si tangan kanan

1105 Words
"Katakan padaku, seperti apa hidup normal yang akan kau jalani?" Farhan masih menatap tajam, tak percaya dengan keputusan lelaki di depannya. Yahya yang selama sepuluh tahun ini mengabdi pada diri dan bisnis miliknya. Ada beberapa hal yang membuat Farhan seolah tak rela melepas begitu saja sosok berani seperti Yahya. Dan secara umum, kebanyakan orang pasti sudah tahu tentang alasan tersebut, meski tanpa mendengar langsung dari mulut Farhan. Namun sepertinya Yahya sudah bertekad kuat dengan niatnya. Itu terlihat dari sikap tubuhnya yang nampak tegas. Semua orang tahu bahwa seorang Yahya adalah sosok yang jarang memiliki keraguan dalam hal apapun. "Hanya hidup seperti biasa. Dan tidak memiliki keterlibatan apapun pada hal-hal berbau mafia. Itu yang kuinginkan." Tegasnya. Dengan nada mantap. Tak peduli sekalipun dia berbicara dengan seorang bos. Membuat Farhan terkesima, meski tanpa diungkapkan. Selalu begitu sejak dulu. Pria itu hanya memangut-mangut seraya memasang seringai mengejek, usai mendengar penjelasan Yahya. Dan berkata, "Kau yakin? Apa kau ingin membuka toko kelontong setelah ini?" Tetapi Yahya nampak tenang. Tidak ada keraguan sedikitpun yang terlihat dari air mukanya. Diam, tak langsung menjawab pertanyaan bernada meremehkan tersebut. Apalagi dengan emosi. Itu bukanlah gayanya. Sebaliknya, dia menjawab, "Kurasa, itu cukup menarik. Mungkin aku akan membuka cabang toko sejenis itu, setelahnya. Itu sangat mewakili orang yang hidup normal, kurasa," "Dan, aku hanya ingin bilang, bahwa aku hanya ingin hidup dengan pilihanku. Mohon anda mengerti hal itu." Lagi, Farhan menancapkan tatapan setajam mata pedang, pada sosok di depannya. Dipandanginya Yahya selama hampir satu menit lamanya. Sebelum akhirnya dia membuang pandangan itu sendiri. Memaksa pun dirasa percuma. Perlahan dia menghela napas. "Baiklah. Jika itu keputusanmu. Aku tidak bisa menahan lagi." Hening sejenak. Lalu Yahya menjawab, "Terima kasih. Terima kasih atas semuanya, Pak. Dan selama ini. Permisi." Lantas Yahya segera bergegas menuju tempat peristirahatannya, mengepak beberapa barang ke dalam koper, yang dirasa penting. Dia tak perlu lagi berpamitan pada rekan-rekannya yang lain, karena itu sudah dilakukan jauh-jauh hari, secara rahasia tentunya. "Seratus juta dolar sudah kutransfer ke rekeningmu. Sisanya akan kutransfer selanjutnya. Dan bicaralah jika itu kurang." Ujar Farhan, ketika mengantar kepergian Yahya di gerbang utama markas, dengan mobil pribadinya. Bahkan, sekalipun Farhan kecewa pada Yahya, namun lelaki itu tetap menghormatinya. Sadar akan jasa Yahya terhadap bisnisnya selama ini. "Sebenarnya tidak perlu, Pak. Kau tahu, semua fasilitas dan yang kau lakukan kepadaku, sudah lebih dari cukup untuk membayar tenagaku," Yahya tersenyum tipis meskipun hanya ditanggapi dengusan oleh sang mantan bos. "Baiklah. Terima kasih, Pak. Aku permisi," Tambah Yahya lagi, sebelum masuk ke dalam kijang klasik berwarna gelap. Sejak saat itu, Yahya mulai mencoba menjalani kehidupan normal, hidup tanpa embel-embel apapun tentang mafia yang dulu melekat erat pada dirinya. Bahkan dia tak ingin menggunakan sepeserpun uang pemberian Farhan Assegaf, yang katanya adalah uang gaji serta balas jasa. Sebagai gantinya, Yahya memilih untuk mencari pekerjaan ala masyarakat normal, seperti menjadi security bank misalnya. Dia menikmati meski gaji tak seberapa. Merasa hidupnya jauh lebih baik dari sebelumnya. Niat menjadi orang normal pun terwujud. Lantas beberapa tahun kemudian, Yahya menikah dan memiliki dua anak lelaki yang begitu lucunya. Yang dia rawat penuh kasih bersama sang istri. Namun seperti kata pepatah, roda kehidupan selalu berputar. Hidup tak selamanya bahagia, namun ada kalanya sesangsara datang tanpa diundang. Di saat sedang menikmati hidupnya itulah, Yahya beserta sang istri mengalami kekecewaan dan kesedihan yang dalam. Yaitu di hari ketika putera keduanya berusia satu tahun, tetiba anak itu raib begitu saja. Hilang entah ke mana, tanpa jejak. Meskipun banyak orang yang meyakini bahwa anak tersebut diculik oleh seseorang. Kejadian itu membuatnya trauma, dan tidak ingin memiliki anak lagi. Cukup satu saja. Dia hanya berharap puteranya hidup meskipun tidak bersamanya lagi. . Pagi hari. Mata Farhan membulat seketika, saat kakinya menginjak ambang pintu kamar Yusuf dan membuka pintu yang sama sekali tidak terkunci tersebut. Pemandangan di depan matanya, mrmbuat mulutnya tak tahan untuk tidak berteriak. "Astagaa!! Apa-apaan ini?! Kamar seperti kapal pecah!!" Balon dan pita plastik berserakan di sana sini, beberapa botol anggur pun tergeletak di beberapa titik. Belum lagi, orang-orang berkostum hewan yang tidur sembarangan di mana-mana. Kacau. Ruangan seperti habis perang. Tetiba Yusuf yang tertidur di bawah tubuh salah satu rekan kerjanya, menggeliat bangun karena mendengar teriakan suara Farhan. Dia mengucek mata beberapa kali dan mencoba mendapatkan penglihatan yang jelas, dari kepalanya yang masih agak terasa berat. "Yusuf! Astaga, Nak! Kau gila, tidur dengan ruangan begini?" Teriak Farhan lagi. Kemudian matanya kembali membulat tatkala melihat puterinya baru saja terbangun dari atas tumpukan kado-kado. "Delilah?! Astaga!" "Sst. Ini hari ulang tahun Yusuf, Ayah!" Ujar gadis berambut lurus itu, seraya menempelkan telunjuk di depan bibir. Tetiba Farhan menepuk jidatnya sendiri, mendengar ucapan gadis itu. "Aku lupa! Maafkan aku, Nak!" Ujarnya, pada Yusuf. "Itu..." "Baiklah. Kau boleh libur hari ini. Kita akan merayakan ulang tahunmu. Dan nanti, buatlah sebuah permintaan. Aku akan berusaha mengabulkannya. Oke?" "Tidak bisa, Pak. Ada pekerjaan yang harus kutuntaskan-" "Ah, tunda dulu saja, bagaimana??" Dengan antusiasnya Farhan terus memotong ucapan pemuda yang nampak masih mengantuk di atas ranjang sana. Seolah hari ulang tahun itu lebih penting dari segalanya. "Tidak bisa, Pa-" "Memangnya kenapa??" Gadis bernama Delilah ikut menimpali. "Akan kujelaskan nanti. Sungguh, ini penting. Kita akan merayakan jika pekerjaanku usai." . Yusuf mengumpulkan data dari hasil pengiriman barang yang dipimpinnya semalam. Nantinya, data tersebut berguna untuk laporan mingguan pribadi, laporan bisnis dan sebagai salah satu pegangan analisa, apabila diadakan riset bulanan untuk kepentingan internal bisnis. Semua dia masukan dalam file di dalam chip personal computer miliknya. Pekerjaan seperti ini, sudah menjadi makanan sehari-hari pemuda tersebut. Terkadang membosankan ketika menyelesaikannya. Jika dibanding tugas memimpin pengiriman barang, lalu menghadapi para pengganggu di tengah jalan. Tetapi apalah daya, ini merupakan salah satu tanggung jawabnya juga, sebagai salah satu orang kepercayaan ayah angkatnya, si bos markas A. Pagi ini, dia sudah mendapat beberapa informasi aktivitas markas yang tengah dan hendak dijalankan. Yaitu beberapa pengiriman barang dalam jumlah kecil, ke daerah yang tidak terlalu jauh. Juga aktivitas kejadian kemarin malam, Yusuf kembali memeriksanya. Kerugiannya memang tidak seberapa bagi Team A, tetapi dia ingat betul bagaimana kejadian semalam sangat menyebalkan. Menewaskan beberapa para kru markas. Baru saja sepuluh menit Yusuf duduk di depan perangkat kerjanya, dering berisik ponsel di saku celana, tetiba memecah fokusnya. Dia segera merogoh benda itu. Tidak ada nama penelpon di layar, hanya nomor tak dikenal. Tetapi Yusuf segera menekan tombol hijau. Terdengar suara latar belakang yang sangat berisik ketika benda itu ditempelkan ke telinganya. "Yusuf, maaf aku menelpon padamu! Pengiriman FN ke daerah nomor tiga, terhambat karena ulah para sialan! Dan kau tahu, mereka sengaja memancing aparat ke arah kami! Kami sedang baku hantam! Butuh bantuan!" Setelah itu, sambungan terputus. Sekian detik Yusuf mencerna informasi tersebut. Dan dia segera melakukan tindakan dengan cepat namun teliti.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD