Farel Pov
Ferro Assesino. Itulah namaku yang di berikan daddy yang telah mengadopsiku. Kini umurku sudah menginjak 8 tahun. Aku selama ini hidup di sebuah panti asuhan di salah satu kota yang cukup terpencil di Negara Spanyol. Saat aku berusia tepat 10 tahun, aku di adopsi keluarga William J George. Aku sangat bahagia dapat di adopsi oleh salah seorang pengusaha yang cukup terkenal di Negara ini. Aku di bawa pergi dari kota terpencil ini ke San Sebastian, kota yang cukup ramai daripada tempatku sebelumnya.
Istri dari William J George nyonya Marianna George menerimaku dengan baik dan anak mereka yang terlihat sangat cantik. Usianya hanya terpaut 3 tahun di bawahku namanya Jeniffer A. George, aku sering memanggilnya Jen. Dia gadis yang sangat ceria dan juga cerewet.Semakin lama aku tinggal bersama mereka, aku sudah mulai beradaptasi dan sangat dekat dengan mom Anna dan juga Jen. Aku sering sekali membantu mereka. Dan daddy, dia memasukanku ke sebuah akademik khusus untuk mendalami ilmu ilmu bela diri. Singkat cerita aku bahagia hidup bersama mereka walau daddy sangatlah kasar. Setiap kali ada kesalahan, aku selalu di pukulinya dan bahkan di cambuknya.
"jangan menangis Ferro !!! kamu laki-laki yang kuat, pantang untuk seorang laki-laki menangis" bentaknya
Plak…Satu cambukan mengenai punggungku lagi, kedua tanganku diikat oleh tali yang di ikatkan ke atas sebuah besi tepat di atas kepalaku. Posisiku berdiri tegak dan daddy mencambukku dari belakang. Rasanya tulang-tulangku akan patah setiap kali kena cambukan itu. Kalau aku menangis atau mengaduh, maka cambukan itu akan bertambah. Bahkan daddy pernah menyimpan timah panas di lenganku karena tak sengaja aku menyenggol barang pribadi milik daddy hingga pecah. Panas, perih, sakit bercampur menjadi satu. Kehidupanku yang terlihat damai dari luar, kenyataannya pahit di dalam. Walau mommy Anna selalu membela dan melindungiku tetapi tetap saja aku masih mendapat siksaan daddy. Aku bahkan tak boleh meminta ampun.
"Kamu seorang anjing pembunuh, aku mengadopsimu untuk menjadi peliharaanku. Jadi jangan cengeng dan melawan, lakukan apa yang aku perintakan Ferro !!"
Itulah yang selalu di katakan daddy padaku saat umurku sudah menginjak 12 tahun.
Menyakitkan? Sangatlah menyakitkan, hidupku berbeda dengan 2 tahun sebelumnya. Saat pertama kali aku datang ke rumah ini. Bahkan sekarang mommy Anna sudah jarang membelaku, karena setiap membelaku, diapun akan mendapatkan siksaan dari daddy. Saat itulah aku berubah menjadi sosok Ferro yang brandalan, sudah menjadi preman di akademik. Bahkan banyak teman-temanku yang terluka karenaku. Aku melampiaskan kekesalanku kepada teman-temanku di akademik. Daddy sudah berhasil mengubahku menjadi anjing pembunuh sesuai yang dia inginkan. Bukan lagi Ferro yang polos dan lugu.
Bukan hanya itu, kalian semua pasti akan kaget mendengarnya. Anak berumur 12 tahun sudah di ajarkan menggunakan senjata api atau pistol untuk membunuh manusia, itu benar-benar merusak psikologisku. Aku pernah membunuh 3 orang saingan bisnis daddy dengan tanpa rasa iba seperti yang diinginkan daddy. Tetapi jangan salah, setiap aku membunuh orang aku selalu menggoreskan pisau di lenganku sebagai hukuman karena tangan itu telah sangat kotor. Aku tidak ingin menjadi seorang pembunuh, tetapi keadaan memaksaku. Walau tanpa ada air mata yang keluar, aku selalu meruntuki diriku sendiri. Tetapi apa daya seorang anjing peliharaan, yang tak bisa melawan majikannya sendiri.
Aku baru mengetahui kalau daddy seorang psychopath, malam itu aku tak bisa tidur. Aku hendak ke taman belakang hanya untuk melihat bintang-bintang di langit dan menghirup udara segar. Tetapi tak sengaja aku mendengar jeritan seorang pria. Karena penasaran akupun berjalan mendekati ruangan yang sangat di haramkan siapapun masuk kesana kecuali daddy. Karena rasa penasaran yang sangat memuncak, aku mengintip dari balik jendela yang ada di dinding cukup tinggi. Dengan menggunakan bangku, aku mampu melihat apa yang terjadi di dalam. Seketika mataku membelalak sempurna, aku tak percaya dengan apa yang kulihat. Aku sampai ingin memuntahkan isi perutku.Di dalam sana, pria yang kemarin aku tembak, tengah di bedah dan diiris tubuhnya oleh daddy dan di perintil setiap organ tubuh pria itu. Bahkan organ-organnya seperti jantung, ginjal, paru-paru, dll daddy pajang di etalase pendingin yang berukuran besar disana. Sungguh aku tak tahan lagi melihatnya, Daddy mengiris tubuh orang itu seperti mengiris daging hewan saja tanpa merasa mual atau risih, bahkan dia terlihat sangat santai.Aku yangsudah tidak tahan lagi, segera berlari memasuki kamarku. Aku bersembunyi di balik selimut dengan perasaan yang tak tentu. Aku tidak menyangka daddy seorang psychopath, pembunuh berdarah dingin yang tak punya hati. Aku tidak mengira selama ini aku tinggal bersama seorang pembunuh sadis.Hingga accident itu terjadi, dimana mommy Anna dan Jen meninggalkanku.
Malam itu hujan turun dengan sangat deras, bahkan petirpun terlihat menyambar diatas atap rumah. Rumah yang sangat besar dan mewah bak sebuah istana tetapi terasa dingin dan mencekam di dalamnya. Apalagi di ruangan pribadi daddy, bau amis tercium jelas. Aku melihat Jen tengah mengintip di balik dinding. Aku yang baru menuruni tangga, melihatnya."Jen, kamu sedang apa?" tanyaku pada Jen, dia menengok kearahku dengan mata yang sudah berair.
"sssttt !!! mom sedang di pukuli daddy" ujarnya membuatku penasaran dan ikut mengintip. Di dalam terlihat mom dan dad sedang beradu mulut. Dan tangan daddy memukuli tubuh mommy, kami tak jelas mendengar pembicaraan mereka karena ruangan itu dipasang kedap suara.
"ayo pergi Jen, dad tak suka kita mengintip" ajakku tetapi Jen menolak.
"tidak Ferro, aku ingin melihatnya. Kasihan mom"
"jangan Jen, ini bahaya untuk kamu"
Ucapku menarik tangan Jen agar menjauh dari ruangan itu tetapi Jen terus menolak dan mendorongku. Dia malah masuk lebih dalam lagi dan bersembunyi di balik lemari. Aku bingung, antara masuk atau tidak. Saat hendak menyusul Jen, dia sudah ketahuan daddy."lancang kamu, Jen !!" Amuk daddy hendak memukul Jen.
Tetapi Jen berlari kearahku."jangan sakiti putriku" teriakan mom.
Belum sempat aku merengkuh tubuh Jen, pisau lipat yang daddy lemparkan sudah menusuk tepat di punggung Jen, membuat tubuhnya ambruk seketika."JENNNNNNN !!!" teriakku dan mom. Aku langsung menghampiri Jen yang sudah mengeluarkan banyak darah dari mulutnya."Jen,, bertahanlah. Aku akan membawamu ke rumah sakit" ucapku membantu Jen untuk bangun tetapi Jen menahan tanganku.
"aku menyayangimu, Ferro. aku akan selalu melihatmu dari surga sana. Pergilah" ucapnya terbata-bata dengan senyum getir menghias wajah cantiknya.
"bawa jasad anak itu keruang pribadi dad, Ferro" perintah daddy
"DAD !!!!!" aku membentak daddy karena tak mau adik kecilku di bedah dan organnya di jual.
PLAK…Daddy menamparku dengan sangat keras. Dan menyeret tubuh Jen yang sudah tak bernyawa ke ruangan pribadinya. Darah memenuhi lantai marmer itu. Aku bangkit dan berlari kearah mom, yang terlihat sudah terluka cukup parah. Tubuh dan wajahnya penuh dengan sayatan dan berdarah."mom" panggilku hendak membantunya, tetapi tangannya menahanku. Dia merogoh sakunya dan menyerahkan sebuah dompet miliknya membuatku bingung.
"pergilah dari sini, cepat pergilah. Bawa uang ini untuk memenuhi hidupmu,Ferro."
"tapi mom,,," mataku sudah berair melihat mom yang tengah kesakitan.
“Dari balik lemari kamar kamu, ada lorong menuju ruang bawah tanah. Kamu bisa keluar dari sini lewat jalan itu. Cepat bergegaslah, nak. Jangan sampai nasib kamu seperti Jen dan mom. Kamu tidak bersalah, cepat pergilah sebelum iblis itu datang. Cepat Ferro"
Aku berdiri dan berjalan perlahan dengan masih menatap mommy."cepat pergi !!! mommy menyayangimu, nak. Hiduplah dengan damai" ucap mommy dan akupun langsung berlari menaiki tangga. Aku memasuki kamar dan menguncinya dari dalam. Aku memasukkan beberapa pakaian kedalam tas sekolaku bersama dompet mommy. Setelah memakai mantel aku mulai menggeser lemari dengan sekuat tenaga. Untunglah aku dilatih bela diri, jadi beban lemari tak membuatku kesulitan.
"Ferrooo !!!"
Teriakan daddy dan langkah kaki membuatku kaget dan takut. Aku segera memasuki lorong yang gelap itu. Untungnya aku sudah menyiapkan senter. Aku berjalan menyusuri lorong gelap penuh dengan sarang laba-laba itu dengan perasaan takut dan was was. Hingga langkahku terhenti saat aku mendengar jeritan mommy dan meminta ampun. Reflek aku menutup kedua telingaku sambil menangis, aku tak kuat mendengar jeritan kesakitannya. Aku tau apa yang daddy lakukan pada mom. Aku terus menutup telingaku, hingga suara mom hilang. Itu menandakan mom sudah tiada dan tanpa menunggu lama lagi aku berlari menyusuri lorong ini masih dengan tangisanku.Aku berhasil melewati pagar rumah, dan aku terus berlari menyusuri jalanan dengan tubuh yang di guyur hujan. Aku tidak tau harus pergi kemana.Aku hanya ingin menjauh dari rumah terkutuk itu yang menyimpan kenangan indah sekaligus pahit. Aku berlari dan terus berlari dengan kaki kecilku sambil menangis mengingat Jen yang meninggal dan jerita mommy yang sangat menyayat hatiku. Hingga aku sampai di sebuah taman kota yang dipenuhi kerlap kerlip lampu, disini juga hujannya sudah mulai reda. Banyak orang-orang yang berlalu lalang. Aku mulai berhenti berlari, karena merasa cukup aman. Aku berjalan menyusuri jalanan itu hingga aku menemukan sebuah tempat yang cocok untukku tiduri.
Sebulan sudah berlalu, dan aku mendapatkan penginapan kecil yang bisa ku sewa, aku bekerja menjadi seorang mengantar koran untuk menambah pemasukan. Hingga saat itu datang, saat dimana aku bertemu dengan gadis cantik yang mampu menggetarkan hatiku. Saat itu aku tengah berjalan di pinggir jalan sambil menggendong Koran. Dari arah depan, seorang gadis cantik baru saja keluar dari sebuah butik sambil mengomel lewat handphonenya. Karena sibuk dengan ponselnya dia tak melihat ada sebuah sepeda yang hampir menabraknya. Aku berlari dan menjatuhkan Koran-koranku untuk menolong gadis itu. Kami berdua sama-sama terjatuh ke tanah dengan aku yang berada di bawahnya.Bola mata berwarna biru terang seperti air laut yang jernih itu menatapku dengan syok dan kaget. Mata indah yang seperti warna lautan itu mampu membuatku terbuai. Saat aku tersadar, aku segera memintanya untuk berdiri. Setelah dia berdiri, akupun mengikutinya untuk berdiri. Tak ada yang mampu mengeluarkan suara diantara kami, hingga seorang wanita paruh baya terpogoh-pogoh berlari mendekati kami. "Nona muda, kau tak apa-apa?" Tanya wanita itu dan gadis bermata biru itu menggelengkan kepalanya. Wanita itu membawa gadis yang memakai dress pink itu menuju sebuah mobil hitam yang terparkir di sana. Aku kembali memunguti Koran-koran yang tadi aku jatuhkan. Hingga aku melihat sepasang sepatu cantik berada tepat di depanku, membuatku menengadahkan kepalaku dan ternyata gadis yang tadi sudah berdiri di depanku.
"aku lupa mengucapkan terima kasih." Ucapnya tersenyum, sungguh senyumannya sangat indah.
"Sama-sama nona" jawabku formal
"aku Claudya Ananda, kamu siapa?" tanyanya dengan sangat imut dan begitu menggemaskan.
"namaku, Ferro" jawabku
"kak Ferro, senang berkenalan denganmu" ucapnya membuatku tersenyum, obrolan kami harus berakhir karena wanita paruh baya tadi kembali membawanya untuk segera pulang. Aku hanya memperhatikannya yang memasuki mobil audy hitamnya dan berlalu pergi. Tetapi naas, saat itu aku melihat mobil daddy, dan daddypun terlihat membuka kaca spion dan melihat kearahku seakan memastikan. Dengan segera aku menurunkan topi yang ku pakai untuk menutupi wajahku dan berjalan dengan cepat menghindari daddy.
Singkat cerita, aku kembali bertemu dengan gadis itu di tempat yang sama. Tetapi kali ini dia datang bersama kedua orangtuanya. Kedua orangtuanya terlihat menyapaku dengan baik, dari kejadian itu aku di ajak untuk tinggal bersamanya. Gadis bermata biru itu terlihat sangat bahagia mendengarku menyetujuinya. Aku kini tinggal bersama keluarga Nanda. Ya, itulah nama panggilanku kepada Claudya.Dan setelah hidup bersama keluarga Nanda, namaku sudah bukan Ferro lagi. Nanda yang memberiku sebuah nama 'Farel' karena menurutnya nama Ferro sangat menyeramkan. Dia menyukai nama Farel dan aku tak keberatan menerimanya, apalagi keluarganya memberiku nama panjang mereka. Aku bahkan di sekolahkan di sebuah akademik milik keluarganya, hingga tak terasa 5 tahun berlalu. Dan selama itu aku semakin dekat dengannya dan menjadi pembantu pribadinya.
Setelah hidup tentram dan bahagia, aku malah berpapasan dengan daddy saat aku pulang sekola. Daddy langsung menarikku dan membawaku ke dalam mobilnya. Aku terus berontak dan berteriak meminta tolong tetapi daddy membekapku hingga aku kehilangan kesadaranku. Saat aku membuka mata, tubuhku sudah telanjang d**a dan hanya memakai boxer saja. Tubuhku digantung dengan kedua tanganku di ikat di besi yang berada di atas kepalaku. Aku mencoba melepaskannya tetapi sangat sulit. Hingga daddy datang, membawa cambuk dan tongkat besi. Seperti yang aku pernah terjadi, dia memcambukku dengan mencaci makiku habis-habisan. Setelah itu tongkat besi yang tadi dia bawa, di bakar di perapian dan setelah berwarna merah, dia menggoreskannya ke tubuhku. Aku menjerit kesakitan, rasa panas, perih, dan sakit bercampur menjadi satu. Aku bahkan tak bisa membayangkan bagaimana melepuhnya kulitku. Sakit sungguh terasa sangat perih, rasanya nyawaku seakan ditarik keluar dengan paksa. Darah menetes dari tubuhku dan meninggalkan rasa perih disana.Daddy tertawa bahagia melihat penderitaanku, dia terlihat sangat puas. Hingga akhrinya dia melepaskan ikatannya setelah aku terlukai lemas dengan darah masih mengalir dari tubuhku. Dia menyodorkan air minum padaku dan duduk di hadapanku, dia juga menyerahkan sebuah pistol padaku dan menyuruhku membunuh seseorang yang menjadi saingan bisnisnya. Dia menyodorkan kembali sebuah berkas berisi foto target. Mataku melotot sempurna saat melihat foto itu. Targetku adalah papa dari Claudya Ananda, aku tidak mungkin membunuhnya. Dia yang sudah menolong dan membantuku, aku menatap daddy yang menatapku tajam seakan tau aku akan menolaknya.Aku merasa lelah setelah di siksa, akhirnya aku mengangguk kecil dan daddy tersenyum senang seraya menepuk pundakku dan menyuruhku untuk beristirahat. Aku meringis saat menumpahkan alkohol ke bagian dadaku yang tergores karena besi panas itu. Aku sampai harus menggigit bantal agar aku tak berteriak. Hingga tengah malam, aku berjalan menuju kamar daddy. Aku melihat daddy tengah bersama pelacurnya. Maaf dad, aku tak bisa memenuhi tugas dari dad.
Dor
Dor
Aku membunuh daddy bersama jalangnya, aku tak bisa membunuh orang yang sudah menolongku. Apalagi anaknya adalah gadis yang aku sukai. Aku segera pergi meninggalkan rumah daddy dan kembali ke keluarga Lawrent. Aku kembali hidup bahagia, hingga aku berusia 18 tahun. Aku sudah keluar dari akademik, pak Lawrent menyuruhku untuk kuliah tetapi aku menolaknya. Claudya yang saat itu masih duduk di kelas 1 SMA, umur kami memang terpaut 2 tahun. Saat itu Claudya menyatakan perasaannya padaku dan ingin status kami lebih dari seorang teman. Jujur aku juga sangat menyukainya, tetapi aku sadar dengan posisiku. Aku adalah pelayannya, tetapi dia menangis meraung-raung dan membuatku tidak tega. Akhirnya kamipun menjalin hubungan dan aku dapat merasakan perasaan aneh di hatiku, aku merasa sangat bahagia bisa berdekatan terus dengannya. Dia juga mengajarkan banyak hal padaku, dia mengenalkanku dunia malam. Dia sungguh wanita pertama selain Jen yang membuatku bahagia dan merasakan perasaan hangat ini.
Hingga saat itu tiba, saat dimana dia memintaku untuk menyetubuhinya. Aku menolaknya mentah-mentah. Aku tak ingin m*****i dan menyakiti wanita yang aku cintai. Tetapi dia bilang, hampir semua teman sekolanya sudah melakukannya dengan pacarnya. Dan dia memaksaku, aku awalnya menolak karena aku ingin menjaganya tetapi saat mendengar ancaman dia yang akan memutuskan hubungan ini, akupun bersedia melakukannya. Kami sama-sama melakukannya untuk yang pertama kali, dan aku semakin yakin untuk selalu bersamanya, aku semakin yakin untuk menikahinya saat dia lulus sekola. Aku tidak akan pernah melepaskannya, tidak akan pernah….
Seiring berjalannya waktu, orangtua Claudya meninggal karena di bunuh seseorang. Aku berusaha mencari pembunuhnya hingga aku berhasil membunuhnya juga. Kini hanya tinggal aku dan Nanda, aku bertekad untuk mencari pekerjaan, untuk memenuhi kebutuhan kami berdua. Karena keluarga Lawrent tertipu jutaan dollar dan itu membuat semua harta Lawrent tak tersisa. Bahkan sekarang kami tinggal disebuah apartement kecil, aku tetap mengurusi kebutuhan Claudya seperti biasanya. Tetapi saat Claudya mulai kuliah, dia terlihat banyak berpergian dengan teman-temannya dan itu membuatku kesal dan merasa waktu Nanda habis untuk sahabatnya. Hingga suatu malam, aku melihat dia tengah merayakan party di sebuah club dan dia sedang menari bersama seorang pria. Itu benar-benar membuatku naik darah, aku memukuli pria itu dan itu membuat Nanda menangis histeris. Hampir saja aku membunuh pria itu kalau tak di tahan Nanda. Nanda bilang itu hanya temannya saja, tetapi tetap saja aku tak suka melihatnya berdekatan dengan pria lain. Setelah accident itu, aku mengurung Nanda di apartement agar dia tak kembali berhubungan dengan pria lain.
Hingga saat itu tiba, saat dimana aku kembali ke London karena Nanda kuliah di Oxford University, Aku sudah berhasil memenangkan sebuah tender besar di Wina Austria. Dengan semangat aku membawa mobil dan ingin menjemput Nanda ke kampusnya untuk menunjukkan saat ini aku sudah berhasil dan bisa meminang dia. Tetapi apa yang aku lihat, aku melihat Nanda tengah mengejar seorang pria."Pradhika tunggu" teriak Nanda kepadapria yang memakai jaket coklat dan berhenti saat ingin memasuki mobilnya. Aku memperhatikan dan bahkan mendengar obrolan mereka.
"ada apa, Claud?"
"a-aku boleh yah ikut pulang sama kamu"
"maaf Claud, tetapi aku sedangterburu-buru"
"Pradhika ayolah, sekalian kamu traktir aku. Kan kemarin aku sudah membantumu mengurusi administrasi" ucapnya dengan pandangan yang membuatku kesal. Tega sekali Nanda menatap pria lain dengan pandangan berbinar seperti itu, bahkan Nanda berani memegang tangan pria itu.Aku segera meninggalkan tempat itu dengan emosi yang menggebu, aku menunggunya di apartement. Aku sengaja mematikan lampu agar dia tak mengetahui aku ada disini.
Dan benar saja dia masuk dengan sangat bahagia dan bernyanyi. Dia menyalakan lampu apartement dan melempar tasnya begitu saja. Bahkan dia masih tak menyadari keberadaanku yang tengah duduk di sofa, posisinya masih memunggungiku."ya tuhan, kenapa Pradhika begitu cool. Aku benar-benar tergila-gila padanya. I Love you, Pradhika. I love you so much" teriaknya sangat bahagia membuatku mengepalkan kedua tanganku dengan kuat.
"oh jadi ini yang kamu lakukan di belakangku" dia terpekik kaget mendengar ucapanku dan langsung berbalik melihat kearahku dengan mata membelalak lebar.
"Fa-Farel" gumamnya
"Jadi ini yang kamu lakukan dibelakang, huh? Aku sedang berjuang untuk kelangsungan hidup kita dan kamu malah enak-enakan selingkuh dengan pria lain dan bahkan tadi kamu bilang apa? cinta? Cinta kamu bilang?" aku sekuat tenaga menahan emosiku, aku merindukan Nanda setelah lama tak bertemu. Dan aku tak ingin membuatnya marah padaku.
"aku memang mencintainya, Farel. Dia begitu lembut dan baik, dia bahkan tak pernah membentakku. Tidak seperti kamu yang selalu over protektif, aku dilarang ini dan itu. Aku ingin bebas, Farel. Aku ingin bebas !!!!" teriaknya
"CLAUDYA ANANDA !!!" bentakku, sudah tak bisa ku tahan lagi amarahku. Aku langsung menarik Nanda ke dalam kamar. Aku mengikat tangannya ke kepala ranjang dan memintanya untuk posisi menungging. Aku melucuti seluruh pakaiannya, dia terus memberontak meminta lepas. Aku melepas gesper yang ku pakai dan mencabuk dia dengan keras membuatnya menjerit kesakitan. Salahnya karena dia melawanku dan bahkan berani memuji pria lain tepat di hadapanku. Setelah mencambuknya, aku menidurinya. Aku pikir besok kami akan kembali akur, tetapi ternyata aku salah. Saat aku membuka mata, dia pergi dari apartement dan dari hidupku untuk selamanya.
Aku mencoba mencarinya kemana-mana tetapi tak ku temukan. Sudah 1 tahun aku mencari keberadaannya, tetapi dia seakan menghilang di telan bumi. Aku pasrah dan menyerah, hidupku hancur sangat sangat hancur. Cambukan dan siksaan dari daddy tak seberapa. Tetapi luka yang Nanda torehkan di hatiku, sungguh membuatku hancur. Sangat hancur. Apalagi aku mendapatkan foto-foto dia bersama pria lain tengah berciuman, membuat hatiku semakin hancur lebur. Selama ini aku menjaga kesetiaan dan hatiku untuknya, aku berjuang mencari sesuatu untuk kebahagiaannya. Aku tak ingin dia merasakan susah, semua kebutuhannya selalu aku siapkan. Bukankah aku pelayannya, tetapi cinta yang dia ucapkan tidak seperti kenyataannya. Cinta itu palsu, cinta itu tak pernah ada.
Aku kembali menjadi Ferro yang kejam dan hampir setiap malam aku membunuh jalang yang tak becus memuaskan hasratku yang tinggi. Hingga aku bertemu Almira, dia menjadi rekan bisnisku saat itu. Aku bisa membangun perusahaan hingga seperti ini karena bantuan dia. Sikapnya yang polos dan lemah lembut membuatku nyaman berada di sisinya. Tanpa ingin menunggu lama-lama lagi, aku menikahinya. Hingga aku juga bertemu Thalita. Aku kira Thalita adalah adik kandung Mira, tetapi ternyata bukan. Gadis pendiam dan pemurung itu ternyata hanya adik angkat Mira. Mira juga menceritakan kisah Thalita yang membuat hatiku bergetar. Aku tak menyangka, Thalita mengalami apa yang aku alami. Hidup sebatang kara tanpa ada keluarga dan di khianati. Saat itu aku mulai menyayanginya dan aku merasa, aku harus selalu melindunginya. Thalita mengingatkanku pada mendiang Jen, adik perempuanku.Hidupku dan Mira setelah menikah lumayan harmonis, aku tak pernah membunuh siapapun lagi atau menyakiti siapapun lagi. Tetapi perasaanku pada Mira tak bisa melebihi dari rasa kagum dan cinta padaNanda. Berkali-kali aku mencoba melupakannya, tetapi yang ada malah semakin besar rasa cinta itu. Aku juga berkata jujur pada Mira dan meminta perceraian. Tetapi dia ingin tetap hidup bersamaku, walau hanya di anggap sebagai patner sexku saja. Dia ikhlas, karena dia sangat mencintaiku. Hingga Vinopun lahir, hatiku kembali menghangat saat menggendong bayi mungil itu. Mira berharap dengan hadirnya Vino, hubungan kami akan menjadi lebih baik. Yah, dan saat itu hubungan kami sedikit membaik. Hingga aku menemukan suatu kenyataan mengenai Thalita.
Aku tak menyangka kalau pria yang mengkhianati Thalita itu adala Pradhika, pria yang juga merebut Nanda dariku. Amarahku semakin menjadi, aku mulai menyelidiki kehidupan masalalu Thalita dan aku tau kalau ternyata mereka berdua saling mencintai. Aku juga mendapat kabar kalau Pradhika hancur karena kehilangan Thalita, dan saat itu aku memiliki ide yang cemerlang untuk membalaskan dendamku pada pria b******k itu. Aku tau kalau kelemahan Pradhika adalah Thalita. Sialnya, saat itu Mira mengetahui rencanaku dan dia menentang keras apa yang akan aku lakukan, bahkan dia terang-terangan menyuruh Thalita untuk kembali ke Indonesia. Aku yang terpancing emosi, tanpa sadar mencelakai Mira hingga dia meninggal. Setelah kepergian Mira, aku semakin menjadi untuk menguasai Thalita dan mengancamkan untuk tetap disini bersamaku. Aku mengancamnya akan membunuh Dhika dan Vino seperti Mira kalau dia tak mau menuruti semua perintahku. Dan ternyata ancaman itu berhasil membuatnya bertekuk lutut padaku.
Flashback off
Dan saat pertemuanku dengan Thalita saat itu, aku merasa Thalita gadis yang baik. Tetapi kebaikanku berubah saat mendengar cerita Mira kalau Thalita kekasih Pradhika. Disana ada keinginanku untuk menyekap Thalita. Aku menjadikan Thalita sebagai alat balas dendamku pada Pradhika.Aku juga yang meminta Thalita kembali ke Indonesia, untuk menghancurkan Pradhika. Tetapi setelah aku kembali bertemu dengan Nanda. Wanita yang sampai saat ini masih aku cintai. Emosiku semakin menjadi, iblis dalam diriku semakin menguasai diriku. Apalagi saat mengetahui kalau dia masih berhubungan dengan Dhika. Pria yang selalu dia gumamkan dalam tidurnya, padahal dulu hanya namaku yang dia gumamkan setiap tidur. Aku kembali merasakan kehancuran dalam hatiku, ini lebih menyakitkan. Apalagi melihat Thalita juga seakan enggan melepaskan b******n itu. Tetapi rencanaku gagal, dan sekarang aku di penjara. Nanda dan b******n itu akan lebih leluasa menjalin hubungan.
"Pradhika Reynand Adinata, jangan harap aku akan melepaskanmu. Aku akan tetap membunuhmu, pria sepertimu tak pantas hidup !!!" seringai Devil tercetak jelas di bibir Farel
Author Pov
Dhika memasuki ruangan Thalita, terlihat Thalita sedang mencoba mengambil air minum di nakas dekat brangkar dengan kesulitan. Sahabatnya sudah kembali pulang, karena Thalita yang memaksa. Gelas yang ingin Thalita gapai, hampir saja jatuh ke lantai kalau tidak ada tangan seseorang yang menahannya membuat Thalita menengok.
'’Dhika,'
Tanpa berkata apa-apa, Dhika menyodorkan gelas air minum itu ke Thalita. Dan Thalita meminumnya dengan sesekali melirik Dhika yang terlihat menatap kearah lain dengan dingin. Dhika terlihat menghindari untuk tidak menatap Thalita. Thalita kembali menyimpannya tetapi kembali di ambil oleh Dhika dan menyimpannya ke atas nakas. "emm,, aku ingin ke toilet. Apa kamu bisa membantu?" Tanya Thalita membuat Dhika mengambil infusan dan membawa Thalita menuju toilet. "Ayo antar aku ke dalam."
"Tidak bisakah kau melakukannya sendiri." ujar Dhika dengan nada dingin.
"Sayang, aku masih sakit. Lihat tanganku masih di infuse dan kepalaku masih terasa pusing." ringis Thalita memegang keningnya yang masih di perban.
"Jangan berpura-pura, aku tau kamu sudah baikan. Bukankah kemarin juga nekat kabur dari rumah sakit," sindir Dhika terdengar sinis membuat Thalita mengerucutkan bibirnya dan berjalan masuk ke dalam toilet dengan memegang kantung infusan.
Pikiran jahil terlintas di kepala Thalita. Ia menengok ke belakang, memastikan kalau Dhika tak mengintip. Lalu ia duduk dengan posisi terlentang di atas lantai toilet. "Aaawww !!" pekik Thalita berackting kesakitan sambil mengelus pantatnya. Dhika yang mendengarnya langsung masuk dan terpekik kaget melihat Thalita sudah terjatuh di lantai.
"Kamu tidak apa-apa, Sayang?" Tanya Dhika khawatir.
"sayang?" ujar Thalita begitu senang.
"Maaf, maksudku Lita," ujarnya kembali dingin membuat Thalita mencibir. 'baiklah, teruslah bersikap dingin padaku, sayang. Kita lihat saja, sampai kapan kamu akan tahan mendiamkanku seperti ini’ batin Thalita menyeringai.
"Aduhh pantatku sakit sekali. Ini gara-gara kamu, tadi aku minta tolong malah di cuekkin," ceroscos Lita dengan sebal tetapi Dhika tak merespon. Wajahnya tetap menampilkan datar dan dingin.
"Cepat berdiri," ujar Dhika dingin dengan mengulurkan tangannya ke hadapanThalita.
"bagaimana bisa aku memegang tanganmu, tanganku memegang kantung infusan dan sebelah lagi sakit karena jarum infusan. Gendong dong !!" ceroscos Thalita manja membuat Dhika menghela nafas dan berjongkok hendak membantu Thalita terbangun. Thalita sangatlah bahagia dan langsung mengalungkan kedua tangannya di leher Dhika. Bukannya bisa ke angkat, Dhika malah tertarik oleh Thalita hingga kini tubuh mereka saling menindih dengan Thalita yang berada di bawah Dhika.
"Lepaskan !!" ujar Dhika dingin, karena Thalita mengalungkan kedua tangannya di leher Dhika dengan sangat kuat, membuat Dhika sulit untuk beranjak.
"Lepas jangan yah. Tapi sayang, aku gak mau melepaskannya, Aku malah ingin menciummu," ujar Thalita tersenyum menggoda membuat Dhika memalingkan wajahnya terlihat masih kesal. "kalau sedang bicara itu, pandang matanya dong." Thalita mendorong pipi Dhika hingga kini keduanya bertatapan penuh arti.
Siapapun pasti tau arti tatapan penuh cinta mereka, walau Dhika masih memasang wajah datar dan dinginnya, tetapi matanya tetap memancarkan cinta. Thalita tersenyum menatap mata coklat itu yang masih terlihat binar cinta. "Lepaskan Lita, nanti ada yang masuk" ujar Dhika kesal.
"Kenapa memangnya? Biarkan saja kalau ada yang masuk, toh kita suami istri kan," ujar Thalita dengan santai.
"Lita, lepaskan !!" Dhika menarik tangan Thalita yang ada di lehernya dengan sedikit keras. Dan akhirnya terlepas juga. Tanpa menunggu lama, Dhika langsung berdiri membuat Thalita bangkit dari rebahannya. Dhika langsung beranjak pergi tetapi segera di tahan Thalita.
"Kamu mau kemana? Bantuin aku dulu, pantatku sakit. Mana aku pengen pipis."
"Kalau mau menipu tuh, pakai trik yang benar. Lantainya kering, jadi mana mungkin kamu terpeleset. Bangun sendiri !!" ujar Dhika dengan ketus seraya melepas pegangan Thalita dan berlalu pergi keluar ruangan.
"Ikhhh dasar cowok nyebelin !! Ngebetein banget sih dia kalau lagi ngambek," gerutu Thalita dan langsung berdiri dari duduknya.
Dhika datang dengan membawa twins membuat Thalita senang. Dhika segera merebahkan twin di pangkuan Thalita. "apa Vino sudah sadar?" Tanya Thalita
"Belum" jawab Dhika datar membuat Thalita manyun karena masih di jawab singkat. Thalita sibuk menyusui Leonna, dan Dhika langsung berpaling membawa Leon menuju sofa mengajaknya main disana. Thalita terus menatap Dhika yang fokus mengajak main Leon tanpa melirik Thalita. "Awww" pekik Thalita membuat Dhika menengok kearahnya. Thalita melepas kemutan Leonna karena terasa sakit. Thalita memegang mulut leonna ternyata sudah tumbuh gigi. "Nana nakal yah, mentang-mentang sudah tumbuh giginya. Gigit Mama." Thalita seakan memarahi Leonna tetapi Leonna terlihat cuek saja dan ingin kembali menyusu. "jangan di gigit yah sayang" Thalita kembali menyusui Leonna.
Thalita melihat ke arah Dhika yang terlihat santai saja. 'Biasanya suka langsung nyamperin, ini cuek saja. Astaga sayang, udahan kenapa sih ngambeknya,' batin Thalita kesal melihat Dhika yang cuek saja dan malah asyik mengajak main Leon yang sudah merangkak kesana kemari sambil memainkan mainannya.
"Assalamu'alaikum," Okta datang bersama Chacha dan juga Angga. Dhika hanya melirik sekilas dan Thalita menjawab salamnya. Dhika langsung beranjak ke arah Thalita, melepas jas yang dia pakai dan menutupi d**a Thalita bersama dengan Leonna, karena Thalita masih menyusui. 'ngambek juga, masih saja gak rela milik istrinya di lihat orang lain,' batin Thalita.
"Nana dan Leon juga ada yah," ujar Angga.
"Halo Leon embul." Okta mencubit pipi Leon yang sedang bermain membuat Leon memanyunkan bibirnya ke arah Okta dengan lucu membuat yang lain tertawa, kecuali Dhika.
"Sudah ada banyak orang, aku pergi. Leon bersamaku," ujar Dhika dingin dan menggendong Leon.
"Kita baru datang, loe main pergi saja Dhik," ujar Okta tetapi tak di jawab Dhika yang melenggang pergi keluar ruangan.
"Dia masih marah, Tha?" Tanya Angga yang di angguki Thalita.
"Dari kemarin gue kirim chat ke dia, kagak ada yang di baca," keluh Okta.
"Dhika kalau sudah kecewa, sulit buat baik kembali," ujar Angga mengingat dulu dia begitu gencarnya meminta maaf ke Dhika.
"Cepet sembuh dong, Tha. Jadi kan bisa loe kasih jatah, gak bakalan ngambek lagi kan suami loe," kekeh Chacha
"bener tuh Tha, siapa tau langsung luluh hatinya" timpal Angga
"itu kan Lita, nah gue gimana? Kagak mungkin kan gue kasih Dhika gombalan maut gue. Bisa ditendang gue yang ada," ujar Okta membuat yang lain terkekeh."apa gue kasih dia saham di perusahaan guesaja yah, atau gue kasih makanan kesukaannya di tempat favorit kita."
"ciee gator, romantis banget sih punya tempat favorit sama Dhika" goda Angga membuat Thalita dan Chacha tertawa.
"gue cemburu, gator" ujar Lita
"heh Lita, memangnya cuma loe yang punya tempat istimewa sama Dhika. Gue juga punya dong, gue kan dulu mantan kekasih gelapnya" ujar Okta dengan genit
"idih mau-maunya si Dhika sama loe, kalau gue jadi si Dhika sih ogah banget punya kekasih gelap model loe" ujar Angga bergidik
"sepertinya kak Dhika benar-benar dikelabuhi oleh kegelapan, makanya mau sama crocodile" ledek Chacha tertawa
"termasuk loe yah, Cha" ujar Lita
"sepertinya begitu" kekeh Chacha
"aishh,, dasar nenek lampir, seneng bener ledek suami unyu dan tampannya sendiri" celetuk Okta.
"Kalian berisik, Nana tidak jadi tidurnya deh" keluh Lita seraya merapihkan pakaiannya yang masih tertutup jas milik Dhika.
"sini, princes sama gue" ujar Okta menggendong tubuh Leonna.Leonna tiba-tiba mencubit pipi Okta membuatnya mengaduh. "aduh, kenapa di cubit sih daddynya"
"itu karena loe udah buat bokapnya ngambek" kekeh Angga
"dasar keluarga galak" keluh Okta mencubit gemas pipi Leonna.
Farel berjalan keluar sel, karena ada yang ingin menemuinya. Farel kaget saat melihat siapa yang menemuinya. "Nanda" gumam Farel. Claudya menatap Farel dari atas hingga bawah. Terlihat sekali wajah Farel yang masih penuh dengan lebam dan rahangnya terlihat mulai ditumbuhi bulu-bulu kecil.Farel duduk di hadapan Claudya yang masih menatapnya intens. Farel membalas tatapan mata biru laut milik Claudya hingga keduanya bertatapan cukup lama. "kamu senangkan, melihatku seperti ini"
"Tidak senang, tidak juga sedih. Tetapi ku pikir inilah hukuman yang harus anda terima tuan Ferro Assesino" ujar Claudya tajam membuat Farel menatapnya tak kalah tajam.
"apa maumu" ujar Farel tajam dan dingin
"Aku mau mengatakan sesuatu sama kamu, berhentilah mengejar Dhika. Karena Dhika tak akan pernah terkalahkan oleh siapapun. Dan aku juga tak akan pernah diam lagi mulai sekarang, aku akan melindungi Dhika dari iblis seperti kamu !!" ucapan Claudya yang tajam membuat Farel tersenyum kecut.
"apa yang pria pengecut itu miliki, sampai-sampai ada dua wanita sekaligus yang begitu ingin melindunginya" gumam Farel. "Dengar yah nona Lawrent, aku tak perduli dengan ucapan kamu !! Aku akan tetap mengejarnya dan membunuhnya" bisik Farel penuh penekanan.
"Kamu pikir, kamu akan mampu melindungi si pengecut itu" Tanya Farel meremehkan Claudya
"iya, aku tidak perduli dengan keselamatanku. Aku akan tetap melindunginya, walau nyawaku taruhannya"
Deg….Ucapan Claudya bagai sebuah pedang yang menusuk ulu hati Farel. Farel terdiam mendengar ucapan Claudya itu. Hatinya kembali hancur. Wanita pertama yang mampu membuat hatinya menghangat dan merasakan cinta, mengatakan hal ini dan rela mengorbankan nyawanya demipria lain. "aku rasa hubunganmu dengannya sudah semakin jauh"
"itu bukan urusanmu" ujar Claudya sinis
"Kamu rela menukar nyawamu untuk suami dari wanita lain?" Farel terkekeh mengejek
"Aku tak perduli dengan statusnya, yang jelas aku mencintainya" ujar Claudya terdengar santai
"Dan dia? Bagaimana dia padamu, Nanda?" pertanyaan Farel mampu membungkam mulut Claudya dan menatapnya dengan tajam. Farel menyeringai melihat wajah Claudya yang tiba-tiba saja memerah.'sialan !! Farel menskak mat ucapanku' batin Claudya.
"Bagaimana lagi, dia juga mencintaiku. Kami berhubungan sejak kami kuliah" ujar Claudya dengan sedikit gugup
"oh yah? Kalau begitu kenapa dia menikah dengan Thalita, bukan denganmu?" Tanya Farel lagi
'Claudya pikirkan sesuatu,,' batinnya. Keduanya masih bertatapan tajam, mungkin kalau mata mereka mengeluarkan laser. Maka akan terjadi peraduan laser. "Karena kami berbeda agama, dia memilih Thalita karena hubunganku dengannya tak direstui." Ujar Claudya seraya memalingkan wajahnya.'Maaf Dhika, aku tak bermaksud membuatmu semakin dalam bahaya. Tetapi aku takut dia akan mentertawakan dan menyiksaku lagi kalau mengetahui cintaku bertepuk sebelah tangan. Maafkan aku Dhika' batin Claudya. Farel masih menatap Claudya dengan tajam, kedua tangannya sudah mengepal hingga memutih."Aku harap kamu bisa membawa Thalita pergi dari hidup Dhika" Claudya segera beranjak pergi tanpa menengok lagi setelah mengatakan itu, membuat Farel semakin geram. Dendam dan emosi Farel kembali memuncak….
Sore itu Thalita keluar dari ruangannya, dengan sudah tak memakai alat infuse lagi, walau kepalanya masih memakai perban. Thalita berjalan bersama Chacha menuju ruang ICU, hingga saat mendekati ruang ICU. Langkah Thalita terhenti membuat Chacha ikut menghentikan langkahnya."Ada apa Tha?" Tanya Chacha heran
Dan Thalita menjawabnya dengan menunjuk kearah mereka menggunakan dagunya membuat Chacha menengok dan tepat di depan mereka, Dhika tengah berbicara dengan Claudya.Mereka berbicara dengan sangat serius, sampai tak menyadari kehadiran Thalita. Bahkan Dhika sesekali tersenyum kecil dan terkekeh.
"Dasar pria !!" gerutu Thalita yang sudah sangat kesal.
"Labrak saja gih," ujar Chacha yang juga kesal melihatnya.
"Tidak, jangan di labrak. Keenakan dong Dhika, aku ada ide". Dan tepat saat itu dari lorong sebelah kiri Thalita berdiri, Angga tengah berjalan bersama beberapa perawat pria seperti tengah membahas sesuatu. "Cha, loe ngumpet."
"Loe mau ngapain?" Tanya Chacha bingung
"sudah turuti saja, sana ngumpet" perintah Thalita
"Oke, tetapi loe jangan aneh-aneh yah bikin rencananya" ujar Chacha dan di angguki Lita.Chacha bersembunyi di ruangan yang berada tak jauh dari mereka. Thalita berjalan tertatih sambil berpegangan ke dinding.
"aduh" ringis Thalita dan tubuhnya oleng. Angga yang melihatnya kaget.
"Lita !!" Angga sedikit berlari menghampiri Thalita yang hampir terjatuh membentur lantai, seketika Dhika menengok bersamaan dengan Claudya saat Angga memanggil nama Thalita. Angga segera menahan tubuh Thalita yang hampir membentur lantai. 'si Lita bener-bener cari mati' batin Chacha yang mengintip dari sisi dinding.
"Lita, kamu tidak apa-apa? Kenapa kamu keluar ruangan sih?" Tanya Angga.
"Aku ingin melihat Vino, Kak. Tetapi kepalaku pusing," rintih Thalita dengan sesekali mengintip ke arah Dhika yang masih tak beranjak. 'Kenapa tidak beranjak juga sih? maaf kak Angga aku harus melakukan ini' batin Thalita dan langsung menjatuhkan badan dan kepalanya ke d**a bidang Angga membuat Angga mau tak mau merengkuh tubuh Thalita. Dan itu mampu membuat Dhika kesal melihatnya.
"Lita, kamu tidak apa-apa?" Tanya Angga khawatir. Angga bahkan masih tak menyadari keberadaan Dhika.
"kepalaku sakit kak" rintih Thalita di d**a Angga
"Aku antar ke ruangan kamu yah" ujar Angga, dan seketika Angga mematung saat menyadari kehadiran Dhika tak jauh di hadapannya."oh sial !!" gumam Angga menelan salivanya sendiri.
"Maaf kak" cicit Lita menengadahkan kepalanya membuat Angga menunduk dan terlihat wajah memelas Thalita.
"Lita kamu pura-pura?" Tanya Angga kaget dan Thalita hanya bisa nyengir. "Lita, kamu benar-benar membuatku dalam masalah besar" gumam Angga. "Tatapan suami kamu sudah seperti mau nerkam aku, tau" ujar Angga melirik Dhika.
Dhika semakin kesal melihat mereka yang malah saling menatap, membuat Dhika akhirnya berjalan ke arah mereka meninggalkan Claudya yang juga melihat adegan itu. "Dia datang Lita, cepat merintihlah," gumam Angga membuat Thalita tersenyum senang dan kembali memasang wajah kesakitannya seraya memegang keningnya.
"Bawa aku keruangan Vino, Kak" ujar Thalita lirih
"Tapi kamu kelihatan lemah, Lita. Aku antar ke ruangan kamu dulu saja yah," ujar Angga.
"Tidak kak, antar aku ke ruangan Vino," ujar Lita.
"Baiklah, ak-"
"Gue yang bawa dia," ucapan Dhika memotong ucapan Angga.
"Agh untung ada loe, gitu dong. Jangan telantarin istri loe yang lagi sakit, bisa jadi fitnah berkepanjangan kan kalau gue yang bawa dia keruangan Vino," kekeh Angga sedikit tidak enak. Dhika langsung menarik pundak Thalita, dan itu kesempatan Thalita memeluk Dhika. Thalita bersorak senang saat bisa memeluk suaminya, setelah lama tidak merasakan kehangatan ini.
"Kenapa keluar? Kalau masih sakit, diam saja di ruangan. Mana infusan di lepas juga, dasar susah di atur." Omelan Dhika tidak Thalita hiraukan dan sibuk memeluk tubuh suaminya. "Lita, jangan memelukku sekencang ini. Aku tidak bisa bernafas," keluh Dhika karena Thalita memeluknya sangat erat.
"Tapi kepalaku sakit sekali," rintih Thalita. Tanpa aba-aba Dhika langgsung membopong tubuh Thalita. "antar keruangan Vino yah.” Dhika tak menjawab, dan langsung berlalu menuju ruangan Vino. Thalita mengangkat tangannya yang berada di belakang kepala Dhika dan mengacungkan jempolnya kepada Angga dan Chacha yang terkekeh melihatnya. Tak hanya itu, Thalita juga memasang wajah senang dan meledek kearah Claudya membuat Claudya kesal. 'hahaha, dia pikir bisa mengambil kesempatan untuk dekat sama Dhika pas dia marah sama aku. Enak saja, tidak akan aku biarkan. Karena Thalita yang sekarang, tak akan pernah mau melepaskan apa yang sudah menjadi miliknya' batin Thalita menatap wajah Dhika yang sangat dekat dengannya.
"Aku mencintaimu," bisik Thalita, tetapi Dhika tak meresponnya membuat Thalita sebal sendiri dan mengencangkan kalungannya di leher Dhika.
"Kamu apa-apaan sih? Mau mencekikku?" ucap Dhika dengan kesal.
"Kenapa tidak di jawab" Thalita merajuk manja
"apa?" Tanya Dhika memasang wajahnya datar
"ya kata cinta aku barusan" ujar Thalita
"Memang harus yah?" jawab Dhika terdengar dingin membuat Thalita mencibir. 'Marahnya benar-benar ngalahin aku, huh' batin Thalita kesal. 'Sepertinya perjuanganku untuk meluluhkan hatinya, masih panjang' batin Thalita.
Farel merenung di dalam sel tahanan memikirkan ucapan Claudya. 'Tega sekali dia mengatakan kata terkutuk itu di depanku, kamu pikir aku akan melepaskanmu, Nanda !! Setelah membunuh b******n itu, aku akan mengejarmu dan menghancurkan hidupmu. Kamu tak akan pernah aku lepaskan Ananda Lawrent' batin Farel geram. Emosinya kembali terpancing dan memuncak, pengacaranya tengah mengurusi kasusnya dan Farel yakin dia akan segera bebas dari tempat sialan ini. Dan saat itu tiba, saat dia berhasil bebas. Langkah pertama yang akan dia lakukan adalah mendatangi keluarga Dhika dan membunuhnya. Kedua tangan Farel semakin mengepal hingga buku buku tangannya memutih.
Thalita tengah duduk disamping brangkar Vino yang masih terlelap, dielusnya tangan mungil Vino dan terlihat luka bakar di tangannya seukuran bulatan rokok.Thalita berkaca-kaca melihat kondisi Vino yang sangat menyedihkan."Maafkan bunda, hikz" tangis Thalita pecah dengan mengecupi tangan Vino. Dhika berdiri di belakang Thalita memperhatikan Thalita."Maafkan bunda yang begitu lalai menjaga kamu, maafkan bunda sayang. hikzzz"
"Dia sudah melewati masa kritisnya" ujar Dhika dengan datar membuat Thalita menengok.
"Syukurlah. Vino sayang, ayo buka matamu. Bunda disini , sayang" Thalita mengelus pipi Vino.
"itu adalah kesalahanmu, Lita. Kalau saja kamu tidak menyembunyikan hal ini, aku bisa lebih awal menyelamatkan Vino" ujar Dhika yang masih sangat kesal dan geram mengingat semua ini.
"Aku melakukan itu karena dia mengancam akan mencelakakan Vino, kenapa aku tak mengatakannya padamu, Dhika" ujar Thalita bangkit dari duduknya dan menatap kearah Dhika dengan tangisannya.
"Kamu percaya begitu saja dengan omongannya? Lihat Lita, lihat Vino. Kamu tidak cerita padaku juga, Vino tetap celaka" ujar Dhika tajam.
“Karena aku tidak menceraikanmu, jadi Vino yang dia celakai begitu juga dengan aku !!” cicit Lita. "Kenapa kamu terus menyalahkanku? Aku memang salah, tetapi aku melakukan ini juga hanya untuk melindungi orang-orang yang aku sayang" ujar Thalita ikut kesal
"Tapi hasilnya mana? kamu malah mencelakakan mereka. Kamu juga bahkan mengorbankan twins, kamu hampir saja meninggalkan mereka. Jangan hanya memikirkan ego mu, tapi pikirkan yang lain juga" ujar Dhika tajam membuat Thalita terdiam.
"Tapi setidaknya hargai usahaku, Dhika"
"Maaf, tapi aku sudah terlanjur kecewa padamu."
Dhika berlalu pergi membuat Thalita kembali menangis. "bu-bunda" panggilan lirih itu membuat Thalita menengok kearah Vino dan terlihat Vino sudah membuka matanya.
"Sayang!" Thalita mendekati Vino dan mencium kening Vino.
"bunda jangan nangis" Vino menghapus air mata Thalita.
"Maafkan Vino. Karena Vino, bunda jadi berantem dengan ayah" ujar Vino lirih
"Tidak sayang, ini bukan salah kamu. Vino tidak salah sama sekali" ujar Thalita mengusap kepala Vino
"Tapi Vino yang meminta bunda datang, Vino yang membuat bunda dalam bahaya" ujar Vino berkaca-kaca
"Tidak nak, Vino tidak salah. Selama ini bunda begitu khawatir dan memikirkan Vino, jadi bunda sangat bahagia saat mendengar suara Vino lagi saat itu. Bunda tak memikirkan resiko apa yang akan bunda hadapi. Termasuk kemarahan ayah" ujar Thalita. "Ayah marah karena khawatir sama bunda dan Vino"
"Vino kangen bunda, hikzz" isak Vino dan Thalita langsung memeluk Vino dan ikut menangis."Vino takut, bunda. Papa memukuli Vino dan mengurung Vino, Vino takut bunda" isak Vino dipelukan Lita membuat Thalita semakin teriris hatinya.
"Kamu tenang saja, sekarang sudah ada bunda dan ayah yang akan melindungi Vino. Bunda janji, papa tidak akan memukuli Vino lagi" ujar Thalita membuat Vino mengangguk. Thalita melepas pelukannya, dan menghapus air mata Vino."mana yang sakit?"
"Badan Vino dan kepala Vino, bunda" keluh Vino
"Kamu akan segera sembuh, sabar yah. Dokter Laela yang akan menyembuhkan Vino" ujar Thalita.
"Kepala bunda masih sakit?" Tanya Vino menyentuh perban di kepala Lita.
"Sudah agak mendingan sayang, kamu tidak perlu khawatir yah" ujar Lita membuat Vino mengangguk.
"Kamu mau makan? Bunda suapin yah" ujar Lita membuat Vino mengangguk antusias.Dengan telaten, Thalita menyuapi Vino makan. Mereka terlihat bercanda dan terkekeh bersama-sama.
Thalita sudah kembali beraktivitas di rumahnya mengurusi kedua anaknya, walau Dhika masih bersikap dingin padanya. Vino masih di rawat di rumah sakit, walau sudah di pindahkan ke ruang rawat biasa. Pagi ini Thalita sibuk menyiapkan makanan di dapur, untuk Dhika sarapan. Tak lama terdengar derap langkah kaki membuat Thalita berlari kearah Dhika. "Aku buatkan sarapan untuk kamu, ayo makan dulu" ujar Lita dengan nafas yang tersenggal-senggal.
"Aku tidak lapar," jawabnya dingin dan berlalu melewati Thalita.
"Tapi aku sudah masak untuk kamu," ujar Lita lirih. Dhika terus berjalan menuju pintu membuat Thalita terdiam dan berkaca-kaca. 'Apa semarah itu,' batin Lita dan berpaling menuju dapur dengan menitikkan air matanya. Baru kali ini masakannya ditolak Dhika. Dengan langkah gontai Thalita mengambil makanannya dan berjalan menuju tong sampah dengan sesekali manghapus air matanya.
"Jangan buang-buang makanan, mubazir!" ucapan seseorang membuat Thalita menengok dan melihat Dhika disana. "Daripada harus di buang, mending aku makan saja." Dhika merebut piring yang dipegang Thalita dan berjalan ke arah meja makan dan memakannya di sana dengan lahap. Thalita tersenyum dalam tangisnya, dengan segera Thalita menghapus air matanya. Dan mengambilkan air minum untuk Dhika. Thalita duduk di depan Dhika dengan menatap wajah Dhika yang sedang menikmati makanannya
. "Aku bawakan makan siang yah nanti, sekalian nengok Vino," ujar Thalita penuh harap
"Tidak perlu," ujar Dhika menyudahi makannya.
"eh tunggu" cegah Thalita, saat Dhika sudah beranjak.Thalita berdiri di hadapan Dhika dan merapihkan dasi yang Dhika pakai. "kamu memang tak handal memakai dasi," ujar Thalita, karena tadi Dhika menolak untuk memakaikan dasinya. Dhika menatap wajah Thalita yang sedang merapihkan dasinya.
Thalita terlihat cantik pagi ini, dengan rambut yang digulung keatas menampakan leher jenjangnya. Kalau saja Dhika tidak sedang marah, sudah pasti leher Thalita menjadi sarapan paginya. "Sudah selesai." Thalita menatap Dhika yang juga tengah menatapnya juga. Keduanya saling bertatapan penuh arti dan penuh rasa rindu. Tangan Dhika maupun Thalita seakan gatal untuk saling memeluk dan mendekap. Tetapi ego Dhika masih sangat kuat, membuatnya dengan segera memalingkan wajahnya.
"Aku pergi," ujar Dhika masih dingin.
"Tunggu," ujar Lita menahan dasi Dhika membuat Dhika menengok kembali ke arah Thalita.
"Ada ap-"
Cup…Thalita mengecup bibir Dhika dengan sedikit menjinjitkan kakinya. "Selamat bekerja suamiku sayang, hati-hati dijalan" Thalita tersenyum membuat Dhika salting sendiri.
"Khem,,, aku pergi" Dhika berlalu pergi dengan tersenyum kecil melihat tingkah istrinya itu.
Malam sudah larut, Dhika terlihat sibuk memainkan ponselnya diatas ranjang. Dan Thalita tengah duduk di depan cermin sambil menyisir rambutnya. Dari tadi, tak ada pembicaraan diantara mereka. Thalita berjalan kearah ranjang, melirik Dhika yang seakan fokus dengan handphonenya. Thalita juga bingung mau bertanya apa, kalau begini. Masa iya dirinya yang harus ngajakin gituan duluan ke Dhika. 'Tidak,,, ya tuhan. Aku tidak mungkin mengajaknya lebih dulu' batin Thalita.Tetapi ide lain muncul di kepala Lita, membuatnya tersenyum senang. Thalita langsung merebahkan kepalanya dipaha Dhika membuat Dhika tersentak kaget. "kamu ngapain sih?" ujar Dhika dingin
"Aku pengen tiduran di paha kamu, lebih nyaman," ujar Lita.
"Kaki aku kram," ujar Dhika seraya memindahkan kepala Lita ke sampingnya.
Kaki aku kesemutan, tolong bangun !!
Ucapan Thalita saat itu terngiang di kepala Thalita begitu saja, membuatnya terdiam seketika. 'Jadi Dhika dulu begini yah perasaannya saat aku tolak terus dan aku jutekin.'
Dan seketika itu, bayangan Dhika yang terus mengganggu Thalita hanya untuk mengantarnya pulang dan mengobrol bersama terbayang begitu saja di kepala Lita. Dhika yang tak pernah merasa sakit hati, walau Thalita dengan ketusnya menolak bahkan mengusirnya. 'Pasti dulu Dhika lebih merasa sakit daripada aku, sekarang aku tidak boleh menyerah. Semangat Thalita, walau harus jadi penggoda seperti yang Ratu dan Chacha katakan. Toh jadi w*************a untuk suami sendiri tidak ada salahnya' batin Thalita menyemangati dirinya sendiri.
'Apa yang sedang dia pikirkan?' batin Dhika yang melirik ke arah Thalita yang masih terdiam melamun.
Thalita terbangun dan membenahi duduknya menjadi lebih di depan Dhika. "Astaga, kenapa malam ini gerah sekali yah," Thalita menggulung rambutnya hingga leher jenjangnya terlihat jelas. Dhika yang sedang memeriksa perkembangan café dari handphonenya di buat tak fokus dengan tingkah Thalita. Thalita bahkan melepas tali gaun tidurnya membuat tali branya terlihat jelas dan Dhika langsung memalingkan wajahnya. Thalita sengaja memunggungi Dhika karena dia tak mau melihat wajahnya yang sudah merah karena malu. Thalita juga melepas talinya yang lain membuat gaun tidurnya melorot dan memperlihatkan bra berwarna putihnya dan kulit putihnya terlihat jelas. Dhika sudah tidak nyaman dalam duduknya melihat tingkah Lita. Thalita bahkan hampir melepas gaun tidurnya dari tubuhnya. Dan itu membuat Dhika semakin resah, Dhika segera menarik selimut dan membalutnya ke tubuh Thalita membuatnya kaget dan menengok ke arah Dhika.
"AC di kamar nyala, jadi tidak mungkin gerah," ujar Dhika datar dan langsung merebahkan dirinya dengan posisi memunggungi Thalita membuat Thalita kesal setengah mati. Sudah sekuat tenaga menahan malu, malah di buat semakin malu. Thalita mengangkat tangannya ke udara dan gemas ingin memukul Dhika, tetapi tiba-tiba saja Dhika menengok dan Thalita langsung salting sendiri, tangannya yang terangkat langsung pura-pura mengusap lehernya. Thalita memasang senyuman semanis mungkin ke arah Dhika. "Kalau mau tidur, tolong matikan lampunya," ucap Dhika, membuat Thalita mendengus kesal dan beranjak menuruni ranjang dengan masih memegang selimut yang membalut tubuhnya untuk mematikan lampu.
'Dasar pria nyebelin !! Pengen nimpuk pake bantal rasanya,' batin Thalita dan langsung merebahkan diri di samping Dhika dengan ikut memunggungi Dhika.
Waktu terus berjalan, tetapi Thalita masih belum bisa memejamkan matanya. Bukan hanya Thalita, tetapi Dhika juga. Mereka terbiasa tidur dengan saling memeluk, dan sekarang tidur seperti ini. Rasanya ada yang hilang. Thalita menengok ke arah Dhika tetapi Dhika tak bergeming. 'Apa dia sudah tidur yah' batin Lita terus memperhatikan punggung lebar Dhika. 'Sepertinya belum tidur'. Thalita berangsur mendekati Dhika, dan melepas selimut di tubuhnya. Thalita memeluk tubuh Dhika dari belakang. Dan tidak memperdulikan rasa malunya. "Aku tidak bisa tidur kalau tidak memelukmu," ujar Lita dan Dhika hanya terdiam saja. Hingga akhirnya Thalitapun terlelap. Dhika merasakan nafas yang teratur di tengkuknya. Dhika melepas pelukan Thalita dan berbalik ke arah Thalita. Di tatapnya wajah Thalita yang terlelap. Thalita terlihat sangat cantik saat terlelap. Dhika mengecup kening Thalita.
"Tidur yang nyenyak sayang, semoga mimpi indah, Ratuku," bisik Dhika membelai wajah Lita. "Maafkan sikapku akhir-akhir ini, aku melakukannya hanya untuk memberimu sedikit hukuman. Aku juga ingin tau, seberapa besar cintamu padaku," ujar Dhika. "Tetapi percayalah, sekecewanya aku. Aku tetap memaafkanmu, karena aku sangat mencintaimu, saying." tambah Dhika mengecup bibir merah Thalita, bahkan melumatnya sedikit. "Usahamu untuk menggodaku lumayan juga." Dhika tersenyum melihat gaun Thalita yang belum dibenarkan dan memperlihatkan bra dan perut putihnya. Dhika menarik selimut untuk menutupi tubuh Thalita hingga leher. Dan Dhika ikut terlelap di samping Thalita.
Claudya pergi ke sebuah club, ucapan Meliana tadi siang benar-benar mengganggu pikirannya. Kenapa Meliana tega sekali mengatakan itu. Apa salahnya, kalau dia mencoba menggapai kebahagiaannya. Dia begitu menginginkan Dhika dari dulu. Dan Claudya juga sedikit memanfaatkan Farel agar bisa memisahkan Dhika dan Thalita. Dan mengingat ucapan Dhika yg hanya menganggapnya teman. "Aku akan merebutnya, bagaimanapun caranya aku harus memilikinya" gumam Claudya tak karuan dan terus meneguk minumannya.Tak jauh dari tempat Claudya berada, Angga dan Okta juga ada di club itu, tengah menikmati minuman mereka.
"Sudah lama gue tidak datang ke tempat kayak gini," ujar Okta meneguk minumannya.
"iya gue juga, si Daniel sulit di ajak. Tau sendirilah Serli gimana possesivenya" ujar Angga
"Dasar metromini, dia cemburuan banget" keluh Okta
"Gimana kabar loe sama kekasih gelap loe?" ledek Angga membuat Okta mengedikkan bahunya.
"Masih ngambek saja dia, diemin gue mulu. Masa iya gue harus cium dia, biar dia bersuara" ujar Okta asal dan Angga terkekeh.
"Tapi ide loe boleh juga, loe cium aja si Dhika. pasti dia bakalan ngomong sama loe" ujar Angga
"iya ngamuk lagi sama gue" keluh Okta.
"eh gator, liat deh. Itu dokter Claudya kan" Angga menunjuk dengan dagunya membuat Okta menengok dan benar saja Claudya tengah mabuk berat.
"Beneran, itu saingannya si putri batu" ujar Okta asal
"Putri batu?" Tanya Angga bingung
"Iya, siapa lagi kalau bukan nyonya Thalita Adinata titisan siluman Batu. Sikap keras kepalanya bikin gue gak berdaya dan akhirnya si Dhika ngamuk" ujar Okta membuat Angga terkekeh
"Astaga, loe bener-bener sang ahli julukan yah" kekeh Angga
"Lalu julukan buat wanita itu apa" Tanya Angga
"Amoeba" jawab Okta santai dan Angga langsung.
"Itu kan nama parasit yang suka bersarang di otak manusia" kekeh Angga dan Okta mengangguk setuju.
"Kan kalau pemakan otak manusia itu Amoeba air tawa. Nah ini amoeba air laut karena matanya biru. Sudah gitu kelakuannya kan mirip parasit, gangguin kehidupan orang" ujar Okta dan Angga kembali tertawa puas. "Dan loe dulu jenis parasit loa loa yang hidup di mata manusia. Gara-gara loe, si Dhika jadi ngeluarin lahar panas mulu kan dari matanya" ucapan Angga membuat melemparkan kacang pada Okta.
"Sialan loe" ujar Angga dan Okta terkekeh puas.
"Cewek cantik tuh, loa" kekeh Okta
"Diem loe gator, gue laporin nela tau rasa loe" ujar Angga
"haha,, cie don juan beneran tobat sekarang" kekeh Okta
"Berisik loe. Kalau gue ketauan lirik cewek lain, sudah deh gue dapet bogem gratis dari istri tomboy gue" keluh Angga dan Okta tertawa puas.
"Berarti susis juga loe" kekeh Okta
"Bukan susis, lebih tepatnya gue laki-laki setia dan peka dengan perasaan wanita" ujar Angga
"Prett agh, bilang saja susis loe" ujar Okta
"eh gator, itu si amoeba kok pingsan sih. Ayo kita tolongin" ujar Angga membuat Okta menengok.Angga dan Okta segera membantu Claudya dan memapahnya keluar dari club itu.
"Kita bawa kemana nih, si amoeba?" Tanya Okta
"ke rumah loe saja" ujar Angga
"Enak aja loe, bisa pecah gendang telinga gue karena denger omelan si nela semalaman suntuk" Okta bergidik ngeri
"iya loe pecah gendang telinga.Nah gue babak belur deh besok karena di tonjok Ratu" Angga juga bergidik ngeri
"Terus gimana dong?" Tanya Okta
"Kita sewa hotel saja deh di sekitar sini" usul Angga dan di setujui Okta.Mereka memasuki sebuah hotel, dan langsung menjatuhkan tubuh Claudya diatas ranjang.
"Berat juga nih amoeba" keluh Okta duduk disamping ranjang.
"Dia kebanyakan dosa mungkin jadi kayak gitu" ujar Angga asal membuat Okta terkekeh
"Dhika, aku mencintaimu Dhik" gumam Claudya membuat Angga dan Okta saling menatap kaget."aku akan merebutmu dari wanita itu, kamu tau. Kamu lebih pantas denganku dibanding wanita so polositu" gumam Claudya
"Hadehhh dasar amoeba gendeng, minta gue iris juga tuh lidah" ujar Okta kesal.
"Nyesel gue ngeluarin uang buat sewain kamar buat dia" keluh Angga yang juga kesal mendengarnya.
"Tau gini, tadi di biarin saja di club. Biar jadi santapan g***n"
"Cabut saja yuk, sebel gue jadinya" ujar Angga dan langsung di angguki Okta.Keduanya masih berbincang kesal di dalam lift dengan saling menuduh hingga lift terbuka. Okta maupun Angga, membelalak lebar melihat dua orang wanita berdiri diluar lift dengan emosi yang meluap.
"sa-sayang" gumam Angga takut takut melihat wajah Ratu yang garang.
"hai nela sayang" kekeh Okta dan bahkan melambaikan tangannya kearah Chacha.Chacha maupun Ratu masih menatap garang suami-suami mereka....