Part 2

1065 Words
Falisha menekuk lututnya dan memeluk bantal guling semakin erat. Bed cover satin di bawahnya terasa sejuk dan membuatnya semakin enggan membuka mata. Hawa malas membuatnya menarik selimut semakin tinggi hingga menutupi telinganya. Apa kabar Mas DokterKu? Tanyanya dalam hati. Seketika menyebut nama itu membuatnya tersentak. Falisha membuka mata dan langsung menoleh ke bagian belakang punggungnya. Kosong. Dengan malas Falisha bangkit dari tidurnya. Matanya memandang sisi lain tempat tidur dengan sedih. Lantas ia meraih ponseln yang ia letakkan di atas nakas di samping tempat tidurnya. Tidak ada pesan. Tidak juga panggilan. Apa operasi yang dilakukan suaminya belum selesai? Tanya Falisha dalam hati seraya mengerutkan dahi. Sudah berapa jam berlalu? Falisha mencoba menghitung dalam diam. Apa operasinya serumit itu sampai memakan waktu belasan jam? Falisha tidak mengerti dunia medis. Jadi ia tidak bisa berasumsi lebih jauh lagi. Ia mengetuk-ngetuk benda pipih itu pada permukaan tangannya. Apa yang harus ia lakukan sekarang? Di hari pertamanya sebagai seorang istri? Disaat wanita lain mungkin melewati pagi pertama dengan sebuah romansa indah, Falisha malah merasa sendirian. Bukan hanya merasa, dia memang sendirian. Terbangun seolah pagi ini ia masih memiliki status yang sama seperti pagi kemarin. Dengan enggan Falisha membuka selimut yang sejak tadi menghangatkan kakinya. Membereskan tempat tidur seperti semula sebelum kemudian beranjak menuju kamar mandi. Bukan kamar mandi suaminya, melainkan kamar mandi kamarnya yang ada di unit kakak sepupunya. Mengguyur tubuhnya dengan air hangat, Falisha kembali berpikir apa yang harus dilakukannya setelah ini. Mungkin ia bisa membuat sarapan dan mengantarkannya ke rumah sakit? Senyum seketika berkembang di wajahnya. Ya, itu ide yang bagus. Falisha segera menyelesaikan mandinya dan berganti pakaian. Dengan antusias dia berjalan ke dapur, membuka lemari es dan melihat apa saja yang bisa dia buat dengan bahan makanan yang ada. Satu jam kemudian dia sudah sampai di pelataran parkir rumah sakit dimana Gibran bekerja. Dengan sengaja Falisha tidak menghubungi Gibran terlebih dahulu karena memang dia berniat untuk memberikan Gibran kejutan. Ia melihat kembali tampilannya di sebuah kaca mobil yang ia yakini tidak berpenumpang. Dia merasa dirinya sudah cukup cantik. Mengenakan dress berwarna putih berlengan panjang, dengan bagian kerah terkancing sampai ke leher, dan bagian rok yang mencapai setengah betis. Rambut hitam panjangnya ia cepol dengan rapi dibagian atas kepala. Penampilannya lebih tampak seperti remaja belasan tahun daripada seorang perempuan berusia dua puluhan yang telah menikah. Terlebih karena Falisha tidak menggunakan make up yang lain selain bedak tabur dan juga lipbalm berwarna peach kesukaannya. Dengan tak menutupi kegirangannya, Falisha berjalan dengan menenteng kotak bekal di tangan kanannya. Saat ia hendak berbelok menuju lorong unit ruangan Gibran, ia terpaksa menahan langkahnya kala mendengar nama suaminya disebut. "Iya, katanya pengantin baru, tapi kok udah dinas aja? Bukannya seharusnya mereka bulan madu?" Tanya sebuah suara wanita yang tak Falisha ketahui siapa. "Katanya semalam ada pasien gawat darurat. Jadi Dokter Gibran terpaksa datang." Jawab suara lainnya. Falisha yang tadinya hendak melanjutkan perjalanan terpaksa menahan diri dan memilih untuk duduk di kursi tunggu yang ada disana. "Ya, tugas sih tugas. Tapi bisa kan setelah itu dia pulang. Kalo aku yang jadi istrinya, pasti sedih tuh semalaman sendirian. Udah mah pengantin baru, gak bulan madu, semaleman tidur sendirian pula." Sedih? Apa dia merasakan hal itu? Baiklah, Falisha akui. Sedikitnya ia merasa sedih. Dan cemburu. Tapi ia harus apa, nyawa orang lain yang sedang suaminya perjuangan. Jadi seharusnya dia bangga, bukan? "Katanya sih, ini juga katanya." Suara itu kembali membuat Falisha mendengarkan. "Dokter Gibran itu gak bener-bener cinta sama istrinya. Dia nikah karena terpaksa." Falisha seketika terbelalak, diiringi suara kesiap kaget, jelas bukan miliknya, tapi milik si pendengar di belokan sana. "Kalo ngomong jangan asal." Ucap si pendengar. "Aku gak asal. Aku juga denger dari orang-orang yang kerja disini." Ucap suara si pembicara. "Kita emang baru disini, tapi kalo para senior udah bilang gitu, berarti faktanya emang begitu. Katanya, dulu, istrinya Dokter Gibran itu salah satu pasien disini. Malah Dokter Gibran juga ngelamar istrinya disini, di taman katanya. Romantis plus pake lagu-lagu gitu." "Beneran? So sweet kalo gitu.." ucap si pendengar dengan nada kagum. "Sweet sih sweet. Tapi kan jadinya balik tanda tanya. Dokter Gibran ngelamar cewek itu karena beneran cinta, atau karena kasihan." "Memang sakit ceweknya parah?" Tidak ada jawaban. "Jadi menurut kamu, Dokter Gibran ngelamar karena kasihan doang? Semacem mewujudkan harapan terakhir, gitu?" Falisha tak mendengarkan jawaban si pembicara. Mungkin wanita itu mengangguk-angguk atau menggelengkan kepala. Ia tidak tahu. "Kasihan istrinya kalau begitu." "Gak usah dikasihani juga kali. Katanya dia anak orang kaya. Dia punya segalanya, kenapa juga dikasihani." Akhirnya si pembicara angkat suara. "Justru yang mestinya dikasihani itu ya Dokter Gibran. Dia terjebak sama istri yang gak dia cintai. Udah itu sakit-sakitan pula. Iya kalau istrinya beneran sehat, kalo enggak?" "Ya Allah. Bener kata kamu. Kasihan Dokter Gibran. Padahal kalo dia mau, dia bisa dapet cewek yang cantik dan sehat ya?" Falisha tak mendengar komentar si pembicara. "Jadi dia disini buat ngehindarin istrinya?" "May." Jawab si pembicara. "Maybe yes maybe no. Mungkin Dokter Gibran lagi mikir-mikir juga." "Mikir-mikir apa?" "Mikir-mikir apa tindakannya bener atau salah." Jawab si pembicara sambil cekikikan. "Ih, kamu mah. Kasihan tahu istrinya." Dan Falisha tak lagi mendengar suara mereka. Dia terduduk dengan mata memandangi kotak bekal di tangannya. Sudah berapa kali dia mendengar kata kasihan yang dilontarkann orang-orang padanya? Seringkali. Meskipun ia mengabaikannya. Dan sudah berapa kali dia berpikir kalau Gibran menikahinya dengan alasan yang sama. Puluhan, ratusan, bahkan ribuan kali. Tapi setiap ia meyakinkan pria itu, setiap kali pula Gibran meyakinkannya bahwa dia memang mencintai Falisha. Dan sekarang, mendengar ucapan itu dari mulut orang lain, membuat pikiran terburuknya seolah muncul ke permukaan. Kenapa Gibran tidak kembali setelah operasi selesai? Kenapa pria itu membiarkannya sendirian di apartemen? Kenapa pria itu sama sekali tidak memberikannya kabar? Falisha membuka tas nya dan menyalakan ponselnya. Masih tidak ada satu pun kabar dari Gibran. Kini dia terduduk sendirian di lorong rumah sakit yang mulai ramai. Haruskah dia melanjutkan niatannya untuk menemui Gibran? Bagaimana jika memang Gibran tidak menginginkan kehadirannya. Jika dia menunjukkan wajahnya di depan orang-orang yang mengenalnya dan juga Gibran. Dia tahu bahwa diam-diam mereka akan menggunjingkannya dan mengasihaninya, sama seperti yang dua orang tadi lakukan. Pengantin yang ditinggal suami pada malam pertama. Itulah julukannya saat ini. Atau mungkin mereka mengasihani Gibran? Pengantin pria yang dikasihani karena terjebak dengan pengantin wanita penyakitan yang terpaksa dinikahi dengan harapan akan segera mati. Falisha menghela napas panjang. Lupakan saja niatannya. Dia tidak mau mempermalukan dirinya sendiri dan membuat orang lain mengasihani Gibran lebih jauh lagi.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD