Terima, Kasih

3569 Words
“Bentuk syukur tertinggi seorang hamba adalah terima lalu kasih.” *** “Sesuai namanya Azzura yang berarti langit dan Jannah yang berarti surga. Azzura Jannah, langit surga. Azzura Jannah binti Ismali, telah menyelesaikan hafalan Al-Qur’an 30 Juz, selama tiga tahun proses belajarnya di tingkat SMA. “Azzura, ayo naik nak.. “kata seorang mudabiro pada Azzura. Azzura tersenyum tipis, rona wajahnya merah merona menghiasi wajahnya. Kepalanya yang tertutup kerudung panjang tertunduk malu. Azzura melangkah pelan ke panggung, suara gemuruh tepuk tangan membuat langkah kecil Azzura menjadi semakin melambat karena gugup. Rasa malu dan gugup menjalar hebat dihatinya. Begitu sampai di panggung Azzura tetap menunduk, menyembunyikan wajah cantiknya, gadis itu tidak berani menatap semua orang dihadapannya. Azzura baru saja menyelesaikan pendidikannya di bangku Madrasah Aliyah di salah satu pondok ternama di Bandung. “Selamat ya Azzura... “ sahabat Azzura memeluk Azzura begitu Azzura turun dari panggung. “Wah aku bangga pada mu Azzura. “ “Sesungguhnya apa yang ada pada diriku hanyalah titipan dari Allah SWT yang maha pemurah,” sahut Azzura. Semua teman-teman Azzura berdecak kagum pada sifat tawaduq yang Azzura miliki. Bagi mereka Azzura layaknya mutiara yang sinarnya terpancar di plosok lautan. Azzura cantik, pintar dan sholeha. Tidak ada kata yang keluar dari Azzura melainkan kata yang menyejukan hati. “Setelah ini kamu lanjut kuliah di sini kan? Mana mungkin kamu meninggalkan rumah tercinta mu ini kan? “ tanya mereka. “Mana mungkin. Azzura sangat mencintai pondok ini. Aku yakin Azzura akan melanjutkan kuliah di pondok ini,” tambah yang lain. Azzura tersenyum tipis. Enam tahun berada di pondok ini membuat Azzura memiliki ikatan batin yang kuat. Pondok ini bagai saksi bisu atas perjuangan Azzura menitih jalannya. “Lanjut kuliah di sini kan? “desak mereka. “Tidak..” jawab Azzura pelan. Semua teman Azzura terkejut. “Kenapa? Kamu bosan di sini? “ Azzura menggeleng. Sebenarnya Azzura sangat ingin kembali melanjutkan pendidikannya, tapi Allah berkata lain. Bertepatan dengan kelulusan Azzura, kakak ipar Azzura baru saja melahirkan anak pertama mereka. Hal itu membutuhkan banyak biaya. Tabungan Kakak Azzura yang awalnya diperuntukkan untuk uang kuliah Azzura harus dialih fungsikan untuk keperluan operasi. “ Aku tak punya cukup dana untuk melanjutkannya. Tidak masaalh, mungkin ini jalan Allah yang ingin memberi ku nikmat untuk menyebarkan ilmu yang aku dapatkan di sini. “ “Kamu mau kembali ke desa mu? “ “Iya.. “ “Azzura bagaimana bisa kamu meninggalkan kami di sini?“ “Aku tidak meninggalkan kalian. Kapan-kapan saat aku punya rejeki untuk datang ke sini, aku akan datang mengunjungi kalian. Insyallah... “ “Azzura, aku dengar di sini ada beasiswa untuk murid berpestasi seperti mu. Potongan hingga 50%.” Azzura tersenyum tipis. Ia sama sekali tidak memiliki uang bahkan meski telah dipotong. Keesokan harinya, semua murid bergegas untuk meninggalkan pondok. Azzura menatap bangunan-bangunan yang selama enam tahun menjadi pemandangan yang selalu ia lihat. Azzura tersenyum, saat sekelibat bayangan indah di pondok ini bermunculan di kepalanya. Lama Azzura memperhatikan, hingga tanpa sadar air mata meleleh dari matanya. Azzura tidak bisa melupakan tempat ini. Tempat yang telah membantunya mengenal Islam. “Azzura kamu pulang sendiri? “ seorang mudabiroh menghampiri Azzura. Dikala semua murid pulang dengan dijemputkan mobil, motor atau kebearadaan keluarga yang datang, berbeda dengan Azzura. Ia hanya sendirian. Kedua orang tuanya enggan menjemput Azzura. Ibu Azzura masih menanggap Azzura sebagai aib. Tidak banyak barang yang Azzura bawa. Sebagian buku yang Azzura miliki, ia wakaq kan di perpustakaan pondok, baju-baju yang layak pakai pun ia berikan pada adik tingkatnya. Azzura hanya bawa satu tas berukuran sedang yang berisi lima setel baju dan kerudung serta beberapa buku kesayangan miliknya. "Iya Ustadzah, desa saya jauh dari sini. Kasihan jika orang tua saya harus bolak balik dari sana.” “Kamu yakin mau pulang sendiri ? Ikut mobil pondok saja. Saya akan meminta pak Dirman untuk mengantarkan kamu.” “Tidak perlu Ustadzah. Saya tidak ingin merepotkan siapa pun. Kasihan pak Dirman kalo harus bolak-balik mengantar saya.” “Yowes, kamu pulang naik apa? “ “Saya naik angkotan umum, Ustadzah...” “Yowes lah... Kalo kamu gak mau di anter. Tapi ini kamu harus terima. Anggap ini hadiah dari Ustadzah atas prestasi kamu. “ Beberapa lembar uang merah masuk ke dalam kantong kecil tas Azzura. “Syukron ustadzah. “ “Oh jadi begini kelakuan murid terbaik di sini.” “Assalamualaikum Ustadzah..” sapa Azzura. “Waalaikumsalam,” sahut wanita paru baya itu dengan cepat. “Ustadzah saya pamit pulang.” Azzura menyalimi kedua tangan Ustadzah yang dengan tangan itu mereka menegakan pilar-pilar agama Allah. “Kenapa kamu pulang? Bosan liat Ustadzah di sini? Atau bosan mendengarkan kultum Ustadzah setiap hari? “ Azzura tersenyum tipis. “Masyallah.. Bagaimana bisa saya membenci wajah Ustadzah yang selalu berseri karena air wudhu?” “Liat, bagaimana Azzura mencoba mengambil hati ku. Gadis ini sangat pintar membuat orang marah dan menangis.” Wanita dihadapan Azzura ini adalah orang tersabar yang Azzura kenal. Dulu saat pertama kali Azzura menginjakkan kaki di pesantren jelas bukan hal yang mudah bagi Azzura. Kehidupannya yang dulu jauh berbeda dengan kehidupan di sini. Azzura seringkali terpegok sedang melepas jilbabnya di halaman belakang asrama karena belum terbiasa dengan kain penutup kepala inu. Atau saat azan subuh berkumandang sedangkan Azzura masih berkumul di dalam selimutnya, saat pemeriksaan kamar, Azzura akan mengumpet di belakang lemari, di toilet umum atau di mana pun. Dan hanya Ustadzah dihadapinya ini yang mampu menangkap aksinya itu. “Maafkan Azzura, Ustadzah. Selama ini Azzura selalu menyusahkan Ustadzah.. Azzura minta maaf... “Azzura beringsut mencium tangan Ustadzah dengan khidmat. Ustadzah terisak. Bagi Ustadzah, Azzura sudah seperti anaknya sendiri. Kegigihan Azzura melawan masa lalunya membuat ustadzah salut, awalnya ia berpikir lingkungan 180 derajat dari masa lalunya tidak akan membuat Azzura bertahan lama di sini. Tapi lihatlah sekarang, Azzura bak mutiara yang bersinar dengan akhlak dan ilmu yang sekarang menghiasi dirinya. “Tetaplah tinggal di sini Azzura. Ustadzah akan mengurus semua biaya mu. “ Azzura tersenyum. Sungguh mulia hati wanita dihadapannya ini. Ditengah keterpurukannya mengenai ekonomi tak sedikitpun menyurutkan niat baiknya untuk selalu memberi. Azzura tahu betul keadaan ekonomi mudabironya itu. Baru-baru saja Ustadzah habis tertipu oleh rekan bisnisnya sendiri. Dan uang jutaan rupiah, rumah dan semuanya raip terkuras. Ustadzah dan keluarga beruntung memiliki pondok sebagai tempat kembali. Mereka mendapat rumah sederhana di dalam pondok. “Syukron Ustadzah... Semoga Allah kembalikan apa yang menjadi hak Ustadzah.” **** Berita kepulangan Azzura sudah tersebar keseluruhan pelosok desanya. Semua orang heboh akan kedatangan Azzura yang masih dicap gadis ‘nakal' setelah menghilang tiga tahun setelah insiden itu. Kisah kelam Azzura sudah menjadi bahan paling hangat dikalangan semua orang. Siapa yang tak heboh akan kedatangan mantan PSK termuda itu? Begitu kaki Azzura menginjak desa tempatnya lahir, seluruh sorot mata langsung mengenali Azzura, gadis yang kini sudah berpenamilan 180 derajat berbeda dari Azzura dulu yang mereka kenal. ‘peran apa yang sedang gadis itu mainkan?’—pikir mereka. Semua tatapan menelisik lebih tajam Azzura rasakan sekarang. Dahi mereka berkerut kala membandingan Azzura dulu dan sekarang. Rok pendek, baju ketat kini berganti gamis panjang, dan kerudung yang menutupi seluruh tubuhnya. Hanya wajah Azzura yang tidak tertutup apa pun. “Azzura ‘kan? Gadis yang pernah ketahuan di sungai,” olok seorang pemuda. Semua pemuda di sana langsung tertawa mendengar olokan itu. Azzura terus berjalan, berpura-pura tidak mendengar semua itu. Mulut gadis itu sibuk melafadzkan istigfar dan mohon perlindungan dari Allah. “Assalamualaikum, ukhti... “sapa seorang pemuda “Waalaikumsalam,” balas Azzura seadanya. “Wah penampilannya udah beda ya sekarang... tapi masih mau gak kalo aku ajak ke sungai ?” tambahnya. Azzura tahu, inilah resiko saat ia pulang ke desanya. Manusia memang selucu itu. Mudah melupakan kebaikan dan selalu mengenang keburukan. Seribu kebaikan akan kalah hanya dengan satu kesalahan. Begitulah cara kerja manusia. Azzura berbuat kesalahan dan dosa. Azzura beruntung Allah masih memberinya kesempatan untuk kembali. Allah tidak menghakimi Azzura untuk selamanya menjdi pendosa. Allah selalu menerima setiap hambanya yang mau bertaubat. Betapa Allah maha pengasih lagi maha penyayang, sebanyak apa pun dosa yang telah Azzura perbuat, cukup satu langkah untuk mendapat ampunan. Bertaubat. “Assalamualaikum, Ayah, Ibu.. “ ucap Azzura begitu langkahnya memasuki pekarangan rumah. Rumah yang dulu sangat Azzura benci kini sudah makin menua. Tembok yang bercatkan warna kuning terang telah memudar terhapus hujan. “Waalaikumsalam,” sahut seseorang dari dalam rumah. Tidak lama muncul ayah Azzura, pria pertama dalam hidup Azzura. Orang pertama yang bahagia saat kelahirannya. Orang pertama yang memegang tangan Azzura saat ia belum bisa berjalan dengan benar. Orang pertama yang mengangkat tubuhnya dalam timangan hangat tangannya. Azzura merindukan, ayahnya. Pria yang kini semakin tua dan melemah, kekuatan yang dulu Allah titipkan pada ayahnya perlahan mulai menghabis. Dengan langkah pelan, ia berjalan mendekat. Matanya tidak setajam dulu hingga tidak mampu melihat dari jarak jauh. “Azzura... “lirihnya pelan. Azzura mengangguk. Diciumnya tangan Ayahnya. Segala kemarahan dan kekecewaan Azzura pada sosok ayahnya sudah ia kubur dalam-dalam. Azzura hanya ingin mengenang hal baik tentang Ayahnya. Ayah dan putri kecilnya. “ Maafkan Azzura, Ayah...” lirih Azzura. Ayah Azzura tersenyum, diusapnya pelan kepala putri kecilnya itu. “Ternyata waktu sudah berlalu dengan sangat cepat. Azzura kecil ayah sudah tubuh dewasa sekarang. “ “Siapa yang menyuruhnya pulang?! “ Ibu muncul di ambang pintu, wajahnya masih semerah dulu saat Azzura terakhir melihatnya. “Ibu... Azzura rindu, ibu...” “Cih! “ wanita itu menghempas keras tangan Azzura. “Hanya karena darah ku ada di dalam tubuh mu. Aku masih bersikap baik pada mu! Tapi jangan harap, aku akan memaafkan mu !” Azzura terisak. Waktu rupanya belum meredam kemarahan ibunya. Ibunya tetap membenci Azzura. “Azzura pasti lelahkan? Ayo kita masuk, nak.. ayah yakin Azzura pasti merindukan rumah kecil kita,” hibur ayah. Ayah Azzura mengiringi langkah putri kecilnya itu. Begitu Azzura masuk ke dalam rumahnya, banyak kenangan masa kecil bermunculan di kepala Azzura. Azzura melihat, Azzura kecil yang tengah bermain boneka, lalu kakaknya dengan usil mengambil boneka itu. Azzura kecil menangis, namun tangisnya hanya bertahan satu menit berkat tangan ajaib ibunya. Ibu mengelus pucuk kepala Azzura kecil dan menghadiahkannya ciuman lembut di pipi gembulnya agar Azzura mau berhenti menangis dan kembali tertawa. Tawa itu sangat hangat hingga mampu menghangatkan keluarga kecil mereka kala itu. “ Bagaimana keadaan kakak mu? Kenapa dia tidak mengantar Azzura pulang? “tanya Ayah. “Istri Kak Daffa baru saja melahirkan, Yah... Azzura tidak tega jika meminta kak Daffa untuk datang menjemput Azzura. Kak Daffa pasti sangat kelelahan setelah semua urusan itu. ” “Kapan Daffa akan pulang? Begitu bencikah ia pada rumah ini? “ sorot mata Ayah menurun. Azzura mendekat, merangkul bahu ringkih ayahnya. “ Tidak Yah... Kak Daffa sangat merindukan rumah ini. Kakak Daffa juga berjanji pada Azzura, akan segera pulang secepatnya membawa cucu Ayah.” Azzura meraih tasnya, mengambil sesuatu di dalamnya. “Lihat, Yah. Ini adalah foto cucu pertama Ayah. Wajahnya sangat mirip dengan kakak Daffa ya, Yah... “ Mata Ayah berbinar, ditatapnya lekat foto berukuran sedang yang Kakak Daffa kirim di pondok sehari sebelum Azzura pulang. “Masyallah... bayi ini sangat mirip dengan kakak mu sewaktu masih kecil, ”tuturnya bahagia. **** Azan subuh telah berkumandang. Azzura menikmati lantunan Azan subuh dengan khidmat di atas sejadah yang sejak tadi sudah menemaninya bersujud di sepertiga malam. “Haya A’al sholat... “ “La haula wala’quatailah billah... “jawab Azzura dalam hatinya. Setelah melaksanakan sholat subuh, Azzura membuka jendela kamarnya. Udara segar seketika langsung menerobos masuk ke dalam bilik sederhana kamarnya. “Masyallah....” ucapnya. Azzura lalu keluar kamar, terlihat Ayahnya tengah duduk di kursi tunggal di teras rumahnya. Azzura tersenyum, rupanya kebiasaan ayah belum berubah. Azzura pernah bertanya mengapa ayahnya selalu suka duduk memandangi alam yang hendak beranjak dari gelap. Ayah menjawab, ‘menyenangkan menikmati kesibukan alam saat harus menyingsingkan kegelapan.’ “Assalamualaikum, Yah... “ sapa Azzura. Ayah tersenyum. “Waalaikumsalam...” “Ayah, mau teh ? Biar Azzura buatkan, Yah...” “Tidak perlu, nak. Duduklah di sini, temani ayah menyaksikan keindahan alam ciptaan Allah, bersama,” pinta Ayah. Azzura menurut dan duduk di lantai, menyaksikan gelap yang mulai menyingsing dari alam. “Masih ingat alasan ayah menyukai hal ini ?” Azzura mengangguk. “Kapan terakhir kali kita melihat ini bersama? Ayah rindu masa itu.. “ucap Ayah pelan. Pandangan matanya masih terfokus ke depan. “Azzura sudah besar sekarang... “ “Azzura juga sudah pandai membuat nasi goreng. Ayah harus mencobanya,” sahut Azzura. Ayah tersenyum. Rupanya gadis kecilnya kini benar-benar telah menjadi gadis dewasa. Tidak butuh waktu lama, semerbak aroma nasi goreng buatan Azzura sudah memenuhi rumah sederhana itu. Mengungah selera siapa saja yang menciumnya. Tidak lama, Azzura telah selesai dengan tiga piring nasi goreng buatannya. Azzura menyajikannya di meja makan. Azzura segera bergegas mengetuk pintu kamar ibunya, bermaksud mengajak ibunya sarapan nasi goreng buatannya yang masih hangat. “Ayah, ibu kemana? “ tanya Azzura, karena ibunya tidak kunjung membuka pintu. “Ibu mu, sedang ke desa sebelah.” “Kapan? “ “Sebelum subuh. Ada arisan di desa sebelah.” Azzura tertundak sedih menatap nasi goreng buatannya. “Nasi goreng buatan Azzura sangat enak. Rasanya ayah tidak cukup jika cuman satu piring. Ayah akan makan jatah ibu mu. Ibu mu kurang beruntung karena tidak merasakan betapa enaknya nasi goreng buatan putri kecil, Ayah,” hibur Ayah. Tampaknya ayah Azzura memahami apa yang Azzura rasakan. Hal itu benar saja, setelah Ayah Azzura, mengambil alih piring itu dari Azzura, senyum kembali terbit di wajah gadis itu. Keduanya makan dalam iringan tawa dan obrolan ringan, melepas rindu keduanya. “Sial! “ Suara u*****n itu seketika membela tawa bahagia Azzura dan ayahnya. Azzura segera bangkit, ia hendak membantu ibunya yang nampaknya kesulitan membuka pagar kayu sederhana buatan ayah waktu itu. “Assalamualaikum Bu.. baru pulang? Azzura buat nasi goreng untuk ibu. Ayo Bu, kita makan bersama.. “ “Ah. Jauh-jauh sana anak tidak tahu diuntungkan ! Tidak usah sok perhatian. Karena kamu, ibu dipermalukan di sana! Semua orang mencibir. Ini semua karena anak seperti mu! Tidak tahu malu, tidak tahu diuntungkan! Pergilah dari sini kalo kamu memang benar-benar menganggap ku sebagai Ibu! “ cerca Ibu Azzura dengan wajah yang sangat merah. “Kamu tidak berhak mengusir anak ku! “Ayah datang membela Azzura. “Aku lebih berhak untuk mengusirnya, karena dia lahir dari rahim ku!” Ayah diam membisu, sorot matanya seketika menurun. “Pergilah dari sini Azzura! Ibu tidak ingin melihat wajah mu di sini! “teriak ibu. Ibu menarik tangan Azzura memasuki rumah. Lalu menghempas Azzura tepat di depan pintu kamarnya. “Kemasih semua barang mu sekarang juga! Bawa uang ini bersama mu! Pergilah jauh dari sini! “ Azzura terisak. Diraihnya tangan wanita yang sudah melahirkannya itu. “Ibu... Maafkan Azzura.” *** “Maafkan Ayah, Azzura... “ lirih Ayah, begitu melihat semua barang Azzura yang sudah rapi di dalam tasnya. Tidak butuh lama bagi Azzura untuk menyiapkan semua itu. Pada kenyataan, ia bahkan belum mengeluarkan semua bajunya dari dalam tas. Kemarin Azzura baru sampai dan hari ini ia harus pergi. “Tidak Ayah, tidak perlu meminta maaf pada Azzura. Ini semua sudah takdir dari Allah, Yah. Insyallah Azzura ikhlas menjalaninya.” “Bawalah ini, hanya ini yang Ayah punya.” Azzura terenyuh, ia tahu itu celengan tua itu adalah tabungan yang Ayahnya kumpulkan sejak dulu untuk mewujudkan mimpinya ke tanah suci. “Tidak perlu Ayah...” Azzura mengembalikanya. “Ini adalah mimpi Ayah... Azzura akan lebih bahagia jika mimpi ayah bisa terwujud, yah.” Mata Ayah langsung berkaca-kaca. Ditatapnya lekat putri kecilnya itu. “Lalu apa yang akan ayah jawab saat Allah bertanya mengenai tanggung jawab, Ayah mengenai mu? “tanyanya lirih, bahu ringkih Ayah bergetar karena tangis yang menyerbuh. “Ayah.... bagi Azzura, ayah selalu menjadi yang terhebat,” tutur Azzura pelan. Azzura memeluk ayahnya. Sebuah pelukan yang akan kembali Azzura rindukan setelah bertahun-tahun menyimpan rindu itu. Azzura menatap jalan raya yang seolah bergerak mengikuti laju bus, matanya menelisik mengamati pemandangan dari tempat nan jauh. Memandangi dalam diam hingga terlarut dalam heningnya. Azzura bahkan tidak menyadari bahwa waktu sudah berlalu dengan cepat, ia rupanya sudah berada di Jakarta. Ibu kota. Kota keras yang menampakan masa lalu pada Azzura. Semua orang berdesakan turun dari bus, berlomba menginjakkan kaki mereka di jantung ibu kota. ‘Kos putra.’ Hanya secarik kertas bertuliskan alamat yang menjadi tujuan Azzura melangkah kakinya di kota Jakarta. Sembari membawa secarik kertas itu, Azzura mencari-cari pangkalan ojek, uang yang sedikit tidak memungkinkan Azzura untuk naik taksi, ia juga tidak bisa naik angkot karena Azzura sama sekali tidak tahu alamat tujuannya. Perlu diketahui bahwa Azzura tidak memiliki gedget canggih seperti gadis umum lainnya. Ia hanya memiliki ponsel hasil untuk mengirim pesan dan telepon, tidak lebih. Enam tahun berada dan hidup di pesantren selayaknya hanya ponsel itulah yang Azzura butuhkan. “Pak, bisa anter saya ke alamat ini? “Azzura menyodorkan secarik kertas itu pada pria paruh baya yang tengah duduk di atas motor bebeknya. Di sebelahnya terdapat tulisan ‘pangkalan ojek' “Bisa Neng... “ Wajah pria itu terlihat semringah, mendapatkan penumpang pertamanya. “Alhamdulillah... “ syukurnya. “Ayo Neng naik. Biar bapak anter ke sana.” Azzura tampak berpikir, ia bingung dengan tas dan bagi mana ia duduk agar tidak melanggar syariat Islam mengenai batas pria dan wanita. “Tasnya di taruh tengah aja, Neng. Bapak tidak keberatan kok, biar Neng nya nyaman. “ Azzura tersenyum. Alhamdulillah di hari pertama ia bertemu orang baik yang tidak meremehkan syariat islam. “Neng, orang Bandung ya? “ “Iya, Pak.” “Ke sini mau kerja atau kuliah? “ “Alhamdulillah, kuliah sambil kerja, Pak.” “Wah, kenapa gak kuliah di Bandung aja, Neng? Di sini semua serba mahal. Anak bapak aja kuliah di Bandung, Alhamdulillah udah semester tujuh. Bentar lagi wisuda. “ Azzura tersenyum tipis. Jauh di dalam lubuk hatinya, Azzura tetap ingin berada di kota kelahirannya. Kota Bandung, kota yang akan selalu menjadi tempatnya kembali setelah letih dari perantauan. “Sudah sampai, Neng ..” Azzura segera memberikan selembar uang terakhir miliknya. “Ini, Pak... “ “Wah besar banget uangnya. Bapak gak punya kembaliannya, Neng. Bapak cari dulu, uang kembaliannya.” "Tidak perlu, Pak. Buat bapak saja.” “Alhamdulillah... “ lirihnya pelan. Azzura tersenyum. Memberi adalah bentuk syukur paling sederhana seorang hamba atas rezeki yang Allah berikan padanya. Terima, kasih. Begitulah konsepnya. “Assalamualaikum ....” Azzura mengetuk rumah yang tampaknya merupakan rumah utama pemilik kosan. Azzura memperhatikan sekitar. Rumah yang Azzura ketuk merupakan rumah yang berada di tengah. Di sebelah kanan terdapat tiga pintu kosan yang sudah siap huni berukuran 2 x 3 Meter. Sedangkan di sebelah kiri masih berupa bangunan setengah jadi. Kos-kosan ini juga terbilang sangat rapi, semua tertata dengan apik dengan setuhan bunga di halaman depan yang sepertinya dibuat menyerupai taman mini. Di depan gerbang terdapat tulisan. ‘Menerima kos-kosan khusus pria.’ “Waalaikumsalam, cari siapa ya? ” Keluar seorang wanita paru baya bertubuh sedang menghampiri Azzura. “Saya Azzura, bu. Adiknya, Kak Daffa yang kemarin menelepon. Saya dengar ibu butuh tenaga buat bantu-bantu.” “Oh... yang kemarin ya? Wah ternyata benar kata Daffa, kalian sangat mirip. Kamu seperti Daffa versi ceweknya. Ayo masuk, biar ibu antar ke kamar kamu,” katanya ramah. “Nak Azzura bisa menyegarkan diri dulu. Pasti lelahkan seharian di perjalanan. “ “Baik bu. Terimakasih.” “Kalo gitu ibu tinggal ya... “ Azzura menatap kamarnya. Ia meletakkan tasnya di sisi kasur setelah kepergian bu Nirmala. Di kamar ini terdapat kasur berukuran sedang, lemari kecil untuk pakaian dan beberapa benda hiasan yang di gantung di dinding mempermanis kamar bercat biru langit ini. Kamar ini memang berukuran kecil namun sangat tertata rapi dan bersih. Selesai mengagumi kamarnya, Azzura beralih pada tasnya, ia merogoh tasnya untuk mengambil beberapa perlengkapan mandi. Seharian di perjalanan membuat Azzura merasa tidak nyaman dengan tubuhnya. Ia ingin menyegarkan diri terlebih dahulu sebelum istirahat. “Astagfirullah..” ucap Azzura. Gadis itu baru teringat, bahwa ia lupa memasukan perlengkapan mandi miliknya saat pergi. Azzura harus pergi ke toko atau warung terdekat untuk membeli perlengkapan mandi. Azzura terpaksa menggunakan uang simpanan yang sudah Azzura ikrarkan hanya akan di gunakan saat kebutuhan mendesak. Dan karena keteledorannya hal ini menjadi salah satu yang mendesak bagi Azzura. Hal yang sama sekali tidak masuk dalam list. Setelah meminta izin kepada bu Nirmala, Azzura melangkah menuju gerai yang kebetulan dekat dari kos. Azzura membeli satu batang sabun, satu renteng sampoh sachet, pasta gigi dan sikat gigi. Semua yang Azzura beli hanyalah perlengkapan umum untuk mandi. Azzura tidak bisa membeli hal-hal lain yang ingin ia beli. Azzura harus super menghemat jika tidak ingin uang simpanannya langsung raib dalam sehari. Sesampainya di kasir, Azzura melihat seorang anak mengambil minyak, mie, telur, dan beras satu kilogram. Tubuh anak itu terlihat sangat kurus. Tatapan matanya sayup begitu tanpa sengaja tatapan keduanya bertemu. “Maaf dek, adik gak bisa ambil ini sebelum adik bayar.” Gadis berseragam khas toko berwarna merah menahan lengan anak kecil itu saat gadis itu hendak melangkah keluar dari gerai. “Tapi aku gak punya uang Kak...“jawab gadis kecil itu pelan. Gadis yang menahan lengan anak kecil itu sebenarnya iba mendengar tutur kata anak kecil itu, namun ia tidak bisa berbuat banyak. Tugasnya mengharuskan ia mengambil semua barang itu dari si anak kecil. “Kalo gitu kakak, ambil dulu ya barangnya....” “Tapi aku lapar, Kak.. “rengek si gadis kecil, berusaha merebut kembali belanjaannya. Hati Azzura tidak kuasa. Azzura tidak bisa berdiam diri, berpura-pura tidak peduli pada keadaan anak kecil di hadapannya itu. Azzura mungkin kekurangan uang tapi ia tidak kekurangan hati nurani untuk membantu sesama. Konsep terima, kasih tidak boleh berhenti karena batas uang. Toh, Azzura masih punya Allah yang maha kaya, bagaimana bisa Azzura takut kekurangan? “Maaf mbak, saya gak jadi beli ini,” kata Azzura pelan. “Uang saya buat bayarin belanjaan adik kecil itu aja ya, Mbak. “ Gadis kecil itu tersenyum sumringah kala kembali mendapat kantong kresek putih di tangganya. Senyum sumringah di wajah gadis kecil itu menjadi hadiah paling indah bagi Azzura. “Ini... “ Azzura menoleh. Dua orang pria berdiri dihadapannya seraya menyodorkan kantong kresek berwarna putih. “Ini milik kamu kan? “tanya salah satu di antara mereka. Azzura menggeleng. “Aku gak jadi beli.” “Tapi kami udah beli ini buat kamu. Kami udah patungan buat bayar ini,” jawab mereka. “Aku Delshad dan ini Giffari. Kita satu kosan loh...kamu Azzura kan? Gadis pertama di kos khusus pria.” “Kalo gitu ini buat kamu sebagai hadiah perkenalkan dari kami.” Azzura tersenyum, ia memberi dan mendapat. Konsep terima, kasih
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD