Lokasi syuting

1365 Words
Tubuh Arinda sudah membaik dan demamnya sudah turun. Wira ternyata seorang dokter dan informasi dari Winda itu membuatnya terkejut. Apa lagi Winda ternyata sepupu Wira. Winda benar-benar sinting, selama ini aktingnya begitu memukau hingga Winda berpura-pura menjadi pengagum para pewaris grup Agriya yang terkenal tampan. "Si Bos ke lokasi sama Bagus, kita disuruh nyusul, Rin," ucap Winda sambil menatap penampilan Arinda yang tetap saja memuja meski tampa polesan makeup. Arinda menguncir rambut panjangnya yang bergelombang dibawah, tapi rambut atasnya terlihat lurus. Arinda memakai jeans dan kemeja biru muda kemudian ia memakai sepatu kets berwarna putih hingga membuatnya terlihat seperti seorang mahasiswa. Sedangkan Winda memakai rok tutu dan kaos bewarna pink beserta topi lebarnya dan sendal jepit. Perbedaan outfit keduanya terlihat sangat mencolok dan penampilan Winda memang lebih feminim dibandingkan Arinda. "Yakin pakai sendal jepit dan rok tutu itu?" tanya Arinda menatap Winda dengan tatapan menilai. Sebenarnya Arinda ingin meminta Winda memakai outfit celana panjang dan kaos saja karena tempat yang mereka datangi sepertinya memiliki jalan yangs agak sulit untuk ditempuh. U "Habis gue lupa bawa sepatu dan stok baju gue modelan gini semua Arin" jujur Winda. "Pakai baju akan aja Win!" Ucap Arinda karena ia memiliki beberapa baju lainnya yang bisa dikenakan Winda. "Nggak usah Rin," ucap Winda karena ia tidak ingin merepotkan Arinda. Arinda membuka kopernya dan menyerahkan sepatunya "Ukuran tiga delapan masih masuk walau agak kegedean dikaki kamu Win," ucap Arinda dan kali ini ia sedikit memaksa agar Winda memakai sepatu miliknya. "Okelah...dari pada nanti diomel pak bos" ucap Winda menyadari jika ia memakai sendal sepertinya ia akan di tegur atasan mereka. Winda segera memakai sepatu yang diberikan Arinda. Tempat ini sangatlah terpencil, guest house yang mereka tempati saat ini hanya satu-satunya guest house yang terdekat. Sedangkan jarak ke lokasi yang mereka tuju sekitar satu jam setengah dengan menggunakan mobil offroad karena jalan yang akan mereka lalui sangat buruk dengan medan yang berat. "Itu pak Bos.... yang lain mana?" Tanya Winda mengedarkan pandangannya mencari tim mereka yang lain. Sebagian tim sudah berangkat langsung sejak kemarin malam. Sedangkan yang lainnya baru pagi ini menyusul ke lokasi. "Dari tadi mereka udah pergi Wiwin...kamu mandinya kelamaan!" jelas Arinda. Winda mendekati Wira dan merangkul Wira "Mas ganteng, Winda kangen bisa pelukkan kayak gini. Kalau dikantor kan nggak boleh peluk-peluk Mas Wira, mumpung orang kantor nggak ada hehehe....Arinda yang tahu hubungan kasih dan sayang diantara kita," ucap Winda terkekeh. "Ayo naik..." ucap Wira membuka pintu mobil. "Pak Bapak yakin yang nyetir? Katanya jalannya jelek Pak," ucap Arinda karena ia tidak yakin jika Wira bisa mengendarai mobil seperti ini dan melewati jalan dengan medan yang buruk. Wira menatap Arinda sekilas dan ia menatap Arinda dengan dingin membuat Arinda menelan ludahnya dan ia menyesali pertanyaannya yang kemukinan besar membuat Mahawira tersinggung padanya. Aku belum mau mati kasihan Arumi...nggak ada keluarga lagi selain aku. "Tenang aja....Arinda sayang Pak Wira ini super hero bisa semua dia. Juara offroad dia tahun berapa ya Pak?" tanya Winda karena ia bisa melihat Mahawira terlihat kesal dengan pertanyaan Arinda. "Berisik kalian, cepat naik!" ucap Wira membuat Winda menyebikkan bibirnya. Arinda dan Winda sengaja duduk dibelakang. Wira ternyata sangat mahir melewati jalan-jalan bebatuan. Beberapa kali jantung keduanya deg-degkan saat mobil mulai mundur dan hampir tak bisa mendaki. Arinda bahkan memejamkan matanya karena ia terlihat sangat ketakutan, apalagi cara Mahawira mengendarai mobilnya sangat terampil dengan kecepatan yang lumayan tinggi untuk melewati medan yang sulit ini. Apalagi di hutan seperti ini sangat sepi, jika mereka terjatuh atau mobil mengalami kerusakan akan sulit untuk orang-orang membantu mereka. "Ya ampun Mas, kalau mau jadi istri lo Mas, mesti spot jantung gini, hobi Mas sih.... laki banget dan menatang gini kalau gue jadi bini lo Mas ,bisa-bisa gue nangis kejer kalau lo ikutan olahraga ginian," jujur Winda memeluk tiang mobil dengan erat. "Saya nggak bakalan ngajak istri saya untuk ikut hoby saya yang berbahaya ini," ucap Wira dengan suara beratnya yang khas. "Masa sih Mas? mau cari istri aja lo pilih-pilih. Yang cantik banget nggak mau, yang tajir nggak mau, yang jelek apa lagi....ih" ejek Winda. Arinda memegang kuat pegangan besi sebenarnya perjalanan dengan mobil ini membuatnya cemas. Ia memilih untuk diam dan menyembunyikan ketakutanya. "Arin kalau lo takut lo duduk disamping Mas Wira!" ucap Winda. "Nggak apa-apa, aku nggak takut!" tolak Arinda. Ia tidak mau menyusahkan atasannya. Selama dua tahun bekerja di Agriya TV baru kali ini ia bisa sedekat ini dengan Mahawira karena selama ini mereka hanya akan bertemu di ruang rapat. Berbeda dengan Mahardika yang sering berinteraksi dengan karyawan lainnya. Jalan yang mereka lewati saat ini jalan tanah yang lumayan licin. Wira mulai menurunkan kecepatan dan mengendarai mobilnya dengan pelan. Hujan rintik-rintik membuat perasaan Arinda merasa sedih. Kenangan-kenangan saat hujan kembali melayang dipikirannya. Hujan dengan gerimis yang panjang membuat luka dihatinya kembali teringat. Saat hujan Aryo menyatakan cintanya, kisah yang indah saat itu tertulis di mermori otaknya berubah menjadi kisah pilu ketika hujan. Ibu...Arinda kangen...ketika hujan germisi ibu pergi menutup mata... Ketika hujan Alysa juga pergi... Arinda yang termenung membuat Winda memilih untuk diam hingga Arinda akhirnya terlihat tenang dan tersenyum menatap Winda. Sebagai seorang teman Winda cukup peka dengan keadaan Arinda yang terlihat termenung memikirkan sesuatu. Wira dengan cepat mengemudikan mobilnya karena jalan yang mereka lewati sekarang tidak seekstrim tadi. Akhirnya mereka sampai disebuah desa. Di balik hutan yang lebat terdapat sebuah desa, namun mereka harus berjalan kaki dan menitipkan mobil mereka kepada warga desa sebelah. "Kita akan jalan kaki menuju kesana!" ucap Wira segera turun dan ia membantu Winda dan Arinda untuk turun dari mobil. Winda dan Arinda menghela napasnya saat melihat Desa ini ternyata dipisahkan oleh sebuah sungai yang ternyata cukup dalam. Mereka harus menyebrangi sungai dengan jembatan yang dirakit dengan menggunakan bambu. "Warga yang memiliki kendaraan menitipkan kendaraannya disini!" ucap Wira seolah membaca apa yang ada dipikiran Arinda dan Winda ketika melihat keadaan Desa ini. "Horor banget nih jembatannya Mas, kalau jatuh bisa mampus kita!" ucap Winda jujur saja ia sangat takut melewati jembatan ini. "Kamu nggak berani?" tanya Wira meminta Winda untuk menyebranginya. "Sejujurnya Winda takut Mas," jelas Winda. Mahawira melirik Arinda yang menatap jembatan itu dalam diam. "Oke...saya antar satu-satu!" ucap Mahawira. Arinda menggelengkan kepalanya "Saya bisa Pak!" ucap Arinda menyakinkan dirinya kalau ia mampu menyebari jembatan itu. "Arin jago berenang jelas dia nggak takut, nah gue..." ucap Winda menujuk wajahnya. "Sempak gue bisa kelihatan Mas kalau jatuh disini malu-maluim tahu, mana gue cuma bisa berenang gaya batu," Jelas Winda membuat Arinda ingin tertawa mendengar ucapan Winda. "Jangan banyak omong Winda ayo kamu pegang tangan saya, kita nyebrang pelan-pelan!" ucap Wira menatap tajam Winda. "Ini kenapa nggak pemerintah bantu sih...Desa ini gimana mau maju kalau bantuannya lama banget...kasihan anak-anak disini kalau mau nyebrang," tiba-tiba beberapa anak berjalan santai walau jembatan terus bergoyang membuat Winda dan Arinda berusaha menjaga keseimbangannya. Wajah Arinda memucat membuat Wira menatap Arinda dengan tatapan kesal. Wanita cantik ini berbeda dari wanita yang selalu mencari cara untuk memanfaatkan perhatiannya. Sedangkan Arinda berusaha untuk tidak mendekatinya dan menjaga jarak padanya membuat Mahawira penasaran dengan sosok Arinda. "Jangan sok bisa kalau nggak berani, setelah mengantar Winda saya akan kesana lagi mengantar kamu kesini!" ucap Wira tegas dan ia tidak ingin dibantah. Akhirnya Winda bisa bernapas lega karena ia telah berhasil melewati jembatan. Wira dengan cepat menyebrang dan kemudian menarik tangan Arinda agar mengikutinya melewati jembatan. "Jangan takut ada saya" ucap Wira berusaha menenangkan Arinda dan ia menuntun Arinda melangkahkan kakinya melewati jembatan. "Pak, kita dibawah sungai Pak dan ini cukup tinggi kalau jatuh," ucap Arinda memegang tangan Wira dengan erat. "Sebentar lagi kita sampai. Jangan lihat kebawah!" ucap Wira membuat Arinda menganggukkan kepalanya dan akhirnya mereka berhasil menyeberangi jembatan. "Mas kok bawa ransel sih? emang kita mau nginap di Desa?" tanya Winda baru menyadari jika Wira dan Arinda membawa ransel dipunggung keduanya. "Iya, besok sekalian syuting program wisata alam. Kita akan ikut mengawasi mereka!" jelas Wira. "Mas, baju Winda tinggal di Guest house," teriak Winda panik karena ia tidak membawa pakaian ganti. "Aku bawa baju lebih Win," ucap Arinda karena ia bisa menduga jika Winda biasanya sering lupa dengan hal-hal kecil. "Mana muat ransel kecil lo ini bawa baju banyak," ucap Winda melihat ransel Arinda. "Aku gulung baju-bajunya," jelas Arinda membuat Wira menyunggingkan senyumannya. Cerdas, cekatan dan cantik itulah sosok Arinda pikirnya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD