Ari terperangah saat memasuki ruang kerjanya, sudah ada meja bertulis sekretaris di sana. Seingat Ari, ia tidak pernah menyuruh siapapun memindahkan meja itu. Apalagi sang sekretaris baru saja resign setelah melahirkan dan belum mendapat sekretaris baru.
"Mas, siapa yang masukkan meja ke ruanganku? Sejak kapan sekretaris satu ruangan denganku?" tanya Ari langsung saja, begitu masuk ke ruangan Ardi.
"Sejak hari ini lah." Ucap Ardi enteng, padahal lawan bicaranya sudah menggebu-gebu ingin menumpahkan amarah.
Semenjak menikah, Ari tidak pernah lagi satu ruangan dengan wanita manapun demi menjaga perasaan istrinya.
"Biasanya juga di luar 'kan?"
"Biar kamu tidak tidur saat jam kerja." Kata Ardi, memang Ari sesekali tertidur di ruang kerjanya saat tak terlalu banyak yang harus ia tangani.
"Sak karepmu lah,Mas." (terserah kamu lah, Mas)
Ari keluar dari ruangan Ardi, ia belum sempat menanyakan siapa yang menjadi sekretaris barunya saking kesalnya. Lelaki dengan tinggi 180 cm itu memilih menyibukkan diri di luar ruangan kerjanya yang ia rasa sekarang terlalu sumpek, meskipun ukuran meja itu sendiri tak terlalu besar.
Banyak karyawati menatap kagum kepada Ari yang mondar-mandir di area produksi, biasanya ia lebih banyak menghabiskan waktu di ruang kerjanya.
Ari terkejut ketika melihat siapa yang duduk di meja yang ia permasalahkan tadi, sosok yang sudah lama sekali tak ia temui.
"Kamu."
"Mas, eh.. Maaf, selamat pagi Pak Ari." Sapa wanita itu.
Ari mengambil berkas yang diminta Ardi untuk segera diberikan ke ruangan kakak kembarnya tersebut, lalu keluar dari ruangannya tanpa menghiraukan wanita yang menjadi sekretaris barunya.
"Ini!" Ari melempar berkas yang dimaksud Ardi ke atas meja, Ardi yang tengah fokus dengan berkas lain mengangkat kepalanya.
"Sejak kapan aku mengajarimu tak sopan?" sindir Ardi dengan ulah Ari.
"Kenapa dia, Mas? tidak ada yang lain?"
"Ada masalah? Kamu cari sekretaris, dia berpengalaman dalam bidang itu."
"Mas 'kan tahun sendiri, dulu ...."
"Jangan bawa kisah masa lalu, semuanya 'kan sudah usai. Profesional lah dalam bekerja, tidak ada ganti lagi selain dia." Potong Ardi saat saudara kembarnya belum selesai berbicara.
"Yo wes lah," (ya sudahlah,)
Ari sedikit membanting pintu untuk meluapkan rasa kesalnya, pagi-pagi sudah kesal ditambah kesal setelah tahu siapa yang akan menempati posisi sebagai sekretaris.
*****
Saat makan siang, Ari memilih mencari Rista di kantin. Tak malu, tangannya membawa kotak nasi yang biasanya sudah disediakan untuknya.
Ari duduk ketika mendapati Rista tengah menikmati semangkuk bakso, teman-teman Rista menyingkir memberi ruang untuk sepasang suami-istri tersebut makan siang bersama.
Diambil mangkuk bakso yang Rista makan, diganti dengan kotak yang Ari bawa tadi.
"Kamu makan makanan aku saja ya, aku kepengen bakso." Kilah Ari, tentu saja ia hanya ingin istrinya makan makanan yang bergizi.
"Tapi ini sudah aku makan tadi."
"Tak masalah," tanpa sungkan Ari makan bakso bekas Rista.
Hampir saja lelaki itu tersedak saat ingin menelan baksonya, seorang wanita bergelayut manja dilengannya hingga kaos seragam yang ia kenakan tertarik. Ari memang lebih senang memakai seragam, sebagai pengingat bahwa dia juga pekerja.
"Mas, aku tidak punya teman. Aku cari-cari kamu tadi, mau makan bareng." Ucapnya manja.
Ari memutar bola matanya malas, baru ingin berduaan dengan istrinya sudah diganggu saja.
"Kamu bisa makan di ruangan 'kan?"
"Sendirian, aku malas."
"Lepas!" kata Ari, mencoba membebaskan lengannya dari kungkungan wanita itu.
"Dira!" peringat Ari saat wanita bernama Dira itu tak kunjung melepaskan pegangannya, Ari merasa risih dengan tingkah wanita itu apalagi di depan Rista.
Sementara Rista terus melanjutkan acara makan siangnya, tak peduli dengan dua orang di depannya. Kesal, tentu saja.
"Aku sudah selesai." Kata Rista, ia merapikan kembali kotak makan yang dibawa Ari tadi.
"Aku permisi ke toilet." Pamit Rista, Ari mencoba mengejar Rista. Namun Dira lebih dulu menarik pergelangan tangan lelaki itu.
"Dia hanya karyawan biasa 'kan? Kenapa kamu harus mengejarnya? nanti ngelunjak." Kata Dira.
Ari segera melepaskan tangannya, mengejar Rista ke tempat yang disebutkan Rista tadi.
Dira menggeram kesal dibuatnya, ia menoleh ke sekeliling tempatnya kini. Tidak ada yang bisa Dira lakukan, memilih masuk ke dalam ruangan tempatnya bekerja saja, Dira belum begitu mengenal tempat ini karena hari ini hari pertamanya.
Cukup lama Ari menunggu di depan toilet wanita, tetapi Rista tak kunjung keluar.
"Loh? Pak Ari, sedang apa di sini?" tanya salah satu teman Rista.
"Menunggu istri saya."
"Baru saja saya bertemu Rista di mushola, Pak." Katanya.
"Hah? Di mushola?"
"Iya,"
Tanpa menjawab lagi, Ari segera menuju ke mushola. Dia harus menjelaskan sesuatu kepada istrinya, karena dilihat dari raut wajah Rista tadi menunjukkan kekesalan.
"Mau ke mana? Antarkan laporan produksi Minggu ini ke ruangan ku." Kata Ardi berpapasan dengan Ari yang terlihat tergesa.
"Sekarang?"
"Iya, ini sudah jam kerja Ari. Waktu istirahat sudah selesai." Ucap Ardi.
"Oke lah, sek ya tak jupuke berkase." (Oke lah, sebentar aku ambilkan berkasnya.)
****
Wajah Rista terlihat masam ketika mobil Ari berhenti di depannya, bukan karena masalah tadi siang. Kini masalah baru.
"Aku naik ojek saja." Kata Rista, dia sudah membuka pintu mobil depan lalu ditutup kembali.
"Hei, tidak mungkin aku biarkan kamu pulang sendiri naik ojek." Ucap Ari setelah turun dari mobilnya, mencoba membujuk istrinya yang merajuk.
"Dira, kamu pindah duduk belakang!" perintah Ari, sebelum istrinya murka.
Dira sengaja meminta tumpangan kepada Ari, ia segera duduk di jok depan saat melihat Ari memasuki mobilnya tadi.
"Dira!" ujar Ari meninggikan suaranya.
"Dia lagi, apa sih istimewanya karyawati ini." Ketus Dira, tak urung juga ia pindah duduk di belakang.
Rista sudah duduk di sebelah Ari, Ari pun menjalankan mobilnya. Terlebih dulu mengantar Dira, supaya wanita itu tidak rewel lagi.
"Kita antar Dira dulu ya, Sayang." Ucap Ari menoleh ke arah istrinya yang diam saja.
Gerakan jari Dira sedang memainkan ponselnya terhenti, Sayang?
Dira tersenyum mencibir, selera Ari benar-benar sudah turun. Bagaimana bisa seorang manager sekelas Ari berhubungan dengan karyawan biasa seperti Rista, padahal setahu Dira selera Ari sangatlah tinggi. Seperti dirinya misalnya.
"Sudah sampai." Kata Ari, mobilnya sudah terparkir di depan rumah Dira.
"Masih hapal ternyata, terimakasih ya Mas. Lain kali, silahkan mampir." Ucap Dira, lalu ia turun.
"Mau mampir ke mana?" tanya Ari kepada Rista.
"Pulang, capek." Ketus Rista.
Ari menurut saja, dia tahu suasana hati istrinya sedang tak enak.
Rista segera turun saat mereka sampai di rumah setelah Ari memarkirkan mobilnya di garasi, ia tak menghiraukan Ari yang memanggil namanya.
Ari menggaruk tengkuknya yang tidak gatal, ia bingung sendiri. Baru kali ini Rista bertingkah seperti ini, Ari tahu Rista tengah cemburu.
"Duh, piye Iki." (Duh, bagaimana ini.)
Lelaki tersebut mengikuti Rista masuk ke dalam rumah, sambil berpikir cara mencairkan hati istrinya.
****
Rista baru saja selesai mandi, bertepatan dengan Ari yang memasuki kamar mereka. Rista segera memalingkan wajahnya, ia masih merasa kesal dengan suaminya.
"Sayang." Panggil Ari, ketika Rista seolah tak menyadari kehadirannya.
"Kamu marah?" tanya Ari saat tak mendapat jawaban.
Ari mendekati Rista, dengan cepat Rista masuk kembali ke dalam kamar mandi dengan membawa pakaian ganti yang baru saja ia ambil.
"Rista, kamu marah?"
Berulangkali Ari mengetuk pintu kamar mandi itu, tetapi tidak ada jawaban sama sekali dari Rista. Ari menunggu sampai istrinya keluar dari sana, ia berdiri bersandar di samping pintu.
Saat pintu terbuka, Ari berdiri tepat di depan Rista. Membuat wanita itu terjengkit kaget, ia pikir Ari sudah tak lagi di sana.
"Sedang apa sih!" ketus Rista.
"Kamu yang sedang apa, aku panggil-panggil dari tadi sama sekali tak menjawab."
Ari meraih tangan Rista, ia ajak istrinya duduk di atas ranjang. Berharap bisa mencairkan suasana hati Rista yang nampak kesal.
"Minggir Mas, urus saja wanita tadi!" Ucap Rista, ia kembali berdiri. Memilih meninggalkan Ari yang bergeming di tempatnya. Lelaki itu baru pertama kali mendengar nada bicara Rista yang begitu keras, karena biasanya Rista bicara dengan sangat lemah lembut.
"Katakan apa yang membuatmu seperti ini Sayang." Ucap Ari, ia tak ingin menyerah.
"Siapa wanita tadi Mas? Dia begitu manja kepadamu, memintamu mengantarnya pulang, bahkan kamu hapal di mana rumahnya. Jangan karena aku belum hamil-hamil, kamu cari pelampiasan lain." Kata Rista yang duduk di depan meja rias, tubuhnya bergetar menahan tangis yang mulai merebak di pelupuk matanya, ia juga menahan sesak di dadanya setelah mengatakan jika ia tak hamil-hamil.
"Kenapa kamu berpikir begitu? itu sama sekali tidak ada dalam pikiranku. Bagiku apapun kondisi kita sekarang, ada ataupun tanpa anak. Aku akan selalu ada di sampingmu Rista."
Ari berlutut di depan Rista, menatap wajah sendu istrinya. Sungguh, sama sekali tak berpikir untuk cari pengganti. Ia tenangkan Rista dengan pelukan, dicecahkan kecupan di puncak kepala istrinya.
"Jangan katakan hal apapun yang tak akan mungkin pernah aku lakukan Sayang, kita akan tetap bersama." Ucap Ari lembut, ia lupakan keinginannya menjelaskan siapa Dira. Nanti saja jika suasana hati Rista yang diliputi rasa cemburu membaik.