1 - Karina dan Tiga Teman Baiknya

1629 Words
Gadis berparas cantik dengan tinggi badan sekitar 166cm, rambut panjang bergelombang warna brunette dan berkulit cerah sedang berada di lift salah satu kampus swasta di Jakarta Selatan dengan memeluk buku bertuliskan ‘Manajemen Investasi dan Portofolio’ menggunakan tangan kanan sementara tangan kiri memegang ponsel. Gadis itu bernama Karina Anastasia, akrab disapa Karina. Karina mengeratkan buku ke tubuhnya. Tetesan keringat juga telah membasahi kemeja tartan merah mudanya. Dia takut datang terlambat karena dosen yang mengajar hari ini tidak akan pernah memberi ampun ke mahasiswa atau mahasiswi yang datang setelahnya. Mahasiswa dan mahasiswi tidak akan diperkenankan untuk meskipun telah memohon habis-habisan ke beliau. Karina juga merasa terganggu karena sang pacar sejak jam enam tadi entah sudah berapa kali menghubunginya. Saat ini memang terdapat panggilan yang masuk ke ponsel Karina. Meskipun ponsel itu berada di tangan, tapi Karina hanya sesekali melirik juga mengaturnya dalam mode silent. Terlalu malas untuk sekedar mengangkat telepon dari lelaki yang menurutnya semakin lama semakin menyebalkan itu. Lift sudah tiba di lantai enam dan Karina langsung berlari menuju kelas. Pak Efendi, dosen yang mengajar ternyata belum datang. Karina pun celingak-celinguk di depan kelas guna mencari tiga teman baiknya. Terlihat gadis dengan rambut hitam kuncir kuda melambaikan tangan. Gadis berkuncir kuda dengan kemeja biru polos bernama Vania Gabriela, biasa dipanggil Vania. Karina melambaikan tangan balik lanjut berjalan gontai ke arah teman baiknya. Menaruh buku di atas bangku dengan napas tersengal-sengal. Sementara ponselnya masih saja ia genggam. “Ehm, Karina, ini udah ke berapa kalinya ya datang terlambat?" Vania agak menyindir. “Lo berteman baik sama gue sudah sekitar tiga tahun, jadi nggak perlu gue jelaskan sudah paham gue luar dalam,” dalih Karina setelah berhasil mengatur napas. “Pagi-pagi nggak usah ajak gue ribut sih, Van, mood gue lagi buruk nih. Lo lihat saja, laki-laki satu ini sejak jam enam tadi nggak ada bosan-bosannya telepon gue! Kurang kegiatan apa bagaimana, sih, dia ini?” Karina mengarahkan layar ponselnya ke Vania. “Davin kan? Pacar kesayangan lo? Angkat lah. Hubungan lo sama laki-laki satu itu kan, ehm, sudah runyam. Jadi ya, saran gue, nggak perlu dibuat makin runyam,” celoteh Vania seenaknya. ‘Ah, Vania ini, sama menyebalkannya seperti Davin!’ cemooh Karina dalam hati. “Gue bisa menebak apa yang lo ucapkan dalam hati, Karina,” terka Vania sambil melirik ke teman baiknya yang tampak sangat kesal itu. “Pasti lo berkata kalau gue sama menyebalkannya dengan Davin. Iya, kan?” Vania menyeringai kemudian mengalihkan pandangan ke layar ponsel. “Gue nggak terima kalau harus disamakan dengan laki-laki itu!” Seketika tangan kekar seorang laki-laki dengan cepat merebut ponsel canggih dengan tiga kamera boba itu dari tangan Karina. “Kalau lo nggak mau angkat, sini, biar gue saja yang angkat!” Danial Syahreza atau Danial, laki-laki yang disebut pria sejuta pesona oleh banyak perempuan di luar sana itu sengaja memperlambat gerakannya menggeser layar ponsel ke kanan. Lebih tepatnya berusaha menggoda Karina. “Eh, Danial, jangan,” sergah Karina secepat mungkin. “Kalau lo yang angkat, yang ada gue bisa dicekik sama Davin!” Karina berusaha merebut kembali ponsel itu tapi Danial malah mengangkat tangannya tinggi-tinggi. Perbedaan tinggi badan sebanyak 17cm antara Karina dan Danial membuat gadis itu kesulitan untuk menjangkaunya. “Bukan lo yang dicekik sama Davin, Karina, tapi gue,” papar Danial. “Atau lo pilih mana? Gue atau Mario yang dicekik?” Danial malah membuat Karina semakin merasa sebal. “Kalau gue yang dicekik sepertinya lo akan bersikap biasa saja. Maka dari itu, Mario, lo angkat ini telepon dari Davin.” Danial malah menyodorkan ponsel itu ke Mario, namun sengaja tidak Mario terima. Lelaki berperawakan tinggi juga tampan yang bernama Mario Sebastian itu sudah terbiasa melihat tingkah mengesalkan Danial ke Karina. “Nggak ada! Sudah! Kembalikan ponsel gue!” Karina agak menyentak. Karina kembali berusaha menyambar ponselnya. Akan tetapi sebelum benda itu sempat disentuh olehnya, Danial sudah menerima panggilan masuk dari Davin. “Hai, Davin Sayang. Ada apa?” Danial sengaja bicara dengan sangat centil. “Danial!” Karina berujar tanpa mengeluarkan suara. Sungguh, kepalanya pusing karena pagi hari ini harus melihat notifikasi dari Davin di ponselnya, juga harus menghadapi Danial dengan tingkah asalnya. Danial malah mengarahkan telunjuk ke depan bibirnya, menyuruh Karina untuk diam. “Kenapa lo yang angkat telepon?” Davin mengerutkan dahi, bertanya dengan sinis. “Gue nggak ada urusan sama lo. Karina mana? Buruan kasih ponsel itu ke pemiliknya!” “Kenapa sih, Davin Sayang? Kok marah-marah? Kalau ada pesan untuk Karina, ngomong saja, nanti gue sampaikan. Atau lo mau beralih kasih pesan buat gue? Boleh banget lho, silakan. Dan lo, hapal banget dengan suara merdu gue, ya?” lanjutnya dan Davin secepat kilat memutus sambungan telepon itu. Danial menjauhkan ponsel Karina dari telinganya lalu senyum-senyum sinis sembari melirik pemilik ponsel itu. “Lo ini! Menambah beban hidup gue saja!” Karina akhirnya berhasil mendapatkan ponselnya. Gadis itu segera duduk di bangkunya sambil bersedekap. “Lo duluan yang memulai,” timpal Danial. “Lo yang memutuskan untuk nggak mengangkat telepon dari Davin. Bukankah hal itu nantinya akan menjadi masalah? Kesalahan sekecil apa pun bisa menjadi masalah yang besar untuk Davin. Dia itu bukannya suka melebih-lebihkan sesuatu ya?” Danial malah menyindir, membuat Karina langsung saja buang muka. “Gue akan tanggung jawab, Karina,” ujar Danial. “Lo akan baik-baik saja kalau ada gue, juga Mario dan Vania. Jadi, nggak perlu merajuk seperti itu,” Karina masih memalingkan muka. Malas sekali berinteraksi dengan Danial. “Eh, Yo, diam saja dari tadi. Lo ajak ngobrol itu si Karina, raut wajahnya yang masam itu akan berubah kalau lo yang ajak dia ngobrol. Ah, gue nggak pernah suka dengan raut wajah Karina yang seperti itu. Jelek sekali!” “Jangan kaitkan gue dengan masalah lo dan Karina,” sambung Mario. “Lagipula lo yang berulah, lo yang buat moodnya hancur, kenapa gue yang harus buat dia kembali ketawa?” “Kalau gue yang buat dia ketawa, lama-lama Karina bisa kebawa perasaan. Kalau dia mulai jatuh cinta sama gue, bagaimana? Apa itu nggak akan jadi masalah buat lo dan gue?” Danial berbicara ambigu. Kalau tadi dia berusaha menggoda Karina, kali ini dia berusaha menggoda Mario. Ucapan penuh makna Danial juga sukses membuat Mario menautkan alis. “Ada apa sih? Kenapa berisik sekali?” Vania pada akhirnya menaruh ponsel di bangku kemudian ikut nimbrung dengan pembicaraan tiga teman baiknya. “Kenapa baru sekarang bicaranya, Vania?” Karina kembali bersuara, masih saja sambil melipat tangan di depan d**a. “Kenapa nggak bantu gue? Sejak tadi sibuk banget sama ponsel. Punya gebetan baru lo?” Vania tidak menghiraukan malah berpindah merogoh tas berukuran cukup besar yang ia bawa dari rumah. Mengambil empat kotak kemudian menyerahkan satu-persatu ke Karina, Danial dan Mario. “Nasi merah, dori asam manis, dan capcay. Gue jamin, makanan itu sangat bisa dinikmati. Jadi, harus kalian habiskan, ya? Tapi kita makan di tempat lain saja. Bagaimana? Kuping gue panas kalau terus-terusan mendengarkan perdebatan tidak penting kalian." Vania diam sesaat. “Oh, ya, air mineralnya kalian beli sendiri, ya.” Vania memang seringkali membawakan bekal untuk ketiga teman baiknya. Dia senang sekali memasak untuk orang-orang terdekatnya. Dan yang lebih membuatnya bahagia, ketiga teman baiknya itu selalu menerima dengan senang hati, bahkan tidak merasa gengsi untuk memuji masakannya. Baru kali ini Vania merasa sangat dihargai dalam lingkaran pertemanan. “Thanks, Vania! Sudah pasti akan dihabiskan. Gue nggak akan meragukan rasanya kalau lo yang masak.” Danial mendadak semringah kemudian mengambil kotak bekal itu. “Spesial buat gue, dibawakan bekal setiap hari, boleh atau nggak?” “Memangnya lo siapa?” Vania membalas. “Gue nggak berminat karena ketenangan hidup gue bisa terancam kalau melakukan itu. Pasti gue akan dapat banyak hujatan dari fans-fans lo yang terkenal beringas itu. Disindir cari muka, sok perhatian, berusaha menggoda dan lain sebagainya,” lanjutnya kemudian diam sejenak. “Eh, tapi, kalau lo mau kasih imbalan yang setimpal mungkin bisa gue pikirkan. Ya, gue hanya nggak mau memberikan sesuatu secara cuma-cuma. Bagaimana? Tertarik dengan tawaran gue?” “Terima kasih untuk makanannya, Van, aku juga tidak akan membiarkan satu butir nasi pun tersisa di kotak bekal ini,” potong Mario kemudian bangkit dari duduknya. “Ayo, Karina, biarkan saja mereka berdua menyelesaikan urusan.” Mario refleks menepuk bahu Karina. Mengajak gadis itu gegas meninggalkan kelas. Karina pun senyum-senyum iseng sambil melirik Mario. Mood Karina yang buruk mulai membaik karena perhatian kecil yang diberikan Vania. “Ngomong-ngomong, ini bentuk permintaan maaf lo, Van? Karena tadi nggak bantu gue?” Karina mengarahkan pandangannya ke Vania sambil menarik kedua sudut bibirnya. “Tapi, terima kasih, ya.” Karina berkata sambil mengangkat kotak bekal itu agak tinggi. “Gue teman yang baik dan perhatian, kan?” Vania lagi-lagi membanggakan dirinya. Karina langsung saja beranjak pergi. Berjalan beriringan dengan Mario ke arah pintu. “Kamu sengaja, ya, nggak kasih tahu aku kalau hari ini nggak ada dosen?” Mario tertawa singkat. “Vania dan Danial sengaja menyuruh aku untuk nggak kasih tahu ke kamu. Supaya kamu heboh dan buru-buru ke kampus. Kalau kamu mau marah, ke Danial dan Vania, ya, jangan ke aku.” “Sejak kapan aku bisa marah sama kamu, Io?” Karina membalas sembari tersenyum tipis. "Eh, Karina, Mario! Kok gue ditinggal?” Vania segera bangkit. Baru saja dia akan melangkahkan kaki tapi pergelangan tangannya malah digenggam oleh Danial. “Apa sih, Danial? Gue ditinggal sama Karina dan Mario itu. Ayo, buruan, susul mereka.” “Sorry, Vania, tapi pembicaraan kita berdua belum selesai,” jelas Danial. “Tentu saja gue bisa kasih lo imbalan.” Danial sengaja mengeraskan suara sehingga Karina, Mario dan teman-teman yang tersisa di kelas bisa mendengarkan segala kalimat yang ia lontarkan. “Lo mau jadi pacar gue?” Vania seketika melongo dibuatnya. “Oh, jangan pacar, tapi calon istri. Itu imbalannya. Bagaimana? Tertarik untuk menikah sama gue, Vania Gabriela?”
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD