Perspective Manusia

2073 Words
Seperti biasa Azzura melakukan rutinitas paginya. Hari ini, kelas dimulai pukul sembilan. Azzura bisa memanfaatkan waktu luangnya untuk kembali murojah hafal Al-Qur’an nya. Masih ada waktu dua jam sebelum berangkat ke kampus. Azzura membuka mushafnya. Gadis itu membaca Al-Qur’an dengan suara pelan. Sebenarnya Azzura malu jika ada yang mendengar suaranya, karena itu Azzura lebih nyaman murojoh di sepertiga malam. Saat semua orang banyak yang terlelap. “Masyallah.....“ suara bu Nirmala menghentikan suara Azzura. “Kamu hafidzoh? “ tanya bu Nirmala, spontan. Azzura tersenyum tipis. Meski telah menghafal tiga puluh juz, Azzura masih merasa belum pantas menerima gelar penuh amanah itu. Ia hanya pendosa yang dilindungi oleh rabbnya yang maha penyayang. “Maafkan ibu. Tidak seharusnya ibu bertanya seperti itu.” Bu Nirmala merasakan keresahan Azzura dari raut wajah gadis itu yang seketika berubah. Hal terpenting dari penghafal Al-Qur’an, bukan seberapa banyak yang kita hafal tapi seberapa banyak Al-Qur’an sampai ke hati kita. “Nak, Ibu butuh bantuan mu untuk mengajar di mushola selepas magrib. Banyak para Ibu-ibu yang ingin belajar mengaji. Bu Widy yang biasanya membantu Ibu, baru saja melahirkan. Jadi beliau bum bisa ngajar. "Apa kamu mau, Nak? “ “Masyallah... mau Bu...” Azzura tersenyum lebar. Jelas ia sangat mau. Siapa yang tidak ingin memiliki tabungan untuk masa depan—akhirat. Ilmu yang bermanfaat dan terus diamalkan akan menjadi tabungan paling baik di masa kelak saat usia telah selesai di dunia. Amalan jariyah akan terus mengalir bak air yang deras di sungai, bahkan setelah kematian menjemput. “Tapi ini dilakukan secara gratis Nak. Ibu yang ikut mengaji rata-rata hanya memiliki penghasilan yang kecil dan cukup untuk kehidupan sehari-hari aja. Paling hanya bisa ngasih sedikit....” “Masyallah.. Azzura tidak keberatan sedikit pun meski tidak di bayar, Bu. Azzura senang masih ada orang-orang yang mau mengaji Kalam Allah. Itu sudah cukup Bu.” “Alhamdulillah... makasih ya, Nak....” Bu Nirmala meraih tangan Azzura. “Kamu gadis yang baik dan juga sholeha. “ Azzura tersenyum tipis. Ia merasa tertampar akan pujian yang bu Nirmala lontarkan untuknya. Azzura membayangkan seadanya setiap dosa mampu tampil di wajah setiap orang, barang kali semua orang tidak akan sibuk memamerkan wajah mereka. Manusia akan sibuk memperbaiki diri mereka agar dosa tidak menghiasi wajahnya. Salon-salon akhlak akan di buka, mesjid-mesjid akan menjadi tempat paling ramai di datangi muda-mudi. Andai semua itu terjadi betapa malunya Azzura. Noda hitam itu akan menujukan betapa buruknya Azzura di masa lalu. Kenapa dosa tidak terlihat? Itu semua karena kasih sayang Allah pada setiap manusia. Allah masih terus berharap suatu saat ia akan kembali. Kembali dalam pelukan dan rangkulan ilahi. Begitulah Allah selalu menyanyangi kita. Bahkan kepada sang pendosa saja Allah masih terus limpahkan rejeki dan rahmatnya. “Semoga Allah senantiasa menjaga iman, ihsan dan islam mu, nak. “ “Aamiin,” lirih Azzura tulus dari hatinya. Setelah mengatakan itu, Bu Nirmala pamit pergi. Azzura terduduk di sisi kasur. Ia menarik nafas panjang, mencoba meredam nyeri yang tiba-tiba menyerang dadanya. Ia tertunduk malu. Malu pada sang Illahi yang selalu menutupi aib nya dengan baik. Azzura meringkuk di kasurnya, tubuhnya gemetar hebat. ‘Dret.. dret... “ Suara alarm menyadarkan Azzura. Beruntung sebelum tertidur, Azzura sudah memasang alarm. Mata gadis itu menelisik pada jam yang tergantung di dindingnya. Tiga puluh menit lagi kuliah akan di mulai. Azzura bergegas bangkit dari kasurnya. Tubuhnya sedikit limbung. Sejak kepergian bu Nirmala tadi, Azzura hanya menangis sembari murojoah hafalan Al-Qur’an nya. Gadis itu tanpa sengaja tertidur dan beruntung dering ponselnya membangungkannya. Setelah selesai merapihkan dirinya, Azzura melangkah ke luar rumah. Gadis itu mencoba meyakinkan hatinya. “Bissmilah... “bisiknya pelan, begitu kakinya mulai melangkah meninggalkan teras rumah. Gadis itu berjalan santai sembari menikmati sinar pagi matahari yang mulai terik. Nyeri kepala yang Azzura rasanya perlahan memudar. “Assalamualaikum..” sapa Dalshad dan Giffari begitu Azzura sampai di kelas. Kedua mahasiswa itu, sudah duluan berada di kelas. Keduanya tanpa sedangkan membahas sesuatu saat Azzura masuk. “Waalaikumsalam.. “sahut Azzura pelan. Gadis itu memilih duduk dengan jarak satu bangku kosong di sebelah Giffari dan Delshad. “Ana dengar ada mahasiswa baru yang pindah jurusan ke sini...,“kata Giffari . Dahi Delshad mengernyitkan. “Oh jadi boleh ya? Kalo gitu ana mau pindah jurusan juga deh.. “ “Loh kenapa? “ “Ana, gak nyaman di sini banyak cewek. Ana belum terbiasa,” tutur Delshad. Pria ini memang tumbuh dan besar di pondok hingga sulit baginya untuk iktilab dengan perempuan. Giffari menepuk pundak Delshad. “Ente jangan gitu dong. Masa kalah sebelum perang. Masa karena takut bertemu cewek, ente jadi mau mundur. Katanya mau jadi alih sastra yang islami kayak...... “ “Iya sih, tapi... “ “Ya, intinya anggap aja semua ini ujian baru buat kamu. Selama ini kan kamu selalu di jalur aman nih, nah sekarang kita pake jalur yang cepet ke surga. Kita harus menegakan syariat di tengah semua keumuman ini. Bukannya setiap gerak-gerik, perkataan dan perbuatan seorang muslim itu adalah dakwah. Nah kita bisa sekalian dakwah di sini Shad, kita bisa contohin dan kasih tahu mereka mengenai menjaga pandangan terhadap yang bukan mahrom. Duta islam, Shad ....“ “Mereka mungkin gak seberuntung kita untuk belajar lebih dalam tentang Al-Qur’an dan hadis. Maka ini jadi tugas kita yang sudah di amanatkan ilmu oleh Allah SWT. ” Delshad mengangguk setuju. “Wah kamu ternyata bisa bijaksana juga....,” gurau Delshad yang langsung mendapat bertubi-tubi timpukan kertas dari Giffari. “Ampun Giff.. kamu lupa, setiap perilaku muslim itu dakwah. Kamu mau, aksi mu ini di tiru yang lain?" " Menyakiti sesama saudara itu dosa loh...” “ Astagfirullah... maaf, ana khilaf Shad. Habisnya kamu sih mancing .... Astagfirullah.... “ Giffari mengusap dadanya pelan sebagai bentuk dari penyesalannya. “Eh, ada dosen... “teriak salah satu mahasiswa yang baru saja masuk ke kelas. Mendengar kata dosen semua bergerak cepat. Dalam sekejap, kelas sudah rapi dan kondusif. “Assalamualaikum, semua... “sapa dosen berusia sekitar empat puluh tahun itu. “Waalaikumsalam.. “sahut mahasiswa tidak sekompak murid di jenjang sekolah. Mereka menjawab secara individu dan nyaris tidak beraturan. Ada yang menjawab dengan suara lantang, ada yang bersuara pelan dan ada yang hanya menjawabnya dalam hati. “Baiklah. Karena ini kelas pertama kita, bapak akan memperkenalkan diri bapak dulu. “ Azzura menyimak setiap informasi mengenai dosennya itu. Dosen itu bernama pak Hadi. Pak Hadi merupakan orang yang humoris terlihat sejak tadi banyak jokes cerdas dan menghibur kala sesi perkenalannya. “Baiklah, sekarang giliran kalian yang memperkenalkan diri. Nama, asal kota, dan asal sekolah. “ Mata Azzura menyapu ke seluruh kelas. Ia mencari Bahia. Gadis itu tidak ada di kelas dan Azzura baru menyadarinya. Azzuar meraih ponselnya di dalam tas. Rupanya ada banyak pesan masuk dari Bahia. Bahia mengatakan bahwa ia kemungkinan telat untuk sampai ke kampus . Bahia memohon untuk di informasikan pada dosen, bahwa ia kemungkinan telat. “ ‘Maaf baru balas. Aku tadi udah bilang ke dosen kalo kamu sedikit telat karena macet. Tenang aja, Pak Hadi, baik kok... dia juga memaklumi kondisi yang kamu hadapi.’ ‘Syukurlah. Alhamdulillah. Aku udah cemas, mendapat dosen yang sangat tidak mentolerin kata telat.’ —pesan Bahia. Azzura tersenyum. Gadis itu lalu kembali menyimpan gawenya ke dalam tas. Sebentar lagi namanya akan di panggil. Azzura sangat gugup. “Azzura Jannah, “ panggil pak Hadi. Azzura bangkit. Ia semakin gugup. Tiga tahun di pondok membuat Azzura belum terbiasa dengan kehadiran kaum adam. Gadis itu malu, namun Azzura sebisa mungkin menyembunyikan kegugupannya itu. Ia mulai memperkenalkan diri. “Pak, boleh nanya sesuatu gak ? ...” seorang mahasiswa mengangkat tinggi tangannya. Pak Hadi mengangguk, memperbolehkan. “Tipe seperti apa sih yang sebenarnya bisa dikatakan lelaki beriman? “ Kening Azzura mengerut. Jelas pertanyaan ini sangat jauh keluar dari topik perkenalan dirinya. Azzura ingin menjawab pertanyaan itu. “Pak, apa saya boleh menjawab pertanyaan itu ?” tanya Azzura sopan pada dosennya. Pak Hadi tersenyum seraya mengangguk. “ Seorang pria dikatakan beriman jika ia......... “ **** “Huft...” Bahia menghela nafas panjang. Wajah gadis itu terlihat masam. “Rumah aku kejauhan. Aku bisa telat terus kalo kayak gini.” Bahia menenggelamkan wajahnya ke dalam lipatan tangannya di atas meja. “Azzura... tempat kosan mu masih ada gak? “tanya Bahia. Gadis itu kini mengangkat kepalanya setelah selesai dengan kemarahannya sendiri. “Di rumah bu Nirmala, masih ada kamar kosong gak?” “Eh—“ “Aku mohon Azzura. Aku gak bisa telat terus.. “Bahia memasang pupil eyes. Gadis itu mengiba. “Aku juga bisa kok bantu-bantu. Aku gak masalah tidur di mana aja... “tambahnya. Azzura bingung. Ia tidak tahu harus menjawab apa pertanyaan Bahia. Di satu sisi ia senang jika Bahia ikut tinggal di sana. Tapi di satu sisi ia tidak memiliki hak apa pun untuk mengizinkan Bahia tinggal di sana. “Aku mohon, Azzura... “ “Hem.. baiklah akan aku tanya pada Bu Nirmala. Tapi kamar di sana sangat kecil, apa tidak berpengaruh pada penyakit jantung mu? “ Bahia tertawa kecil mendengar pertanyaan polos Azzura. “Aku sakit jantung, Zur. Bukan sakit asma.. “kata gadis itu seraya tersenyum manis, senyum Bahia rupanya menular. Azzura spontan ikut tersenyum. “Mana jam tangan kamu? “ tiba-tiba suara itu mengintrupsi keduanya. Terlihat Aariz yang baru datang masih dengan tas yang bertengger di pundaknya. “Telat juga? “ Bahia menatap ransel itu. Aariz mengangguk sekilas. “Wah... kayaknya kamu harus cari tempat kosan juga deh, atau tiap hari bakal telat terus,” saran Bahia. Aariz hanya menghela nafas panjang. “Kamu gak lupa pakai jam itu kan? “ulang Aariz. Bahia mengangguk. Menunujukan jam itu pada Aariz. “Nih... “ “Bagus kalo gitu.” Setelah mengatakan kalimat itu, Aariz langsung pergi mencari kursi kosong. Pria itu melangkah ke ujung di barisan paling depan. Hanya kursi di bagian depan yang masih kosong. Bersebelahan dengan kursi Giffari dan Delshad. Giffari dan Delshad belum tampak di kelas. Keduanya masih menikmati masa istirahatnya. Sedangkan Aariz, pria itu tampak kelelahan karena lamanya perjalanan di tambah jalanan yang macet. Sesampainya di kursi Aariz langsung menenggelamkan wajahnya ke dalam tumpukan tangannya. Tidak lama terdengar suara nafas teratur. Sepertinya ia tertidur. “Eh tahu gak, di kelas ini ternyata ada three most wanted,” bisik seorang gadis di belakang Azzura. Azzura tidak sengaja mendengarnya. “Serius?” “Iya. Dia baru aja masuk, tadi kayaknya telat gitu. Namanya Aariz. Itu tuh pria yang duduk di depan itu.. “ “Duh, jadi penasaran mau liat wajahnya. Setampan apa sih sampai bisa di sandingkan sama Giffari dan Delshad.” Azzura menghela nafas panjang, perbincangan gadis-gadis itu sedikit menganggu konsetrasi Azzura pada buku yang tengah ia baca. “Stsststt... Giffari dan Delshad datang tuh..” ujar mereka pelan. “Gif, coba kamu liat penampilan aku, ada yang aneh ya? Kenapa dari tadi cewek-cewek senyam-senyum pas liat ana? “ tanya Delshad polos. Giffari mengamati penampilan Delshad dengan cermat. Giffari dan Delshad datang dengan rambut yang tersugar basah serta wajah yang menyisahkan bulir-bulir air. Kedua pria itu tampaknya baru saja selesai melaksanakan salat sunah di mushola falkultas. “Gak ada yang aneh tuh....” jawab Giffari setelah memperhatikan penampilan Delshad selama lima detik. “Terus kenapa dong? “tanya Delshad. “Udahlah positif thinking aja. Mungkin mereka cuman mau senyum aja. Senyum itukah ibadah.” “Iya, tapi gak senyum ke yang bukan mahromnya juga kali Gif. Itu namanya dosa,” sahut Delshad. Keduanya terlalu asik bercerita hingga tidak menyadari kehadiran Aariz. “Atau mungkin mereka mau ibadah bareng kamu kali, Shad...” Giffari cekikikan. “Apaan sih ente... “ Pipi Delshad memerah. Jika sudah membahas mengenai kaum hawa, Delshad mundur. Pria itu belum siap mental untuk mengenal ‘para hawa' dengan segala hiruk pikuknya. Terlebih lagi Delshad takut jika ia salah langkah, bukannya wanita adalah sumber fitnah terbesar? “Lagian ente. Menjaga jarak dari wanita itu boleh, tapi jangan berlebihan. Kesannya kayak ente, anti wanita. Memangnya ente mau nikah sama kucing? “ Mata Delshad membulat sempurna. Pria itu baru hendak membalas perkataan Giffari namun suara Aariz mengintrupsi suara Delshad. “Maaf. Saya sedang beristirahat. Tolong kecilkan suaranya,” tegur Aariz. Aariz mengangkat kepalanya. Ia sangat terganggu dengan suara kedua manusia itu. “Eh, maaf.....“ Delshad buru-buru mengatakan itu. Aariz hanya mengangguk sebagai bentuk dari memaklumi. “Eh, ente yang mahasiswa pindahan dari fakultas sains itu’kan ?” celetuk Giffari. Aariz mengangguk seraya memaksa senyum terbit di wajah lelahnya. Ia ingin kembali tidur sebelum jam istirahat berakhir. “Eh, ente, namanya siapa? “ “Aariz,” jawab Aariz seadanya. “Aku Giffari dan ini Delshad. Salam kenal ya. Semoga kamu betah di sini. “ Aariz tersenyum tipis. Matanya sangat berat untuk dipaksa terbuka. “Eh, tapi, apa sih alasan ente sampai pindah ke jurusan ini? Padahal kan masuk sains gak gampang,” lanjut Giffari. “Atau jangan-jangan ente pindah ke sini karena ada pacar, ente ya?” gurau Giffari. Aariz menyerah. Ia sangat mengantuk. Pria itu kembali menenggelamkan wajahnya di dalam tumpukan tangannya. “Aku pindah ke sini karena dia,” kata Aariz pelan, tangannya menuju ke arah Bahia dan Azzura. Setelah mengatakan itu, Aariz langsung tertidur. Delshad dan Giffari sontak menoleh ke arah telunjuk Aariz. Kedua pemuda itu tampak tidak percaya. Azzura yang merasa di perhatian langsung menoleh ke arah kedua pria itu. “Astagfirullah... “ Delshad dan Giffari segera menudukan pandangannya. “Ana jadi makin takut deh... di sini godaan besar Gif... “ Giffari mengangguk. Kali ini ia setuju.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD