Part 3

1957 Words
Alif mengetuk pintu ruangan Gibran. Perintah untuk masuk dari dalam membuatnya membuka pintu seketika. Namun saat melihat atasannya, dia malah mengerutkan dahi. "Loh, kok?" Ucapnya heran. "Apa?" Tanya Gibran dengan nada datarnya. "Jangan tanya kenapa pengantin baru ada disini." Ucap Gibran ketus. Alif menggelengkan kepala. "Bukan itu," jawabnya. "Meskipun ya, seharusnya itu jadi pertanyaan juga. Tapi bukan itu yang aneh. Falisha nya mana?" Tanya Alif dengan kepala celingukan. Pria itu bahkan masuk dan membuka kamar mandi yang ada di bagian dalam ruangan. Tapi sama sekali tidak menemukan Falisha disana. Dan itu yang membuatnya semakin heran. "Falisha gak ada disini. Dia ada di apartemen." Jawab Gibran dengan senyum, seolah menertawakan kebodohan Alif. Alif kembali ke depan meja Gibran, masih dengan dahi berkerut. "Yakin? Aku pikir dia ada disini sengaja mau nemenin dokter." Ucapnya masih dengan nada bingung. "Ngawur." Ucap Gibran yang masih setia dengan dokumen yang ada di hadapannya. "Saya gak ngawur dok. Jelas tadi lihat di parkiran kalo dia ada disini. Dia pake dress warna putih. Rambutnya dicepol tinggi. Malah yang saya lihat dia bawa bekal segala. Kirain udah kesini, makanya saya samperin." Jawab Alif sungguh-sungguh. Gibran kini mendongak dan mengerutkan dahinya dalam. Memandang Alif dan mencari tanda-tanda gurauan disana. Tapi Alif jelas tampak serius. Gibran meraih ponselnya yang ia charger di bagian bawah meja. Selesai operasi dia baru tahu kalau ponselnya mati. Dan dia meminjam charger ponsel dari salah satu perawat jaga. Dan sampai saat ini dia tidak menyalakannya lagi. Pasti Falisha sudah mengiriminya banyak pesan. Dengan tak sabar Gibran menunggu ponselnya menyala sepenuhnya. Namun kerutan dahinya semakin dalam saat dia tidak mendapatkan notifikasi apapun dari istrinya itu. Apa Falisha memang berniat memberikannya kejutan? Tanyanya dalam hati. "Coba Dokter video call. Kali aja emang tadi saya salah lihat. Meskipun saya yakin itu Falisha." Lanjut Alif lagi. Gibran menurut. Dia dengan cepat mencari kontak Falisha dan melakukan panggilan video pada istrinya. Falisha menjawab pada deringan kedua. "Assalamualaikum." Sapa gadis mungil yang kini menjadi istrinya itu. Benar kata Alif, Falisha memang tampak mengikat rambutnya dan juga mengenakan pakaian putih. "Waalaikumsalam. Kamu udah bangun?" Tanya Gibran berbasa-basi. Falisha tampak mengangguk di kejauhan sana. "Mas udah beres operasinya?" Kini giliran Gibran yang mengangguk. "Lancar?" Tanyanya lagi. "Alhamdulillah." Jawab Gibran penuh syukur. "Alhamdulillah." Jawab Falisha juga penuh syukur. "Mas masih lama di RS?" Tanya Falisha ingin tahu. "Iya. Ada beberapa hal yang mesti Mas urus." Falisha tidak menjawab. Istrinya itu tampak menganggukkan kepala. "Kamu dimana? Masih di apartemen?" Falisha menggelengkan kepala. "Enggak, Fali udah keluar daritadi." Jawabnya jujur. "Ya udah, kalo Mas masih sibuk, Fali tutup ya. Assalamualaikum." Gibran hendak bertanya lagi, namun Falisha sudah menutup panggilan telepon lebih dulu. Tatapan Gibran kini teralih pada Alif. "Kamu beneran lihat Falisha disini?" Tanyanya tak yakin. "Doktet lihat sendiri kan kalo ucapan saya bener." Jawab Alif pasti. Gibran mau tak mau mengiyakan. Apa yang Alif katakan memang benar. Tentang penampilan Falisha. Tapi kalau memang istrinya itu ada disini, kenapa dia tak juga muncul. "Kapan kamu lihat dia di parkiran?" Tanya Gibran penasaran. "Saya datang sekitar sepuluh menit yang lalu." Jawabnya lagi. Mengkalkulasikan waktu saat dia datang, berganti pakaian dan melakukan absensi sampai ia berjalan menuju ruangan Gibran. "Lantas kenapa Fali belum muncul juga?" Tanya Gibran yang kini mulai panik. Alif mengedikkan bahu. "Dokter yang suaminya. Bukan saya." Jawabnya dengan santai. "Saya kesini awalnya mau nyapa pengantin baru. Tapi karena pengantinnya gak ada, saya pamit aja." Ucapnya dan kemudian meninggalkan Gibran sendirian. Gibran mengetuk-ngetukan jari jemarinya di atas meja dengan tak sabar. Sepuluh menit. Dia akan memberi waktu sepuluh menit bagi Falisha untuk datang. Jika istrinya itu tak muncul juga maka... Maka ia sendiri pun tak tahu apa yang harus dilakukan. Sementara itu, Falisha tang memilih untuk meninggalkan rumah sakit kini tidak tahu harus pergi kemana. Apartemen hanya akan membuatnya mengingat Gibran. Rumah orangtuanya? Ia tak mau membuat orangtuanya berpikiran yang tidak-tidak. Apalagi ayahnya sampai saat ini masih belum bisa menerima Gibran. Menemui sahabatnya pun bukan pilihan. Alhasil Falisha hanya bisa duduk termenung di tempat pertama yang bisa ditemukannya. "Sendirian?" Sapaan seseorang membuat Falisha mendongakkan kepala. "Abang uncle?" Falisha terkejut dengan sosok yang menyapanya. Pria paruh baya yang menjadi suami kakak sepupunya itu tersenyum dengan lembut dan meminta izin untuk duduk di samping Falisha. Falisha hanya mengangguk dan menggeser tubuhnya supaya paman sekaligus kakak sepupunya itu bisa duduk. "Kenapa kamu sendirian?" "Abang uncle juga ngapain disini sendirian?" Falisha balik bertanya yang malah membuat pamannya terkekeh. "Kan Abang Uncle yang nanya duluan." "Ya kan bebas, Fali mau jawab atau balik nanya." Jawab Falisha tak mau kalah. Alhasil Gilang tertawa dan mengusap rambut keponakan sekaligus adik sepupunya itu. "Abang Uncle tadi lagi ngisi ban bocor di bengkel disana." Tunjuknya pada arah bengkel yang jaraknya sekitar lima puluh meter dari tempat mereka duduk. "Abang uncle lihat kamu keluar dari RS. Abang uncle kira kamu mungkin butuh tumpangan buat pulang." Falisha mengerutkan dahi. "Trus, kalo Fali butuh tumpangan, Abang Uncle mau anterin?" Gilang menjawab dengan anggukan. "Trus Abang Uncle mau bolos kerja gitu, demi anterin Fali?" Tanyanya lagi, yang dijawab Gilang lagi-lagi dengan anggukan. Falisha mencebik. "Halah, bilang aja Abang Uncle itu kepo. Mau nanya kenapa pengantin baru kayak Fali malah jalan-jalan sendiri, bukannya ditemenin sama suami." Ucapnya dengan nada nyinyir. Gilang seketika terbahak mendengar jawaban keponakan sekaligus sepupunya itu. "Kok gitu sih?" Tanya Gilang pada akhirya. "Memang salah ya, kalo Abang Uncle nanya begitu? Kan itu pertanyaan yang wajar." Falisha mengedikkan bahu. "Wajar sih, kalo ditanyain sama orang-orang normal yang alasan nikahnya juga normal." Jawab Falisha lirih, namun masih bisa Gilang dengar. "Maksudnya?" Tanya Gilang penasaran. Falisha terenyak dan seketika menggelengkan kepala. "Gak ada maksud apa-apa." Jawabnya cepat. Gilang memandangi wajah sepupu sekaligus keponakannya itu dengan seksama. "Fali, apa ini ada hubungannya sama Gibran?" Tanyanya cemas. "Apaan ih, Abang Uncle mulai kepo deh." Elak Falisha. Gilang menggelengkan kepala. "Abang uncle kepo karena Abang uncle sayang sama kamu." Ucapnya seraya mengusap kepala Falisha lembut. "Jika memang ini adalah urusan rumah tangga. Maka bagus kalo kamu merahasiakan ini dari orang-orang untuk menjaga aib keluarga. Tapi, masalah itu gak akan selesai hanya dengan diam." Tutur Gilang dengan lembut. "Abang uncle gak tahu apa yang ada di pikiran kamu saat ini. Tapi seandainya hal itu meresahkan. Jangan didiamkan. Minimal kamu ngobrol sama seseorang yang bisa kamu percaya dan bisa ngasih kamu solusi." Sarannya. "Karena seringkali, saat kita punya masalah dan memikirkannya terlalu dalam, justru yang datang malah pikiran-pikiran buruk. Bukan solusi. Mengadu pada Allah adalah pilihan utama. Tapi mendengarkan pendapat orang lain juga perlu. Setidaknya supaya pikiran kamu terbuka. Nanti keputusannya kamu sendiri yang ambil. Mengerti?" Falisha hanya terdiam. "Terus Fali harus bilang sama siapa? Disekeliling Fali gak ada yang Fali anggap netral." "Kak Qilla?" Gilang menyebut nama istrinya sendiri. Falisha menggelengkan kepala. "Jadi benar, semuanya ada hubungannya sama Gibran?" Fali menggigit bibir bawahnya kemudian mengangguk. "Kenapa sama Gibran?" Tanya Gilang pada akhirnya. "Tapi Abang uncle jangan bilang siapa-siapa, apalagi sama kak Qilla." Pinta Falisha yang kemudian diangguki Gilang. "Sejak awal, semua orang dirumah ragu dan gak yakin sama Mas Gibran. Fali sendiri juga gitu." Jawab Falisha pasa akhirnya. "Kenapa?" Tanya Gilang heran. "Maksud Abang Uncle, kenapa kamu gak yakin? Kalau Papa kamu, Kak Qilla atau Akara, Abang bisa mengerti alasannya. Tapi kamu, kenapa kamu gak yakin sama Gibran? Kamu cinta kan sama dia?" Seketika Falisha mengangguk. "Sejak pandangan pertama." Jawabnya malu-malu. "Lantas, apa yang buat kamu gak yakin sama dia?" Tanya Gilang lagi. "Karena kondisi Fali yang seperti ini." Keluh Falisha. Gilang mengangkat sebelah alisnya, memandangi Falisha dari atas kebawah. "Bukan karena penampilan Fali, Abang Uncle. Semua orang tahu kalo Fali itu cantik, menggemaskan bin kiyut. Sekilas pandang aja orang bisa jatuh cinta sama Fali. Apalagi dua kilas." Jawabnya seenaknya yang membuat Gilang tertawa. "Trus kenapa?" "Maksud Fali, tentang kondisi kesehatan Fali." Jawabnya lesu. "Semua orang, apalagi si Iler sama si Santan tahu dengan sangat sangat sangat jelas kalo Mas DokterKu sejak awal gak suka sama Fali. Bahkan dengan terang-terangan nolak Fali. Tapi Mas DokterKu berubah drastis baiknya sama Fali pas tahu Fali sakit. Semua orang jadinya mikir kalo Mas DokterKu gak bener-bener suka sama Fali. Tapi Mas DokterKu nekad ngelamar Fali karena kasihan. Karena mungkin pikirnya Mas DokterKu menikah itu keinginan terakhir Fali sebelum Fali dipanggil Tuhan." "Memang, keinginan terakhir kamu sebelum meninggal itu, menikah?" Falisha menggelengkan kepala. "Keinginan terakhir Fali itu berumur panjang, Abang Uncle. Bukan nikah." Ketusnya yang lagi-lagi membuat Gilang terkekeh. "Trus, kata siapa kalo Gibran mikir itu keinginan terakhir kamu? Kalo dia nikahin kamu karena kasihan?" Falisha menarik napas panjang dan kemudian menghembuskannya pelan. "Kata orang-orang." Jawabnya lesu. "Dan kata hati Fali sendiri." "Kamu udah coba tanya langsung sama Gibran?" Falisha mengangguk. "Tapi tentu aja Mas DokterKu gak akan bilang yang sebenernya. Dia pasti bilang apapun supaya Fali senang. Meskipun itu bohong." "Tapi Fali gak bisa bedakan yang mana bohong dan bukan, betul kan?" "Fali kan bukan ahli terawang." Bisiknya. Gilang tersenyum dan merangkul bahu Falisha seraya mengusap lengannya lembut. "Fali, percaya sama Abang uncle. Manusia itu, hanya ingin mendengar apa yang mereka ingin dengar. Hanya akan percaya pada apa yang mereka percayai. Jika hati kita percaya bahwa itu benar, saat orang lain mengatakan itu salah, maka tetap akan benar bagi kita. Tapi jika kita percaya bahwa itu salah, seberapa keras pun usaha orang untuk membuktikan bahwa itu benar, kita pasti akan menganggap itu salah." Ucap Gilang dengan bijak. "Sekarang, saat kamu ragu tentang perasaan Gibran. Sekeras apapun dia mengatakan dia cinta sama Fali. Sebanyak apapun dia membuktikan kalau dia mencintai Fali. Fali akan tetap ragu. Karena mindset Fali sejak awal sudah ragu. Tapi jika sejak awal Fali yakin bahwa Gibran itu benar-benar cinta sama Fali. Sebanyak apapun, sesering apapun orang mengatakan kalah Gibran berbuat curang, kalau Gibran main perempuan, kalau Gibran gak cinta sama Fali, Fali gak akan percaya karena menurut Fali, Gibran hanya mencintai Fali. Coba pikir baik-baik. Apa Abang Uncle salah?" Tanya Gilang. Falisha terdiam. Memilih memandangi jari jemarinya yang terpilin. "Biar Abang Uncle ceritakan sebuah kisah. Dulu, ada seorang wanita yang benar-benar mencintai seorang pria dalam diamnya. Di benaknya, dia merasa bahwa dia tak pantas untuk mencintai si pria. Dalam kepalanya si wanita berpikir bahwa si pria tidak akan pernah mencintainya. Lantas suatu ketika si pria menyatakan perasaannya. Karena ternyata, tanpa wanita itu tahu, selama ini si pria pun menduga hal yang sama tentang si wanita. Bahwa ia tak pantas untuk si wanita. Meskipun dengan alasan yang berbeda. Lantas apa yang terjadi? Keduanya saling mengutarakan perasaan masing-masing. Saling mengetahui dan percaya pada perasaan satu sama lain. Saling yakin. Hingga saat dalam kondisi terburuk pun, saat guncangan datang dari berbagai sisi, karena keduanya saling yakin, saling percaya, guncangan itu tidak berhasil merobohkan apapun. Meskipun orang-orang menduga akan timbul keretakan dan kehancuran. Tapi yang sebenarnya terjadi adalah, keyakinan dan kepercayaan itu sendiri yang menjadi perekat, menjadi dinding, menjadi pondasi hubungan itu tetap bertahan. Intinya adalah, sesuatu itu harus dimulai dengan keyakinan. Bukan keraguan. Karena kalau kita melakukan sesuatu dengan ragu, saat ditengah jalan ada hanbatai, kita akan memilih berhenti, atau malah mundur. Tapi saat kita melakukan sesuatu dengan yakin, saat ditengah jalan kita mendapatkan hambatan, kita tidak akan menyerah. Kalau bukan melompati hambatan, kita akan menanjakinya, atau bahkan memutar jalan. Tapi kita akan tetap meneruskan perjalanan sampai ke tujuan. Karen kita yakin kita bisa. Tapi jangan lupa. Kembalikan semua keraguan dan keyakinan itu terlebih dulu pada Yang Maha Pemilik Rasa. Minta kepada Allah. Mintalah kepada-Nya supaya segalanya dipermudah, dan ada pada tempat yang tepat. Yang ragu buat menjadi yakin. Yang yakin dibuat menjadi semakin kokoh keyakinannya. Jangan menyerah, jangan berburuk sangka. "Aku sebagaimana prasangka hambaku kepada-Ku. Aku bersamanya jika ia berdoa kepada-Ku.*” Jadi Fali teruslah berbaik sangka. Teruslah berdoa. Karena Allah tidak akan menguji Fali diluar kemampuan Fali." Ucap Gilang kembali mengusap kepala Falisha dengan penuh kasih sayang. [HR. Muslim 4832, 4851; Tirmidzi 3527, Ahmad 7115]
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD