Chapter 6

1162 Words
Nao senang bukan kepalang tatkala Orion mengajaknya ikut jalan-jalan bersama mereka. Apalagi, ketiganya pergi naik angkutan umum. Memang rute yang ditempuh cukup rumit. Naik angkutan kota dua kali, setelah itu naik bus kota. Namun tidak masalah. Ini bukan hal baru bagi Nao. Ketika masih sekolah pun, ia sering naik bus kota. Sudah lama sekali rasanya. Gadis itu merapikan rambutnya yang tampak lepek. Nao juga mulai pegal karena berdiri terlalu lama. Kepergian mereka bertepatan dengan jam pulang kerja, jelas saja bus jadi penuh sesak oleh penumpang. "Aduh!" Nao sedikit membungkuk sembari meringis menahan sakit. Kakinya terinjak. Dan lihat, laki-laki berbadan besar di depan yang baru saja menginjak kakinya malah diam saja seperti tak berdosa. Baik, mungkin Nao harus menegurnya sekarang. Ketika tangannya terangkat hendak menepuk pundak laki-laki itu, seseorang lebih dulu meraih jemarinya dari belakang, memutar tubuh Nao, hingga akhirnya mereka bertukar posisi. Ya, Nao yang semula berdiri di depan Orion, kini berpindah ke belakang. "Dia nggak sengaja," kata Orion pelan saat melihat raut keterkejutan di wajah gadis itu. Jujur, Orion bukan tipe orang yang suka mencari gara-gara. Ia lebih suka main aman. Jadi, melihat Nao yang hendak mempermasalahkan hal sepele, Orion langsung mencegahnya. Lagi pula, terinjak, terdorong, bersenggolan dengan orang lain dalam kendaraan umum itu wajar--selama tak ada yang sifatnya melecehkan. Nao masih terpaku. Semua berlangsung begitu cepat--secepat ritme jantungnya sekarang. Kontak fisik di antara merekalah yang memicu munculnya debaran aneh itu. Nao, jangan baper! Alfa mengulum senyum melihat kakaknya juga Nao. Mereka terlihat menggemaskan. Alfa berharap suatu hari nanti keduanya bisa benar-benar bersama. Selain sang nenek, Nao perempuan kedua yang membuatnya merasa nyaman. "Kepatihan, alun-alun!" teriak sang kondektur. Orion menarik lengan Nao, sedangkan Alfa mengikuti dari belakang. Setelah menyerahkan tiga lembar uang pecahan 5.000-an, ketiganya langsung turun. "Ori, kita mau ke mana dulu?" tanya Nao. "Makan." Orion merasa harus memiliki tenaga lebih untuk berjalan-jalan hari ini. Rencananya, setelah makan nanti ia ingin mengajak Alfa berkeliling, membeli ponsel, jaket, sepatu, dan semua kebutuhan Alfa untuk study tour. Orion memutuskan mengambil sebagian tabungannya untuk membeli semua itu. Sesekali ia merasa perlu membahagiakan adiknya. Mereka berjalan menuju foodcourt yang ada di sekitaran Alun-alun Bandung. Merasa bingung hendak memakan apa, Orion memilih berhenti, kemudian bertanya, "Mau makan apa?" Bergantian ia menatap adiknya juga Nao yang kini berdiri di samping kiri dan kanannya. "Bakso!" jawab Alfa dan Nao bersamaan. Orion sampai geleng-geleng mendengar mereka begitu kompak. Selain Alfa merasa cocok dengan Nao, rupanya selera mereka pun sama. Dengan semangat, Nao langsung memesan tiga porsi bakso. "Mang, punya saya kuahnya sedikit aja." Tak butuh waktu lama untuk membuat tiga mangkuk bakso terhidang di hadapan mereka. Yang pertama kali dilakukan Nao saat melihat bakso tersebut adalah menuangkan sambal. Satu sendok, dua sendok, tiga sendok, dan .... "Jangan banyak-banyak, nanti sakit perut." Nao berhenti sejenak. Ditatapnya lelaki yang baru saja memberikan perhatian--secara tidak lansung. Ekspresi Orion datar saja. Intonasi bicaranya tadi juga tak terdengar seperti membubuhkan penekanan pada kalimatnya. Orion tidak benar-benar mencemaskannya. Tak mau ambil pusing dengan apa yang dilakukan dua orang dewasa itu, Alfa memilih fokus makan. Baru beberapa suap saja ia sudah berkeringat. Bakso panas campur sambal memang paduan yang luar biasa nikmatnya. Ada sensasi yang sulit digambarkan. Ia heran, mengapa sang kakak tidak suka pedas? Padahal apa enaknya makan bakso hanya dengan kecap tanpa sambal? Nao dan Alfa refleks menoleh tatkala mendengar Orion mendorong mangkuk baksonya menjauh, terlebih karena masih tersisa cukup banyak. Ada empat butir bakso kecil-kecil, mie dan sayuran, lengkap dengan kuah kecoklatan. "Kenapa nggak dihabisin, Bang?" "Kenyang." Nao jadi semakin curiga melihat gelagat aneh Orion. Tadi ia bertemu dengan Orion di rumah sakit. Wajah laki-laki itu pucat, tapi dia mengatakan bahwa temannya yang sakit. Sekarang Orion tiba-tiba terlihat seperti kehilangan nafsu makannya. Otak Nao sepertinya sudah terkontaminasi dengan cerita-cerita khayalannya, tapi tak menutup kemungkinan kalau pemuda itu memang sedang menyembunyikan sesuatu bukan? Jangan-jangan, Orion sakit parah, lalu berniat untuk tidak memberitahu Alfa. Nao akan menyelidikinya nanti. Dan demi kelancaran semua itu, ia harus melibatkan Alfa. *** Nao menatap langit gelap yang kini mulai menumpahkan bebannya. Beberapa hari ini Bandung memang akrab sekali dengan hujan. Bahkan, ada daerah yang sampai banjir. Ternyata segala sesuatu memang harus sesuai porsinya. Meskipun air, jika jumlahnya berlebih, tentu saja membahayakan. Mereka berteduh di halte, sementara Orion pergi entah ke mana. Mungkin mencari payung atau sejenisnya yang bisa melindungi tubuh mereka dari guyuran air hujan. Ah, ya. Nao teringat sesuatu. Ia akan bicara pada Alfa perihal kondisi Orion. "Al," panggil Nao. Alfa menoleh pada gadis itu, lalu bertanya, "Ada apa, Kak?" Nao berpikir lagi sebelum benar-benar mengatakannya. Ia takut kalau pada akhirnya apa yang hendak ia bicarakan dengan Alfa, malah membuat anak itu cemas. "Kak Nao?" "Ini tentang Kakak kamu. Apa belakangan ini ... kesehatannya tidak begitu baik?" Alfa diam. Mencoba memutar mundur kejadian-kejadian belakangan ini. "Abang emang sakit. Badannya panas, dia juga sering batuk-batuk." Dugaan Nao benar. Memang Orion yang tidak sehat. Bisa jadi pertemuan mereka di rumah sakit tadi karena Orion memang tengah memeriksakan diri. "Alfa, jaga Orion, ya. Kalau ada apa-apa langsung hubungi Kakak. Tapi, jangan sampai Orion tahu kalau kita lagi ngawasin dia," kata Nao. Ia membuka tas, mengeluarkan secarik kertas berikut penanya, lalu menulis nomor ponselnya di sana. Sangat lancang kalau Nao bertanya langsung pada Orion, mengingat mereka baru saja saling mengenal. Tak mengapa jika yang ada di posisi itu adalah Alfa, tapi tidak berlaku untuk Orion. Bukan apa-apa, ia mengerti kalau hal semacam itu sifatnya pribadi, tidak semua suka membagi perihal sakitnya pada orang banyak. Dan sejak awal, Nao sudah dapat membaca tipe orang seperti apa Orion. Laki-laki itu adalah seorang pemendam. "Ini nomor Kakak," ujarnya lagi seraya menyerahkan kertas di tangannya. "Ayo pulang." Keduanya tersentak mendengar suara itu, dan sama-sama berharap kalau Orion tak mendengar perbincangan mereka. "Ori, kok kamu hujanan gitu?" "Gak pa-pa, yang penting ada payung buat kalian, dan kita gak pulang terlalu malam. Orang tua kamu pasti cemas." Alfa menatap sang kakak. Karena basah, buff yang dikenakan oleh kakaknya itu sedikit turun, hingga benjolan di leher Orion langsung terjamah oleh kedua matanya. "Ini dipakai satu berdua aja." Orion menyerahkan payung lipat warna merah pada Nao. "Abang aja basah. Ya udah aku juga hujanan juga biar adil." "Jangan keras kepala. Pakai payungnya! Kalau kamu sakit, siapa yang mau jagain? Kamu tahu, 'kan kalau Abang harus kerja." Nao merasa tak nyaman dengan aura kemarahan Orion. "Alfa, jangan bandel. Udah sini payungan sama Kakak." Alfa akhirnya patuh walaupun kesal. Kenapa ia harus mengenakan payung, sementara kakaknya basah kuyup seperti itu. Malam-malam pula. "Pikirin orang lain aja terus, diri sendiri gak usah. Mau sakit, mati, gak perlu dipikirin," gerutunya sembari berjalan melewati Orion. Nao melotot mendengar penuturan Alfa. Ia tahu anak itu kesal, tapi tak sepantasnya Alfa berkata demikian. "Al, gak boleh gitu," tegur Nao. "Biarin. Abang aja nggak peduli sama dirinya sendiri, kenapa kita harus peduli?" Kalimat-kalimat yang dilontarkan sang adik begitu menohok. Orion diam, enggan memperpanjang. Padahal niatnya baik, ia hanya tidak ingin Alfa sakit. Itulah alasan kenapa Orion sampai tak memikirkan kesehatannya sendiri. Seandainya Alfa sadar itu. Bersambung ...
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD