3. Charlisa Amelia

2174 Words
Jarum jam menunjukkan pukul dua siang. Seorang perempuan bersurai hitam sebahu sedang duduk di stasiun MRT yang ada di Lebak Bulus, Jakarta. Perempuan itu memakai celana kulot berwarna hitam dan kaus lengan panjang berwarna merah dilengkapi dengan sneakers, slingbag berwana cokelat yang ia sampirkan di bahunya. Perempuan itu sesekali melihat ke arah papan jam digital yang menunjukkan waktu kedatangan kereta yang ia tunggu. Ia menghela napas sambil menatap keadaan sekelilingnya, cukup ramai untuk jam kantor seperti ini, pikirnya. Ia menyampirkan rambutnya ke belakang telinga sambil mengotak-atik smartphonenya. Ia membuka kolom chat w******p. Tak lama, sebuah panggilan masuk ke smartphonenya. Ia langsung menggeser tombol hijau begitu mengetahui siapa yang meneleponnya. "Halo, asssalamu'alaykum." "Wa'alaykumussalam. Kamu lagi dimana, Lisa?" tanya sang penelepon yang ternyata seorang lelaki. "Aku lagi jalan-jalan, Aa. Ini masih nunggu kereta MRT." "Loh, kok naik MRT? Tumben? Biasanya juga naik commuter line?" "Yah, gak apa-apa atuh, ini kan hari terakhir Lisa di Jakarta. Lisa mau naik MRT buat yang terakhir, hehe. Sekali-kali jalan naik MRT gak apa-apa kan? Sebelum pulang besok," ucap Lisa sambil tersenyum. Lisa memang sengaja jalan-jalan sendiri menikmati pemandangan dan hiruk pikuk Jakarta sebelum ia pulang besok. "Kamu udah yakin sama keputusan kamu?" "Iyalah, A. Aku udah resign dari kantor kemarin, mau tinggal sama Aa dan bapak aja di desa." Lisa memang anak piatu. Ibunya meninggal ketika melahirkannya. Kini, ia hanya mempunyai kakak lelaki yang bernama Dimas dan bapaknya yang tinggal di desa. Saat sedang asyik bertelepon, kereta yang Lisa tunggu akhirnya datang. Ia pun segera bangkit dari duduknya dan menunggu di pintu otomatis yang akan terbuka ketika nanti kereta datang. Ia masih melanjutkan telepon dengan Dimas. "Gak sayang tah kamu, Lis? Kuliah tinggi-tinggi S-2, malah pulang kampung." Lisa tak menjawab pertanyaan Dimas karena buru-buru masuk ke dalam kereta dan fokus mencari bangku yang masih kosong. "Halo, Lisa? Kamu masih di sana?" tanya Dimas khawatir karena tidak mendapatkan balasan dari adiknya itu. "Iya, A, bentar tadi aku naik keretanya dulu." Setelah mendapatkan posisi duduk yang nyaman, ia kemballi melanjutkan percakapannya dengan kakaknya. "Jadi, gimana? Kamu udah yakin sama keputusan kamu?" Lisa hanya tersenyum menanggapi kakaknya itu. Senyum yang jelas-jelas tidak bisa dilihat oleh Dimas. "Ya udah dong Aa, aku udah resign juga kemarin. Kenapa sih, kok Aa kayaknya ragu gitu sama keputusan aku?" "Ada apa sih, Lisa? Aa bingung sama kamu. Dulu kamu yang keukeuh pengen sekolah tinggi biar bisa kerja kantoran dan tinggal di kota, ya, kan? Kenapa tiba-tiba pulang kampung kayak gini?" Lisa kembali tersenyum miris mendengar ucapan Dimas. Iya, Dimas memang benar. Keinginannya dulu adalah sekolah tinggi dan bisa kerja kantoran di kota seperti sekarang karena ia tidak ingin tinggal di desa bersama Dimas dan bapaknya. Sejak SMP, Lisa sudah dititipkan oleh bapaknya pada bibinya yang tinggal di Jakarta. Bibinya itu belum menikah hingga sekarang. Alhasil, Lisa hanya tinggal berdua dengan bibinya di Jakarta. Sejak saat itu, Lisa merasa bapaknya tidak sayang lagi padanya ditambah hubungan Lisa dan bapaknya memang tidak begitu baik dan dekat layaknya hubungan bapak dan anak perempuan yang biasanya dekat. Lisa merasa hanya Dimaslah yang menyayanginya. Maka, mulai saat itu ia bercita-cita untuk sekolah tinggi agar bisa tinggal di kota, sekaligus menunjukkan pada bapaknya kalau ia juga bisa hidup sendiri dan sukses. Tetapi, lagi-lagi manusia hanya bisa berencana. Allah juga yang menentukan semuanya. Setelah beberapa tahun bekerja, Lisa memutuskan untuk resign dan kembali pulang ke desanya. Sebenarnya ia juga rindu pada desanya, kampung halamannya. Tetapi, mengingat sikap dingin bapaknya, ia jadi enggan pulang. Tetapi sekarang, ia sudah menguatkan mentalnya menghadapi apa pun nanti, termasuk sikap dingin bapaknya. Lisa akan coba tidak peduli. Ia juga terpaksa melakukan ini, karena ia butuh waktu dan suasana baru untuk menyembuhkan luka hatinya. Entah kenapa, pilihannya jatuh pada pulang ke desanya, bukan pergi ke tempat lain. Mungkin nanti kalau ia tidak sanggup menghadapi sikap acuh dan dingin bapaknya, ia bisa mencari kontrakan di desa itu dan tinggal sendiri. "Ya gak apa-apa atuh, A. Emang kalo aku lulusan S-2 gak boleh tinggal di desa? Atau Aa gak suka yang aku pulang?" "Eh lain kitu, geulis. Aa mah seneng pisan kamu pulang teh. Aa Cuma khawatir sama kamu dan bapak. Terus sayang aja sih, kamu bisa kerja kantoran kenapa mesti berhenti?" "Ilmu mah bisa diamalin dimana aja A, Mungkin nanti aku bisa buka usaha pa gitu di desa pake uang tabungan aku sekarang." "Rek usaha naon? Orang desa mah jadi petani semuanya." "Ya mungkin nanti aku juga bisa jadi petani, petani modern yang cantik dan mempesona," Lisa terkekeh sendiri mendengar ucapannya yang bergitu percaya diri. "Iya, adek Aa teh emang geulis, nanti lamun balik ka dieu langsung jadi kembang desa nu diperebutkeun lalaki." Lisa dan Dimas tertawa bersamaan. "Eh tapi moal nya? Da geus aya si Revan, kabogoh Lisa." (Eh, tapi am mungkin ya? Kan udah ada Revan pacar kamu). Raut wajah Lisa langsung berubah mendengar nama Revan disebut oleh kakaknya. "A, jangan sebut-sebut nama dia lagi ya." "Kunaon kitu? Kamu putus ya sama Revan?" tanya Dimas. "Hmm ... iya, A," jawab Lisa lesu. "Lah jadi karena itu kamu mau pulang kampung? Kok bisa kalian putus? Udah lama pacaran dari SMA loh, kirain Aa dia bakal ngelamar kamu." Dimas mencecar Lisa dengan banyak pertanyaan. "Panjang ceritanya, A. Nanti aku ceritanya kalo aku udah sampe rumah aja, ya? Gak bisa lewat telepon ceritanya." "Hmm ... yaudah lah, Aa tunggu kamu pulang aja," ucap Dimas lelah menghadapi sifat keras kepala adiknya yang sama persis dengan sang bapak. "Iya, A. Kabar Teh Meli dama Daffa dan Diva gimana?" tanya Lisa menanyakan kabar kakak ipar dan dua keponakannya. "Alhamdulillah mereka baik, kamu gak nanyain kabar bapak?" "Hmm ... pasti lelaki itu sehat kan, A?" "Bapak, Lisa. Lelaki itu teh bapak kamu." "Iya, secara biologis memang, tapi gak tahu deh. Aku selama ini gak ngerasa seperti punya bapak," ucap Lisa sedih. "Hus, ngomong naon kamu teh?" "Udah A, aku mau nikmatin suasana Jakarta yang terakhir ya. Salam buat Teh Meli geulis sama Dafa, Diva. Sampai jumpa besok. Assalamu'alaykum." "Yeh dasar si Eneng mah, sok kitu wae lamun ngomongkeun bapak (suka begitu kalau ngomongin bapak). Wa'alaykumussalam. Hati-hati di jalan. Jangan pulang kemaleman, bahaya." "Siap, bos!" Lisa segera mengakhiri panggilannya dan memasukkan smartphonenya ke dalam tas. Ia melihat ke jendela kereta yang gelap meski masih siang karena tanpa ia sadari MRT yang ia tumpangi telah masuk dalam lintasan subway. Ia melihat ke arah petunjuk digital yang ada di atas pintu kereta. Dua stasiun menuju stasiun terakhir yaitu Bundaran HI. Ia memutuskan akan turun di sana saja. Meski begitu, ia sudah bangkit dari duduknya dan berdiri di depan pintu kereta. Setelah keluar kereta ia baru memutuskan tujuannya. Sebenarnya ia tidak punya tujuan tentu tadi ketika berangkat. Ia hanya butuh sedikit refreshing dari masalah yang banyak menimpanya akhir-akhir ini sambil mengenang ibu kota ini. === "Sa, Lisa! Buka pintunya, Sa!" ucap seorang lelaki sambil mengetuk pintu tanpa aba-aba salam. Lisa yang sedang membereskan baju dan perlengkapan lainnya ke dalam koper menghentikan kegiatannya. Ia menghela napas panjang mendengar suara lelaki itu lagi. Mau ngapain lagi sih niih cowok? Batin Lisa. Lisa keluar kamar dengan malas dan segera membuka pintu rumah bibinya. Ia segera keluar lalu menutup pintu di belakangnya. Lisa sudah sangat malas menghadapi lelaki ini. Ia tidak mengizinkan Revan masuk karena bibinya yang menjadi pegawai tata usaha di sebuah sekolah swasta sudah berangkat kerja. "Mau ngapain lagi sih, Van?" tanya Lisa malas. "Kamu gak bisa ngasih kesempatan kedua buat aku, Sa?" "Gak, Van. Maaf. Gue gak bisa ngasih kesempatan buat lo." "Terus hubungan kita selama ini, kamu anggap apa, Sa?" "Harusnya gue yang bilang begitu sama lo, Van. Bertahun-tahun kita pacaran, lo tega banget khianatin gue! Lo gak mikir apa gimana perasaan gue?" tanya Lisa kesal. Lisa berusaha sekuat tenaga menahan air matanya agar tidak jatuh di depan lelaki yang bernama Revan ini yang statusnya sudah berubah dari pacar menjadi mantan pacar. Satu-satunya lelaki yang menjadi mantan pacar Lisa. Karena Lisa hanya pernah pacaran dengan Revan sejak SMA meski harus putus sambung. Tetapi kali ini, Lisa tidak terima pengkhianatan yang dilakukan Revan kepadanya. Perasaan cinta yang sudah ia pupuk bertahun-tahun hancur sudah. Padahal, karena Lisa tinggal jauh dari bapak dan kakaknya, Lisa sudah menganggap Revan sebagai bapak, kakak, teman dan kekasih. "Ck, aku minta maaf, Sa." "Oke, gue maafin lo kalau itu yang lo minta." "Apa? Yang bener, Sayang? Jadi kita balikan?" Lisa merasa jijik dan mual mendengar panggilan 'sayang' dari Revan untuknya. "No! Gue emang maafin lo, tapi gak buat balikan." "Ya ampun Sa, udah berapa kali sih kita putus nyambung. Masa kamu gak mau ballikan lagi?" "Gue gak mau balikan kalau putusnya kita itu karena lo nyeleweng, Van! "Ya ampun! Lisa gue gak ada hubungan apa-apa sama Nita." "Gak ada hubungan apa-apa terus lo berdua ciuman gitu?" Lisa menahan perih di hatinya kala harus melihat pemandangan menjijikkan antara Revan dan atasannya itu. Revan dan Lisa memang satu kantor. Mereka sudah bersama sejak SMA, kuliah hingga satu kantor. Awalnya mereka hanya menjalin pertemanan, tetapi karena suatu hal yang terjadi di masa lalu, pandangan Lisa pada Revan yang awalnya sebagai seorang teman menjadi berubah. Revan yang sudah lama menyukai Lisa pun akhirnya memberanikan diri meminta Lisa menjadi pacarnya. Akhirnya mulai saat itu, mereka menjadi sepasang kekasih. "Enak banget lo bilang gak ada hubungan apa-apa?" Revan mulai kesal menghadapi Lisa. Tak lama ia memamerkan evil smirk nya. "Kamu gak inget pertolongan aku ke kamu waktu itu? Hmm ... apa jadinya ya kalau aku gak nolong kamu waktu itu?" Deg! Tubuh Lisa jadi menegang ketika Revan mengingatkannya akan hal itu. Ia tidak suka diingatkan bahwa dia mempunyai hutang budi pada Revan. Lisa ingin segera masuk rumah meninggalkan Revan, tetapi ia kalah cepat. Revan terlebih dahulu mencekal tangannya dan menyudutkannya ke dinding teras. "Ka ... kamu mau apa?" ucap Lisa gugup. Meski ia cinta pada Revan, tetapi ia tidak suka berada pada posisi terlalu dekat seperti ini. "Lagian, kamu pikir aja sendiri. Kita udah pacaran bertahun-tahun tapi aku gak pernah bisa nyentuh kamu!" ucap Revan penuh penekanan. "Sekedar aku cium aja kamu gak mau!" Memang, meski berpacaran, Lisa masih memegang teguh prinsip tidak mau disentuh oleh Revan, termasuk hanya sebatas cium pipi. Lisa kira Revan bisa menghargai prinsipnya itu, tetapi ternyata Revan malah berkhianat di belakangnya. "Kan kamu bisa lamar aku dan kita nikah." "Ck ... ck," Revan menggelengkan kepalanya. "Aku masih mau ngejar karir dulu, Lisa. Kamu juga tahu itu, kan? Lagian, kamu juga gak pernah ngenalin aku ke keluarga kamu." "Ya tapi kan kalau serius aku bisa ngenalin kamu ke mereka." Lisa hanya menceritakan Revan pada Dimas. Revan hanya menatap Lisa tajam. Lalu ia mencoba untuk mencium bibir Lisa. Lisa berontak agar ia lepas dari Revan. Revan tak bergeming. Akhirnya terpaksa Lisa menendang s**********n Revan hingga ia mengaduh kesakitan dan melepaskan Lisa. Lisa juga langsung menyikut punggung Revan. "Jangan lo pikir gue sudi balikan ya, Van. Masih untung lo gak gue kasih jurus pencak silat gue!" Meski seorang perempuan, Lisa menguasai jurus-jurus pencak silat yang ia pelajari sedari SMA hingga kuliah. Lisa pikir ia harus bisa melindungi diri sendiri, apalagi ia tinggal di ibu kota tanpa ada keluarga lelaki yang mendampingi. Lisa langsung membuka pintu dan masuk ke rumah dengan menguncinya meninggalkan Revan yang menegerang kesakitan akibat perbuatannya tadi. Ia bersender pada pintu sambil menahan tangis. "Lisa, pokoknya kamu gak bisa lepas dari aku. Lihat saja!" Lisa mengabaikan ucapan Revan dan bergegas menuju kamarnya kembali membereskan kopernya. === Bibinya melepas kepergian Lisa penuh haru. Bibi Lisa yang bernama Bi Ratih itu sudah menganggap Lisa seperti anak sendiri. Bi Ratih adalah adik mendiang ibu Lisa. Sehabis zuhur, Bi Ratih mengantarkan Lisa ke terminal dengan menggunakan sepeda motor. "Lisa, kamu kalau ada apa-apa cerita ke Bibi ya, Sayang?" "Iya, Bi. Oh ya, jangan bilang Revan kalau aku pulang kampung ya, Bi." "Iya. Kamu gak apa-apa bibi tinggal?" "Iya bibi balik lagi aja ke sekolah, Lisa kan udah gede, Bi." "Yaudah hati-hati ya." Bi Ratih meninggalkan Lisa sendirian di terminal. Lisa membawa sling bag kecil, tas ransel dan satu koper berukuran sedang. Ia mencari bis tujuan Bandung. Tetapi sebelum itu ia memutuskan untuk ke toilet karena ia ingin buang air kecil. Seteah ia selesai dari toilet, ia mendengar teriakan meminta tolong. Ia pun mencari asal suara dan melihat beberapa orang preman sedang menggoda seorang gadis berjilbab. Entah kenapa, di sekitar toilet ini sepi. "Heh kalian! Pergi! Jangan ganggu cewek ini!" bentak Lisa dengan berani. "Wuih, kamu mau ikut main sama kita, Cantik?" goda salah satu preman. Perempuan berjilbab tadi langsung berlari ke belakang Lisa, meminta perlindungan. "Jangan ikut campur ya lo! Cewek ini gak mau ngasih duitnya ke kita!" "Yaiyalah, mana ada orang mau dipalak! Pergi lo semua, atau gue teriak!" ancam Lisa. "Teriak aja! Terminal ini daerah kekuasaan kita! Lo gak bisa apa-apa di sini!" ucap seorang preman sambil mengacungkan pisau kecil. Lisa langsung menendang tangan preman itu hingga pisau itu terhempas dari tangannya. Lisa mengeluarkan jurus pencak silatnya yang ia kuasai. Perempuan berjilbab yang melihat perkelahian Lisa dengan preman pun berteriak minta tolong dengan keras. Perempuan itu menjerit saat salah satu preman mengambil pisau kecil yang jatuh dan berusaha melukai Lisa. "Teh, awas!" Tapi terlambat, pisau itu sudah melukai tubuh Lisa. "Argggh!"
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD