Episode 4

8114 Words
    Selama 10 tahun aku selalu menunggumu, hanya menunggumu…. Dia tak pernah menjalin hubungan dengan wanita lain selama 10 tahun ini, dia hanya menunggu kamu, Lita... Sejak usiaku 21 tahun sampai sekarang, kamulah satu-satunya wanita yang aku cintai. Diriku dan hatiku hanya memiliki ruang untuk berdenyut sehingga aku hidup untuk mencintaimu. Percayalah, aku tidak akan pernah bisa berpaling dari kamu, hanya kamu dan seterusnya akan tetap kamu…. Ucapan demi ucapan terngiang di telinga Thalita. Bayangan Dhika dan Claudya yang saling bertatapan dan memeluk di rumah sakit terbayang begitu saja. Saat pertama kali bertemu lagi dengan Dhika, Thalita sempat curiga melihat kedekatannya dengan Claudya. 'apa ini berarti mereka memang sempat punya hubungan? Apa Dhika membohongiku karena ingin kembali padaku?'Hati Thalita terasa sangat terombang ambing saat ini, dilema menguasaihatinya. Di dunia ini tak ada yang namanya cinta sejati, kesetiaan hanya ada di bibir saja tak pernah terbukti kenyataannya. Dhika sudah menipumu selama ini…. Ucapan Farelpun terngiang di telinga Thalita, seperti cambuk yang menyakiti hatinya. 'apa dengan aku pergi, semuanya akan selesai? Apa aku mampu meninggalkan Dhika lagi? Apa aku mampu hidup tanpa Dhika?' Malam itu, Thalita bergegas membereskan semua pakaiannya untuk meninggalkan Dhika. Inilah jalan yang akan Thalita tempuh, selamanya akan menjadi budaknya Farel. Sebelum pergi Thalita menangis dalam diam seraya menatap kedua buah hatinya yang tengah terlelap.Bahkan Thalita sudah menyimpan beberapa persediaan ASI yang dia peras sendiri dan di simpan di dalam Fleezer.  “maafkan mama, Sayang. Maafkan mama” isak Thalita mengusap wajah polos Leonna dan Leonard. “ini jalan satu-satunya yang harus mama lalui. Mama mohon kalian jangan menyusahkan papa kalian. Dan mama harap suatu saat nanti mama bisa bertemu kalian lagi” Lita mengecup kepala Leonna dan Leonard secara bergantian. Tanpa ingin berlarut-larut, Thalitapun beranjak pergi meninggalkan kamar twins walau hatinya begitu berat. Thalita bergegas keluar rumah. Dhika kembali tidak pulang malam itu, membuat Thalita lebih leluasa pergi meninggalkan rumah. Saat sampai di pintu utama, Thalita mengernyitkan dahinya karena pintunya di kunci, tidak seperti biasanya karena di laci tempat penyimpanan kunci, tidak ada. ‘Kunci ini di simpan dimana yah’ batin Lita kembali menekan knop pintu berkali-kali.             “Apa kamu mencari kunci rumah?” Deg….Pertanyaan seseorang membuat Thalita terpekik dan segera berbalik. Di belakangnya. Dhika tengah duduk di atas sofa dengan santainya. Thalita segera memalingkan wajahnya karena ketahuan, bahkan kedua tangannya mencengkram kuat tas yang dia bawa. Dhika beranjak dari duduknya dan berjalan mendekati Lita yang masih berdiri di tempatnya. “Berniat tak pamit?” Tanya Dhika, Thalita masih diam membisu.             “Kenapa kamu melakukan ini?” pertanyaan lirih itu membuat Thalita menatap mata coklat tajam milik Dhika. Walau dalam keremangan, Thalita mampu melihat mata Dhika yang berkaca-kaca. “apa seburuk itukah aku, sampai kamu tak sabar ingin pergi meninggalkanku?” tanya Dhika membuat Thalita menatap Dhika dengan tangisannya. Tak ada yang mengeluarkan suara sedikitpun, mereka masih bertatapan penuh luka.             “Apa kamu benar-benar ingin pergi dariku?” Tanya Dhika dan Thalita masih saja diam membisu dengan tangisannya. “JAWAB !!!” bentak Dhika menghentakkan tubuh Lita. “jawab Lita, jangan membuatku gila karena kamu terus diam !!”             “Aku harus pergi,” gumam Thalita melepaskan kedua pegangan Dhika di lengannya. “tolong kembalikan kuncinya” ucap Thalita memasang wajah datarnya.             “Baiklah.” Dhika merogoh saku celananya dan malah mengeluarkan pisau lipat membuat Thalita terpekik kaget. “kenapa?” Tanya Dhika terlihat sangat santai.             “Kamu mau apa Dhika?” Tanya Lita kaget.             “Tenanglah, aku tidak mungkin menyakitimu.” Dhika menyimpan pisau itu di telapak tangan Thalita membuat Thalita mengernyitkan dahinya bingung.             “Kalau kamu ingin keluar dari rumah ini, maka langkahi dulu mayatku.” Deg             “A-apa maksudmu??? Jangan konyol, aku bukan pembunuh!” pekik Lita tersulut emosi dan rasa takut secara bersamaan.             “Secara tak langsung juga kamu sudah mencoba membunuhku untuk yang kedua kalinya, LITA !!!” pekik Dhika dengan emosinya membuat Thalita terdiam. “Dengar Thalita Putri Casandra, Aku Pradhika Reynand Adinata tidak akan pernah membiarkan apapun yang sudah menjadi milikku pergi. Maka dari itu kalau kamu ingin pergi dariku, maka kamu harus membunuhku!” ucap Dhika penuh penekanan, Thalita masih mematung di tempatnya. “Kenapa diam, hmm? Kamu begitu ingin pergi kan? Maka bawa twins juga sekalian bersamamu, tetapi sebelum itu bunuh aku dulu. Tusukkan pisau itu tepat di jantungku!” ucap Dhika dengan nada berat.             “Aku tidak bisa” ucap Lita.             “kenapa???? Kenapa, hah?” Dhika terlihat emosi.                  “karena aku tidak bisa membunuhmu, Dhika!” pekik Lita menepis tangan Dhika yang masih menyimpan pisau di tangannya.             “Apa alasannya? Bukankah kamu ingin pergi dariku? Atau kamu ingin melihatku hancur secara perlahan?” Tanya Dhika             “Baiklah kalau begitu, ambil kunci ini” Dhika menyimpan kunci di telapak tangan Thalita. “Pergilah, bawa twins dan tinggalkan aku sendiri. Aku berharap kalian bertiga bahagia dan terima kasih untuk waktu yang singkat ini.” Dhika menghela nafasnya dan mengusap air matanya.             “Aku sudah terbiasa di sakiti, dan di tipu oleh cintamu.” Thalita membuang pisau sekaligus kunci itu ke lantai dan menangis sejadi-jadinya dengan menunduk, hatinya sangat dilema dan bimbang. Dhika akhirnya tak tega melihat Thalita yang menangis terisak, Dhika menangkup wajah Thalita hingga mata mereka beradu. “katakanlah, apa yang terjadi. Aku tau kamu sangat mencintaiku, aku tau kamu sedang tidak baik-baik saja. Sayang, aku mohon katakanlah, kita bisa menghadapinya bersama,” ucap Dhika dengan lembut bahkan hidung mereka saling bersentuhan. Thalita mampu melihat ketulusan di mata Dhika yang merah menahan air matanya. Pertahanannya mulai runtuh…             “Aku takut,,hikzz” isak Lita dan langsung memeluk tubuh Dhika. Thalita menangis sejadi-jadinya di pelukan Dhika.                        “Apa yang kamu takutkan? Aku ada di sini,” ucap Dhika mengecupi kepala Thalita dengan sayang. Thalita masih menangis sejadi-jadinya di pelukan Dhika. Dhika membiarkan Thalita mengeluarkan segala beban dalam hatinya. Setelah mulai tenang, Dhika menyodorkan air minum ke Thalita dan mereka duduk berdampingan di sofa ruang tamu. “ada apa, Lita? Katakan sesuatu” tanya Dhika yang mulai tak sabar menunggu penjelasan Thalita. Thalita yang sadar dhika sudah mencurigainya. Thalita terus saja menunduk dan memalingkan wajahnya, membuat Dhika jengah danIa langsung menyentuh dagu Lita dan menariknya, membuat Thalita perlahan menengadahkan kepalanya dan kini mata mereka kembali beradu. Thalita tak mampu lagi menahan tangisannya, melihat mata coklat Dhika, membuat air matanya kembali berkumpul di pelupuk matanya. "apa yang terjadi?" Tanya Dhika lembut,Thalita masih terdiam menatap Dhika. "sayang, ada apa?" Seketika air mata Lita kembali luruh membasahi pipinya, Dhika semakin di buat bingung. "sayang, ku mohon katakanlah sesuatu" Dhika semakin khawatir.Tangan Thalita bergetar melepaskan pegangan Dhika di wajahnya membuat Dhika mengernyitkan dahinya bingung. Thalita menunduk dan mengambil sesuatu dari dalam tas yang tadi dia bawa. Thalita menyerahkan amplop berwarna coklat ke Dhika membuat Dhika semakin bingung dan dengan tak sabar membuka amplop itu. Terlihat 5 buah foto yang sudah lecek karena diremas. Mata Dhika membelalak lebar  melihat foto-foto itu. "ini-" gumam Dhika kaget "apa kamu sudah menipuku selama ini?" Tanya Lita lirih membuat Dhika menatap Thalita dengan tatapan yang tak bisa di artikan."kenapa tidak mengatakan yang sebenarnya" “apa ini yang membuatmu ingin menceraikanku?” Tanya Dhika “jawab Dhika” " aku tidak pernah menipumu. Sungguh" ujar Dhika bersungguh-sungguh "katakanlah yang sejujurnya, Dhika. Apa kalian pernah ada hubungan khusus? Aku tak masalah kalau memang kalian pernah mempunyai hubungan" ujar Lita dengan nada yang menyakitkan "tidak Lita, aku tak pernah mempunyai hubungan apa-apa sama dia, sungguh" ujar Dhika mencoba meyakinkan. "aku akan menjelaskan semuanya padamu, tapi ku mohon berhenti menangis" ujar Dhika menghapus air mata Lita. "Kamu membohongiku, kamu bilang kamu selalu setia menungguku. Tapi-" ucapan Thalita terhenti karena Dhika menempelkan telunjuknya di bibir Lita. "aku tidak ingin memaksamu untuk mempercayaiku, biarkanlah kesetiaanku selama ini menjadi kenangan untukku sendiri. Tetapi aku mohon, dengarkan penjelasanku dulu" Thalitapun mulai terdiam. "dulu saat aku mulai kuliah di Oxford University, aku bertemu dia dan dia yang membantuku mengurusi beberapa persyaratan yang harus di penuhi. Aku selalu menghindari dia, tetapi dia terus saja menguntit membuatku sedikit risih. Kamu lihat foto ini" Dhika menunjukkan salah satu fotonya. "saat itu aku tengah membaca buku di taman kampus, dan dia tiba-tiba saja datang.Dia bilang hanya ingin duduk disana jadi aku biarkan saja. Setelah itu dia sering memberi perhatian padaku, seperti yang ada di foto ini, dimana dia menyodorkan air mineral padaku saat aku selesai bermain basket. Dia sering melakukan perhatian-perhatian kecil itu, walau tidak pernah aku terima" Dhika menatap mata Thalita, berharap Thalita percaya. "Bahkan aku tidak sadar kalau ada yang memotret kami, aku tidak pernah memperdulikan sekitarku saat itu. Aku hanya fokus kuliah dan memikirkanmu" "kami mulai sering berkomunikasi saat disini, karena kami satu tim operasi dan dia teman sekampus bahkan teman sekelasku" ujar Dhika "coba lihat foto foto ini." Dhika menjajarkan semua fotonya di atas meja. "ini foto saat aku tengah membaca buku di ambil dari samping dan kamu bisa lihat bentuk badan dan rambutku saat itu. Coba kamu bandingin dengan foto ciuman dan pelukan ini" Thalita memperhatikan semua foto itu dengan seksama. "rambut pria yang terlihat dekat dengan Claudya lebih pendek daripada fotoku yang sedang membaca buku dan selesai bermain basket. Coba kamu perhatikan lagi, sejak kapan aku ke kampus memakai kemeja? Apalagi itu kemeja berwarna cerah. Kamu tau kan, aku tak pernah terlepas dari jaket atau kaos saat aku kuliah" ujar Dhika membuat Lita kembali menatap Dhika yang duduk disampingnya. Betapa bodohnya Thalita, dia begitu saja percaya dengan tipuannya Farel, tanpa menyelidikinya dulu dengan jelas. Thalita menyesal sudah menuduh Dhika. "dengar sayang, aku tak butuh kamu mempercayaiku. Aku tak butuh kamu mengetahui semua yang aku alami di masa lalu tanpa kamu. Yang jelas sekarang, ku mohon jangan ragukan cintaku. Jangan ragukan kesetiaanku, semua yang aku ucapkan padamu sesuai dengan apa yang aku rasakan. Aku tidak pandai membuat gombalan ataupun merayu seorang wanita" ujar Dhika terdengar tulus. Thalita menatap mata Dhika mencari kebohongan disana, tetapi tak ada sedikitpun kebohongan yang Thalita dapatkan dari sana. Hanya ada tatapan penuh cinta dan ketulusan,"aku percaya padamu, aku sangat percaya" isak Thalita memeluk Dhika dengan erat."maaf aku meragukan kesetiaanmu" "aku mohon jangan pernah mengatakan perceraian lagi, apalagi sampai kamu meninggalkanku. Aku mohon Lita, jangan lakukan ini lagi" Dhika mengecup pundak Lita dan memeluknya dengan erat. “maafkan aku” gumam Lita. ‘tuhan, ijinkan aku tetap bersama suamiku, bersama keluarga kecilku’ Dhika melepaskan pelukannya, dan menghapus air mata Thalita. "jangan menangis lagi, oke" ujar Dhika membuat Lita mengangguk. “dan jangan pernah berpikir untuk meninggalkanku, karena aku tak akan pernah melepaskanmu sampai kapanpun juga. Kamu paham” Dhika menangkup wajah Thalita, Thalita hanya diam dan menatap manik mata milik Dhika yang selalu bisa menenangkannya.   Seminggu sudah berlalu, Okta sudah bisa pulang dari rumah sakit dari 4 hari yang lalu. Thalita sudah memutuskan untuk terus bertahan di samping Dhika, walau amukan Farel membuatnya khawatir. Apalagi anak buah Okta masih belum menemukan Vino yang entah dimana keberadaannya. Dhika dan ketiga sahabatnya masih menyelidiki semua teka teki yang terjadi ini tanpa sepengetahuan Thalita dan Okta. Pagi ini Thalita tengah mengantar Dhika ke depan rumahnya. Thalita menyandarkan kepalanya ke bahu Dhika dengan manja. Dan tautan tangan mereka seakan tak ingin terpisahkan lagi. Thalita semakin yakin dengan cintanya, dan berharap Dhika tak akan pernah celaka."aku berangkat ke kantor dulu yah" ujar Dhika membuat Lita mengangkat kepalanya dan menghadap kearah Dhika dengan tersenyum manis. Dhika merengkuh pinggang Lita membuat tubuh mereka menempel. Thalita tersenyum dan merapihkan dasi yang Dhika pakai."aku akan mengantarkan makan siang, nanti" ujar Lita "aku akan menunggumu, sayang" jawab Dhika menatap manik mata Thalita."aku berangkat yah" Dhika mencium kening Lita. Dan hendak beranjak tetapi Thalita menarik dasi Dhika membuat wajah Dhika semakin dekat dengan wajah Thalita. Hidung mereka bahkan bersentuhan. "tidak ada morning kiss untuk istri cantikmu ini" goda Lita membuat Dhika terkekeh "keinginanmu adalah perintah sayang" bisik Dhika dan mengecup bibir Lita. Thalita membalas ciuman Dhika dan menekan tengkuk Dhika. Cukup lama mereka saling memangut penuh perasaan,, kini keduanya tengah mengambil nafas sebanyak banyaknya dengan masih menempelkan dahi dan hidung mereka. "aku mencintaimu, istriku, sayang" Thalita hanya tersenyum mendengarnya. "Kalau seperti ini terus, sepertinya aku tidak jadi ke rumah sakit” ujar Dhika membuat Thalita terkekeh dan menjauhkan wajahnya. Cup…Thalita kembali mengecup bibir Dhika singkat. "hati-hati dijalan, sayang" Dhikapun berangkat setelah mengucapkan salam. Thalita masih menatap mobil Dhika yang melaju meninggalkan pekarangan rumah dengan senyuman yang masih terukir dibibirnya.Thalita berjalan menuju kamar kedua anaknya. Bip bip bip Panggilan telpon menghentikan langkahnya, Thalita segera merogoh saku celananya dan mengangkat telpon yang di privat."ck ck ck,, romatis sekali kalian berdua. Membuatku cemburu. Aku begitu menikmati aksi ciuman kalian berdua, aku jadi ingin menciummu sayang" kekehan terdengar jelas "apa maumu" Tanya Lita tajam "Barusan adalah acara perpisahan yang sangat menyentuh hati" "Per-perpisahan?" Thalita terpekik kaget dan perasaan khawatir langsung menghinggapi hatinya. "Ya, seperti yang aku ucapkan saat itu. Karena kamu sudah mengibarkan bendera perang denganku. Sebentar lagi kamu akan mendengar kabar kecelakaan suami tercinta kamu" Deg…Sambungan telpon di putus sepihak, Thalita menjadi gelisah. Thalita langsung menghubungi Dhika tetapi suara handphone Dhika terdengar di ruang makan. Thalita berlari kesana dan melihat handphone Dhika tertinggal disana. "apa yang Farel lakukan kali ini, aku tidak bisa menghubungi Dhika" Thalita sangat cemas. "Tidak lagiOkta, sekarang Okta masih sakit. Aku harus susul Dhika" Thalita berlari setelah mengantongi kedua handphone ke saku celananya. Thalita langsung menyambar kunci mobil yang menggantung di tempatnya. "bi Siti, titip twins" teriak Lita saat melihat bi Siti tengah menyiram tanaman. Thalita berlari menuju mobilnya hanya dengan memakai t-shirt rumahan berwarna coklat di padu celana jeans sepertigaperempat kakinya berwarna biru dongker. Bi Siti melihat heran majikannya yang langsung menancap gas mobilnya keluar gerbang. Thalita mempercepat laju mobilnya untuk menyusul mobil Dhika, Thalita terus menekan klakson setiap ada kendaraan yang menghalanginya. Thalita benar-benar membawa mobilnya seperti orang kesetanan. Hingga di sebuah jalanan yang sepi dan jalannya terlihat menurun, mobilDhika terlihat melaju dengan kencang. "Sepertinya Farel menyabutase rem mobil Dhika, tak biasanya Dhika membawa mobil dengan kecepatan seperti ini" Thalita mempercepat laju mobilnya. Dhika kaget melihat mobil di belakangnya yang terlihat ingin menyalipnya. "Thalita" gumamDhika kaget melihat istrinya yang menyetir. "kenapa dia mengejarku? Dan kenapa harus membawa mobil dengan kecepatan seperti itu" gumam Dhika khawatir. Dhika menginjak remnya dan terpekik kaget saat menyadari remnya blong. "shitt,,!!Siapa yang menyabotase rem mobilku" umpat Dhika mencoba menstabilkan laju mobilnya. Mobil Dhika tak bisa di kendalikan lagi dan melaju dengan sangat cepat karena ini jalanan menurun.. Dhika melirik kaca spionnya dimana Thalita terus mengklakson mobil Dhika. "ya tuhan, aku harus apa? suamiku benar-benar dalam bahaya" gumam Lita sudah sangat ketakutan melihat laju mobil Dhika. Tanpa pikir panjang, Thalita semakin menginjak gas mobilnya dan menyalip mobil Dhika membuat Dhika kaget. "Apa yang ingin dia lakukan!" Dhika kembali menginjak gasnya dan mencoba mencari tempat yang tepat untuk menabrakan mobilnya. Thalita melihat Dhika semakin mempercepat laju mobilnya dan terlihat oleng. Tetapi Thalita tak mau kalah, Thalita kembali menginjak gas mobilnya lagi hingga berhasil menyalip mobil Dhika, “aku tak akan biarkan apapun terjadi dengan sumiku” seketika Thalita mengerem mobilnya tepat di depan mobil Dhika. Ciiiittttttttt "Apa dia sudah gila !!!" pekik Dhika kaget melihat Thalita yang mengerem mendadak mobilnya membuat Dhika sulit menghindar."oh Sial,,, Lita !!!" pekik Dhika mencoba membanting setirnya ke kiri. Brakkkk… Karena kondisi yang sangat tidak menguntungkan, membuat mobil Dhika tetap menabrak mobil Thalita yang berada di depannya. Membuat mobil Thalita terdorong hingga menabrak pembatas jalan. Dhika langsung turun dari mobilnya dan berlari ke arah mobil Thalita. Dhika langsung membuka pintu mobil dan terlihat kepala Thalita membentur setir. "Sayang!" Dhika menarik tubuh Thalita, kening Thalita sudah mengeluarkan banyak darah. Dhika segera melepas sethbel Thalita dan menarik Thalita keluar dari mobil. Tubuh Thalita terkulai di pelukan Dhika."Sayang," Dhika sangat khawatir melihat keadaan Thalita. "Syukurlah kamu tidak terluka," gumam Lita lirih dan seketika kehilangan kesadarannya. Tubuhnya menyusut ke bawah membuat Dhika terduduk dengan menahan tubuh Thalita dengan lututnya. "Sayang, buka matamu. Maafkan aku,,kenapa kamu lakukan ini" mata Dhika sudah memerah menahan tangisnya melihat kondisi istrinya yang jauh dari kata baik-baik saja. Dhika segera membawa Thalita ke AMI hospital menggunakan taxi.   Thalita sudah berbaring di atas brangkar dalam keadaan masih belum sadarkan diri. Dhika mendorong brangkar Lita bersama Angga dan beberapa perawat. "kumohon, buka matamu sayang" ujar Dhika berkaca-kaca menatap wajah Thalita yang pucat. Mereka sampai di UGD dan Dhika ikut masuk kedalam. "Dhik, tunggu saja diluar" ujar Angga "Tidak, gue yang akan mengobatinya" Dhika melepaskan jas yang penuh darah Thalita. Dhika membasuh kedua tangannya yang penuh darah, setelah itu Dhika mendekati Thalita dan mengobati luka di kepala Thalita. Bukan hanya di kepala saja, pergelangan tangan sebelah kanan Thalita juga terlihat sobek dan mengeluarkan banyak darah,.  Angga membantu Dhika menjahit luka Thalita. Setelahnya Dhika memasang alat bantu pernafasan di hidung dan mulut Thalita. "sayang, kamu dengar aku kan. Bukalah matamu, kenapa kamu melakukan ini" Dhika membelai kepala Thalita. Hati Dhika sangat remuk melihat kondisi istrinya seperti ini. "apa yang terjadi, Dhik?" Tanya Angga "ada yang menyabotase rem mobil gue dan Thalita menyusul gue. Dia memalangkan mobilnya untuk menghentikan mobil gue yang tak terkendali" ujar Dhika lirih penuh penyesalan. "kalau saja gue gak memberi jalan untuk Thalita menyalip dan kalau saja gue yang lebih memilih menabrakan diri ke pembatas jalan itu. Mungkin Thalita tidak akan Seperti ini, gue benar-benar tidak berguna, Angga. Bagaimana dia bisa mengorbankan dirinya untuk menyelamatkan gue?".terdengar sendu dan menyakitkan. "sudahlah Dhik, loe tidak perlu menyalahkan diri sendiri. Semuanya sudah terjadi, mungkin Thalita juga tak ingin melihat loe celaka makanya dia mengorbankan keselamatannya" ujar Angga. Syukurlah kamu tidak terluka Ungkapan itu begitu saja terngiang di telinga Dhika,membuat Dhika semakin terluka.Bagaimana dia begitu tak bergunanya sampai istrinya harus melindunginya. Dhika mengecupi tangan Thalita yang terasa dingin.“cepat bukalah matamu, aku menunggumu disini. Sayang” "Bagaimana bisa gagal? apa yang ada di pikiran wanita itu !!!" Farel mengamuk di apartementnya membuat Vino ketakutan di dalam kamarnya mendengar amukan Farel."dia benar-benar menantangku !!" Farel menghempaskan semua barang yang berada di sekitarnya Praaaankkkk Praaaankkk "Papa kenapa yah" gumam Vino mencoba mengintip dari celah kunci kamar. "Sialan !!!" umpat Farel menendang meja di hadapannya."baiklah Lita, kamu menantangku. Aku tak akan perduli lagi padamu, akan ku bunuh kau bersama suamimu !!!" ujar Farel menyeringai. 'bunda, apa yang terjadi pada bunda? Kenapa papa ingin membunuh bunda dan ayah? Apa salah mereka?' batin Vino bertanya-tanya. "akan aku balas sakit hatiku pada kalian bertiga. Nanda kau yang paling bersalah disini, tak akan aku lepaskan kau. Dhika dan Lita? cih,, mereka terlalu di bodohi oleh cinta. Maka akan aku bunuh Thalita untuk kehancuranmu, PRADHIKA" gumam Farel denganseringainya. Farel berjalan ke arah kamarnya dan membuka brangkas yang ada di lemarinya. Terpangpang jelas sebuah senjata api berwarna hitam silver. Farel mengambilnya dan memasukan beberapa peluru ke dalam senjata itu. Farel berjalan keluar kamar menuju pintu apartement. Dor dor dor "papa buka pintunya pa, papa bukaaaaa" teriak Vino mengetuk pintu kamar dengan sangat keras. Farel menghentikan langkahnya dan menatap pintu kamar Vino. Farel berjalan ke arah pintu dan membukanya. "ada apa?" Tanya farel dingin "pa, Vino pengen ke toilet" ujar Vino "cepat" ujarnya dan mengantar Vino ke toilet. Vino mengunci pintu dan menatap sekeliling toilet. 'aku harus keluar dari sini dan kasih tau ayah, atau bunda kalau papa akan membunuh bunda' batin Vino dan melihat ventilasi di dinding.Vino menaiki toilet duduk dan menloncat hingga mencapai tiang tirai bath up. "Vino, masih lama !!!" gedoran dari luar membuat Vino kaget. "sebentar lagi, papa. Vino sakit perut" Vino yang memang sangat menyukai olahraga dan latihan latihan kecil yang dia lakukan membuatnya tidak terlalu kesulitan untuk memanjat tiang itu.   Vino berhasil berdiri di atas tiang, walau terasa licin. Vino mengeluarkan alat-alat otomotif mainannya yang biasa dia pakai untuk membongkar pesawat mainannya. Dia mengambil obeng mainan yang terbuat dari platinum. Vino berusaha keras membuka baut baut itu. "Vino, papa harus pergi. Kenapa lama sekali !!!" bentak Farel membuat Vino ketakutan. "ayo dong buka" gumam Vino mencoba menarik tutup ventilasi. Dor dor dor "Vino, apa perlu papa dobrak pintunya" teriakan dari luar "sebentar papa" teriak Vino sudah sangat ketakutan. Hingga ventilasipun terbuka Prank …. Vino kaget saat tutup itu jatuh ke dalam bath up. "suara apa itu Vino? Jangan coba-coba kabur !!!" teriak Farel dari luar. Vino melihat knop pintuterus bergerak dan dobrakan mulai terdengar. Vino langsung masuk ke dalam ventilasi itu dan merangkak berjalan mengikuti alur ventilasi. Brak …Pintu kamar mandi terbuka, dan Farel menatap sekeliling kamar mandi yang kosong hingga melihat tutup ventilasi berada di dalam bath up membuat Farel menengadahkan kepalanya menatap ventilasi itu. "dasar anak kurang ajar !!!" amuk Farel emosi dan segera keluar dari kamar apartementanya. Farel mulai mencari kemana arah ventilasi itu. Vino yang sudah berhasil keluar dari ventilasi, melihat sekeliling yang juga merupakan kamar mandi di kamar lain. Vino segera turun dari sana dengan berpegangan ke tiang tirai. Saat ingin turun, kaki vino tak nyampai ke toilet duduk. Bruk….Vino terjatuh membuat kepalanya terpentok sisi bath up. Vino meringis merasakan sakit di punggung dan kepalanya. "aku harus mencari telpon" gumam Vino bangkit dari duduknya dan berjalan perlahan keluar kamar mandi. Vino menengok ke arah kanan dan kirinya tetapi kosong. Vino berjalan keluar kamar mandi, dan menatap sekeliling.  Vino melihat telpon disana dan segera menyambarnya. Vino duduk di lantai dan sedikit bersembunyi di balik sofa karena takut ketahuan. Di tekannya nomor telpon Thalita. Bip bip bip Dhika yang tengah duduk di samping brangkar Thalita terpekik  mendengar dering handphone Thalita. "siapa yah" gumam Dhika saat melihat nomor tak di kenal tertera disana. Dhika masih menimbang-nimbang untuk mengangkatnya atau tidak. "kenapa tidak di angkat?" tanyaAngga yang sedang berada disana juga. Dhika mengangguk dan berjalan keluar ruangan. "halo" "halo bunda" "Vino?" Dhika mengernyitkan dahinya bingung, "ayah, iya ini Vino. Tolongin bunda, ayah" ujar Vino terdengar terisak "ada apa, Vino? Ayah saat ini sedang bersama bunda. Kamu kenapa menangis? Kamu ada dimana?" Tanya Dhika bertubi-tubi, karena setau Dhika, Vino tengah bersama Farel. "Vino sedang bersembunyi ayah. Papa, papa Farel mengurung Vino dan menyiksa Vino, hikzzz" isak Vino "apa?" pekik Dhika kaget. "tapi kenapa?" Di sebrang sana, Vino mendengar suara pintu terbuka membuatnya ketakutan dan resah."ayah pokoknya, papa Farel ingin membunuh ayah dan bunda. Tolong jagain bunda, ayah" ujar Vino dan segera menutup telponnya. "halo Vino, tunggu. Vinooo" panggil Dhika dengan kebingungan. Di tempat lain, Vino langsung berdiri kaget saat melihat seorang laki-laki dewasa berada di hadapannya. "kamu sedang apa disini?" tanyanya kaget "aku- maaf om" Vino tergugup dan kebingungan harus menjawab apa. "kamu anaknya pak Farel kan, yang tinggal di sebelah" ujar laki-laki itu membuat Vino semakin ketakutan. "ayo, saya antar kamu pulang" "tidak, Vino tidak mau pulang" ujar Vino sudah sangat ketakutan, membuat laki-laki itu mengernyitkan dahinya bingung. Keduanya terpekik kaget saat mendengar suara bel apartement berbunyi. Laki-laki itu berjalan ke arah pintu dan membukanya. "maaf mengganggu, apa Vino ada di dalam?" Deg….Jantung Vino terasa keluar dari tempatnya mendengar suara itu. Vino tak berkutik saat mata elang itu menangkap sosok dirinya."maafkan putra saya, dia nakal sekali. Sampai harus memasuki ventilasi toilet" ujar Farel berjalan ke arah Vino yang berdiri kaku. "tidak apa-apa pak Farel" ujar laki-laki itu ramah. "ayo Vino kita pulang" ujar Farel penuh penekanan membuat Vino menelan salivanya sendiri."kami permisi dulu" Farel berlalu pergi dengan mencekal pergelangan tangan Vino. Farel membawa Vino memasuki apartementnya dan menyeretnya masuk ke dalam kamar. "anak kurang ajar !!!" amuk Farel. Plak…..Farel menampar Vino hingga Vino tersungkur dan bibirnya berdarah. "berani sekali kamu kabur dari sini !!" bentak Farel menendang tubuh Vino, membuatnya menangis kesakitan memegang perutnya. Farel melepaskan gesper yang dia pakai dan menggulungnya ke sebelah tangannya. Vino sudah ketakutan dan berangsur mundur. "jangan papa, maafin Vino,,hikzz" isak Vino memelas Plakkk "aaarghhhhh!!" jerit Vino saat Farel mencambuk punggung Vino dengan gespernya. Plak "papa ampun,, sakit" "berani melawan kamu sekarang, kamu pikir kamu bisa pergi ke bunda kamu????" Plak "papa sakit,, hikzzzzz" jerit Vino menangis meraung memohon ampun karena kesakitan.  Vino di hempaskan Farel begitu saja, hingga badannya membentur sisi lemari. Setelah itu Farel keluar dari kamar Vino dan mengunci pintu. "hikzz...hikz... bunda,, sakit. Sakit,,, hikzzzz" isak Vino. Malang sekali anak berumur 6 tahun ini…. Dhika duduk di dalam ruangannya sendiri, pikirannya memikirkan semua teka teki ini.  "kenapa Farel berniat membunuhku dan Lita? dan apa maksud Vino tadi, jelas-jelas Vino terdengar ketakutan" gumam Dhika.Entah dorongan dari mana, Dhika menyalakan komputernya dan melihat cctv yang ada di ruangan Thalita. Terlihat Thalita masih terlelap dengan Okta dan Chacha menemani mereka. "apa ini Lita? apa kamu mengetahui semua ini?" Tanya Dhika bingung. Dhika melihat Thalita tersadar dari tidurnya, Dhika ingin segera menemui Thalita. Tetapi feelingnya memerintahkan untuk tetap melihatnya dari sini. Dhika memasang handsfree yang sudah di sambungkan ke laptop dan menatap apa yang mereka lakukan.  Di dalam ruangan Thalita, Chacha terlihat membantu Thalita memberinya minum. "ini dimana?" Tanya Lita lirih "Loe ada di rumah sakit, Lita" ujar Okta "Dimana Dhika?" Tanya Lita "Dhika tadi pergi sebentar, mungkin ada urusan sedikit" "loe tidak apa-apa kan? Apa perlu gue panggil kak Angga?" Tanya Chacha "tidak perlu, guetidak apa-apa. Hanya sedikit pusing saja" "Lita, apa ini perbuatan Farel?" Tanya Okta "ya gator, Farel yang sudah menyabotase rem mobil Dhika" Deg…Dhika terpekik kaget mendengar ucapan Thalita, apa barusan dia salah dengar? Jadi, jadi Thalita mengetahuinya. Dan bahkan Okta dan Chacha juga. batin Dhika berkecamuk. " ini tidak bisa di biarkan lagi, Lita. Kita harus melaporkannya ke polisi" ujar Chacha "tidak semudah itu, Cha. Kita tidak punya bukti" ujar Lita menghela nafas. "kalau begitu, setidaknya beritahu kak Dhika" ujar Chacha "aku tidak tau, aku takut dia terluka dan celaka" ujar Lita lirih "loe jangan begini terus, Lita. Berkali-kali loe ngorbanin diri loe demi Dhika. Apa Dhika akan senang mengetahui ini semua? Kalian sudah bersama dan saling mendapatkan. Lalu apalagi keraguan loe, Lita? Beritahu Dhika dan yang lainnya, kita tak bisa menghadapi psyco itu" ujar Okta "cinta bukan tentang mendapatkannya, ini adalah tentang pengorbanan. Bagaimana bisa cinta ini berjalan, kalau salah satunya terancam" ujar Thalita lirih. "aku tak akan pernah membiarkan sesuatu terjadi pada Dhika, aku melakukan semua ini untuk melindunginya." Thalita menatap kosong ke depan."aku akan melakukan apapun untuk melindungi Dhika, aku ingin Dhika baik-baik saja" "Walaupun loe yang harus celaka?" Tanya Chacha tak mengerti dengan pemikiran Lita. "ya Chacha, bahkan gue rela menukar nyawa gue untuk Dhika" "gue sudah tidak tau lagi harus bagaimana ngadepin kepala batu loe" keluh Okta.Dhika yang mampu mendengarkan semuanya,Ia menatap kosong ke arah layar laptop dengan hati yang berkecamuk tak karuan. 'apa ini? apa sebegitu lemahnya aku? Sampai istriku harus melindungiku?' batin Dhika melepas handsfree yang dia pakai dan menyandarkan kepalanya ke sandaran sofa. “pantas kata Daniel kalau Farel yang mengajukan gugatan cerai ke pengadilan agama. Jadi dia dalang di balik semua ini.” "Farel" gumam Dhika, "pria itu, ternyata di balik semua ini. Aku harus mencari tahu lebih detail lagi" Dhika segera menghubungi Daniel, Angga dan Seno.   Saat ini semua brotherhood minus Elza tengah berkumpul di ruang rawat Thalita. "Lita, sebenarnya apa yang terjadi? kenapa kejadian ini seakan bersamaan dengan kejadian gator di keroyok?" Tanya Daniel yang sebelumnya sudah di kasih tau Dhika. Mereka ingin tau kejujuran Okta dan Thalita. "kata si Dhika, mobil Dhika ada yang menyabotase remnya" ujar Angga "kok bisa, tapi siapa pelakunya?" Tanya Serli "manaku tau" ujar Angga mengedikkan bahunya. "sepertinya orang yang menyabotase mobil Dhika sama dengan orang yang ada di balik pengeroyokan gator." Prediksi Daniel yang tepat sasaran. 'susah memang kalau berurusan dengan pengacara' batin Okta. "kalau begitu, orang ini bukan hanya musuh pribadi. Tetapi musuh brotherhood, karena dia mencelakakan dua orang secara berturut-turut" jelas Seno "mungkin selanjutnya kita" ujar Dewi "Tidak" ujar Lita tiba-tiba membuat yang lain menatap Thalita penuh curiga."maksud aku, tidak boleh sampai itu terjadi. kalau bisa cukup Okta dan aku yang terluka" Dhika masih diam seribu bahasa. Chacha sudah gatal sekali ingin mengatakan semuanya, tetapi Chacha merasa tak punya hak untuk itu.  "loe kenapa diem saja, gator? Kagak biasanya loe" sindir Seno "gue lagi pusing saja mikirin siapa emaknya gorilla gorilla itu" ujar Okta. "gorilla itu berani merusak wajah tampan dan unyu gue" "sayang, kamu kenapa?" Tanya Lita yang merasakan kejanggalan dari sikap Dhika. "aku tidak apa-apa, bagaimana keadaanmu? Apa yang kamu rasakan?" Tanya Dhika "aku masih merasa pusing saja" jawab Thalita dengan lirih Dhika mengecup kening Lita yang di perban dan mengecup tangan Lita yang di perban juga. "maafkan aku, aku sangat tidak berguna" ujar Dhika menyiratkan kekecewaan. "kamu ngomong apa, kamu tidak bersalah. Aku senang melihatmu baik-baik saja" ujar Lita membuat Dhika tersenyum kecil, sekuat tenaga menahan kekesalannya. Thalita melepas infusan di tangannya, menahan rasa sakitnya. Baru saja Vino menghubunginya dan meminta tolong Thalita. Thalita beranjak dari posisi berbaringnya walau kepalanya terasa sangat sakit. Kebetulan sekali tidak ada siapa-siapa, Dhika tadi bilang akan pergi untuk suatu urusan. "aku harus menolong Vino, bagaimanapun caranya" gumam Lita beranjak menuruni brangkar walau rasa pusing masih menyerangnya.Thalita berjalan tertatih dengan berpegangan ke dinding di sekitanya. Thalita membuka pintu kamar dan menengok kanan kiri. Lorong rumah sakit terlihat sepi, karena ini sudah menunjukkan pukul 9 malam. Thalita yang sudah memakai jaketnya, menutup kepalanya dengan kupluk jaket, karena takut ada yang mengetahui dia keluar kamar. Thalita terus berjalan menyusuri lorong rumah sakit dengan tubuh yang ringkih dan lemah, hingga berhasil keluar rumah sakit. Thalita hendak menyetop taxi tetapi lengannya di cekal seseorang membuat Thalita kaget dan menengok. "mau kemana loe?" Tanya orang itu membuat Lita sedikit bernafas lega "gator" "mau kemana?" Tanya Okta yang sejak tadi mengikuti Thalita. Thalita tak sadar kalau Okta berada di toilet ruang rawatnya. "Vino, Vino dalam bahaya. gator" ujar Lita lirih "tapi loe lagi sakit, Lita. Bagaimana kalau Dhika datang dan melihat ruangan loe kosong. Kembali ke dalam, biar gue yang jemput Vino" ujar Okta "tidak gator, gue harus menjemput Vino" ujar Lita ngotot "Lita jangan mulai keras kepala, loe belum sembuh total. Loe baru saja sadar dua hari yang lalu, loe perlu istirahat yang cukup. Gue akan menyelamatkanVino buat loe" tambah Okta "nggak gator, sudah cukup loe bantu gue. Gue harus tetap ikut dan menjemputnya" ujar Lita masih ngotot dengan tatapan memelas membuat okta menghela nafasnya jengah. "Susah memang bicara sama putri titisan siluman batu. Keras" gerutu Okta membuat Thalita terkekeh . "tunggu disini, gue ambil mobil" Tak lama Okta datang dengan mobilnya, Okta turun dari mobil dan membantu Thalita menaiki mobilnya. "gue minta loe jangan gegabah, Lita" "kalau bisa kita kembali sebelum Dhika datang" ujar Thalita dan Okta menancap gas mobilnya. Thalita dan Okta sudah berdiri di depan pintu apartement Farel, dan menekan bel berkali-kali tetapi tak ada yang membukanya. Thalita menekan knop pintu dan ternyata tak di kunci. "tidak di kunci" ujar Lita dan hendak masuk tetapi di tahan Okta. "kenapa?" Tanya Lita bingung "ini mencurigakan Lita" Okta menatap pintu yang tak di kunci itu."loe diam disini, biar gue yang masuk duluan" Okta mendorong pintu hingga terbuka lebar. Apartement Farel terlihat sepi,Okta terus masuk ke dalam dengan hati-hati. Okta memeriksa ke balik pintu takut ada yang bersembunyi disana, tetapi tak ada."dimana kamar Vino?" "itu" tunjuk Lita ke sebuah kamar yang tak jauh dari tempatnya.Okta berjalan ke arah pintu dengan Thalita. Tok tok tok "Vino sayang, ini bunda. Kamu ada di dalam kan?" ujar Thalita pelan "bunda,,,bundaa,,, pergi bunda, cepat pergi. Ini jebakan, pergi bunda" teriak Vino dari dalam membuat Lita dan Okta saling beradu pandang. "wah wah ternyata sedang ada tamu yah" ucapan seseorang membuat Okta dan Lita tersentak kaget, keduanya sama-sama menengok kearah dapur dimana Farel baru saja keluar dari arah dapur sambil memegang gelas dan sebelah tangannya dia sembunyikan di belakang tubuhnya.Farel menutup pintu apartementnya dan berjalan mendekati Lita dan Okta. "ternyata kamu tidak datang sendiri, sayang"  "mas, lepaskan Vino. !! Apa yang sudah kamu lakukan padanya" pekik Lita emosi "hhaa, anak sialan itu sudah membuatku kesal" kekeh Farel. "lepaskan dia" sahutOkta dingin "kamu lagi kamu lagi, apa kamu belum kapok setelah di keronyok anak buahku?" ujar Farel membuat Okta tersenyum kecil. "lepaskan dia" ujar Okta dingin "aku tidak mau, lancang sekali kau memerintahku" ujar Farel datar. Dan seketika Farel melempar gelas yang dia pegang kearah Okta dan Thalita. Okta reflex menarik tangan Lita untuk menghindar.Gelas itu pecah karena membentur pintu kamar. "loe benar benar menyusahkan" ujar Farel kesal dan langsung menerjang Okta dengan mengacungkan pisau di tangannya. Ternyata tangan Farel yang di sembunyikan tengah memegang pisau. Pisau itu melayang hampir menusuk bagian tubuh Okta, tetapi Okta berhasil menghindar dan menendang ulu hati Farel. Keduanya berkelahi dengan sengit, Farel terus mencoba menusuk Okta dengan pisau yang dia pegang. Okta masih berusaha menahan dan menghindarinya. Thalita mencari kunci serep kamar Vino di laci nakas yang ada disana dan di dapur. Hingga akhirnya Thalita berhasil mendapatkannya dan segera membuka pintu kamar. "Vino" "bunda" Vino berlari memeluk Thalita dengan menangis terisak. Thalita melepas pelukannya dan menatap wajah Vino yang penuh lebam. "apa yang terjadi sayang" Tanya Thalita sudah menitikkan air matanya menatap keadaan Vino yang sangat mengkhawatirkan. "aghhh !!!" pekik Okta saat sisi kanan perutnya tergores pisau. "Okta !!!" pekik Lita. Farel menendang perut Okta membuat tubuh Okta tersungkur di lantai. Kini Farel berpaling ke arah Thalita yang sudah berdiri dan menyembunyikan Vino di belakang tubuhnya. "kamu sangat menyedihkan, Lita. Cinta palsu b******n itu sudah melumpuhkan kerja otakmu" Farel terkekeh kecil dan terus berjalan mendekatiLita. Thalita terus bergeser bersama Vino untuk menghindari Farel. "kamu orang paling kejam yang pernah aku temukan, tega sekali kamu menyiksa darah dagingmu sendiri !!!" bentak Lita kesal "aku hanya memberi hukuman pada anak nakal itu" ujar Farel semakin menyudutkan Thalita ke dinding. Farel langsung mencekik leher Thalita membuatnya tersentak kaget sekaligus takut. "saat itu kamu bilang, aku harus membunuhmu dulu. Baru bisa menyakiti suami tercintamu itu, dan baiklah kali ini akan aku lakukan" ujar Farel menyeringai devil. "kali ini akan aku kirim kamu bersama sahabat kepomu itu bertemuMira" Farel semakin mencekik Thalita membuatnya sulit bernafas. "mas-" suara Thalita tertahan sambil terus memukuli tangan Farel yang mencekik lehernya. "papa lepas papa, jangan sakiti bunda, papa" Vino memukul dan menendang tubuh Farel membuat Farel kesal. Farel langsung menendang Vino hingga tubuh Vino tersungkur dan kepalanya membentur sisi meja hingga berdarah dan tak sadarkan diri. "Vi-no" ujar Lita tercekat, Thalita sudah sangat lemas dan sulit untuk bernafas. Dengan langkah tertatih, Okta memukul Farel dan mencoba melepaskan cekikannya di leher Lita. Tetapi Farel yang memang sangat menguasai ilmu bela diri menyikut d**a Okta membuatnya kembali mundur beberapa langkah. "ucapkan selamat tinggal sayangku, dan sampaikan salamku pada kakak angkatmu itu" Farel mengeraskan cekikannya pada Thalita membuat wajah Thalita memerah karena kesulitan untuk bernafas. Tangan sebelahnya yang memegang pisau segera di arahkan ke perut Thalita untuk di tusukan. Gerakan Farel terhenti saat seseorang menahan pisau yang akan menusuk perut Lita dan sebelah tangannya menarik paksa tangan Farel yang mencekik Thalita. "Dhika" gumam Lita kaget suaminya ada disini. Bugh…Dhika memukul kepala Farel dengan kepalanya sendiri membuat Farel terdorong dan mundur beberapa langkah ke belakang. "oho oho oho" tubuh Thalita merosot ke lantai dengan terbatuk-batuk sambil memegang lehernya. "kamu gak apa-apa, Lita?" Tanya Daniel yang juga datang bersama Dhika, Seno dan Angga.Seno langsung menolong Okta yang terkapar sedangkan Daniel membantu Thalita. Dan Angga menggendong Vino dan membawanya ke atas sofa untuk di periksa. Sedangkan Dhika masih berhadapan dengan Farel. "ternyata sang tokoh utamanya sudah tau. Bagaimana rasanya jadi orang bodoh?" ejek Farel dan Dhika masih terdiam. Tetesan darah menetes dari telapak tangannya. "sakit bukan karena di bodohi oleh istri sendiri" kekeh Farel. "istri kamu melakukan hal hal konyol di belakangmu, bahkan dari 10 tahun yang lalu dengan alasan cinta. Cih, menggelikan sekali" ceroscos Farel membuat yang lain kesal."selama ini kamu hanya bisa bersembunyi di belakang istrimu itu, dasar pengecut !! Bisanya hanya meminta perlindungan istri" ejek Farel semakin menjadi, membuat Dhika semakin emosi. Daniel yang kesal hendak menerjang Farel tetapi di tahan Dhika. "ini urusan gue" Dhika langsung menerjang Farel Bugh…Satu tonjokan mendarat di pipi Farel membuatnya memuntahkan darah dari mulutnya. "b******n !!!" amuk Dhika terus menerjang dan memukuli Farel tanpa ampun seperti orang kesetanan. Bugh….Dhika terus memukuli Farel tanpa henti dan tidak memberi kesempatan untuk Farel membalas pukulannya. Farel sudah terjatuh ke lantai dan Dhika terus memukuli wajahnya bertubi-tubi. Dhika mengambil pisau yang tadi di gunakan Farel untuk menusuk Thalita, Dhika arahkan pisau itu untuk menusuk tepat ke jantung Farel. "Jangan Dhika !!!" teriakan Lita seakan menyadarkan Dhika. Dhika menghentikan gerakannya tepat ujung pisau itu di depan d**a Farel. Farel terlihat syok melihat Dhika yang seperti kesetanan memukulinya."jangan Dhika, kamu bukan seorang pembunuh. Jangan kotori tangan kamu dengan membunuh orang, jangan lakukan itu, Dhika." Dhika yang masih dikelabuhi amarah langsung beranjak dan melempar pisau begitu saja dan berjalan meninggalkan Farel menuju yang lain. Tetapi tak di sangka-sangka, Farel bangkit dan mengambil pisau itu hendak menusukannya ke Dhika "Dhika awasss!!" Reflex Dhika menghindar dan Dhika langsung menendang perut Farel membuatnya mundur beberapa langkah dan membungkuk hingga pisau yang dipegangnya jatuh ke lantai."k*****t !!!" amuk Dhika menarik kerah kemeja Farel dengan sebelah tangannya dan sebelah tangan lagi memukuli Farel tanpa ampun hingga Farelpun kehilangan kesadarannya.Dhika mengatur nafasnya yang bergemuruh melihat Farel yang sudah tergeletak di atas lantai dalam kondisi tak sadarkan diri. Tak lama beberapa polisi datang dan meringkus Farel. Dhika berbalik dan melihat Thalita tengah memeluk Vino yang masih tak sadarkan diri. Dhika berjalan mendekati Lita, dan menggendong Vino tanpa melirik Thalita. "bawa yang lain" ujar Dhika datar dan berlalu pergi dengan menggendong Vino. Thalita menatap Dhika dengan kebingungannya. "Dia sangat marah" ujar Angga yang sadar Thalita tengah kebingungan. Daniel membantu Thalita berjalan, sedangkan Angga dan Seno memapah Okta yang sudah lemah dengan darah yang bercucuran dari sisi perutnya. Saat mereka sampai di parkiran, terlihat mobil Dhika sudah melaju meninggalkan area apartement. "Si Dhika bener-bener deh kalau marah, kita sampe di tinggal. Terus kita balik pake apaan" gerutu Seno "bawa mobil gue" ujar Okta menahan rasa sakitnya. Thalita sudah duduk di kursi penumpang depan dengan Daniel yang menyetir mobil, sedangkan ketiga prialainnya berada di jok belakang. Thalita memikirkan reaksi Dhika. Tadi itu seperti bukan Dhika. bahkan Dhika hampir membunuh Farel. "Siap-siap saja kalian berdua mendapat amukan dari si Dhika" ujar Seno "bantuin gue dong, ayolah bujuk dia" rengek Okta "sepertinya percuma saja, gator. Loe tau karakter leader kita itu kan. Ngambeknya lama" ujar Angga "guesaja yang berniat nolongin dia waktu itu, di musuhin sampe dua tahun lamanya" ujar Daniel dan bergidik ngeri, tidak mau lagi membuat leadernya marah. "tenang saja, gator. Gue akan coba bicara padanya, gak mungkin kan dia marah pada istrinya selama dua tahun lamanya" ujar Lita membuat Okta senang. "loe memang berguna Lita, pokoknya keluarkan rayuan mematikan loe buat luluhin si Dhika"   Vino dilarikan ke UGD, keadaannya sangat mengkhawatirkan. "dia mengalami dehidrasi" ujar seorang dokter wanita yang memeriksa Vino. "dan pak Dhika, banyak sekali luka memar di tubuhnya seperti bekas cambukan dan pukulan" jelas dokter itu membuat Dhika semakin geram. "berikan perawatan maksimal padanya" ujar Dhika "baik pak" Okta tengah di obati oleh Angga diruangannya. "gimana yah cara gue minta maaf ke Dhika?" Tanya Okta "lebih baik untuk sekarang loe jangan banyak ngomong dulu, dia masih sangat emosi" nasehat Angga. "lagian kenapa loe gak bilang sih? Gue juga sebenarnya masih belum paham kenapa Farel melakukan ini." "biar Thalita saja yang menjelaskannya" ucap Okta. "sudah selesai, loe mau di rawat?" Tanya Angga "kagak, luka segini sih gak akan mempengaruhi gue" ujar Okta berjalan keluar ruangan di ikuti Angga. Semuanya berkumpul di ruangan Thalita, keadaan Thalita masih lemah. Walau Thalita ingin memeriksa kondisi Vino, tetapi sahabat-sahabatnya melarang karena sudah ada Dhika yang menanganinya. "bagaimana bisa ini terjadi?" Tanya Serli yang tak menyangka "Okta dan Lita sudah menjadi korbannya" timpal Dewi "aku gak nyangka Farel seorang psychopath dan tega melukai anak kandungnya sendiri" Ratu bergidik membayangkannya. Pintu terbuka dan menampakan Dhika disana, semuanya melihat kearah dia. Dhika berjalan kearah brangkar dengan tatapan tajamnya tak lepas dariThalita. Itu berhasil membuat Thalita gugup, bahkan tak ada yang berani membuka suaranya. Mereka semua sadar kalau Dhika tengah emosi. Sang singa sedang dalam mode on. "Dhika, a-aku bisa jelasin" cicit Lita ketakutan "kenapa?" Tanya Dhika penuh penekanan. "Dhika, aku hanya ingin melindungi-" "Melindungi? Ini yang kamu maksud melindungi, hah? Kamu sampai mengajukan gugatan cerai padaku dengan alasan untuk melindungiku" bentak Dhika membuat Lita tersentak kaget."apa kamu tau apa artinya sepasang suami istri? Untuk apa kita menikah kalau kamu masih tidak mempercayaiku, Lita !!!" bentak Dhika sudah sangat kesal. Thalita hanya bisa membeku dengan mata yang berkabut karena air matanya. "Dhika, tenangin diri loe. Istri loe sedang sakit" ujar Dewi "diam loe Dewi !!Ini urusan rumah tangga gue !! Keluar kalian !!" amuk Dhika semakin menjadi membuat Dewi akhirnya terdiam. "Dhika, loe jangan salah paham. Lita lakuin ini karena dia mencintai loe" ujar Okta berjalan mendekati Dhika "DIAM LOE OKTAVIO !!!" Dhika menunjuk tepat di depan wajah Okta membuatnya diam tak berkutik. Dhika benar-benar marah besar. "loe sahabat gue, bahkan orang yang paling dekat dengan gue. Tapi kenapa loe tega menyembunyikan semua ini dari gue. Gue gak habis pikir, loe bersekongkol dengan istri gue untuk menyembunyikan ini. Kalian menjadikan gue orang yang paling bodoh!” "tidak sayang, bukan seperti itu. Aku hanya ingin kamu baik-baik saja" ujar Lita yang sudah menangis "Makanya kamu mengorbankan diri kamu untuk melindungiku, begitu?" Tanya Dhika membuat Lita kembali terdiam "aku tidak butuh pengorbananmu, Thalita Putri Casandra. Aku tidak butuh perlindungan darimu !!!" ucap Dhika dengan tajam membuat Thalita semakin menangis. “Bahkan kamu melakukannya dari 10 tahun yang lalu” ucap Dhika dengan tatapan terlukanya.  "kalian menganggapku lemah, kalian menganggapku bodoh. Dan kamu Lita, sampai kapan kamu tidak mempercayaiku?" Tanya Dhika dengan mata yang sudah memerah menahan tangisnya. Kekecewaan tersirat jelas di mata Dhika. "Dari dulu sampai sekarang kamu lebih percaya pada oranglain, daripada aku. Dulu kamu lebih mempercayai Angga untuk melindungimu." 'kenapa gue di bawa-bawa' batin Angga dengan menggaruk tengkuknya sendiri. "Dan sekarang, kamu lebih percaya sama gator. Lalu kapan kamu akan percaya padaku? Kapan Lita? Kapan kamu akan menjadikanku tamengmu? Kapan kamu akan bergantung padaku? Apa cintamu juga tidak setulus yang kamu katakan?" Tanya Dhika lirih menahan kesakitan hatinya. "tidak Dhika, aku sangat mencintaimu. Sungguh" isak Lita. "aku melakukan ini karena aku mencintaimu, aku ingin kamu baik-baik saja. Aku sangat mencintaimu, Dhika. Percayalah" isak Lita "apa dengan kamu melakukan ini, aku bisa bahagia? Apa aku bisa bahagia melihat istriku melamun seakan memikirkan beban berat? Apa aku bisa bahagia melihatmu terluka seperti saat di restaurant? Apa kamu pikir aku bahagia dan akan baik-baik saja melihatmu terluka seperti ini dan hampir di bunuh oleh orang lain. Bagaimana kalau terjadi sesuatu padamu, Lita? Kamu pikir dengan kamu menukar nyawamu demi aku, aku akan bahagia??" Tanya Dhika bertubi-tubi. "Tidak Lita, dengan sikap kamu yang seperti ini. Secara perlahan kamu membunuhku Lita, kamu membunuhku!" ujar Dhika lirih terdengar sangat menyakitkan, Thalita semakin terisak menatap Dhika.Ingin sekali Thalita menggapai Dhika dan memeluknya, mengatakan beribu maaf. "Aku pikir setelah kita menikah, kamu tidak akan melakukan hal yang sama dan akan lebih mempercayaiku, tetapi ternyata aku salah besar. Kamu sama sekali tak pernah mempercayaiku. Kamu lebih memilih menceritakannya ke sahabatku dan membiarkan aku menjawab semua teka teki ini sendiri. Kalau saja saat itu Vino tidak menghubungiku, mungkin aku tak akan menyadari ini. Mungkin saja malam ini statusku akan berubah menjadi duda karena aku tidak bisa menyelamatkanmu. Dan parahnya aku seperti orang bodoh yang tak tau apa-apa!" Dhika mentertawakan dirinya sendiri. "Kamu begitu menganggapku lemah, kamu menganggapku tak berguna. Kepala keluarga macam apa aku ini. Aku sudah sangat gagal, sangat gagal !! Aku tidak berguna," ujar Dhika tanpa terasa menitikkan air matanya di balik kekehan kecilnya membuat Thalita semakin teriris hatinya. "maafkan aku Dhika, bukan itu maksudku," isak Lita. Dengan segera Dhika mengusap matanya yang basah. "aku kecewa padamu, Lita. terima kasih untuk ini semua!" "Dhik, jangan begini. Kita bisa jelaskan alasan kenapa kita tidak mengatakannya," ujar Okta membuat Dhika menatap ke arah Okta. "gue juga sangat kecewa sama loe, Okta. Sangat!" setelah mengatakan itu,Dhikapun beranjak pergi. "Dhika tunggu!" Seno menahan lengan Dhika, tetapi Dhika menepis tangannya dan menatapnya dingin. Blam…!! Pintu ditutup dengan keras. "kenapa jadi seperti ini" isak Thalita.Serli langsung memeluk Lita, para wanita mengelilingi Thalita dan memberinya kekuatan. Sedangkan Okta terduduk di sofa dengan pikiran yang kalut. Okta selama ini selalu berusaha untuk membahagiakan sahabat-sahabatnya, tetapi kali ini tatapan Dhika sungguh memohok hatinya.  Okta merasa sangat gagal….. "Tenanglah gator, kita akan bantu bujuk Dhika" ujar Daniel tetapi Okta hanya terdiam Dhika melempar dan memecahkan semua barang yang ada di ruangannya hingga pecah dan berserakan di lantai. Darah terus mengalir dari telapak tangannya yang di balut perban. "kenapa Lita? sampai sekarangpun aku masih bukan orang yang kamu percayai. Statusku saja yang menjadi suamimu, tetapi tidak dengan hatimu. Kenapa?" gumam Dhika sangat terluka. "kenapa kamu selalu berusaha melindungiku, kenapa? KENAPA?" Praankk   Malam semakin larut, dan Thalita masih duduk bersandar ke sandaran brangkar. Di ranjang kecil yang memang ada di samping brangkarnya, Serli dan Daniel sudah terlelap. ‘Kemana dia? Apa dia masih di ruangannya atau sudah pulang, bahkan chatku tak ada yang di bacanya. Sebegitu marahkah dia padaku?’ batin Thalita merenung sendirian. ‘Kata-kata Dhika terus terngiang di telingaku, melihatnya seperti itu membuatku sangat terluka. Bukan ini yang aku harapkan, bukan ini yang aku inginkan. Sebenarnya aku sudah ingin mengatakannya kepadaDhika saat Farel berani memukulku. Tetapi Vino, dia mengancam akan melukai Vino. Mulutku kembali terkunci karena Vino masih belum jelas keberadaannya’ Hatinya teriris mendengar ucapan Dhika, apalagi melihat matanya yang terlihat sangat terluka dan menyiratkan kekecewaan. Thalita tak pernah ingin melihat tatapan seperti itu lagi. Tatapan yang sama seperti saat Thalita menolaknya demi Farel dan Vino dulu. Sama halnya seperti saat itu hatinya juga terluka dan teriris melihatnya.‘Sungguh, aku hanya ingin membuatnya bahagia. Aku ingin mengganti semua penantian dan luka yang dia alami selama 10 tahun ini. Aku ingin mengganti semua pengorbanannya, aku juga ingin melakukan sesuatu yang berarti untuknya. Aku hanya ingin menjaga nama baiknya, menjaga keselamatannya dan ingin membuatnya selalu bahagia. Aku merasa saat ini, akulah yang harus berjuang dan berkorban untuk Dhika. Bukan hanya Dhika padaku, sampai kapan aku hanya menerima jutaan cinta darinya tanpa melakukan apapun untuk dia’ batin Thalita menangis dalam diam.‘Aku begitu mencintainya, sampai aku begitu ingin melihatnya selalu baik-baik saja tanpa mendapatkan masalah dan cobaan apapun. Tetapi ternyata aku salah, aku sendirilah yang membuatnya terluka. Ucapannya tadi seperti sebuah tamparan bagiku, bahkan tamparan Farel tak seberapa sakitnya di banding ini. Aku kembali melukai hatinya, aku kembali membuatnya kecewa dan kali ini mungkin tak akan ada maaf lagi bagiku. Bahkan sampai larut malam beginipun, dia tak datang dan tak ada kabar’ Tanpa Thalita sadari, Dhika memperhatikannya dari CCTV ruangan Thalita. Waktu sudah menunjukkan pukul 1 dini hari. Dan Dhika masih setia mengamati Thalita dari laptopnya. Dhika sudah tak memakai dasi dan jasnya. Bahkan kemeja putihnya sudah di buka dua kancing teratasnya dan bagian lengannya sudah di lipat hingga siku. Tangannya yang terluka masih mengeluarkan darah karena hanya di balut perban saja. Sekecewanya Dhika ke Thalita, tetapi perasaannya tak pernah berubah sedikitpun. Dhika tidak mungkin membiarkan Thalita terlukan dan kesepian. Bahkan Dhika jugalah yang meminta tolong Daniel untuk menemani Thalita, karena jujur saja Dhika belum siap untuk bertemu Thalita. Rasa kecewa dan sakit hatinya masih sangat terasa,,, Dhika men-zoom hingga sorot camera semakin mendekat ke Thalita. Thalita terlihat menutup wajahnya dengan kedua tangannya dan bahunya bergetar. "Sampai kapan dia akan menangis" gumam Dhika. Hatinya memerintahkanDhika untuk turun dan pergi keruangan Thalita dan menenangkannya. Tetapi egonya menahan Dhika, Thalita harus diberi pelajaran. Agar kejadian seperti ini tidak akan terulang sampai ketiga kalinya. 'Kita sudah cukup lama bersama, tetapi aku merasa masih ada jarak di antara kita. Aku merasa hubungan kita belum lengkap, ini bukan seperti saling mencintai. Tetapi kepercayaan dan saling terbuka kepada pasangan itulah yang lebih penting. Menjalani rumah tangga bukan hanya di dasari oleh cinta. Mungkin cinta yang akan menjadi pondasi hubungan rumah tangga kita, tetapi pondasi itu membutuhkan pilar pilar untuk melengkapinya. Dan pilar-pilar itu adalah keterbukaan, kepercayaan, kesetiaan dan tanggung jawab.' Batin Dhika seakan berbicara pada Thalita. ‘Kamu sudah memiliki cinta, kesetiaan dan tanggung jawab. Tetapi tetap saja rumah itu belum lengkap, karena pilar-pilarnya belum utuh dan berdiri kokoh, masih akan banyak kesalahpahaman dan masalah yang akan menerpa bahkan menghancurkan pilar-pilar lainnya yang sudah berdiri kokoh. Bisakah kamu mempercayaiku seutuhnya? Sebenarnya bagaimana aku dimata kamu? apa aku terlihat begitu lemah di matamu, Lita?mungkin sekarang kita sama-sama saling intropeksi diri dulu, aku berharap akulah yang bersalah dalam hal ini. agar kekecewaan ini tidak terus memenuhi hatiku. Aku mencintaimu, Lita, bahkan sangat mencintaiku. Dan aku percaya, kamu juga begitu mencintaiku. Tetapi aku merasa cintamu itu belum seutuhnya untukku, aku masih belum bisa menjadi seseorang yang bisa menjadi sandaranmu, menjadi orang yang bisa kamu percaya lebih dari oranglain. Aku belum bisa menjadi tamengmu dan orang yang bisa kamu andalkan setiap saat' batin Dhika masih menatap Thalita yang masih menangis walau tak terdengar isakannya. 'Kalau ini adalah sebuah pengorbanan, lalu kenapa aku tak merasa senang melihatmu mengorbankan dirimu sendiri untuk keselamatanku? Kenapa aku malah merasa menjadi seorang yang sangat bodoh disini? Kenapa Lita? Aku merasa menjadi seorang pengecut' Dhika masih terdiam menatap.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD