Sosok itu Aariz

1551 Words
Selesai melaksanakan salat subuh, Azzura bangkit dari sajadahnya. Ia langsung berjalan menuju dapur. Ia ingin membuatkan sarapan untuk bu Nirmala. Sebenarnya hal ini tidak termasuk ke dalam tugas Azzura di sini. Tugas Azzura hanyalah merawat tanam, menyapu halaman dan setiap dua hari sekali membersihkan wadah air. Hanya itu. Azzura beruntung berkat kebaikan yang kakaknya—Daffa tanam, Azzura mendapatkan manis buahnya. Kebaikan yang Daffa lakukan pada bu Nirmala membekas hingga membuat bu Nirmala dengan senang hati menerima Azzura. Azzura tidak perlu repot memikirkan uang sewa dan uang makan setiap bulannya. Begitulah kebaikan, buahnya manis, pohonnya rindang ...... Rumah bu Nirmala memiliki dua dapur. Dapur pribadi bu Nirmala dan dapur umum. Dapur umum langsung tersambung ke rumah bu Nirmala dan para penyewa. Bu Nirmala sengaja membuat dapur ini diperuntukkan untuk para penyewa yang ingin memasak makanannya sendiri. Samar-samar Azzura mendengar lantunan indah ayat suci Al-Qur’an. Suara itu berasal dari bilik pintu kosan Giffari, sedangkan di bilik pintu milik Delshad, Azzura mendengar murotal Al-Qur’an yang di ulang, Delshad sepertinya tengah menghafal Al-Qur’an. Azzura tersenyum kecil. Sungguh beruntung ia berada di lingkungan yang menghidupkan Al-Qur’an. Alasan mengapa kosan bu Nirmala terbilang sepi meski harga yang ditawarkan terbilang murah untuk ukuran di kota besar adalah ini. Bu Nirmala memiliki persyaratan khusus untuk para penyewa. Mereka harus hafal Al-Qur’an minimal satu juz. Dan bagi penyewa yang ingin mendapatkan potong harga, mereka harus hafal sepuluh juz. “Al-Qur’an itu berkah. Siapa yang dekat dengan Al-Qur’an hidupnya pasti berkah. Ibu pengen gitu kosan ini setiap hari berkah karena Al-Qur’an.” Itu jawaban sederhana bu Nirmala saat ditanya perihal itu. Selesai dengan masakannya, Azzura segera beranjak ke dalam rumah. Mengajak bu Nirmala yang tengah asik mentadaburi Al-Qur’an, untuk sarapan bersama. “Duh ibu jadi gak enak, seharusnya ibu yang menjamu tamu. Ini malah nak Azzura yang menjamu Ibu. “ Bu Nirmala beranjak dari sofa menuju kursi makan. Bu Nirmala hidup sendirian, suaminya wafat dua tahun yang lalu dan anak semata wayangnya, beliau pondokkan di tanah rantau, menimba ilmu agama. Sungguh, melepas putra satu-satunya di tanah jauh tidaklah mudah untuk dilakukan. Hanya seorang wanita hebat yang mampu melakukan hal ini. Bagi Bu Nirmala lebih baik ia tersiksa karena menahan rindu ketimbang tersiksa karena membiarkan anaknya hidup tanpa bekal agama. “Ibu ingin, anak ibu kelak menjadi ulama yang hebat. Ulama yang mampu menyampaikan kebenaran dan melawan kebatilan. Yang mampu memberikan mahkota pada Ibu kelak di surga, insyallah... ” tutur bu Nirmala semalam dengan mata berkaca-kaca. Jelas raut wajahnya menyodorkan kerinduan yang dalam pada sang anak. Ibu mana yang tidak rindu pada apa yang pernah tumbuh dalam rahimnya. Jelas bu Nirmala juga merasakan hal itu. Kala rindu itu menyerang hanya sepenggal doa yang mau ia hantarkan. Selesai makan, Azzura membersihkan halaman depan. Lalu bersiap untuk kuliah, ini hari pertamanya. Ia harus datang lebih pagi untuk mengikuti perkenalan kampus. Azzura beruntung di kampusnya tidak diadakan kegiatan ospek. Dengan begitu, Azzura tidak perlu repot-repot menyiapkan ini—itu. Pihak kampus hanya menyuruh para MABA untuk menggunakan kemeja berwarna putih dan rok hitam. Setelah semuanya selesai, Azzura segera berangkat kuliah. Gadis itu membawa tas ransel berukuran sedang yang berisi dua buku dan satu pulpen. Azzura rasa ia perlu mencatat hal-hal penting saat perkenalan kampus. Perkuliahan belum di mulai hari ini. “Assalamualaikum...” sapa Giffari. Pria itu sudah rapi dengan kemeja putih dan celana dasar hitam. Azzura tersenyum sekilas sebelum menundukkan pandangannya. “Waalaikumsalam. Mau berangkat kuliah, Gif ? “ “Ya, ini lagi nungguin Delshad,” jawab Giffari. “Kalo gitu, aku duluannya ya....” Azzura melangkah pergi, setelah sekilas ia melihat Giffari mengangguk. Sesampainya di kampus, Azzura terkesima pada bangunan besar di hadapannya. Bangunan yang akan menjadi tempatnya menimbah ilmu selama tiga tahun lebih. Sangat besar dan luas. Azzura sampai kebingungan mencari di mana letak fakultasnya. Azzura ingin bertanya namun sejak tadi ia hanya melihat mahasiswa pria. Azzura terlalu malu untuk bertanya pada mereka. Di tengah kebingungannya, Azzura melihat seorang gadis berpenampilan khas MABA, gadis itu nampak kebingungan juga sama seperti Azzura. “Assalamualaikum,” sapa Azzura. Gadis itu menoleh. “Waalaikumsalam.. “ “Bahia? “ seru Azzura saat melihat wajah gadis itu. Gadis itu mengangguk seraya tersenyum. “Azzura? Gak nyangka kita bisa ketemu di sini,” katanya tidak kalah bahagia. “Kamu tinggal di Jakarta sekarang ?” Azzura mengangguk. “Aku kuliah di sini juga.” “Jurusan apa? “ “Sastra bahasa. “ “Sama,” seru gadis itu riang. “Tapi kenapa aku gak liat kamu pas tes? “ “Aku lulus jalur Tahfidz. Alhamdulillah, kampus memberi kesempatan untuk bisa belajar di sini. “ “Wah, masyallah, pantes aja aku gak liat kamu. Dari tadi aku sendirian aja gak ada temen. Mau ngajak orang ngobrol tapi malu. Mereka rata-rata udah punya teman satu sekolah. “ “Aku juga dari tadi sendirian. Kampusnya luas banget, aku jadi bingung.” “Sebenarnya aku juga lupa di mana fakultasnya. Tapi seinget aku di sana deh.... “ “Azzura.. “ Azzura dan Bahia spontan menoleh. Terlihat Giffari dan Delsahad berjalan menghampiri. “Masih cari fakultas? Emang kamu jurusan apa? “ tanya Giffari. Azzura mengangguk. “Jurusan sastra bahasa.” “Wah ternyata kita sama,” seru Delshad seraya mengulas senyum lebar. “Kalo gitu ayo ke sana bersama. Sebentar lagi acaranya di mulai,” ajak Delshad. Kedua gadis itu mengekor di belakang Giffari dan Delshad. Saat berjalan di belakang kedua pemuda itu, Azzura melihat beberapa gadis berbisik seraya mencuri pandang kearah Giffari dan Delshad. Azzura dan Bahia sudah duduk manis di kursi yang telah panitia siapkan. “Eh, Giffari. Antum lupa ya, mushaf antum masih di mushola,” kata Delshad tiba-tiba. “Masyallah. Ana lupa. Kalo gitu ana ambil dulu deh.” “Eh, aku ikut. Mau sekalian sholat duhha. Tadi buru-buru belum sempat salat.” “Ya udah, ayo kalo gitu.” Delshad dan Giffari kembali melangkah pergi. “Wah mereka ganteng banget.. “bisik seorang gadis saat Giffari dan Delshad melewatinya. “Keliatan alim lagi. Most wanted banget nih.. “timpal temannya. Acara perkenalan kampus di mulai tepat pukul 9 pagi. Acara di mulai dengan kata sambutan dari ketua fakultas dan pembimbing mahasiswa di fakultas masing-masing. Setelah acara di buka secara mandiri, acara selanjutnya seluruh mahasiswa di ajak ke aula untuk mendengar sepatah dua patah dari rektor. Acara selesai tepat saat azan dzuhur berkumandang. Semua mahasiswa baru itu resmi menjadi mahasiswa sekarang. Sebagian mahasiswa memutuskan untuk langsung meninggalkan kampus setelah acara, namun ada juga yang masih memilih mengobrol riang dengan temannya di taman-taman atau lorong fakultas dan ada juga yang memilih mengisi perut terlebih dahulu di kantin sebelum pulang. “Mau langsung pulang? “tanya Bahia. “Aku mau salat dzuhur dulu. Baru setelah itu pulang. Kamu mau langsung pulang? “ “Hem. Aku ikut kamu deh, aku salat di sini aja. Lagian supir aku juga belum jemput, aku pikir acaranya selesai abis ashar.” Kampus ini benar-benar memfasilitasi mahasiswanya dalam beribadah terkhusus agama Islam. Setiap fakultas memiliki ruangan khusus yang di jadikan mushola. Ruangan itu bisa di gunakan jika mahasiswa terburu-buru dan tidak sempat melaksanakan salat di masjid utama di depan kampus. Rata-rata mahasiswa lebih suka salat di mesjid kampus. Di sana lebih luas dan juga ramai, selain itu, di sana juga bisa bertemu dengan mahasiswa dari fakultas lain. Hal ini bisa di jadikan ajang silaturrahmi dan saling mengenal. Namun Azzura dan Bahia lebih memilih melaksanakan salat di fakultas sastra. Tempatnya tidak terlalu luas dan juga ramai. Azzura sebenarnya tidak terlalu suka keramaian. “Zur, kamu lapar gak ?” tanya Bahia setelah keduanya selesai menunaikan salat dzuhur. “ Kamu lapar? “tanya Azzura balik. Bahia mengangguk kecil seraya memamerkan deretan gigi putihnya. Gadis berkerudung panjang itu juga mengusap-usap perutnya yang rata. “Katanya di kantin fakultas sebelah, ada mie ayam yang rasanya enakkkkk banget. Ke sana yuk.... “ “Hem. Ayo....” Kedua gadis itu melangkah menuju kantin fakultas sains yang kebetulan tidak terlalu jauh dari fakultas mereka. Hanya butuh sekitar lima menit untuk sampai ke sana. Azzura dan Bahia beruntung kantin tidak dalam keadaan ramai hingga keduanya tidak payah mengantri untuk mendapatkan semangkok mie ayam dan segelas teh hangat. Keduanya memilih duduk di pinggir kanan. Selagi menunggu pesanan, Bahia bercerita bahwa ia merindukan pondok. Waktu itu ia ingin kembali mondok, tapi kedua orang tua Bahia melarangnya karena alasan Bahia yang hampir setiap hari jatuh sakit. Azzura ingat betul memang hampir tiap hari, ia menemani Bahia yang takut tidur di klinik pondok sendirian. Satu tahun itu masa tersulit yang Bahia lewati di pondok tapi meskipun begitu Bahia tidak pernah mengeluh dan menampakan kesedihannya, ia selalu tersenyuman dan ceria. Azzura salut pada sifat gadis bertubuh mungil itu. “Bahia! “ seru seorang pria. Meski nama Bahia yang di sebut Azzura reflek ikut menoleh. Pria yang memanggil Bahia berjalan menghampiri mereka. “Kenapa kamu gak pakai jam pendeteksi detak jantung ?” tanyanya tajam. Bahia memutar bola matanya, seolah malas mendengar pertanyaan itu. “Tadi aku salat. Jadi aku lepas.” “Seharusnya kamu pasang lagi, hal-hal kecil juga harus selalu di perhatiankan,” sahut pria itu, pria itu sempat melirik kearah Azzura. Sepertinya ia baru menyadari kehadiran Azzura di sana. “Mulai besok aku akan pindah jurusan,” katanya sebelum pergi. Bahia menghela nafas panjang. Ia tersenyum kecut menatap kepergian pria itu. “Maaf....” Bahia tersenyum, canggung. “Namanya Aariz, dia sahabatku sejak kecil. Dia orangnya baik, ia hanya cemas keadaan ku. Aku memiliki penyakit jantung.” Bahia tersenyum sendu. “Karena itu fisik ku sangat lemah....” Bahia mengeluarkan sesuatu dari dalam tas mungilnya. “Dan jam ini untuk memantau detak jantung ku. Kalo dia berbunyi tandanya jantung ku yang lemah ini berdetak di luar batas normal.” “Jantungku normal.” Bahia memasang kembali jam nya. Gadis itu tersenyum lebar. “Hanya satu yang tidak aku suka dari Aariz. Dia selalu menyalahkan dirinya atas kondisiku. Hanya itu....”
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD