Taruhan

1903 Words
POV Akmal "Safa namanya. Kalau lo bisa dapatin dia, gue kasih duit dua juta." "Dua juta, buat beli permen? Ogah!" Aku beralih tempat duduk ke sampingnya. Frans, seorang teman sepermainan balap liar. "Oke." Tiba-tiba Frans menepuk motor yang ia duduki. "Gue tambah ini, bagaimana?" "Motor lo buat taruhan? Gila ini anak." "Gue sudah terlanjur sakit hati sama itu cewek. Seumur-umur, cuma dia yang berani nolak gue. Gimana?" "Ogah gue. Terlalu beresiko." "Seorang Andre, playboy kelas kakap takut sama cewek? Bullshit!" "Bukan takut sama cewek. Ngeremehin gue, lo. Gue cuma gak enak sama motor lo." "Alah, ini motor memang mau gue jual. Buat apa coba? Sebentar lagi bokap mengirim gue ke Belanda. Bagaimana?" "Oke," ucapku menyanggupi. "Apa yang harus gue lakukan ke Safa?" tanyaku menantang. Frans melompat dari atas motornya, dan berbisik. *** Esoknya, aku benar-benar menata strategi untuk menjebak Safa. Meminta bertemu dengannya di belakang kelas. "Gue berniat masuk Rohis. Tolong kasih petunjuk agar bisa secepatnya bisa mengimbangi yang lainnya," ucapku langsung tanpa basa-basi. Tanpa canggung, gadis yang bernama Safa ini memberikan sebuah buku yang ada dalam tangannya. "Kakak bisa baca buku ini dan nanti bisa dipelajari." "Gue butuh buku lebih banyak dari ini." "Oh, ada. Besok Safa bawakan." "Secepatnya, biar gue ambil ke rumah. Kasih aja alamatnya." "Oh, iya, boleh." Safa mencatat sebuah alamat rumah di belakang buku yang ia berikan. Setelah itu, aku pergi meninggalkannya dengan membawa harapan besar, sebuah motor milik Frans. Sesuai janji, aku datang ke rumah Safa jam lima sore. Ia tak berkeberatan mengantarku pergi ke tempat foto copy karena aku hanya berniat memiliki copiannya. Kubawa Safa pergi semakin menjauh dari rumah. Awalnya, ia sempat memprotes ketika aku tidak turun di tempat yang semestinya. Setelah beralasan mencari tempat fotocopy yang murah, ia menurut saja. Hingga aku berhasil membawa ke sebuah rumah yang sudah kusewa, jauh dari keramaian dan ... lengang. Aku mengajaknya masuk, Safa tak menaruh curiga apapun. Terlebih karena aku memberi alasan yang tepat. Hanya ada aku dan dia. Tanpa menunggu lama aku melancarkan aksi amoral kepada seorang gadis enam belas tahun. Tanpa berpikir panjang akibat setelahnya akan membuat gadis ini mengalami trauma bertahun-tahun lamanya. Safa terisak dan terus menangis tanpa henti di ujung ranjang yang sunyi. Aku memaksanya segera berkemas dan mengantarkan kembali pulang. Tanpa ada percakapan hingga sampai di kediamannya. Aku langsung pergi meninggalkan Safa begitu turun dari atas motor besarku. Rasa penasaran memenuhi isi kepala. Apakah Safa akan mengadu pada orang tuanya dan menuntutku? Kuda besi yang kukendarai ini berbelok lagi. Dari kejauhan, Safa masih tampak berdiri di luar pagar. Ia berusaha mengusap air mata, lalu berjalan tertatih-tatih memasuki rumah. Sampai tiga puluh menit, aku masih mengintip rumah bercat putih itu. Tidak ada keributan di dalamnya. Aman. Aku meninggalkan Safa, rumahnya dan segala hal buruk yang terjadi hari ini. Tidak menyangka jika ini adalah awal dari kehancuran seorang gadis yang sudah kurampas masa depannya. *** Pagi hari setelah kejadian itu, aku tidak menemukan Safa di sekolah. Meski sudah menunggu hingga pintu gerbang ditutup, Safa masih saja belum muncul. Akhirnya, memberanikan diri bertanya kepada teman satu bangkunya. "Safa sakit, Kak," terangnya. Aku berjalan gontai meninggalkan kelasnya. Melewati parkiran, pandanganku langsung tertuju pada sebuah motor metalik berwarna hitam. Ada penyesalan yang mulai merayap memandang benda itu. Gelisah dan rasa bersalah datang berganti hingga keesokan hari. Aku sengaja datang lebih pagi untuk memastikan keadaan Safa. Menunggu di tempat biasa, sebuah bangku yang memajang bersama enam orang lainnya. Pandanganku menelisik setiap gadis berjilbab. Berharap salah satunya adalah sosok yang kuharap, Safa. Seperti mendapat oase di tengah padang pasir, ketika melihat sosoknya berjalan dari arah pintu gerbang. Ia menunduk, kemudian mengangkat kepala ketika seorang temannya memanggil. Wajahnya tidak terlihat sedih ataupun tertekan, seperti kebanyakan korban pelecehan. Pembawaannya santai dan tak terlihat membawa beban. Ada sedikit kelegaan di dalam sini, melihat Safa baik-baik saja. Hendak berbelok dan tertangkap pandanganku. Seperti tertangkap penjahat dan terkungkung di dalamnya, ia diam tak berkutik. Hanya tatapan sayu yang terpancar. Setelah itu, ia berlaku tanpa kata. *** Siang di sekolah, aku sengaja berkumpul dengan teman-teman satu geng. Aku dan rombongan yang lainnya usai melaksanakan Ujian Nasional dan berencana pergi liburan bersama-sama. "Dre, ada lomba di kelas bawah. Rame, tuh!" Seorang teman yang baru datang menerangkan. "Lomba apa?" tanya Frans. "Anak-anak Rohis banyak ngumpul di sana. Lomba keagamaan kayaknya," "Anak Rohis, buat apa kita ke sana." Frans berucap sambil menepuk pundak seperti menegaskan akan suatu hal yang sudah kami lakukan. "Frans, temani gue ke bawah." Aku berlalu meninggalkan mereka. Entah apa yang ada dalam pikiran Frans, yang jelas ia tampak tenang. Entah pura-pura tak tau atau tak mau tau. "Lo masih penasaran sama Safa? Atau menyesal?" tanyanya dengan langkah cepat agar bisa menjajari langkahku. "Gue penasaran. Sekalian mau membuktikan kalau peristiwa kemarin tidak berpengaruh apa-apa sama dia." "Bahahaha ... lo takut, Dre?" "Nggak juga." Tidak mungkin jujur di hadapan Frans jika pikiranku sekacau ini. Suasana cukup ramai. Acara memang sudah di mulai bahkan dari kejauhan terdengar riuh sorak anak-anak yang menyaksikan lomba ini. Entah perlombaan apa? "Mbak, lomba apa, sih?" tanya Frans pada salah seorang siswi. "Sekarang sih, lomba pidato. Sebentar lagi tilawah," jawabnya. "Wah, terakhir kelas kita. Itu si Safa lagi siap-siap." Safa! Aku menyibak beberapa siswa, ingin memastikan jika peserta terakhir adalah dia. Ternyata benar, ia sedang berjalan menuju podium. Sorak dan tepuk tangan menyambutnya. Memangnya siapa dia? Kenapa namanya begitu dielu-elukan? Bahkan Frans yang terkenal pacarnya di mana-mana sampai tergila-gila pada sosok Safa? Safa berdiri dengan anggun di podium sana. Jilbab putih panjang menjuntai yang menutup bagian d**a menambah cantik penampilan yang terkesan alami. Cantik, pantas Frans Sampai rela mempertaruhkan motor kesayangannya demi membalaskan sakit hati atas penolakan gadis itu. Safa bertutur dengan sangat lembut di awal pidato. Rasa penasaran mulai memuncak. Aku mencari tempat yang sedikit lapang agar bisa memandang lebih leluasa. Di depan ada tempat kosong, naluriku langsung menuju ke sana. Nahas, kakiku menyandung kursi sehingga meninggalkan bunyi yang cukup keras. Tidak hanya itu, akibat kecerobohanku membuat semua mata memandang ke arahku, tak terkecuali Safa. Kami saling menatap, Safa tampak memucat. Pandangannya tak lepas padaku sehingga membuat jeda pidatonya. Ia terhenyak, mikrofon di tangannya terlepas selanjutnya Safa ambruk. Suasana menjadi ramai dengan kejadian pingsannya peserta terakhir. Safa di bopong beberapa teman dan guru menuju ruang UKS. Aku bertambah penasaran dengan kondisi Safa. Segera mengejar arah kerumunan di UKS tetapi sebuah tangan menarikku hingga berhasil mundur. "Lo apa-apaan, sih! Jangan bilang kasihan!" Frans terus menarikku hingga ke belakang kelas, menjauh dari keramaian. "Gue nyesel, Frans. Lo liat tadi. Safa syok melihat gue." "Udah ... gak usah dipikirin. Sebentar lagi, dia juga gak bakalan liat muka lo. Kita 'kan lulus. Sudah, ayo!" Frans menarik tanganku. Terpaksa mengikutinya, tetapi pikiranku masih tertinggal di sana, di antara kerumunan anak-anak itu. *** Keesokan harinya, aku menunggu Safa di depan gerbang. Niat hati ingin meminta maaf, terserah nanti bagaimana reaksi orang tuanya dan juga orang tuaku. Bisa jadi kami akan di suruh menikah atau kalau lebih parah mungkin saja orang tua Safa tak terima dan memenjarakan aku, terserah. Aku tidak perduli lagi. Hingga pintu gerbang ditutup, Safa tidak muncul. Mungkin masih sakit. Sebaiknya, kutunggu hingga besok saja. Keesokan harinya pula, Safa tidak menampakkan diri dan di hari yang berikutnya lagi. Terhitung empat hari Safa meninggalkan kelasnya tanpa satu pun yang mengetahui penyebabnya. Usai sekolah, aku memberanikan diri mendatangi rumah Safa. Rumah sederhana dengan setengah batu bata dan setengah lagi berdindingkan kayu. Tampak bersih dan asri dengan tanaman bunga yang kelihatan terawat. Mungkin ini salah satu buah karya tangan Safa, karena dengar-dengar Safa anak semata wayang. Mengetuk pintu hingga beberapa kali, tak ada jawaban dari dalam. Maka kuputuskan untuk menunggu di bawah pohon mangga. Ada sebuah tempat duduk di sana. "Nunggu siapa, Nak?" tanya seorang wanita yang sedang membentang pakaian bayi pada seutas tali. "Safa, Bu." "Temen sekolahnya?" tanyanya lagi. Ibu itu berjalan mendekat. "Iya, Bu. Sudah empat hari Safa gak sekolah. Ibu tau kenapa?" "Oh, iya. Kemarin sempat sakit katanya. Terus tiba-tiba gak mau lagi sekolah. Safa minta di pindah." "Pindah? Ke mana ya, Bu?" "Kurang jelas ke mana. Pagi tadi, umi sama abah mengantarkan Safa ke pondok. Mondok di mana lupa." "Oh, begitu." "Sebentar ibu tanya tetangga yang di sana dulu. Soalnya, pagi tadi di antar sama mobilnya." Aku membuntuti ibu itu dengan perasaan berkecamuk. Safa sakit, tak mau sekolah, lalu pindah dan mondok. Semua ini pasti gara-gara perbuatanku. Setelahnya, kudapat informasi bahwa Safa memang memutuskan mondok di sebuah pesantren. Dan, aku mendapatkan alamatnya. Dengan niat ingin meminta maaf, selalu kuupayakan untuk mendatangi pondok itu. Sayangnya lokasi yang cukup jauh membuatku kesulitan mendatanginya. Ternyata tak semudah dalam angan, menemui Safa adalah sesuatu yang tidak mungkin. Para santri yang berdiam di sana, tidak mendapatkan izin bertemu dengan siapapun terkecuali orang tua. Sudah kucoba berbagai cara dan alasan, tetap tidak bisa menemuinya. Terkadang hati terasa mati jika mengingat kejadian itu. Tangisan dan teriakan Safa tidak membuatku urung berlakukan pembuatan nista. Kini, Safa yang harus menanggung seorang diri. Sedangkan sesak yang terasa mematikan ini tak pernah berujung mendapatkan kata maaf. Safa ... aku pasti akan menebusnya. Tidak sekarang, tetapi suatu saat nanti. Semua hukuman seberat apapun akan kutanggung dengan ikhlas. Akhirnya, kutinggalkan pondok di mana separuh jiwaku sudah tertinggal di dalam sana. Akupun harus membenahi hidup yang sudah porak-poranda ini. Sebab, ada hati dan harapan yang harus kutanggung suatu saat nanti. Dengan berbagai macam cara tetap memantau keberadaan Safa. Dari lulusnya Safa dari pondok itu dan mulai memasuki bangku kuliah, tak pernah lepas dari intaianku. Semakin dewasa, pesonanya tak berubah. Cantik dan anggun, sama seperti Safa yang tampak bertahun-tahun lalu. Terkadang perih melihatnya dari kejauhan, hanya bisa memandang pilu di tengah hati yang masih terusik oleh penyesalan yang dalam. Sempat ingin menemuinya, tetapi urung. Safa pasti masih membenciku. Hingga terbersit sebuah cara untuk menebus kesalahan yang pernah aku lakukan. Aku tahu Safa sangat penurut pada orang tuanya. Maka, satu-satunya cara adalah harus akrab dengan abah dan umi tanpa sepengetahuan Safa. Diam-diam, aku mendekati kedua orang tuanya dan berusaha seakrab mungkin dan menganggapnya seperti orang tuaku sendiri. Tak jarang, menginap di kediaman beliau pun kulakukan demi mendapatkan hati orang tua Safa. Beruntung Safa jarang pulang karena memang ia memilih untuk mengontrak. Ternyata selama ini Safa memendam luka batin itu seolah diri. Nyatanya Abah tidak pernah menyinggung soal kekurangan Safa. Hingga suatu hari, kuberanikan diri untuk meminang Safa. Mereka terkejut karena sepengetahuan mereka, aku hanya mengenal Safa melalui cerita-cerita abah. Abah pun setuju, dan menanyakan kesungguhanku meminang putrinya. Entah apa yang Abah ucapkan pada Safa sehingga bisa meyakinkannya untuk menerima pinanganku. Aku sengaja menggunakan nama Akmal untuk mengenal Safa, bukan Andreas. Walaupun keduanya memang namaku. Semua pikiran dan tenaga kucurahkan untuk memikirkan Safa, mengantisipasi supaya ia tidak syok begitu melihatku. Menggunakan berbagai macam cara agar aku bertemu dengannya ketika acara ijab qobul. Rencana pun berhasil, Safa tidak mengetahui jati diriku yang sebenernya hingga saat kujabat tangan abah di hadapan penghulu. Di sana, Safa baru menyadari siapa suaminya ini. ** "Sakit ...." Aku tersentak mendengar gumaman Safa. Rintihannya mengembalikan aku dari lamunan yang panjang. "Dek," panggilku. Ia mulai mengerjab. Tangannya terulur memijit pelipis. "Sudah bangun." Ucapanku ternyata membuatnya terkejut dan langsung mendorong tubuhku yang memang sedikit merapat. Aku terjungkal ke lantai. "Mau ngapain? Pergi!" hardiknya. Tatapan menyoroti kebencian yang mendalam. Kilatan-kilatan amarah jelas terpancar di sana. "Aku akan menebus kesalahanku, Dek. Sebesar apapun kesalahan itu. Aku juga akan menerima jika kamu akan membenciku seumur hidupmu." Safa menangis. Sangat sakit melihatnya seperti ini. Betapa ingin kurengkuh bahunya, mengajak bersama-sama melepas beban yang bertahun-tahun lalu ia pendam sendirian. Seandainya ada jalan semudah itu ....
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD