahwa kamu tidak akan pernah tertarik dengan Danial. Lalu, bagaimana dengan Mario? Aku tahu bagaimana cara laki-laki itu memperlakukan kamu, Karina.” “Kalau kamu nggak mau menjawab, aku akan menganggap kamu mengiyakannya.” “Kamu selalu saja menyimpulkan sendiri akan sesuatu.” Karina diam sejenak. “Kalau pun suatu hari nanti Mario kembali menjalin hubungan, perempuan itu jelas bukan aku.” Davin malah menyeringai. “Jawaban kamu tidak sesuai dengan apa yang aku mau.” Davin bergeming sejenak. “Aku nggak mau tahu. Kamu harus menjauhi Vania, Danial dan Mario. Kalau kamu tidak bersedia melakukannya, aku sendiri yang akan bertindak. Selama ini aku sudah cukup sabar dalam menghadapi tingkah kamu.” “Kamu? Sabar? Apa aku nggak salah dengar?” Karina keheranan dengan perkataan Davin. “Kalau aku harus menjauhi Vania, Danial dan Mario, ya, kamu harus melakukan hal yang sama. Menjauhi perempuan yang selalu ada di dekat kamu itu. Bagaimana? Bukankah itu adil untuk kita berdua?” Davin menaikkan salah satu sudut bibir. “Kita hanya akan membahas hubungan kamu dengan Vania, Danial dan Mario. Bukan hubunganku dengan siapa pun.” “Sudah kuduga, kamu benar-benar tidak bisa lepas dari perempuan itu.” Karina agak berteriak. “Sudah lah! Lebih baik kamu turunkan saja aku!” “Silakan, pintunya tidak dikunci,” ucap Davin. “Kamu yang meminta sendiri, ya, bukan aku yang menyuruh apalagi memaksa.” “Davin!” Karina merasakan air matanya mulai menggenang. “Kamu serius mau menurunkan aku? Di pinggir jalan seperti ini? Kamu nggak berusaha untuk menahanku?” “Aku buru-buru, Karina. Ada keperluan lain yang bersifat mendesak. Aku juga nggak peduli dengan anggapan kamu tentang aku.” “Keperluan apa?” Karina ingin sekali tahu. “Bertemu seseorang? Siapa? Di mana? Sampai jam berapa? Laki-laki atau perempuan? Kamu nggak minta izin dulu ke aku?” “Kamu saja nggak menghiraukan aku, juga nggak mau menuruti perintahku,” tutur Davin. “Jangan salahkan aku kalau sekarang melakukan hal yang sama.” “Terserah kamu saja! Bye, Davin! Hati-hati!” Karina gegas keluar dari mobil, menutup pintu agak keras. Davin langsung menekan gas, pergi dari tempat itu tanpa berkata apa pun. Karina kemudian berjongkok, menundukkan kepala dan bulir-bulir air mata jatuh melewati pipinya. Melepaskan kekesalan yang sudah tidak mampu ia tahan. Beberapa menit kemudian, sebuah mobil mewah berwarna putih berhenti tepat di depan Karina. “Ayo, Karina.” Karina menengadah lalu menghapus air mata dengan punggung tangannya. “Mma-Mario? Danial? Vania? Kalian bertiga membuntuti gue?” Mario lanjut memegang kedua lengan Karina, membantunya berdiri. Danial membuka kaca mobil. “Gue kan sudah janji mau tanggung jawab. Davin sudah pasti menyakiti hati lo. Tapi paling nggak, hari ini dia nggak menyakiti fisik lo. Ayo, Mario, lo bantu Karina masuk ke mobil.”
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD