Prolog

1011 Words
Balon-balon berwarna-warni memenuhi setiap sudut ruang tengah yang cukup luas. Pita yang menjuntai di langit-langit, membentuk hiasan untuk pesta ulang tahun. Pada dinding tempat sebuah meja dengan kue ulang tahun di atasnya, terdapat hiasan berupa tulisan Happy Birthday yang berwarna keemasan. Ruangan tersebut sudah sepi. Lilin dengan angka tujuh di atas kue sudah tertiup. Bahkan kue yang semula utuh sudah terpotong dibeberapa bagian untuk membagikan teman-temannya yang datang hari itu. Hanya tersisa beberapa sampah yang dibuang asal oleh anak-anak yang sempat memakan camilan dari bingkisan ulang tahunnya. Ketika petang beranjak menuju senja, hingga semurat jingga yang menghiasi langit menghilang dan berganti dengan gelapnya malam, gadis kecil yang baru mempelajari jarum jam itu terus memperhatikan jam dinding yang ada di ruangan tersebut. Ia melihat pada piring kertas yang tadi digunakan untuk membagikan kue ulang tahun pada teman-temannya. Sengaja, ia menyisakan satu potongan untuk orang terakhir yang janji untuk memberinya hadiah. "Ayla, udah malem. Kita beres-beres yuk." Wanita yang duduk dilantai, menunggu gadis kecilnya beranjak dari posisi berdiri di belakang meja kecil yang terdapat sisa kue ulang tahun, bersuara dengan lembut. "Papa belum dateng, Ma. Semalem, Papa bilang mau bawa boneka beruang besar buat Ayla." "Tadi Papa telepon Mama, katanya hari ini ada lembur di kantor, jadi datengnya telat. Nanti Papa pasti bawa boneka beruang buat Ayla kok." "Ayla gak liat Papa telepon Mama. Kan daritadi Mama sama Ayla." Anita tau, tidak ada gunanya berbohong dengan Ayla. Gadis kecil ini tidak mudah dibohongi. Ia menangkap segala sesuatu dengan cepat di umurnya yang baru genap tujuh tahun. Anaknya memang pintar, dan manis, Anita tidak pernah lupa akan itu. "Terus Ayla mau berdiri aja kayak gitu? Gak bosen? Mama mau setel cd ah di kamar." Anita beranjak dari duduknya, bersikap tidak memedulikan Ayla. Lalu berjalan untuk menuju kamarnya. "Ayla mau setel thomas." Gadis kecil itu berlari kecil, mengikuti Ibunya yang memasuki kamar. Anita segera menyetelkan dvd player dan memutar kaset Thomas and Friends kesukaan Ayla. Gadis kecilnya kini sudah berbaring di tempat tidur, masih mengenakan gaun ulang tahun dan bando berbentuk mahkota di kepalanya. "Mama ambil chiki sama minum dulu ya, Sayang." Ayla tidak menyahut, ia hanya mengangguk dan memfokuskan matanya pada televisi.  Anita menggelengkan kepalanya, tersenyum geli melihat tingkah laku anaknya yang tidak pernah bosan memutar cerita Thomas yang tidak berubah setiap harinya. Ayla menonton dengan serius, dan perlahan rasa kantuk menghampirinya. Gadis kecil itu menguap berkali-kali, memejamkan mata beberapa saat, lalu membukanya kembali untuk menonton kartun kesukaannya. Namun udara sejuk dari Ac dikamar Orang Tuanya, sukses membuat rasa kantuk yang memenangkan pertarungan. Ayla terlelap, ditengah suara narator dalam kartun Thomas yang terus berbicara. "Kamu itu gak tau diri atau apa? Jika bukan karena saya, kamu itu cuma anak yang besar di panti asuhan, dan bahkan berpendidikan tidak sampai SMA." Dalam tidurnya, lamat-lamat Ayla mendengar suara dengan intonasi tinggi membuat tidurnya terganggu. Ayla berusaha mengacuhkannya, namun suara beberapa pecahan barang yang terbuat dari kaca benar-benar membuat kesadarannya kembali. "PERGIIII!!"  Ayla mengucek matanya, dan terkejut mendengar teriakan histeris dari luar kamar. Itu suara Ibunya.  Ayla turun dari tempat tidur, berjalan menuju pintu kamar. Penasaran akan keributan di luar. Ketika membuka pintu kamar, ia mendapati ruang tamu rumahnya tidak dalam keadaan baik-baik saja. Beberapa perabotan berserakan di lantai, pecahan-pecahan kaca, lukisan yang digantung di dinding sudah roboh, dan meja kecil tempat telepon rumah pun sampai terbalik. "Kamu bahkan gak bisa punya anak! Kenapa kamu marah, pas tahu saya punya anak dari wanita lain? Kenapa saya gak boleh, bawa anak saya ke rumah ini?” "Saya bilang pergi!" Prangg.. Jam dinding yang ada di dekat Anita kini terlempar mengarah pada Dion, suaminya. Namun, Dion berhasil menghindari lemparan jam dinding tersebut, membuat jam itu kini hancur di lantai. "Yaa, saya pergi. Meskipun ini adalah rumah saya. Kamu memang perempuan tidak tau diri." Dion pergi begitu saja, sama sekali tidak mempedulikan Anita yang kini semakin menjerit histeris. Tangisnya semakin menjadi. Anak rambut yang biasa tertata rapi kini benar-benar berantakan. Alih-alih Ibu yang akan menenangkannya di saat ketakutan, keadaan Anita justru membuat Ayla ketakutan. Ayla masih diam di pintu kamar, tidak berani mendekat pada Anita yang masih larut dalam tangisnya. Ia tidak mengerti apa yang baru saja terjadi. Yang ia tau, Ibu dan Ayahnya bertengkar. Lalu asal usul dirinya kembali dibahas. Sosok Ayah yang ia pikir menyayanginya, tanpa peduli ia berasal dari mana, ternyata tidak benar benar menyayanginya. Ada banyak hal yang ia lakukan bersama Papa, seolah olah mereka adalah ayah dan anak sungguhan, yang ternyata tidak pernah berarti apa apa untuk Papa. Hati gadis kecil itu kembali terluka, pasca tragedy beberapa tahun lalu yang membuat dirinya terlantar begitu saja, hingga bertemu sepasang orang tua yang kini mengasuhnya. Ayla pikir, ia bisa kembali menjalani masa kecil selayaknya anak anak pada umumnya, dengan keluarga baru yang menyayanginya sepenuh hati. Lalu ia melihat ke arah pintu rumah, mobil Avanza merah yang biasa digunakan Ayahnya untuk mengantar sekolah, mesin ini kini menyala dan bersiap untuk meninggalkan rumah ini. Ayla kecil berlari keluar, berusaha menghampiri sosok lelaki yang selama ini ia banggakan. Tangan Papa yang semula bergerak di depan kemudi, seketika terhenti saat melihat sosok Ayla keluar dari dalam rumah. Dion menatap gadis kecil yang dua tahun belakangan ini hidup bersamanya, yang hadir menjadi pelengkap rumah tangganya itu. Hatinya tergerak untuk turun dari mobil, lalu melangkah mendekati Ayla. Gadis kecil itu menatapnya dengan tajam, seolah menyiratkan bahwa ia mendengar segala percakapannya tadi. “Ayla...” panggil Dion, seraya menyamakan tinggi badannya dengan Ayla, dan berdiri menggunakan lututnya. “Bonekanya mana, Pa?” “Nanti Papa balik lagi, bawa boneka beruang buat Ayla.” Tangan Dion berusaha menggapai pipi Ayla, yang segera di halau dengan gerakan mundur gadis kecil itu. Dion seketika tercengang, menyadari gerakan Ayla itu. Wajah polos yang kerap kali berseri, kini berubah menjadi dingin. Ayla menggeleng. “Gak usah,” kata Ayla. “Kalo Papa benci Ayla, gak usah kasih Ayla boneka. Ayla udah gak suka boneka.” “Papa gak benci Ayla.” Ayla tidak menangis, telinganya sudah puas mendengar tangisan ibunya yang masih meraung di dalam sana. “Makasih udah mau rawat Ayla, meski Ayla bukan anak Papa.”   ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD