2. Nostalgia dan Janji Faraz

2076 Words
Faraz langsung keluar kamar begitu selesai salat. Ia memegangi perutnya yang masih terasa sedikit sakit. Efek makan indomi pedas langsung terasa. Ia sudah tiga kali bolak balik kamar mandi untuk mengeluarkan isi perutnya. Ia melangkah menuju meja makan dengan pelan. Abah dan ambunya menatap anak semata wayang mereka dengan tatapan heran. Meja bundar yang dikelilingi empat kursi makan itu sudah penuh dengan berbagai jenis makanan yang menggiurkan seperti yang diceritakan oleh Mang Karman tadi. Awalnya juga Faraz sangat bernapsu, tetapi sakit perut yang dideritanya telah melenyapkan napsu makannya. "Abah," Faraz menghampiri abahnya yang bernama Ramli Hendrawan, lalu memeluknya dengan rasa sayang. Lelaki yang tampangnya sebelas dua belas dengan Faraz langsung membalas pelukannya. Ketika melihat dua lelaki beda generasi ini, orang pasti akan berpikir Faraz adalah Ramli versi muda dan Ramli adalah Faraz versi tua. Abahnya ini masih saja gagah meski usianya sudah memasuki kepala lima. Kulitnya yang sawo matang dan tangannya yang kasar karena sering membantu langsung petani di lahan tak sedikit pun mengurangi ketampanan dan kegagahannya. Faraz mencium tangan abahnya lalu segera menarik kursi di sebelahnya untuk duduk. Ia langsung menyeruput teh yang ada di hadapannya. Pahit. Oh ya, ia lupa kalau sekarang ia berada di tanah Sunda. Mustahil ia menemukan teh manis hangat terhidang di mejanya. Keluarganya yang keturunan sunda asli pasti lebih menyukai teh tawar. Padahal ia berharap mendapat teh manis hangat untuk mengembalikan energinya yang terkuras karena bolak balik kamar mandi. Abah dan ibunya sudah menyantap makanannya masing-masing. Faraz menatap makanan yang terhidang di meja makan. Ada sayur asem, ayam goreng lengkuas, semur jengkol, pete bakar, aneka lalapan, tahu tempe bacem, sambal terasi, tumis kangkung dan juga boboko (bakul nasi) berisi nasi liwet. Ibunya menatap heran ke arah Faraz. "Ayo dong kasep, Aras anak Ambu, dimakan tuh lauknya. Jangan dilihatin doang, gak bakalan kenyang." Abah dan ambu Faraz memang mempunyai panggilan khusus untuknya, yaitu Aras. Panggilan itu diberikan untuknya karena abah dan ambu yan orang sunda asli tidak bisa melafalkan "f" dan "z". Mereka akan memanggil dengan sebutan "Paras". Entah kenapa meski tidak melafalkan dua huruf tersebut secara sadar, orang tuanya tetap memberi huruf itu pada namanya. Sudahlah, Faraz tidak mau ambil pusing. Akibatnya saudara dan tetangga rumahnya juga ikut memanggilnya dengan panggilan Aras. Hanya Mang Karman satu-satunya yang bisa memanggil namanya dengan ejaan yang benar. Faraz juga heran dengan sopir abahnya itu. "Iya, Ambu." Faraz langsung mengambil piringnya, lalu menyendokkan satu centong nasi liwet, mengambil sepotong d**a ayam, lalap dan sedikit sambal. Setelah membaca doa, Faraz mulai menyuapkan makanan di piring ke dalam mulutnya. Abah dan ambunya yang sudah hafal porsi makan Faraz langsung saling melempar tatapan heran. Ada yang tidak beres dengan putra mereka ini, pikirnya. "Ras, kamu gak apa-apa, Nak?" tanya ambu khawatir. "Aras gak apa-apa, Ambu. Emang kenapa?" "Tumben kamu makan sedikit, Ras," ucap Abah menimpali. "Iya, tumben makannya sedikit. Ini ambu masak makanan semuanya kesukaan kamu loh, kok makannya gak semangat gitu." Ambu merasa sedih ketika melihat Faraz yang tak bersemangat makan. Padahal seharian ini Ambu menghabiskan waktu untuk memasak semua makanan kesukaan Faraz. "Oh, atau kamu udah berubah selera ya, Ras?" tebak Ambu. "Maksud Ambu?" "Iya, siapa tahu lama tinggal di negara orang ngubah selera makan kamu. Kali aja lidah kamu sama kayak orang bule yang doyannya makan roti dan keju, Nak." "Ah, nggak kok, Ambu. Lidah Aras masih tetep cinta masakan Indonesia, apalagi masakan sunda." "Terus kenapa makannya sedikit?" "Itu ... " "Lah, udah kenyang duluan lah, Bu," ucap Mang Karman menyela. Lelaki itu tiba-tiba datang dari arah ruang tamu lalu menghampiri mereka yang sedang berada di meja makan. Faraz sudah melayangkan tatapan mengancam sekaligus memohon pada Mang Karman agar tidak menceritakan perihal mereka yang sudah makan indomi sebelum tiba di sini. Namun, Mang Karman tidak bisa diajak kerjasama rupanya. "Tadi, sebelum sampai rumah kan saya sama Den Faraz udah makan indomi di jalan. Abis katanya si aden teh udah lapar pisan, gak kuat kalau harus nunggu sampai rumah." Ambu langsung mendelik tajam pada Faraz. "Oh, jadi udah makan duluan ya tadi di jalan? Makan mi instan? Iya benar, Aras?" Faraz hanya bisa memejamkan matanya, menguatkan mentalnya agar bisa menerima kemarahan sang ibunda tercinta, sedangkan Mang Karman buru-buru menyerahkan kunci mobil pada abahnya dan langsung pamit menghindari perseteruan yang akan terjadi antara ibu dan anak. Kayaknya sengaja banget ini Mang Karman ngejahilin gue, batin Faraz. Karena sudah bekerja lama di keluarga Faraz, Mang Karman tahu semua tentang keluarganya termasuk reaksi ibunya yang akan marah ketika tahu anaknya makan mi instan di saat ia telah memasak makanan kesukaan Faraz. Makan mi instan di saat ibunya telah memasak makanan kesukaannya sama saja dengan mengibarkan bendera perang. Ambu akan sedih dan sakit hati karena merasa usahanya memasak tidak dihargai. "Maaf, Ambu," cicit Faraz merasa bersalah. Awalnya Faraz tidak menduga akan menderita sakit perut, sehingga dia berencana akan melahap semua masakan ambunya. Tapi, kenyataan tak sesuai dengan harapan. Abah yang sudah bisa menebak apa yang akan terjadi selanjutnya berusaha menengahi. "Sudahlah, Ambu. Gak usah di besar-besarkan. Mungkin tadi emang Aras kelaparan dan cuma nemu warung indomi di jalan," bela Abah. "Ck ... bela aja terus anak kesayangan abah ini. Gak ngehargain ambunya udah capek-capek masak buat dia," ucap ambu sambil menatap Faraz tajam. Meskipun ambunya dalam mode marah, Faraz tidak takut, lain halnya jika abahnya yang sedang marah. Faraz memang menduplikat hampir sebagian besar fisik dan sifat Ramli, tetapi jika harus memlilih, ia lebih baik menghadapi kemarahan ambunya daripada menghadapi kemarahan abahnya. Jika ambunya yang marah, ia hanya tinggal merajuk dan menggoda sedikit maka amarahnya langsung reda. Hati ambu memang lemah lembut, pikir Faraz. Jika abahnya yang marah, mereka berdua bisa saling mendiamkan satu sama lain hingga berhari-hari. "Jangan marah dong, Ambu. Ia bener kata Abah. Aras aja gak marah loh pulangnya Cuma dijemput Mang Karman. Masa ambu marah Cuma gara-gara indomi. Emang Ambu mau Aras maagnya kambuh gegara telat makan? Nggak kan? Jangan marah, nanti gak cantik lagi lho," Faraz berusaha meluluhkan hati ambunya. "Iya, maag kamu gak kambuh, tapi kamu sakit perut kan jadinya?" Meski ditutupi, Ambu sudah bisa menebak apa yang terjadi pada Faraz. Faraz tidak bisa membohongi perempuan yang telah melahirkannya tiga puluh satu tahun yang lalu itu. Bu Ratna Setiawaty, ambu Faraz menyentil keras dahi anak bujangnya itu sehingga Faraz mengaduh. "Dasar anak nakal!" "Awww, sakit Ambu." "Biarin, biar tau rasa kamu," ucap Ambu ketus. "Gak apa-apa deh dijitak, asalkan Ambu gak marah lagi ya?" "Udah cepet habisin makan kamu, Ras. Habis ini kamu istirahat. Besok ikut abah keliling kebun sekalian ada yang mau abah omongin, penting." "Iya, Abah." Faraz menghabiskan nasi dan ayamnya. Sebenarnya ia ingin menghabiskan semua makanan yang ada di meja tetapi ia tak sanggup karena perutnya masih nyeri. Setelah beres makan, ia kembali ke kamarnya untuk beristirahat, mengumpulkan energi bersiap menghadapi hari esok. === Saat ini ia sudah bersama abahnya mengelilingi kebun menggunakan sepeda. Sehabis salat subuh berjamaah di mesjid dan sarapan, abahnya langsung mengajaknya berkeliling kebun. Bahkan Faraz yang rencananya ingin membongkar isi koper dan membagikan oleh-oleh yang ia bawa dari Belanda pun belum sempat terlaksana. Untung saja pagi ini tidak ada kabut yang menghalangi pemandangan. Ia dan abahnya dengan semangat mengayuh sepedanya. Awalnya ia kira abahnya akan mengajak keliling kebun menggunakan mobil jeep, ternyata dugaannya salah. Abahnya malah mengajak bersepeda. Ia mengingat semua kenangan masa kecilnya di sini. Ia sering bersepeda bersama Annisa dan Asep mengelilingi kebun abahnya ini. Tak jarang mereka juga membantu para petani saat panen tiba. Faraz jadi senyum-senyum sendiri mengingat hal itu. Ia merasa beruntung bisa dilahirkan dan dibesarkan di sini. Meski orang tuanya bergelimang harta, ia tidak pernah dimanjakan dengan kekayaan abahnya. Sepanjang perjalanan, Faraz menyapa siapa pun yang ia temui, begitu juga dengan abahnya. Siapa yang tidak kenal Ramli Hendrawan di desa ini? Abahnya sangat terkenal karena punya banyak lahan perkebunan yang luas, beliau juga dulu menjabat sebagai ketua gapoktan (gabungan kelompok tani). Intinya, abahnya mempunyai pengaruh dan kekuasaan yang besar di desanya. Tetapi, hal itu tidak membuat abahnya serta merta menjadi angkuh dan sombong. Abahnya menjelaskan batas-batas lahan yang menjadi milik mereka sekarang dan tanaman apa saja yang sedang ditanam. Faraz hanya mengangguk-ngaggukkan kepalanya mendengar penjelasan abahnya. Hal yang dapat ia simpulkan adalah luas lahan abahnya bertambah dan pertanian yang dikelolanya semakin maju. Saat ini mereka sedang berhenti di pinggir kebun teh dan mengamati para pekerja kebun yang sedang memetik teh. "Abah, apa Abah maksa para petani itu buat jual lahannya ke abah? Kok lahan Abah tambah luas?" "Nggak, Ras. Kamu tahu sendiri Abah sudah merasa cukup dengan lahan warisan dari mendiang kakekmu dari abah dan ambu, juga beberapa lahan yang Abah beli sendiri." "Terus kenapa?" "Awalnya mereka kesulitan ekonomi dan akan menjual lahannya ke orang luar sini. Abah yang tahu, tidak mau hal itu terjadi. Abah tidak mau lahan orang sini dibeli oleh pihak luar dan dijadikan vila atau bangunan lainnya. Makanya abah putuskan biar abah saja yang beli. Kalau abah yang beli, lahan itu akan tetap abah gunakan untuk pertanian dan sewaktu-waktu mereka mau beli lagi lahannya, abah akan kasih dengan senang hati." Faraz kagum dengan kebaikan hati yang dimiliki oleh abahnya ini. Abahnya dulu hanya petani biasa, tetapi berkat kerja keras dan keuletannya, beliau bisa sukses dan bisa memasarkan hasil pertaniannya hingga ke supermarket dan hotel berbintang. "Ini saatnya, sesuai janji kamu dulu sebelum kuliah ke Belanda, sekarang kamu yang harus ambil alih untuk mengelola perkebunan abah ini, Ras." "Iya, Abah. Aras masih ingat kok janji Aras ke abah dan ambu waktu itu." Awalnya Faraz tidak diizinkan oleh abah dan ambunya untuk kuliah ke Belanda melanjutkan program masternya. Maklum, Faraz ini adalah anak lelaki satu-satunya dan pewaris tunggal seluruh perkebunan abahnya. Saat itu Faraz sudah resign dari kantornya dan pulang ke Bandung. Abahnya kira Faraz resign dari kantornya karena berniat untuk membantu abahnya mengelola kebun. Ternyata abahnya salah. Faraz resign karena ingin melanjutkan kuliah masternya di Belanda. Abahnya sangat sedih dan marah waktu itu. Faraz mencoba membujuk abah melalui ambunya. Akhirnya abahnya mengizinkan dengan syarat ia harus berjanji langsung pulang setelah kuliahnya selesai dan langsung menggantikan abahnya untuk mengelola perkebunan. Sekarang Faraz sudah berada di sini untuk menepati janjinya. "Ya sudah, kamu kalau masih keliling kebun sendiri aja ya. Abah mau pulang duluan." "Iya, Abah." Abah meninggalkan Faraz yang masih menikmati pemandangan kebun teh. Faraz dan abahnya mengayuh sepeda berlawanan arah. Faraz mengayuh sepedanya menyusuri jalanan desa tempat dulu ia sering menghabiskan waktu bermain bersama teman-temannya. Ia melewati SD tempat ia bersekolah dulu dan ia juga melewati sungai tempat ia pernah mandi bersama teman-temannya. Sungguh pengalaman masa kecil yang menyenangkan yang mungkin tidak bisa lagi di dapat anak-anak zaman sekarang yang lebih bermain menggunakan gadget daripada berinteraksi dengan alam. "Aras!" Kaki Faraz yang ingin mengayuh sepeda terhenti mendengar seseorang memanggil namanya. Faraz memicingkan mata menatap pemuda yang umurnya sebaya dengannya. Pemuda yang menggunakan sepeda motor itu langsung menghampiri Faraz. "Aras, masih inget teu ka urang?" (masih ingat gak sama saya?) "Asep nya? Ya Allah, Asep." "Nya, ieu teh Asep, baturan maneh." (iya, saya Asep temen kamu) Faraz dan Asep pun saling berpelukan melepas rindu. "Kumaha kabarna?" "Alhamdulillah, baik. Kamu kumaha, Sep?" "Nya kieu lah, hehe. Eleuh, geus jadi bule Belanda ayeuna mah, makin kasep nya," (Ya beginilah, hehe. Aduh, sudah jadi bule Belanda sekarang mah, tambah ganteng aja) "Tos ti mana?" (Abis dari mana) "Eh, masih tiasa nyarios sunda?" ucap Asep meledek Faraz. "Nya tiasa atuh." "Kirain, udah jadi bule mah ngomongnya was wis wus wes wos." "Bisa wae. Eh ti mana, Sep?" "Tos ti imah mitoha (abis dari rumah mertua)." "Ooh, keren lah geus boga mitoha ayeuna mah (keren lah sudah punya mertua sekarang mah)," ucap Faraz. "Nya atuh buru mangkanna geura kawin. Ulah ngajomblo wae. (Ya makanya cepetan kawin, jangan jomblo terus)" Ah, gak bapak, gak anak, dua-duanya nyuruh Faraz buat cepetan kawin. Untung saja abah dan ambunya belum menyinggung lagi soal caalon istri. Faraz merasa agak sedikit tenang belum terlalu didesak saat ini oleh kedua orang tuanya. Hmm ... calon istri ya? Faraz jadi ingat dengan Annisa. Apa kabarnya ya perempuan itu? "Hmm ... Sep, si Annisa kumaha kabarna?" "Eh? Oh si Nissa, emh kunaon kitu?" "Ya nggak, nanya doang. Kan dia temen kita juga." "Hmm ... gak tahu juga sih, Ras. Gak lama kamu pergi, si Nissa teh juga pergi dari desa ini, gak tahu kemana." "Ooh, begitu," Faraz mendesah kecewa. "Kenapa, kamu naksir sama si Nissa? Nya naksir nya?" tebak Asep. "Ah, sok tahu," elak Faraz. "Udah ah, pulang duluan ya," Faraz buru-buru mengayuh sepedanya agar tidak diledek lagi oleh Asep. "Yeh, si Aras mah, urang ditinggalkeun." (Yah si Aras mah, aku ditinggalin)
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD