Empat jenis obat yang saling tumpang tindih di atas tempat tidur hanya Orion perhatikan dalam diam. Ia baru saja selesai menelan beberapa butir sekaligus. Jika dulu Orion paling anti minum obat, terhitung hari ini hal itu justru menjadi rutinitas barunya. Orion wajib meminum obat-obatan tersebut.
Nyaris semua obat memiliki efek samping. Paracetamol sekalipun yang terbilang obat paling aman dan banyak digunakan——karena termasuk golongan obat bebas——tetap memiliki efek kurang menyenangkan jika dikonsumsi terus-menerus. Tak main-main, penggunaan jangka panjang bisa menyebabkan gangguan fungsi hati. Obat memang bisa bersifat terapeutik, bisa pula bersifat toksik atau racun. Tergantung bijak atau tidaknya kita yang menggunkan. Begitu pula obat-obatan yang saat ini menjadi santapan Orion, ada konsekuensi yang harus diterima dari itu.
Mirisnya, ketika banyak orang yang berjuang untuk sembuh guna menyudahi penderitaan mereka meminum obat, di luar sana justru banyak sekali orang yang dengan sengaja menyalahgunakan obat-obatan. Ada yang seharusnya digunakan untuk meredakan batuk, justru beralih fungsi menjadi bahan untuk mabuk-mabukan. Mereka dengan sengaja meracuni diri sendiri. Membiarkan obat-obatan itu menghancurkan tubuhnya perlahan.
Yang terbaru, Orion sempat mendengar bahwa rebusan pembalut wanita yang dicampur obat batuk banyak digunakan sebagai pemuas mabuk dan halusinasi. Betapa mengerikannya manusia zaman sekarang ini.
Orion menggeleng. Daripada sibuk memikirkan sesuatu yang belum ia temui solusinya, lebih baik sekarang Orion menyiapkan makanan untuk sang adik. Alfa sepertinya masih marah karena sejak semalam anak itu belum mau bicara padanya. Begitulah Alfa, terkadang bisa bersikap dewasa, tapi tak jarang pula dia bersikap kekanak-kanakan.
Ia melangkahkan kaki jenjangnya menuju dapur. Makanan kemarin masih banyak sebenarnya, Orion hanya perlu memanaskan. Jadi, pekerjaannya tidak terlalu banyak.
***
Sejak semalam Nao tidak bisa tidur. Alfa menghubunginya, dan mengatakan kalau di bagian leher kakaknya terdapat benjolan yang lumayan besar. Memang Nao juga sempat melihat itu kemarin. Jelas semua langsung mengganggu pikirannya.
Gadis itu sampai menelusuri berbagai artikel untuk menyamakan hipotesisnya dengan berbagai kemungkinan yang ada. Dan rata-rata memang mengarah ke sana. Pembengkakan kelenjar getah bening sebagai pertanda adanya penyakit tertentu.
Ayolah, sekejam apa pun Nao terhadap tokoh-tokoh dalam ceritanya, ia sungguh tak ingin kejadian serupa menimpa orang terdekatnya. Ya, terdekat. Sejak Nao memutuskan berteman dengan dua orang itu, secara otomatis mereka menjadi orang terdekat Nao——selain keluarganya.
"Ori, semoga dugaan aku salah, ya," gumamnya.
Gadis itu menutup laptopnya, kemudian berjalan menuju tempat tidur. Nao butuh istirahat supaya otaknya bisa normal kembali, tidak melulu memikirkan hal buruk.
Baru saja matanya terpejam. Dering ponsel memaksa Nao kembali terjaga. Dengan perasaan sedikit jengkel, ia melihat siapa yang menghubunginya sepagi ini.
Alfa : Kak Nao, Abang muntah-muntah.
Deg!
Nao berusaha mengatur napas, bersamaan dengan itu ia juga mati-matian mengontrol debaran di dadanya. Kemoterapi bisa diberikan melalui oral juga bukan? Dan efek sampingnya pun tak jauh berbeda dengan dengan pemberian melalui intravena, topikal, subkutan dan intramuskular juga lainnya. Nao benar-benar takut sekarang.
Nao : Coba kamu buatkan teh manis hangat, Alfa. Kalau belum membaik nanti Kakak ke sana.
Alfa : Aku gak berani muncul depan Abang. Abang suka bohong kalau aku tanya.
Nao mengembuskan napas lelah. Dalam keadaan seperti ini Alfa masih memikirkan hal yang tidak perlu.
Nao : Kamu sayang sama abang kamu, 'kan? Jangan gengsi, Alfa. Abang bohong karena dia gak mau kamu khawatir. Sekarang kamu nurut sama Kakak. Kalau bisa, suruh dia istirahat jangan kerja dulu.
Alfa : Iya.
***
Alfa melangkah ragu menghampiri kakaknya yang kini telah kembali berbaring di kamarnya dengan posisi membelakangi pintu. Di tangannya ia membawa secangkir teh manis hangat untuk Orion——sesuai perintah Nao.
Masih pukul 06.00 WIB, jadi wajar kalau kakaknya memilih kembali tidur sebelum berangkat kerja. Tadi Alfa berniat pergi mandi, tapi begitu sampai ia justru mendengar kakaknya muntah-muntah di kamar mandi. Sekarang pasti dia lemas.
"Bang," panggil Alfa.
Orion membuka matanya susah payah. Rencananya ia ingin tidur paling tidak beberapa menit saja guna memulihkan tenaganya. Kedatangan Alfa membuat Orion harus berpura-pura kuat. Lelaki itu bangkit dari posisinya, kemudian berbalik menghadap sang adik. "Ada apa, Al?"
"Ini," kata Alfa sembari menyerahkan teh manis buatannya.
"Buat Abang?"
Alfa mengangguk.
Sekarang Orion sadar kalau adiknya itu mungkin tahu apa yang terjadi padanya. Efek samping obat-obatan itu dirasakan tak lama setelah diminum. Perutnya mual bukan main, kepalanya juga pening. Padahal Orion sudah memenuhi anjuran dokter untuk meminum obat tersebut dalam keadaan perut kosong.
"Abang sakit? Jangan kerja."
"Abang gak pa-pa. Lagian banyak kerjaan. Kalau sampai bolos nanti kerjaan Abang makin banyak," sahut Orion dengan diakhiri sebuah senyum.
"Batu."
Orion terkekeh pelan, lalu mengularkan tangan mengacak puncak kepala adiknya. "Kamu mandi sana. Udah siang, nanti telat ke sekolah. Abang juga mau siap-siap."
Alfa mengangguk, meskipun perasaannya masih dilingkupi rasa cemas.
Sial. Orion membekap mulutnya, berjalan cepat mendahului sang adik. Kalau begini terus, bisa berantakan pekerjaannya hari ini. Orion dipaksa memuntahkan kembali isi lambungnya——yang bahkan sudah terasa kosong. Ini baru hari pertama, entah bagaimana hari-hari berikutnya.
"Abang, aku nggak mau sekolah!" Alfa setengah berteriak di luar kamar mandi. Alfa tidak ingin meninggalkan kakaknya dalam keadaan seperti ini.
"Al, sekolah ...."
Lirih sekali Orion bicara, tetapi masih bisa didengar Alfa.
"Abang itu kenapa sih? Aku cuek, Abang pasti sakit hati. Aku perhatian, khawatir sama Abang, malah disuruh pergi! Abang buat aku bingung."
Alfa tidak bicara apa pun lagi setelah itu. Diam. Menangis. Ia begitu takut karena kakaknya tidak pernah sampai seperti ini. Orion harusnya mengerti perasaaannya. Aku cuma punya Abang. Aku takut Abang kenapa-napa. Apa itu salah?
***
"Gimana cutinya, Ri? Enak banget, ya, jadi kamu. Kita mau cuti aja harus bilang dari satu minggu sebelumnya. Kamu cuti tinggal cuti. Gitu sih kalau anak emas."
Orion membuang pandangannya ke arah lain, berusaha mengabaikan Andini yang sekarang tengah membereskan rekam medis milik beberapa pasien, meskipun lagi-lagi celotehan gadis itu membuat kuping Orion panas. Kalau bukan untuk memeriksakan diri, ia juga tidak akan mengambil cuti. Kenapa dia tidak mau mengerti? Memangnya siapa yang ingin sakit? Namun, sekali lagi Orion diam. Ia harus menghemat tenaganya untuk bekerja, bukan meributkan sesuatu yang tak perlu. Biarlah Andini mau bicara apa.
"Harusnya Dokter Malvin adil dong. Jangan mentang-mentang Dokter Fabian yang nyuruh terus kamu dikasih keringanan gitu aja. Kita terikat kontrak. Ada sanksi bagi yang melanggar," ujarnya lagi.
Dokter Malvin bersama tiga dokter lainnya——dari satu universitas yang sama——memang bekerja sama mendirikan klinik ini. Dan perihal cuti karyawan, Dokter Malvin yang mengurusinya. Kalau Andini keberatan, bukankah lebih baik melakukan protes pada orang terkait? Bukan pada Orion.
"Mulutnya iseng banget. Sana sakit dulu, nanti juga diperlakukan sama!" Hadi yang kesal ikut menimpali. Andini selalu bersikap seperti itu pada Orion——sejak awal klinik ini dibuka. Tidak tahu kenapa, gadis itu senang sekali mencari-cari kesalahan Orion. Yang lebih menjengkelkan lagi, Orion tak pernah membalas, justru lebih banyak diam.
"Udahlah, Bang. Gak pa-pa." Orion akhirnya bersuara.
Sejujurnya Hadi merasa cemas melihat keadaan Orion sekarang. Pemuda itu tampak lemas. "Berlebihan tahu nggak. Masalah cuti aja segitunya!"
"Santai, Bang," kata Orion setenang mungkin. Ia berusaha meredakan emosi pria itu.
Beruntungnya Dokter Fabian sedang pergi membeli makanan, jadi tidak akan tahu keributan ini. Hadi kemudian berjalan menghampiri Orion yang kini tengah menata obat-obatan. "Oh iya, Ri. Kamu kan jarang banget ambil cuti, kenapa gak cuti agak lama aja sekalian? Istirahat dulu di rumah sampai sembuh."
"Nggak enak, Bang. Lagian sakit gak boleh dimanja, nanti malah betah."
Hadi geleng-geleng. "Keras kepala."
Di balik masker yang dikenakannya, Orion tersenyum kecil. Apa yang diidapnya sekarang bukan tipe penyakit yang bisa langsung sembuh dengan istirahat. Perlu waktu cukup lama untuk sampai pada tahap itu. Jadi, percuma ia diam di rumah.
***
Bunyi pisau yang beradu dengan talenan berbahan dasar kayu seolah menjadi musik pengiring aksi saling diam ibu dan anak itu. Ami sibuk dengan sayur-sayuran hijau di hadapannya, sedangkan Nao sibuk dengan lamunannya.
Jujur saja, kondisi Orion benar-benar membuatnya cemas. Aneh. Padahal mereka baru saja saling mengenal, tapi tingkat kekhawatiran Nao rasanya melebihi batas.
"Nao, daripada kamu cuma diam di situ, mending bantuin Mama masak."
Menyadari tak ada sahutan dari putri tunggalnya, Ami menoleh, dan mendapati Nao tengah melamun. Harus ia akui, ada perasaan senang karena belakangan ini Nao tidak melulu diam di rumah. Nao tak mengatakan akan pergi ke mana, tapi anak gadisnya itu selalu terlihat bersemangat.
Terkadang menjadi orang tua memang serba salah. Anaknya terlalu aktif di luar, khawatir. Namun, bila putra-putri mereka sama sekali tidak pernah bersosialisasi juga ada perasaan cemas. Ami hanya ingin putrinya hidup seperti manusia normal lainnya. "Nao," panggil Ami dengan suara sedikit lebih keras.
"Ah, iya, Ma?"
"Kok melamun? Mikirin apa?"
"Ma, tahu nggak kenapa Nao sekarang sering pergi ke luar?"
Ami menggeleng.
"Nao punya teman baru. Orion, Alfa, dan Nanda namanya. Mereka bikin Nao sadar, Ma. Dengan berdiam diri di rumah Nao nggak akan menemukan apa-apa. Di luar sana mungkin banyak yang butuh kita, 'kan, Ma?"
Ami tersenyum kecil mendengar penuturan putrinya. Siapapun yang Nao sebutkan tadi, ia sangat berterima kasih karena mereka telah mengubah pola pikir Nao.
"Nao ingin membawa tulisan Nao keluar dari tempat yang sebelumnya dirasa paling nyaman. Bergerak ke arah yang berlawanan dengan cerita-cerita masa kini. Nao ingin memperlihatkan pada banyak orang kalau ini saatnya kita bersyukur, dan sekarang waktunya kita peduli."
Meski tadinya Ami meragukan kemampuan menulis Nao, tapi sekarang ia yakin, kalau putrinya bisa membawa kebaikan juga kebahagiaan bagi banyak orang. "Nao, lakukan apa yang ingin kamu lakukan. Bantu mereka yang membutuhkan. Bahagiakan mereka yang selama ini bergelut dengan kesengsaraan. Hibur hati-hati kecil yang dibesarkan dalam kesedihan. Mama percaya sama kamu."
Nao mengangguk mantap. Pertemuannya dengan tiga orang itu memang memberikan dampak yang cukup besar. Selama ini Nao benar-benar hidup semaunya. Tidak mau belajar lagi, bekerja, menceburkan diri ke masyarakat. Nao terlalu menutup diri untuk orang banyak. Merasa cukup hanya dengan satu bidang.
"Ma, dua teman Nao lagi sakit. Nanda sama Ori. Mama bantu doa, ya," kata Nao lagi.
"Pasti Mama bantu doa. Mama minta kamu cerita selengkap mungkin nanti, tentang siapa mereka. Sekarang, kamu bantu Mama masak, ya."
"Sekalian ajarin aku buat ayam kecap. Nanti sore Nao mau ke rumah Alfa."
"Iya boleh."
***
Orion menggeser gerbang apotek. Hari ini ia bekerja sendiri karena temannya sedang berhalangan masuk. Rasa lelahnya jadi berkali-kali lipat.
"A, ada resep ini?"
Orion menoleh ke sumber suara. Ia kaget karena tahu-tahu ada seorang pria berperawakan tinggi besar berdiri di depan sembari memperlihatkan sebuah resep.
Orion menatap pria itu sejenak. Psikotropika. Dekat dengan obat-obatan memang harus kuat segalanya. Jika kita tergiur kenikmatan sesaat, maka hancurlah. Tidak semua, tapi ada oknum tertentu yang memanfaatkan profesinya untuk memperoleh materi dengan cara instan. "Kebetulan ini kosong, Pak," kata Orion.
Bukan tak mempercayai resep narkotika atau psikotropika dari luar. Hanya saja, resep yang diterimanya barusan terlihat janggal. Tak tanggung-tanggung jumlah obat yang tercantum di sana adalah 50 tablet. Tidak masuk akal. Orion bukan curiga atau apa, ia hanya berusaha untuk lebih berhati-hati.
"Kalau sejenisnya ada? Biasanya suka ada tuh yang isinya sama."
"Mohon maaf, Pak. Kebetulan sedang kosong."
Tak mau menyerah, orang itu menyebutkan beberapa merk obat lainnya yang juga merupakan golongan psikotropika. Lagi, Orion harus berbohong.
"Maaf, Pak, tidak ada."
"Halah, bilang aja gak mau ngasih!" Tanpa diduga tiba-tiba orang tersebut melayangkan helm di tangannya tepat pada kepala Orion, membuat lelaki itu tersungkur seketika. "Rasakan! Kalau mau ngasih dari tadi udah dapat duit banyak."
Orion masih meringis menahan sakit, sementara laki-laki tersebut pergi begitu saja. Sekarang kecurigaannya terbukti. Seorang pecandu, ketika keinginannya tak dipatuhi, pasti akan berbuat nekat. Dan ini tak hanya sekali. Orion sering berhadapan dengan orang-orang seperti itu.
Kepalanya yang sudah pusing semakin menjadi saja. Sekarang bahkan Orion merasakan sesuatu melesak keluar dari rongga hidungnya. Ia sedikit menegakkan kepala, kemudian menggunakan punggung tangannya untuk menahan keluarnya cairan tersebut. Ma, sakit.
Bersambung ...