Petang menjelang. Warna jingga mendominasi langit kota Bandung. Nao memutuskan untuk bersemedi di kamar.
Tenang saja, Nao bukan penganut ilmu hitam. Ia hanya merasa perlu menyendiri, barangkali ide manis mau menyambangi otaknya yang saat ini begitu kelabu. Sudah satu jam gadis itu mendengarkan musik; berpindah dari satu tempat ke tempat lain, dengan harapan ada sesuatu yang bisa dirangkainya. Ternyata tidak. Sekarang Nao akan mencoba cara lain. Nonton film.
Pertama, Nao membuka laptop dan menyalakannya. Mata indahnya tampak begitu jeli menelusuri satu per satu deretan judul film yang tersimpan dalam folder bernama sad ending movies. Ya, Selma Naomi Amida memang penggemar berat cerita sad ending. Apa yang ditulisnya pun kebanyakan cerita serupa.
Closer to Heaven. Film Korea yang berhasil menarik perhatiannya. Sebuah film yang dirilis tahun 2009 dan dibintangi salah satu aktris favoritnya, Ha Ji-won. Baru saja diputar, Nao menjeda film itu sejenak. Nonton rasanya hambar kalau tidak ada camilan. Dengan langkah tergesa, ia pergi ke dapur. Karena kurang hati-hati, gadis itu nyaris bertabrakan dengan sang mama yang datang dari arah berlawanan.
"Nao!" pekik Ami——mama Nao.
Nao memamerkan deretan giginya, merasa tak enak sekaligus takut. "Eh, Mama."
"Mau ke mana, sih? Buru-buru banget."
"Mau ambil keripik pisang yang dibawa Bibi itu, Ma. Masih ada 'kan?"
Ami geleng-geleng. Putri tunggalnya ini memang selalu membuatnya jengkel. Ia tahu, kalau Nao sudah mengambil keripik atau camilan apa pun ke dalam kamar, kegiatan selanjutnya pasti nonton. Kadang Ami merasa cemas melihat anak gadisnya lebih senang mengurung diri di rumah daripada bersosialisasi di luar. Hanya lewat media sosial saja Nao berkomunikasi——katakanlah dengan teman-teman virtualnya. Karena kebanyakan memang belum pernah bertemu langsung. Yang lebih mengerikan lagi, tak jarang ia memergoki anaknya itu tengah bicara sendiri, marah-marah, menangis, dan tertawa. Ami takut kalau kebiasaan itu terbawa sampai Nao dewasa.
"Keripiknya habis. Bibi cuma bawa tiga bungkus habis pulang kampung kemarin. Sana beli sendiri, camilan lain aja."
"Malas perginya, Ma. Suruh Bibi aja, ya?"
"Bibi lagi sibuk. Kamu pergi sendiri aja kenapa, sih? Kamu itu udah besar, Nao, 23 tahun. Apa masih pantas kalau segala sesuatu yang kamu perlukan masih mengandalkan orang lain?"
Nao menunduk. Niatnya mengambil keripik malah berbuntut panjang.
"Kalau mau, uangnya nanti Mama simpan di atas nakas. Kalau gak mau, ya, gak usah."
"Iya."
***
Orion menatap pantulan wajahnya di depan cermin. Seragam serba putih yang membungkus tubuhnya secara tak langsung menjelaskan kalau dirinya masih berada di tempat kerja. Namun, bukan itu yang menjadi fokusnya sekarang. Sebuah benjolan sebesar kelereng di lehernya seakan tak henti mencuri perhatiannya.
Belakangan ini benjolan itu sangat mengganggu. Terkadang membuat bagian tersebut terasa tegang dan kaku. Tubuhnya pun menjadi aneh. Orion mudah sekali merasa lelah, bahkan jatuh sakit.
Sekitar satu minggu yang lalu, ia sempat memeriksakan diri. Dokter Fabian memberikan antibiotik juga obat pereda nyeri——cefadroxil dan ibuprofen——sembari beliau mengobservasi. Katanya, kalau itu memang infeksi biasa, benjolan tersebut akan menyusut dalam beberapa hari. Namun, jika tidak, berarti memang membutuhkan penanganan khusus dari dokter spesialis, bukan lagi bagian dokter umum.
Diagnosis sementara berdasarkan hasil anamnesis juga pemeriksaan lain, ditemui adanya parotitis. Parotitis itu sendiri adalah suatu kondisi peradangan dan pembengkakan kelenjar ludah yang diakibatkan oleh infeksi virus. Tak hanya itu, ada pula diagnosis banding, yakni pembengkakan kelenjar getah bening atau KGB. Dan harus ditinjau lebih lanjut karena luas sekali penyebabnya. Boleh jadi karena batuk flu yang belakangan sering mendera, tetapi bisa juga karena sesuatu yang berbahaya.
Sudah cukup lama, tetap tak ada perbaikan sama sekali. Malah sekarang ini nafsu makannya menurun drastis. Orion yang biasanya makan tiga kali sehari, sekarang bisa makan sekali saja. Ini bukan karena Orion sedang berhemat, tetapi memang tidak ingin makan.
"Ri, kok malah melamun? Udah shalat belum?"
Orion terkesiap mendengar seseorang tiba-tiba bertanya padanya. "Gak kok, Bang. Ini baru selesai wudhu."
Hadi——seorang analis——mengangguk. "Ya udah sana shalat dulu, mumpung pasien lagi sepi."
Orion mengangguk, melupakan sejenak pikiran buruk tentang benjolan di lehernya. Semoga memang bukan apa-apa. Dokter Fabian memang mempertanyakan kondisinya, dan dengan tegas Orion menyatakan jika dirinya baik-baik saja. Ia malu kalau harus berobat secara gratis di tempatnya bekerja, meskipun ada kebijakan; bahwasanya semua karyawan/karyawati Klinik Medika Farma, boleh berobat atau berkonsultasi gratis di sini.
Ah, sudahlah. Lebih baik sekarang Orion shalat dan segera bersiap karena jam kerjanya sebentar lagi berakhir. Orion harus berpindah dari klinik ke tempat kerja selanjutnya——apotek.
Lelaki itu memang sengaja mengambil double job, agar bisa menabung untuk biaya pendidikan Alfa ke jenjang berikutnya. Gajinya sebagian ditabung, sebagian lagi digunakan untuk biaya hidup sehari-hari. Ada konsekuensi dari itu semua. Dalam sehari, 15 jam ia habiskan untuk bekerja. Akibatnya, intensitas pertemuan Orion dengan sang adik jadi berkurang. Bagaimana lagi? Orion yang hanya lulusan SMK, ingin sang adik bisa mengenyam pendidikan lebih tinggi darinya. Agar salah satu di antara mereka mampu membuat mendiang orang tuanya bangga di sana.
***
Nao menggerutu sepanjang jalan. Ia menyesal meminta keripik pada sang mama. Akhirnya Nao sendiri yang pergi untuk membeli camilan tersebut. Padahal Nao malas sekali ke luar rumah. Biasanya ia menyuruh asisten rumah tangga, tapi tadi mamanya sama sekali tak memperbolehkan. Bahkan, sampai membawa-bawa umur. Katanya, Nao sudah dewasa dan tidak boleh terus-menerus mengangdalkan orang lain.
Sepeda merah muda yang dikayuhnya melaju santai menyusuri area komplek perumahan. Jarak dari rumah ke mini market memang tidak terlalu jauh, jadi Nao memilih naik sepeda.
Pandangannya terhenti pada segerombolan anak berseragam putih biru yang terlihat seperti tengah bersitegang tak jauh dari posisinya. Dari berita atau artikel yang ia baca, zaman sekarang ini bullying merajalela, tawuran di mana-mana. Nao takut kalau anak di sana memang sedang merencanakan untuk tawuran. Tidak bisa dibiarkan.
"Hai, kalian!"
Tujuh anak itu menoleh bersamaan.
Nao menghentikan laju sepedanya. "Kalian lagi pada ngapain? Mau tawuran, ya? Wah, kecil-kecil udah kayak preman. Kalau udah besar kalian mau jadi apa, Dek?"
Hening. Ketujuh anak itu mengerutkan dahi, merasa bingung dengan apa yang dilakukan wanita dewasa di hadapan mereka.
Didiamkan dan ditatap seperti itu, Nao jadi salah tingkah. "Ka--kalian kenapa lihatin kayak gitu?"
"Kakak ngapain di sini? Siapa yang mau tawuran? Dasar orang dewasa sok tahu!" kata salah satu anak.
Nao melotot kemudian melihat nama anak tersebut. Alfa Nadif.Y. Akan ia tandai anak itu karena berani berkata seperti itu padanya. "Bukan sok tahu, memang betul. Biasanya kalau anak laki-laki sudah berkumpul seperti ini pasti sedang merencanakan sesuatu." Nao membela diri.
"Kita mau main PS, bukan tawuran. Alfa gak punya uang, jadi dia nolak ikut, padahal kita mau patungan buat bayarin."
"Kok itu ... kalian kelihatan tegang banget tadi? Aku kan mikirnya kalian lagi berantem, terus ngerencanain buat tawuran."
"Tenang aja, Kak. Kita kids zaman now yang menganut etika kids zaman old. Gak masuk ke dalam kategori bocah bau kencur yang doyan tawuran." Anak bertubuh gempal di sebelah Alfa menyahuti.
Nao tampak terkagum-kagum mendengar penuturan bocah itu. Seandainya semua anak di negeri ini berpikiran sama. Meskipun main playstation tidak bisa dibenarkan, tetapi jika waktu yang dihabiskan masih dalam batas normal, Nao pikir tidak apa-apa. "Nah, anak pintar. Kalian harus jauh-jauh dari yang seperti itu, ya? Kasihan orang tua yang sudah letih bekerja demi menyekolahkan kalian. Kalian diharapkan menjadi bibit bangsa yang berprestasi, bukan manusia yang sia-sia."
Disinggung masalah orang tua, suasana hati Alfa langsung berubah. Tanpa berkata apa pun anak itu melangkah pergi meninggalkan teman juga gadis bersepeda yang berhasil melukainya.
"Eh." Nao bingung melihat anak itu pergi begitu saja. "Dia kenapa?"
"Kakak sih nyinggung masalah orang tua. Alfa itu sensitif. Dia yatim piatu, Kak."
"Dek, tunggu!" teriak Nao sembari berusaha mengajar Alfa. Nao mengurungkan niatnya untuk membeli keripik karena sekarang ia harus meminta maaf.