Pasien yang berkunjung ke klinik pagi ini tak seramai biasanya. Dalam kurun waktu empat jam saja, hanya ada belasan. Cukup menguntungkan bagi Orion yang kondisi kesehatannya tidak bisa dibilang baik.
Sebuah buff yang biasanya ia gunakan hanya ketika berkendara, sekarang tidak sebatas itu. Orion memakainya untuk menutupi bagian lehernya yang terlihat membengkak. Sejak semalam batuknya tak berhenti. Parahnya lagi, Orion menemukan bercak darah ketika membuang salivanya. Sebagai seseorang yang berkecimpung di dunia kesehatan, jelas saja hal itu membuatnya cemas. Namun, Orion masih mencoba untuk berbaik sangka. Mungkin adanya darah tersebut karena terjadi peradangan pada tenggorokannya.
"Uhuk." Orion terbatuk lagi.
"Duh, Ri, pulang sana! Nyebar kuman aja. Nanti yang gak sakit banget juga jadi sakit kalau kamu batuk-batuk terus kayak gitu."
Orion tak menanggapi. Ia tahu betul perangai Andini--rekan kerjanya. Orion sudah memakai masker pun, perempuan itu masih mengomel. Tidak aneh, sifat Andini terkadang membuat gadis itu bahan gunjingan orang.
Mendengar suara ribut-ribut Dokter Fabian keluar dari ruangannya. "Ri, belum sembuh?"
"Belum, Dok," sahut Orion pelan.
"Andin, coba kamu buatkan surat rujukan buat Orion," titah Dokter Fabian, "Ri, kartu BPJS-nya mana?"
"Gak usah, Dok, nanti juga sembuh sendiri."
"Nggak ada dari sananya penyakit sembuh sendiri. Harus ada ikhtiar, Ri. Kasih sama Andini kartu BPJS-nya, besok kamu temuin spesialis. Sekarang saya periksa dulu."
Orion pasrah. Benar juga apa yang dibilang Dokter Fabian. Kalau ia bersikeras tidak mau berobat, bisa saja apa yang disepelekannya itu malah membuat Orion kehilangan nyawanya sewaktu-waktu. Dan akhirnya ... Alfa akan benar-benar hidup sendirian. Ia menyerahkan kartu BPJS miliknya, kemudian mengikuti Dokter Fabian menuju ruang pemeriksaan.
"Benjolannya bisa sebesar ini, agak aneh. Kalau cuma infeksi biasa, harusnya kemarin dikasih obat, ada perbaikan."
"Gak ngerti juga, Dok."
Tak butuh waktu lama untuk pemeriksaan. Setelah selesai, Dokter Fabian kembali menghampiri Andini yang kini berkutat di depan komputer mengisi data-data Orion.
"Diagnosisnya apa, Dok?"
"Acute lymphadenitis."
"Tekanan darahnya?"
"100/70."
"Pernapasan sama denyut nadinya, Dok?"
"Pernapasan 18, denyut nadi 78. Lain kali, saya minta kartu rekam medisnya. Orion kan sudah pernah diperiksa di sini. Biar kamu gak banyak tanya."
Andini hanya tersenyum kikuk, tak berani menyahuti ucapan Dokter Fabian.
***
Nao mengusap sudut matanya yang berair. Ia merasa terenyuh melihat status f*******: teman semasa sekolahnya dulu. Femmy namanya. Temannya itu mengunggah foto anak kecil, lengkap dengan keterangannya.
Katanya, anak itu baru berusia tiga tahun. Sejak bayi dia sudah ditinggalkan oleh kedua orang tuanya di rumah sakit. Itu terjadi setelah mereka mengetahui anaknya mengidap kanker darah. Merasa punya keterbatasan biaya, keduanya memilih lepas tangan.
Nao memutuskan untuk menghubungi Femmy, ingin tahu dirawat di mana sekarang anak itu. Kalau dipikir lagi, pasti banyak sekali anak yang bernasib sama.
Selma Naomi Amida
Femmy, anak itu sekarang dirawat di mana? Aku mau ketemu boleh?
Femmy Ayudia
Di RSUD Al-Ihsan. Besok bareng aku aja kalau mau. Aku berangkat pagi.
Selma Naomi Amida
Boleh? Oke, aku ikut. Kamu mau bawa apa aja, Fem? Aku bingung, baru pertama.
Mereka terus bertukar pesan. Nao bertanya banyak hal, tentang apa saja yang hendak dipersiapkan. Ya, Nao rasa kasihan saja tidak cukup. Ia harus melakukan sesuatu untuk meringankan beban mereka.
***
"Abang belum pernah pacaran?"
Orion yang sedang meneguk teh manis hangat langsung tersedak mendengar pertanyaan adiknya. Selama mereka hidup bersama, baru kali ini Alfa menanyakan hal yang bersifat pribadi. "Kenapa kamu tanya gitu?"
"Aneh aja. Teman-temanku udah ada yang punya pacar. Abang kok udah tua nggak pernah kelihatan bawa cewek ke rumah atau main di luar."
Orion geleng-geleng. Anak zaman sekarang, main gundu saja masih sering kalah, sok main hati. Sekalinya dikecewakan nekat bunuh diri dengan meminum cairan pembersih lantai. Ayolah, apa semengerikan itu dunia masa kini? Dan lagi, tua? Padahal ia baru menginjak kepala dua.
"Bang?"
"Abang gak mau mikirin itu dulu. Yang terpenting buat Abang sekarang, cuma kamu. Kamu sekolah dengan baik sampai sukses nanti, itu udah cukup buat Abang bahagia."
Alfa menghela napas. "Bang, jangan terus mikirin kebahagiaan aku. Abang juga harus bahagia. Selama ini aku diam, bukan berarti nggak peduli sama Abang. Aku peduli, tapi ... malu bilangnya sama Abang."
Tuhan. Kalimat sederhana itu bahkan terdengar sangat indah di telinga Orion. "Abang nggak perlu apa pun lagi untuk bahagia. Karena kamulah alasan Abang bahagia."
"Abang normal, 'kan?"
Orion langsung melayangkan satu jitakan pada sang adik. Tidak keras, tapi cukup membuat Alfa meringis. "Normal, Al. Abang maunya langsung nikah. Dia yang nanti jadi pasangan Abang, gak cuma harus sayang sama Abang, dia juga harus sayang sama kamu."
"Kak Nao dong. Dia udah sayang sama aku kayaknya."
"Kamu baru kenal dia dua hari. Tahu dari mana kalau dia sayang?"
"Kak Nao itu beda, Bang. Cara dia menatap mata aku itu beda. Bukan tatapan kasihan, tapi aku lihat ketulusan di sana. Masa Abang nggak bisa lihat?"
Laki-laki itu tertegun. Kalau Alfa yang beberapa tahun lebih muda darinya saja bisa melihat itu, mengapa Orion tidak? Memang tak mudah baginya percaya pada seseorang, apalagi orang itu baru dikenalnya. Namun, sadar bahwa Alfa begitu antusias menginginkan dirinya dan Nao bersama, Orion jadi penasaran ingin mengenal lebih dekat seperti apa gadis itu. Catat, hanya penasaran.
Alfa tersenyum kecil melihat kakaknya tampak berpikir. Ia yakin kalau sang kakak tengah memikirkan si gadis bersepeda itu. Kalau Abang mau aku bahagia, Abang juga harus bahagia. Sama seperti Abang, alasan aku bahagia pun cuma satu, Abang. Aku yakin, Kak Nao bisa buat Abang bahagia.
***
Alfa menguap lebar sembari berjalan ke ruang makan. Pandangannya terhenti pada aneka makanan yang sudah tersaji di sana. Tidak biasanya sang kakak memasak banyak. Dan lagi, ini masih sangat pagi, di mana kakaknya sekarang?
Secarik kertas yang tergeletak di sebelah mangkuk sayur turut menyita perhatian Alfa. Diambilnya kertas itu, dan mulai membaca isinya.
Al, kamu sarapan sendiri dulu, ya. Abang ada urusan sebentar. Nanti pulang tepat waktu, Abang mau ajak kamu jalan-jalan.
Kernyitan di dahi Alfa menggambarkan dengan jelas kebingungannya. Apakah kakaknya itu tidak bekerja seperti biasa, sampai sempat melakukan semua ini? Bahkan, ingin mengajaknya jalan-jalan nanti. Bukan Alfa tidak bahagia, sekali lagi, ia hanya bingung dengan sikap kakaknya yang tak biasa.
***
Seandainya oksigen yang kita hirup sehari-hari ini berbayar, orang yang mempunyai tujuh gunung emas sekalipun pasti akan jatuh miskin demi mempertahankan hidupnya. Jika manusia diharuskan membayar sewa atas organ-organ vital dalam tubuhnya, sekaya dan sesombong apa pun, dia akan tiba pada masa di mana angkuhnya luruh, mengemis kemurahan Tuhan. Tapi tidak, Tuhan baik. Tak meminta suatu apa pun atas apa yang dititipkannya.
Titipan? Jelas saja. Tuhan hanya menitipkan, dan suatu hari, barang pinjaman ini tentu harus dikembalikan. Kita hanya perlu menjaga dan memanfaatkannya dengan baik, sampai hari itu tiba.
Nao berusaha menahan sesak, melihat anak bernama Nanda yang masih begitu ceria, meskipun tengah menjalani kemoterapi. Rupanya tak hanya Nao dan Femmy yang berkunjung ke sini, salah satu perawat bilang, ada banyak yang mampir untuk sekadar memberikan hiburan atau hadiah kecil untuk Nanda.
Meski bibirnya mengulum senyum sembari sesekali memainkan boneka di tangannya, Nao tahu ada rasa sakit yang tak bisa diungkapkan. Jangan kira cairan kemerahan dalam kemasan yang menggantung di tiang infus itu manis rasanya. Doksorubisin injeksi dengan NaCl 0,9% sebagai pelarut, memberikan efek kurang menyenangkan, seperti mual, muntah, diare, rasa terbakar, dan lain-lain.

"Sebelum kalian, tadi ada anak muda juga yang ke sini. Orangnya ganteng, baik lagi. Kelihatan penyayang sama anak kecil. Dia teh mau berobat. Aduh, kalau saya belum punya suami mah udah saya pacarin," kata seorang perawat paruh baya.
Celetukannya itu sedikit mengikis ketegangan dan kesedihan mereka. Foto yang dibagikan oleh Femmy di laman f*******: memang langsung viral. Jadi, wajar kalau orang berbondong-bondong ingin memberikan bantuan.
"Suster suka gitu. Mending kasih sama saya aja yang masih lajang," sahut Nao.
"Boleh, kayaknya seumuran sama kamu. Mungkin orangnya masih di sekitar sini, soalnya tadi baru ambil nomor antrean aja."
Nao manggut-manggut. Ada rasa penasaran, tapi itu tidak penting. Siapapun dia, semoga kebaikannya kelak terbalas.
Sekarang ini, sulit sekali menemukan orang yang benar-benar peduli terhadap sesama. Berbuat baik, tak jarang digunakan sebagai ajang pamer, untuk konsumsi pengikutnya di media sosial. Ingin memperlihatkan, mengatakan secara tidak langsung pada semua orang bahwa dirinya baik, meskipun tidak semua bersikap demikian.
***
Orion mengusap perutnya yang tiba-tiba saja berbunyi. Sudah sore, wajar kalau ia merasa lapar. Lumayan banyak juga pemeriksaan yang ia lakukan hari ini. Dari dokter spesialis penyakit dalam, ia diberi surat pengantar untuk menemui dokter THT, dan berakhir di bagian patologi anatomi. Petugas itu mengambil jaringan dari bagian yang terlihat membengkak. Hasilnya pun langsung bisa diketahui hari ini.
Orion menghela napas berat melihat setumpuk obat terbungkus kantong plastik warna putih. Terhitung besok, Orion harus rutin meminumnya. Ya, semoga saja ia bisa bertahan, setidaknya sampai Alfa cukup dewasa untuk bisa menjaga dirinya sendiri.
Orion ingat, beberapa bulan yang lalu ada pasien dengan penyakit serupa berobat ke klinik tempatnya bekerja. Dari bisa berjalan sendiri, dipapah sanak keluarganya, memakai kursi roda, sampai akhirnya berpulang. Semoga ia tak bernasib sama. Itu saja harapan Orion saat ini.
"Hai!"
Orion terperanjat ketika tiba-tiba seseorang menyapanya. Refleks, bungkusan di tangannya segera ia sembunyikan. "Loh, kamu?"
"Ori, ngapain di sini? Nggak kerja?"
"Aku jenguk teman. Kamu ngapain di sini?"
"Habis jengukin teman juga, terus keliling deh, sekalian nyari inspirasi." Setelah menyelesaikan urusannya dengan Nanda, Nao memilih berkeliling. Tak banyak yang bisa dikunjunginya karena ia takut mengganggu pasien lain. Lalu, tempat terakhir yang ingin Nao kunjungi adalah taman rumah sakit. Tempat yang paling sering menjadi bagian dalam ceritanya. Ternyata, taman ini malah mempertemukan Nao dengan Orion.
Orion menautkan alisnya. "Nyari inspirasi di rumah sakit? Kamu penulis?"
Nao mengangguk mantap. "Iya, aku suka menulis, dan aku dapat banyak asupan inspirasi di sini."
Laki-laki itu semakin tidak mengerti. Bagaimana bisa rumah sakit, tempat di mana banyak kesedihan, justru menjadi sumber inspirasi? Bukankah biasanya penulis mencari ide dengan mendengarkan lagu, menonton film, atau apa pun yang berbau hiburan. Nao benar-benar ajaib. "Bisa, ya?"
"Bisa apa? Inspirasi? Bisa dong. Aku ini penulis cerita-cerita sad ending, Ori. Aku sangat tertarik sama kanker. Nyaris semua ceritaku bercerita tentang itu. Entah kenapa, tapi aku sangat senang melihat semangat mereka."
Orion tersedak salivanya sendiri mendengar penuturan Nao. Ia terbatuk beberapa kali.
"Eh, Ori, kenapa? Aduh, aku nggak bawa minum," paniknya.
Wajah Orion memerah. Ia masih berusaha mengatur napas sebelum akhirnya menjawab. "Gak pa-pa."
"Ori temannya sakit apa?"
"DBD," jawabnya singkat. Orion sudah telanjur berbohong. Jadi, sekalian saja.
Keduanya saling diam. Nao bingung sendiri harus bicara apa lagi. Orion ini pasif sekali. Seperti drum, baru berbunyi ketika ditabuh. "Ori, kenapa irit banget ngomong sih?" tanyanya to the point.
"Segini adanya. Buat apa banyak omong kalau nggak penting."
"Ori, serius bukan kamu yang sakit? Kok wajahnya pucat sih?"
"Bukan." Orion mulai sedikit tak nyaman dengan arah pembicaraan mereka. Nao terlalu bawel. Bicara dari yang tidak penting, sampai pada obrolan yang sedikit mengusik privasinya.
Sebenarnya Nao tidak percaya, tapi melihat raut tak nyaman yang diperlihatkan oleh Orion, ia berusaha untuk mengendalikan diri. "Ori gak pulang? Aku rencananya mau ketemu Alfa. Boleh bareng?"
"Mau apa ketemu Alfa?"
"Kemarin udah janjian mau ketemu lagi."
"Kamu boleh ketemu dia. Tapi, jangan sampai kamu memanjakan Alfa dengan kemewahan, meruntuhkan kebiasaan yang aku tanam selama ini."
Nao menggeleng. "Nggak, Ori. Kalau ketemu Alfa, biasanya aku cuma bawa camilan. Kadang aku nulis, Alfa ngerjain PR. Aku datang biar dia nggak kesepian, karena aku tahu gimana nggak enaknya sendirian."
Orion terdiam cukup lama. Benar sekali apa yang dikatakan Nao. Alfa kesepian, apalagi kalau nanti ia tidak bisa lagi berada di samping adiknya itu. Bukankah malah bagus ada Nao? Dengan begitu, Alfa jadi punya teman. Apa ini yang dinamakan pesimis? Sedari tadi yang ada di otaknya hanya tentang kemungkinan ia pergi. Ya Allah, lindungi aku dari rasa putus asa.
"Ori, kok malah melamun? Ayo pulang."
"Iya."
Keduanya melangkah beriringan menuju parkiran. Berjalan dalam diam. Tak ada lagi yang memulai pembicaraan.
Bersambung ....