Chapter 4

1134 Words
Wajah laki-laki itu seakan kehilangan ronanya, lengkap dengan bibir kering serta kantung mata. Napasnya bahkan terdengar berat dan tak beraturan, membuat Nao merasa bodoh karena baru menyadari semuanya sekarang——saat benar-benar duduk berhadapan dengan Orion. Apakah Orion sedang sakit? Nao ragu untuk bertanya, mengingat beberapa saat yang lalu ia sempat marah-marah. "Sejak kapan kamu mengenal Alfa?" Nao terperanjat mendengar pertanyaan Orion yang tiba-tiba. Apalagi saat netranya beradu dengan sorot teduh pemuda itu. Ah, iya teduh. Seperti yang selalu ia gambarkan dalam cerita karangannya. Nao mulai bermonolog, mengungkapkan kekaguman demi kekaguman pada sosok itu. "Nao," panggil Orion. Namun tak ada jawaban. Gadis itu masih saja menatapnya. "Hei." Sekali lagi Orion bersuara. "Hah?" Orion tersenyum tipis melihat reaksi Nao. Sepertinya perempuan itu melamun, sampai-sampai tak mendengar pertanyaannya. "Sejak kapan kamu kenal Alfa?" ulangnya. "Hmm, sejak kemarin." Alis Orion bertautan. "Baru kemarin, dan Alfa sudah bercerita banyak hal?" Nao mengangguk cepat. "Seharusnya Alfa tidak boleh bicara terlalu banyak dengan orang asing. Bisa saja, kecerobohannya itu akan membahayakan dirinya sendiri. Orang yang sudah lama dikenal saja belum tentu bisa dipercaya, apalagi orang baru." Nao merasa tersinggung mendengar ucapan Orion. Berteman dan bercerita itu bukan perkara seberapa lama mereka saling mengenal, tapi tentang kenyamanan. Bagaimana kalau faktanya Alfa memang lebih nyaman bercerita pada orang asing sepertinya? Orion harus mau melihat sesuatu dari sudut pandang yang berbeda. Nao pernah mendengar, ada sebagian orang yang memilih untuk bercerita pada sosok yang tak mengenalnya terlalu dalam. Alasannya sederhana, terkadang orang yang merasa tahu segalanya tentang diri kita, kebanyakan justru berani menghakimi. "Ini bukan hanya tentang lama atau sebentarnya seseorang saling mengenal, Ori, tapi tentang kenyamanan. Aku rasa Alfa lebih baik seperti itu daripada dibiarkan memendam permasalahannya sendiri," kata Nao sesantai mungkin. Orion diam-diam membanarkan pernyataan gadis itu. Boleh jadi, Alfa akan berakhir sepertinya jika tidak dibiasakan bicara mengenai apa pun yang dirasakannya. Sejak kecil, Orion memang tidak punya teman bicara. Jadi, kebiasaan memendam itu terbawa hingga saat ini. Tentu saja itu bukan hal mudah. Memendam permasalahan——apalagi berat——seorang diri, ibarat menggenggam pecahan kaca. Semakin erat, akan semakin melukaimu. Namun bila dibiarkan terlepas, bukan tak mungkin akan turut melukai orang lain juga. "Ori, kalau kamu memang nggak bisa memberikan perhatian penuh untuk Alfa, biarkan Alfa mencari tempat untuk membagi apa yang dia rasakan. Jangan sampai dia tertekan pada akhirnya." Orion menghela napas berat. Lagi, kata-kata Nao benar. Ia memang tidak bisa memberikan perhatian penuh pada adiknya karena hampir seharian dirinya bekerja. Dan Orion juga tidak tahu, apakah Alfa bersekolah dengan nyaman? Mungkinkah teman-teman sang adik bersikap baik? "Aku bukan orang jahat kok. Namaku Selma Naomi Amida, aku bisa memberikan alamat rumahku kalau kamu mau. Keluargaku juga bukan keluarga yang macam-macam. Aku bisa berteman baik dengan Alfa." Nao berusaha meyakinkan. Mulai terbaca, orang seperti apa pemuda di hadapannya ini. "Kita juga bisa berteman, Ori. Jangan takut," lanjutnya. *** Alfa duduk menyendiri di kamarnya. Kakaknya marah besar. Alfa berharap kalau sang kakak akan membelanya, bukan malah turut menyudutkannya. Rupanya meleset jauh dari apa yang ia harapkan. Selama ini Alfa meminta ini itu, hanya sekadar untuk menarik perhatian kakaknya. Alfa ingin Orion tak terus sibuk dengan pekerjaannya di luar sana. Ia ingin sang kakak sadar, bahwasanya bukan hanya materi yang harus dicari, ada kebutuhan lain juga yang harus dipenuhi. Kasih sayang. "Papa, Mama, kenapa ... pergi duluan?" tanyanya dengan suara lirih. Larut kembali dalam lamunan. Kalau mungkin, Alfa ingin menjadi Orion. Meskipun kala itu sama-sama belum dewasa, tapi setidaknya Orion lebih beruntung karena merasakan kasih sayang orang tuanya cukup lama. Dan lagi, kakaknya itu bisa dengan mudah memahami arti kehilangan yang sesungguhnya. Lain halnya dengan Alfa. Baginya, kehilangan hanya menyisakan kekosongan. "Al." Terdengar seseorang memanggil namanya bersamaan dengan suara ketukan pintu. Alfa enggan menjawab. Pintu kamarnya pun tidak dikunci, kakaknya bisa langsung masuk kalau mau. "Alfa." Panggilan berulang itu memaksa Alfa bersuara pada akhirnya. "Iya, Bang." Tak lama Orion masuk. Pemuda bertubuh jangkung itu duduk di samping Alfa. "Kamu masih marah sama Abang?" "Enggak." "Masa jutek gitu." Berbincang dengan Nao, sedikit banyak membuat Orion sadar kalau selama ini Alfa membutuhkannya. "Biasa aja." "Abang minta maaf. Lagi capek, terus dengar kamu bertengkar sama kakak kelas kamu, jadi Abang langsung emosi." "Kalau dulu aku ikut sama Papa dan Mama, aku nggak akan buat Abang repot. Sayangnya Allah cuma ambil mereka." "Kalau Allah ambil kamu juga, Abang gak tahu, apakah hari ini masih hidup atau nggak. Oke, kita sama-sama lupain apa yang terjadi hari ini. Tapi, Abang harap ke depannya nggak ada kejadian seperti ini lagi, kecuali kalau mereka membahayakan, kamu boleh membela diri." "Kalau mereka mengejek lagi, apa aku harus diam?" Orion mengangguk. "Kita nggak harus membalas semua yang orang katakan." Sedang bicara serius seperti itu, tiba-tiba saja Alfa menyentuh dahi Orion dengan punggung tangannya. Tentu saja perlakuannya itu membuat Orion kaget. "Badan Abang panas," ujar Alfa. Selama Orion bicara, perhatian Alfa tak teralih sedikit pun dari sang kakak. Alfa menyadari satu hal, sang kakak terlihat lebih sakit daripada tadi pagi. "Panas? Ah, enggak. Tangan kamu aja yang dingin," sahut Orion sembari meraba-raba wajahnya sendiri. Alfa menggeleng cepat. "Abang yang panas. Sekarang Abang tidur. Aku ambil kompres." "Emang kamu bisa kompres Abang?" "Masa nggak bisa." Itu hal mudah bagi Alfa. Hanya mengambil air dalam wadah, mencelupkan handuk kecil ke dalamnya, lalu menempelkan benda itu di dahi. Selesai. "Coba Abang tanya, kalau kompres pakai air hangat atau dingin?" "Dingin, biar panasnya cepat pindah." Alfa menjawab dengan penuh percaya diri. Orion terkekeh. "Lebih bagus kalau pakai air hangat," terangnya. "Udah, nggak usah. Nanti juga sembuh sendiri. Kamu istirahat aja. Abang mau masak buat kita makan." "Nona Sepeda pulang?" "Siapa?" "Kak Nao." "Oh, iya dia udah pulang." "Dia baik, Bang. Jangan larang aku berteman sama dia." "Iya, tenang aja. Kamu masih boleh main sama dia." "Bang, aku aja yang masak buat nanti. Abang istirahat aja." Cukup lama berpikir, Orion akhirnya mengangguk. Lagi pula ini jarang sekali terjadi. Ia ingin menikmati perhatian Alfa. Kalau hanya membuat telur dadar saja Alfa sudah bisa. "Kalau mau bikin telur dadar, bawangnya iris tipis, goreng duluan sampai agak gosong, baru masukin telur yang udah dikocok." Alfa geleng-geleng mendengar permintaan sang kakak. Orion memang rewel masalah makanan. Kakaknya itu tidak begitu menyukai bawang. Dalam makanan pun pilih-pilih, bawang goreng yang teksturnya tebal dan masih lembek pasti disisihkan di tepian piring. Untung Alfa tidak seperti itu. *** Nao tak henti mengulum senyum sembari mengeringkan rambutnya. Ada perasaan aneh yang membuat hatinya berdesir setiap mengingat Orion. Nao merasa kalau Orion itu ... berbeda. Kemarin ia mengagumi kedewasaan laki-laki itu. Tadi dibuat kesal, kemudian terpesona lagi. Dan tanpa diminta, benang kusut di otaknya yang biasa sulit diajak bekerja sama, sekarang justru bergerak sendirinya merangkai kata demi kata membentuk kalimat yang indah. Tahu begini, kenapa tidak dari dulu saja ia bertemu Orion? "Ori, aku yakin Tuhan punya alasan kenapa akhirnya kita dipertemukan." Bersambung ....
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD