Alfa menggeliat, meregangkan otot-ototnya yang terasa kaku selepas mengerjakan tugas. Sudah pukul 23.01 WIB dan Alfa belum tidur. Tadi si gadis bersepeda itu menyusulnya ke rumah. Ah, bukan menyusul, memang mengikutinya. Akhirnya mereka mengobrol hingga sore. Alfa jadi lupa untuk mengerjakan tugas.
Anak itu mengusap perutnya yang tiba-tiba saja berbunyi. Tengah malam masih terjaga malah membuatnya lapar. Alfa pun memutuskan keluar dari kamar. Karena biasanya, pulang kerja, sang kakak akan membelikan makanan.
Ketika melewati ruang tamu, Alfa melihat Orion tertidur di kursi panjang yang berbahan dasar bambu. Maklum, rumah ini tadinya ditempati oleh nenek dan kakeknya. Jadi, perabotan yang ada pun memang terkesan tua. Katanya rumah milik orang tuanya dulu sudah dijual, ketika Alfa masih kecil, untuk memenuhi kebutuhan mereka selama ini.
Ada perasaan iba melihat raut letih Orion. Badan kakaknya pasti sakit jika tertahan dalam waktu yang cukup lama pada posisi itu. "Bang," panggilnya.
Namun Orion masih bergeming. Dengkuran halus serta deru napas yang terdengar teratur menandakan kalau Orion tidur dengan pulasnya. Kalau dipikir lagi, waktu istirahatnya memang sempit sekali.
"Bang, bangun. Jangan tidur di sini."
Orion melenguh kecil. Mengerjap beberapa kali guna memperjelas pandangannya. Dengan mata yang masih menyipit menghalau silau dari lampu ruang tamu, ia menatap sang adik yang kini berdiri tak jauh darinya. "Loh, kenapa belum tidur, Al?"
"Lapar," jawab Alfa jujur.
Orion bangkit dari posisinya, kemudian membuka simpul keresek putih yang tergeletak di atas meja, lantas mengeluarkan isinya. "Tadi Abang beli martabak, tapi karena kamu lagi belajar, Abang gak berani ganggu. Eh, malah Abang ketiduran di sini sambil nunggu kamu."
Alfa tak menanggapi lebih lanjut. Ia meneguk salivanya, merasa tergiur melihat martabak yang baru saja disajikan sang kakak. "Abang udah makan?"
"Udah kok, tadi di tempat kerja," sahutnya. Padahal semua itu bohong belaka. Ia sama sekali belum memasukkan apa pun ke dalam perutnya sejak tadi. "Ini martabaknya udah dingin gak pa-pa?" tanya Orion yang langsung dijawab dengan gelengan oleh adiknya.
Kini Alfa sudah duduk di samping Orion sembari mengunyah sepotong martabak dengan coklat dan keju di dalamnya.
Sebuah senyum tersungging melihat betapa lahap adik kesayangannya makan. Lagi, kebahagiaan kecil itu membuat Orion berandai-andai. Jika saja orang tuanya masih ada, mungkin yang akan membawakan martabak atau makanan lain begitu malam datang adalah papanya, mengingat dulu sang papa pun sering melakukan hal serupa.
Pa, sekarang Ori tahu gimana capeknya kerja. Dan sekarang Ori juga tahu gimana bahagianya melihat orang yang kita sayang, makan dengan lahap. Makasih karena Papa sama Mama udah ngajarin banyak hal. Orion membatin. Kata yang tak mampu terucap, dengan sesak yang begitu kentara, diluapkannya dalam bentuk lain. Setitik air jatuh dari sudut mata Orion. Dengan gerak cepat lelaki itu menyekanya, membuat netra bening sang adik menatapnya penuh tanya.
"Abang kenapa?"
Orion menggeleng. Adiknya masih terlalu kecil untuk turut merasakan sesak di dadanya sekarang. Orion ingin melihat Alfa tumbuh sesuai usianya. Tidak dibubuhi beban berat apa pun seperti dirinya dulu. "Makan lagi yang banyak. Setelah itu kamu tidur. Udah malam."
***
Nao tidak bisa tidur. Wajah polos anak yang tadi bercerita padanya masih terbayang sampai saat ini. Alfa dengan hidupnya yang pahit turut menyentil hati kecil Nao. Bertolak belakang sekali dengan hidup Nao selama ini. Selma Naomi Amida hidup berkecukupan, di tengah-tengah keluarga yang harmonis. Jika ia dimarahi sang mama, ada papanya yang bersedia membela. Begitu pula sebaliknya. Sedangkan Alfa? Dia bahkan tidak akan pernah berada dalam situasi seperti itu.
Tunggu. Alfa punya kakak. Gadis itu merasa penasaran, kakak seperti apa yang saat ini membesarkan Alfa seorang diri? Dia pasti sangat hebat.
Baru kali ini ada orang yang bisa mengalihkan perhatiannya dari sekadar menulis dan mengurung diri di kamar. Nao jadi ingin mengunjungi anak itu lagi, lagi, dan lagi. Ya, besok ia akan ke sana. Membawakan beberapa makanan untuk Alfa. Semoga saja ia beruntung bisa bertemu dengan kakak anak laki-laki itu. Biarpun terkesan seperti ada cabai di balik bakwan, tapi Nao tulus ingin berteman dengan Alfa.
Baiklah, sekarang lebih baik Nao tidur. Kalau besok ia bangun terlambat, bisa-bisa mendapat ceramah gratis dari sang mama.
***
Alfa berdiri di depan kamar sang kakak dengan gusar. Sejak dini hari tadi, ia mendengar kakaknya terbatuk-batuk. Bahkan, sekarang Alfa sama sekali belum melihat Orion ke luar dari kamar. Alfa tidak berani mengetuk pintu, walau untuk sekadar menanyakan apakah orang di salam sana baik-baik saja.
Namun kecemasannya meluap, begitu melihat lelaki berseragam putih-putih lengkap dengan ransel yang tersampir di bahu, serta sebuah buff yang membekap area mulut juga hidungnya, keluar kamar.
"Al, ngapain jam segini udah di depan kamar Abang? Abang lupa kasih bekal, ya?"
Alfa menggeleng. Ingin sekali ia menjawab bahwa dirinya cemas. Namun, lidahnya kelu untuk bertanya demikian. Alfa terlalu ... gengsi menyuarakan apa yang ia rasa.
"Terus kenapa?"
"Cuma mau ngingetin, uang buat bayar study tour paling lambat minggu depan. Abang gak boleh telat, atau aku gak bakal dibolehin ikut."
Orion mengangguk. "Abang mungkin nanti pulang pagi. Habis dari apotek, ada kerjaan lain. Lumayan buat tambah-tambah bekal kamu nanti," katanya seraya mengacak pelan puncak kepala Alfa.
Lembur lagi? Suara kakaknya bahkan sudah terdengar seperti orang sakit. "Bang ...."
"Hmm?"
"Aku nyusahin?"
Orion menggeleng cepat. Selama ini kerja kerasnya memang didedikasikan untuk satu-satunya keluarga yang ia punya——Alfa. Tidak ada kata menyusahkan. Apa pun akan Orion lakukan, asal adiknya bahagia. Mungkin itu semua tidak akan bisa menggantikan kekosongan yang ditinggalkan orang tua mereka, tetapi setidaknya bisa membuat Alfa lupa sejenak akan rasa kehilangan itu sendiri. Bertukar nyawa sekalipun Orion rela. "Kamu gak pernah menyusahkan, Al. Justru kamu harus tahu, kalau kamu adalah alasan Abang tetap hidup."
Seperti kehabisan kata-kata. Alfa bungkam. Ia tidak menyangka, bahwa dirinya sepenting itu bagi sang kakak. Jujur, ia merasa pincang dan tak punya pegangan tanpa kedua orang tuanya. Terus berjibaku dengan rasa sakit, sibuk dengan sisi egoisnya, sampai ia lupa kalau selain dia, ada pula orang yang sama terlukanya. Seseorang yang saat ini sedang kepayahan memperjuangkan kebahagiaannya. "Bang, maaf."
"Jangan nangis ...." Orion bertutur lirih melihat mata adiknya mulai berkaca-kaca. "Udah, ah. Sekarang kamu Abang antar ke sekolah, ya."
Alfa mengangguk kecil sebagai jawaban. Setelahnya, ia mengikuti sang kakak dari belakang untuk diantar pergi ke sekolah.