bc

AKU YANG KAU NODAI

book_age18+
345
FOLLOW
2.7K
READ
family
HE
tragedy
bold
friends with benefits
like
intro-logo
Blurb

Safa tergugu dipinggir ranjang pengantin setelah mengetahui bahwa lelaki yang menjabat tangan Abah di depan penghulu adalah lelaki yang telah melecehkan dirinya bertahun-tahun lalu. Terlambat menyesali karena Safa menyerahkan sepenuhnya proses ta'aruf dan khitbah pada orang tuanya. Dia, Akmal, lelaki yang kini menyandang status sebagai imam untuknya.

chap-preview
Free preview
Malam Pertama
Lelaki itu .... Mataku hampir saja meremang, kaki lemas serasa tak mampu lagi menopang bobot tubuh ini. Mati-matian kutahan air mata agar tak tumpah ruah. Dia ... lelaki yang kubenci. Lelaki yang pernah merenggut mahkotaku secara paksa bertahun-tahun lalu, kini telah menjabat tangan Abah dan mengucap sumpahnya di hadapan penghulu. *** Di bawah temaram lampu kamar pengantin, di atas ranjang yang berhias kelambu dan kelopak mawar merah yang berserakan di atasnya, aku tergugu dengan hebatnya. "Maaf, atas perbuatanku dulu, Safa. Aku ingin menebus kesalahan itu dengan bertanggung jawab sepenuhnya atas dirimu." Suaranya sangat lembut. Namun, terdengar perih seperti taburan garam di atas lukaku yang masih menganga. "Aku sengaja memakai nama belakang untuk berkenalan dengan Abah. Karena aku takut jika memakai nama Andre, kamu pasti menolakku." Apapun yang ke luar dari mulutnya, tak berarti apa-apa bagiku. Malah terdengar semakin menyakitkan. Apalagi yang ingin dia jelaskan, jika pada kenyataannya dia telah menorehkan noda atas tubuh ini. Dulu, delapan tahun yang lalu. Akmal tak mampu berbuat apa-apa untuk menghentikan tangisanku. Ia hanya diam, sekali-sekali mengucapkan kata maaf. Hingga ragaku lelah dengan sendirinya dan berlabuh bersama mimpiku yang kandas. Samar-samar terdengar suara handphone berdering. Aku yang semalaman tidur dalam keadaan miring dan memunggunginya, kini bergerak lambat untuk meluruskan sebelah tangan yang terasa kebas. Ternyata, suara handphone itu berasal dari bawah bantal. Ke mana Akmal? Kenapa meninggalkan handphone-nya di bawah bantal? Aku terkejut ketika mendapati seseorang membuka pintu kamar sehingga meninggalkan derit suara. "Sudah bangun?" tanyanya. Aku enggan menjawab. Ia meletakkan bobot tubuhnya di atas ranjang, di sampingku. Handphone-nya berdering lagi. Kali ini berbeda lebih singkat. Mungkin suara tanda pesan. Benar saja, Akmal menggeser benda pintar itu dan terfokus di sana. "Dari mama," ucapnya memberitahu. Aku masih bergeming, tak ada niat bertanya apapun tentangnya. "Mama bertanya, kapan kita akan pulang? Aku jawab secepatnya." Tak ada reaksi dariku. Akmal juga tidak berusaha menuntut jawab atas pertanyaannya. "Aku ingin memboyongmu untuk tinggal bersamaku. Abah sudah mengizinkan." Bagus, sekarang lengkap sudah penderitaanku. Hidup bersama orang yang kubenci dan harus ikut bersamanya pula. *** Aku mencium punggung tangan Abah dan Umi dengan khidmat. Tak menyangka jika perpisahan yang menakutkan ini akan terjadi secepat ini. Aku sudah berjanji dihadapan Abah bahwa akan mengikuti kemanapun suamiku pergi. Dulu, setelah proses lamaran. Dulu, sebelum mengetahui bahwa lelaki yang menjadi imamku adalah Akmal. Sekarang, langkahku terasa berat. Serasa membawa beban berton-ton di atas pundak. Mereka mengantarkan aku dengan derai air mata. Akupun demikian, memandangi mereka dari kaca spion hingga tak tampak lagi. Hanya bayang-bayang yang mulai memudar bersama lelehan air mata yang belum juga berhenti. Akmal menyodorkan kotak tisu, tetapi tidak kusambut. Entah kenapa, tangan ini terasa berat menerima apapun darinya. Jika bukan karena Abah dan Umi, bahkan akupun tidak sudi menjabat dan mencium tangannya usai prosesi ijab qobul. Aku lelah, pikiranku gamang dan jiwaku terasa hampa. Belum genap sehari menyandang status sebagai istri, aku sudah merasa sangat lelah, seakan-akan sudah menjalani hari berpuluh-puluh tahun. "Dek, sudah sampai." Seseorang mengguncangkan lenganku. Rupanya aku tertidur sepanjang perjalanan. Terkejut karena mendapati tangannya menyentuh lenganku. Seketika itu juga, aku mengibaskannya. "Maaf-maaf. Kukira masih tertidur. Sudah sampai. Ayo turun." Akmal ke luar dari mobil lebih dulu. Setelah membenahi gamis dan jilbab, akupun menyusul. "Tasnya biar aku yang bawa," ucapnya tepat di sampingku. Aku menurut saja, pun tak ingin mendebat. Aku mengikutinya yang berada beberapa langkah di depanku. Begitu menginjakkan kaki di teras, seseorang membuka pintu. "Papa ...." Seorang anak kecil berkepang dua berlari-lari kecil menghampiri kami. "Hai, anak gadis papa rupanya." Akmal menyambar tubuh mungil itu lalu membawanya dalam gendongan. Ia menciumi gadis kecil itu seperti sudah menahan rindu bertahun-tahun lamanya. Tapi tunggu dulu, anak ini tadi memanggil Akmal dengan sebutan papa? "Papamu sudah pulang, Nak?" Seseorang wanita yang baru saja ke luar. Papa lagi? Jangan-jangan, mereka ini satu keluarga. Lalu, bagaimana dengan nasibku? "Eh, kenapa istrimu?" Wanita itu langsung merapatkan tubuhnya untuk merangkulku. Nafasku tersengal, tangisku hampir saja pecah dan hampir saja terjatuh kalau bukan perempuan yang bersama anak kecil itu memergoki aku tengah kesulitan mengatur nafas. "Kenapa, Dek? Kamu sakit?" tanyanya berulang. "Kita bawa masuk aja. Mungkin kelelahan." Aku tidak hanya lelah, tetapi juga syok. Bagaimana tidak? Kedua wanita ini, memanggil Akmal dengan sebutan papa. Aku duduk di sofa ruang tamu. Wanita tadi membawa air putih dan memberikan padaku. "Minum dulu," ucapnya yang segera kusambut. Aku meneguk perlahan, sakit di d**a ini masih terasa. Bahkan sesak yang kurasakan tadi belum juga mereda. "Kita ke dokter saja, ya?" Akmal berbicara sambil menghadapku. Tangannya hendak menyentuh tetapi urung. Aku menggeleng sebagai respon atas tawarannya. "Serius nggak pa-pa." Akmal memastikan. "Iya," jawabku. Selama menjadi istrinya, ini pertama kali suaraku terdengar. "Istirahat di dalam saja. Oya, Dek. Kalau ada perlu, panggil saja saya ya? Itu rumah kami yang agak menjorok dalam. Rumah warga coklat." Rumah mereka? Terus mereka ini sebenarnya siapa.? Kepalaku mulai berputar. "Kami pulang dulu." "Terima kasih, ya Mbak. Terima kasih, Fira." "Makacih, Om. Assalamualaikum," ucap anak kecil itu sambil menggandeng tangan mamanya. Aku masih termenung mencermati setiap ucapan dua wanita itu. "Itu tadi, Mbak Sita kakak iparku dan Fira anaknya." 'Oh, cuma keponakan.' pikirku lumayan lega. "Istirahat di dalam saja. Biar aku bantu." "Gak usah," tolakku secepatnya. Akmal manjadi canggung mendengar penolakanku. "Oh, ya sudah. Ikuti aku kalau begitu." Aku mencoba berdiri walaupun kepala masih berat. Mencoba mengikuti langkah Akmal. Ia berhenti di depan sebuah kamar yang pintunya masih tertutup rapat. "Dek," panggilnya. Aku melirik sesaat, masih enggan bersitatap langsung dengannya. "Kita tetap satu kamar. Nanti lemarinya biar sendiri-sendiri saja. Nggak pa-pa, kan?" tanyanya dengan lembut. Aku tidak ingin mengucapkan apapun. Selain sangat membencinya, bagiku mengucapkan kata-kata terasa sia-sia untuk saat ini. Dia telah menjebakku dalam pernikahan yang sulit. Maka jangan salahkan jika akupun tidak bisa berbakti padanya. "Kita masuk," ajaknya. Akmal bergerak maju dan perlahan membuka pintu lebar-lebar. Aroma pengharum ruangan menyerbu indera penciumanku. Membuat kaki ini tanpa sadar mendahului Akmal yang masih berdiri di sisi pintu. Kamar ini sangat luas. Ranjangnya juga lebar, king size. Ada dua buah lemari berjajar. Mungkin ini yang di maksud Akmal tadi. Di bagian samping ada pintu keluar. Tampak rerumputan hijau dan beberapa tanaman hias. "Suka?" Pertanyaannya membuat rasa kagum akan kamar ini menjadi sirna. Kenapa? Kenapa hanya dengan melihatnya saja, semua hal buruk langsung tertaut padanya. Akmal, akan kita bawa ke mana hubungan yang seperti ini? Aku saja muak melihatmu, bagaimana bisa kuabdikan diri ini sebagai istri ? ** Akmal menuangkan beberapa menu makanan yang baru saja ia beli. Aku hanya mengamati dari kejauhan, tak berniat membantu, pun apalagi mendekat. "Dek." Ternyata Akmal memergokiku tengah mengintip. "Sini, kita makan dulu." Ia menggeser kursi untukku. Mau tak mau, aku mendekat juga. Ia mulai memindahkan nasi ke atas piringnya, akupun sama. Kemudian menambahkan beberapa menu yang sudah ada di hadapan. Sedangkan aku hanya menuangkan sup saja. "Kok cuma itu makannya?" Akmal menatapku sendu. Mungkin kecewa karena begitu banyak makanan di meja, hanya sup yang mampir di piringku. Aku masih diam, tidak menjawab apalagi menanggapi, kemudian mulai menyendok makanan ini tanpa memperdulikan tatapan Akmal. "Mas tadi membeli banyak lauk. Sekalian untuk besok. Nanti simpan saja sisanya di kulkas, biar besok pagi tinggal di panasi untuk sarapan." Lagi-lagi, penjelasannya yang panjang lebar itu membuatku pusing. Makanan yang melewati kerongkongan ini terasa hambar. Dua hari ini, selera makanku turun drastis. Aku meliriknya yang masih lahap menyantap makanannya. Lama-lama tatapanku lekat padanya. Bayangan itu terasa begitu nyata. Akmal berdiri dengan tatapan nyalang sambil berkacak pinggang. Dia ... dia menarik paksa jilbabku, lalu melempar tubuhku di pembaringan. Aku berteriak sekeras-kerasnya tetapi tidak ada yang menolong. "Aduh, sakit ...!" Aku berteriak lagi dan lagi. "Dek Kenapa?" "Sakit Akmal. Jangan!" "Apanya yang sakit? Kamu kenapa?" Aku berteriak histeris dan melempar apa saja yang ada di hadapanku ke arah Akmal. ••••

editor-pick
Dreame-Editor's pick

bc

Siap, Mas Bos!

read
13.3K
bc

My Secret Little Wife

read
97.9K
bc

Tentang Cinta Kita

read
190.2K
bc

Dinikahi Karena Dendam

read
205.8K
bc

Single Man vs Single Mom

read
97.1K
bc

Iblis penjajah Wanita

read
3.6K
bc

Suami Cacatku Ternyata Sultan

read
15.4K

Scan code to download app

download_iosApp Store
google icon
Google Play
Facebook