[Kendra Leander]
Hari ini, gue berkunjung sebentar ke rumah Adara. Gue punya hal spesial yang akan gue berikan untuk dia. Gue berharap dia suka.
Jujur, sampai saat ini gue masih tidak menyangka bahwa Adara adalah pacar gue. Karena gue tahu kedekatan dia dengan Gabriel yang sudah terlihat seperti pasangan. Tadinya, gue sempat berpikir kalau Adara menyukai Gabriel, tapi dengan dia yang membalas perasaan gue, keyakinan gue tentang hal itu seketika luntur. Gue juga bingung, dari mana gue mendapatkan keberanian untuk menyatakan cinta kepada Adara. Semuanya mengalir begitu saja.
Adara adalah perempuan pertama yang berhasil menempati tahta di hati gue. Karena sebelumnya, gue belum pernah merasakan perasaan cinta yang begitu besar kepada seorang perempuan. Walaupun menurut orang lain dia judes, tapi menurut gue dia sangat menggemaskan. Adara adalah perempuan pertama yang berhasil gue miliki. Gue berharap, ini bertahan sampai maut memisahkan.
Saat sampai di depan rumahnya, gue melihat Adara yang tersenyum manis menatap gue.
Gue balas tersenyum, lalu melangkah lebih dekat menghampirinya.
"Udah siap?" tanya gue.
Dia mengangguk.
Gue tersenyum puas. "Gue izin dulu deh, ya!"
"Ayah sama Bunda lagi ke pasar. Tapi tadi aku udah izin kok," ujar dia.
Gue mengangguk lalu mengulurkan tangan untuk dia sambut.
Adara sempat tersenyum sesaat, lalu menyambut uluran tangan gue. Kita saling menggenggam. "Memangnya kita mau ke mana?" dia bertanya penasaran.
Gue menoleh menatap matanya. "Ke suatu tempat yang menurut aku, kamu suka."
Adara mengangguk.
Gue teringat sesuatu. "Oh iya, besok kita jadi bikin ramuan lagi, kan?"
Adara berpikir sebentar sebelum mengangguk. "Iya, di rumah Mey."
"Nanti aku jemput lagi, ya?"
Dia tersenyum.
Gue membawanya ke suatu tempat yang banyak sekali bunga. Karena gue tahu, Adara sangat menyukai harum dan indahnya bunga.
"Kita sampai," ucap gue saat kita sudah sampai.
Gue melihat mata Adara berbinar melihat banyak sekali bunga yang ada di sini. Tak lupa dengan senyum yang menghiasi wajah cantiknya.
"Kok aku nggak tahu, ada tempat seindah ini di Desa Tiwa?" heran dia.
Gue terkekeh. "Aku juga baru nemu beberapa hari yang lalu."
Dia tersenyum dan menatap gue.
Gue bingung, kenapa hati gue selalu berdebar saat mata indahnya menatap gue ditambah dengan senyum manis yang terukir di bibirnya.
Lalu, dia berlari memetik salah satu bunga berwarna ungu di sana. Dia berbalik menghampiri gue, dan ya, gue juga kaget. Dia memberikan bunga itu untuk gue.
Gue menerima bunga itu dengan senang hati.
Gue menatap matanya lama. Gue selalu tenggelam oleh tatapan teduhnya yang khas. Lalu, gue menyelipkan rambutnya ke kuping, dan menyisipkan bunga ungu yang tidak kalah indah dari Adara ke kupingnya.
Dia terkekeh.
Tanpa gue duga, dia memeluk gue, menenggelamkan kepalanya di d**a gue. Gue terenyuh, tanpa pikir panjang, gue membalas pelukannya, membelai lembut rambut halusnya. Gue mencium puncak kepalanya penuh rasa sayang. Adara melepas pelukannya, gue melihat semburat merah di pipinya, membuat gue tersenyum sempurna. Gue menangkup wajahnya, memperhatikan betapa indahnya ciptaan Tuhan. Dia balas memegang tangan gue. Kami semakin mempertipis jarak. Gue benar-benar sudah terbuai dengan pesona Adara. Gue mencium keningnya lama. Setelah itu, gue menatap Adara, begitu juga dengannya. Kami saling bertatapan lama.
Dipinggir taman bunga yang indah, untuk pertama kalinya, gue merasakan sensasi bahagia yang belum pernah gue rasakan sebelumnya.
Adara tersenyum, senyumnya menular ke gue. Gue melihat pipinya merah merona. Dan dia kembali memeluk gue, membenamkan wajahnya kembali di d**a gue, kali ini gue pastikan karena malu.
***
Kini, gue sedang berada di rumah Adara, gue memerhatikan dia sedang menghangatkan makanan yang sudah dimasak oleh bundanya. Sedangkan bundanya, sedang mengantar makanan sebentar ke sawah untuk ayahnya. Karena, mayoritas laki-laki dewasa di Desa Tiwa bekerja petani. Gue diizinkan masuk oleh bunda Adara karena dia percaya gue tidak akan berbuat macam-macam kepada putri cantiknya. Dan tentu saja gue tidak akan menyia-nyiakan kepercayaan yang sudah bunda Adara berikan.
Adara menghampiri gue dengan nampan di tangannya. Tak lupa dengan senyum yang tercetak begitu sempurna di wajahnya. Kami menyantap sup hangat dengan nasi putih. Rasanya sangat enak. Gue jadi penasaran dengan rasa masakan Adara. Pasti tidak jauh berbeda dengan masakan bundanya.
Setelah selesai, gue menemani Adara mencuci piring bekas kami makan. Hanya menemani, tidak membantu, karena Adara tidak ingin di bantu. Lebih tepatnya, dia tidak ingin gue recoki.
Gue tersenyum menatap wajahnya dari samping.
Dia menoleh sebentar. "Ngapain lihat-lihat?" ujarnya jutek.
Dia sudah kembali dengan mode judesnya. "Emang nggak boleh lihat wajah cantik pacar sendiri?"
Dia menatap tajam ke gue.
"Oh, nggak boleh, nih? Ya udah, aku lihat cewek lain aja, ah!" ucap gue bercanda sambil berbalik badan.
"Awas aja kalau lo berani lirik cewek lain!" ucapnya terdengar ketus.
Gue tertawa, lalu kembali berbalik. "Ngapain juga lirik cewek lain, kalau di depan mata aku sudah ada bidadari yang cantiknya luar biasa?"
Dia melirik gue, sangat terlihat menyembunyikan senyum tawanya.
"Kalau mau ketawa, ketawa aja, nggak salah kok, berbagi kebahagiaan sama pacar sendiri," gue merayu.
Dia menatap gue, mencolek hidung gue dengan jari telunjuknya yang terdapat busa cuci piring. "Sejak kapan, pacar aku jago gombal?"
Gue terkekeh, sengaja tidak menghapus busa yang ada di hidung gue. "Sejak aku resmi menjadi milik kamu."
Dia ikut terkekeh dan menggeleng.
Gue tersenyum.
Adara sudah selesai mencuci piring, dia melihat gue. Lalu dia menggeleng heran. "Kok ini nggak dibersihin?" ucapnya sambil menghapus busa yang ada di hidung gue dengan jari telunjuknya.
"Sengaja, biar dibersihin sama pacar."
"Ah udah ah, jangan gombal terus!"
"Tadi itu bukan gombal loh?!"
"Terserah kamu aja!" Lalu dia berjalan meninggalkan gue di dapur.
"Kok aku ditinggal?" ujar gue sambil menyusul dia yang sudah duduk di sofa ruang tamu.
"Cuma dari dapur ke ruang tamu, kok. Yang penting, aku nggak akan ninggalin kamu jauh-jauh. Karena aku sayang sama kamu," ucapnya membuat gue yang berada di sebelahnya takjub setengah mati.
Gue mendekat ke Adara, menaruh tangan di pundaknya, yang ia sambut dengan senang hati. "Cie... yang udah bisa gombal!"
Dia terkekeh, lalu meletakkan kepalanya di pundak gue. "Kamu nggak mau balas aku juga sayang kamu, ke aku gitu?" ucapnya dengan nada manja.
Mata gue membola, baru kali ini gue dengar nada manja keluar dari mulut seorang Adara Rosalie. "Iya, aku juga sayang kamu. Kamu perempuan kedua yang aku sangat sayangi setelah ibu aku."
Dia menengadahkan kepalanya, menatap gue sebentar, lalu mencium pipi gue. Dan kembali bersandar di pundak gue. Gue tersenyum, membelai halus rambutnya dan mengecup singkat puncak kepalanya.
"Kamu jangan tinggalin aku, ya?" pertanyaan itu terlontar dari mulut Adara.
Untuk kesekian kalinya gue terkejut. "Iya, nggak akan."
Dia mengangguk, seakan percaya apa yang gue katakan barusan. Gue sendiri juga yakin tidak akan meninggalkan Adara sendirian, kecuali semesta yang tidak menyetujui apa yang sudah gue rencanakan.
Dia mengangkat kepalanya, tidak lagi bersandar di pundak gue. Mungkin Adara sudah merasa pegal.
"Ra, aku kaget loh, kamu gombal ke aku, dengar nada manja keluar dari mulut kamu, dan ya, kamu bertanya kaya tadi ke aku."
Dia terkekeh. "Seharusnya kamu beruntung! Bisa melihat sisi lain Adara yang kaya hello kitty."
Gue mengembangkan senyum. "Aku sudah merasa beruntung sejak kamu menerima cinta aku Ra, dan aku anggap aku tahu sisi lain kamu ini, sebagai bonus yang sama sekali tidak pernah aku duga sebelumnya."
Dia ikut tersenyum. "Terima kasih, telah memilih aku dari sekian banyak perempuan yang ada. Telah memilih aku yang sangat tidak sempurna."
"Bagi aku kamu sempurna, Ra. Dan justru aku yang berterima kasih sama kamu, karena telah menerima aku apa adanya."
Dia meneteskan air matanya.
Membuat gue sedikit terlihat kalap. "Kamu kenapa nangis? Aku ada salah ngomong?"
"Aku nangis bahagia, Ken. Karena sebelumnya, aku tidak pernah membayangkan rasanya di cintai dengan begitu tulus oleh laki-laki selain ayahku."
Gue tersenyum dan mendekapnya.
Dalam pelukan gue, dia berkata. "Terima kasih telah melihat aku dengan kaca mata yang berbeda dari yang lain."
Gue mengerti maksud ucapannya.
"Aku senang bisa pacaran sama kamu. Dan berteman sama Mey, Ray dan Gabriel. Mereka orang selain kamu, yang memandang aku berbeda dari yang lain. Kamu dan mereka sangat berharga di hidup aku."
Gue mengangguk, mengusap punggungnya menenangkan. Gue sangat mengerti atas apa yang ia ucap. Dia sempat memiliki masalah saat SMA dan cuma gue, Meysha, Ray dan terutama Gabriel yang bersedia berdiri di sampingnya. Dia menggunakan sikap dinginnya sebagai tameng dan topeng supaya tidak di anggap lemah dalam menghadapi masalah saat itu.
Gue melepas pelukan, menatap matanya, yang masih saja mengeluarkan cairan bening. Dengan senang hati, gue menghapus air matanya dengan perasaan sesak. Karena gue tahu, apa yang dia bayangkan dan rasakan sekarang. "Kamu nggak perlu bayangin masa kelam kamu yang dulu. Jadikan saja sebagai pelajaran agar kamu menjadi lebih tegar. Ada aku, Meysha, Ray dan Gabriel yang selalu di samping kamu. Kamu tidak akan pernah sendiri, Ra."
Dia tersenyum dan mengangguk, lalu kembali memeluk gue.
***