CHAPTER IV | Semoga

2028 Words
[Adara Rosalie] Gue sedang berada di dalam pelukan Kendra. Jujur, gue benar-benar nyaman berada dalam dekapannya. Gue menangis sejadi-jadinya di sini. Pikiran gue melayang mengingat kejadian dua tahun yang lalu. Di mana gue harus menulikan telinga dari cibiran teman-teman gue, yang bahkan sudah nggak layak gue sebut sebagai teman. Semua teman-teman gue menyebut gue sebagai pencuri. Yang padahal gue berpikiran melakukan perilaku tercela tersebut juga tidak pernah. Itu semua di mulai saat Ghatan kehilangan uang untuk membayar ujian sekolah. Kebetulan saat itu gue dan Gabriel merupakan teman dekatnya Ghatan. Sampai saat ini pun, gue masih tidak percaya Ghatan menuduh gue sebagai pencuri yang mengambil uangnya. Dan, ya memang saat itu Ghatan pernah cerita ke gue soal ia membawa uang yang cukup banyak untuk membayar ujian sekolah. Dan saat itu juga, keluarga gue sedang dalam masa kesulitan, untuk makan saja kami harus mengutang dari warteg tetangga yang cukup mengenal kami. Demi apa pun, gue nggak pernah berpikir untuk menjadi pencuri. Semiskin-miskinnya keluarga gue, gue nggak pernah terbayang untuk melakukan perbuatan hina seperti itu. Dan tak lama uang Ghatan hilang entah kemana, salah satu teman gue kehilangan uang lagi. Kejadian itu terus terulang sampai lima kali bahkan lebih. Hal itu membuat gue terus-terusan dituduh sebagai pencuri. Saat itu, cuma Gabriel yang mau pasang badan untuk gue, dia benar-benar tidak percaya dengan gosip yang beredar bahwa gue adalah pencuri. Tak lama dari itu, Kendra, Ray dan Meysha ikut pasang badan untuk melindungi gue. Yang awalnya gue nggak begitu mengenal mereka bertiga, sampai menjadi sedekat ini karena gue tahu dan yakin mereka orang baik. Hanya mereka berempat yang percaya bahwa gue orang baik di SMA pada saat itu. Mereka membela gue saat ada yang menghina gue pencuri. Bahkan membantu gue membersihkan luka saat ada orang yang mencelakai gue, karena tidak terima gue mencuri uangnya. Berbagai pembelaan sudah gue keluarkan dari mulut. Bahkan, Gabriel, Kendra, Ray dan Meysha juga ikut membela gue lewat berbagai perkataan meyakinkan, yang sayangnya tidak bisa orang lain percaya. Sampai-sampai mereka berempat sempat di tuduh sebagai komplotan pencuri yang dipimpin oleh gue. Jujur, saat itu gue sempat takut kehilangan mereka, tapi yang mereka lakukan benar-benar di luar dugaan gue. Mereka tetap berada di samping gue sampai akhir. Banyak teman-teman gue yang mencaci gue sebagai pencuri. Bahkan saking maraknya berita itu, gue sampai dihakimi di ruang BK. Gue menangis sejadi-jadinya di sana, memohon kepada guru BK untuk tidak mengeluarkan gue dari sekolah. Seharusnya guru BK bisa memberikan keadilan untuk gue, nyatanya mereka sama saja seperti yang lain. Hanya Bu Wina yang percaya sama gue, Bu Wina ikut membantu gue untuk membujuk para guru dan kepala sekolah agar tidak mengeluarkan gue. Saat keputusan sudah para guru ambil, yaitu untuk tidak mengeluarkan gue dari sekolah karena tidak ada bukti yang mendukung bahwa gue adalah pencuri. Jelaslah tidak ada bukti, toh gue tidak pernah melakukan perilaku cela tersebut. Gue senang, karena tidak dikeluarkan sekolah. Tapi, siswa yang menuduh gue sebagai pencuri malah bersatu menyuarakan pendapat untuk mengeluarkan gue melalui gerakan demo di sekolah. Gue langsung melihat pemandangan menyesakkan itu saat gue keluar dari Ruang BK. Entah siapa yang dengan cepat menyebarkan berita bahwa gue tidak dikeluarkan dari sekolah, padahal hal itu baru di putuskan beberapa menit yang lalu. Gue benar-benar nggak percaya mereka semua melakukan hal itu. Hati gue sesak sekali melihat Gabriel, Kendra, Ray dan Meysha mati-matian membela gue, mati-matian berusaha untuk menghentikan demo itu. Kekalahan sudah ada di depan mata gue. Hanya empat orang yang membela gue, sedangkan satu sekolah menghina gue sebagai pencuri dalam demo tersebut. Gue melihat Kendra berlari ke arah gue, dia sempat menepuk pundak gue tersenyum, lalu memasuki ruang BK yang di dalamnya masih banyak guru. Gue ingat perkataan Meysha saat demo tersebut berlangsung. Saat dia melihat gue keluar dari Ruang BK, dia langsung berlari memeluk gue dan berucap. "Lo nggak salah, Ra. Lo jangan pernah takut. Lo pantas mendapat keadilan dari sekolah. Gue dan yang lain janji akan berusaha supaya lo mendapat keadilan di sini." Kata-kata itu bak suntikan semangat buat gue. Gue langsung menghapus air mata. Guru-guru yang mendengar keributan langsung ke luar dari ruangan. Dan tanpa gue sangka, semua guru membela gue. Gue nggak tahu apa yang terjadi, entah apa yang dilakukan Kendra di dalam sana. Mulai saat itu, gue mendapat keadilan dari sekolah. Pihak sekolah menghukum semua siswa yang selama satu bulan penuh menuduh gue sebagai pencuri. Gue sama sekali nggak menyangka hal ini bisa terjadi. Setelah gue tanya dari Kendra alasan yang ia berikan kepada guru, gue geleng-geleng kepala mengetahui itu. Ternyata, Kendra, Gabriel, Ray dan Meysha di luar sepengetahuan gue, mereka mencari pelaku yang memfitnah gue sebagai pencuri. Mereka tepat waktu mengumpulkan bukti untuk membela gue. Kendra melepas pelukannya. Dia menatap mata gue. "Aku mohon, kamu jangan ingat masa kelam itu lagi, ya?" Gue mengangguk, dia mengerti apa yang gue pikirkan selama dalam dekapan dia. Dia menghapus air mata gue dengan lembut. "Kamu nggak akan pernah sendiri, Ra." Gue tahu dan percaya itu. Gue mengangguk. Kami sempat mengobrol sebentar, sampai akhirnya, bunda pulang dan menyapa kami sebentar. Wajah bunda terlihat panik saat melihat mata sembab gue. "Kamu nangis, Ra? Kamu diapain sama Kendra?" tanya Bunda sambil menatap tajam Kendra dan menghampiri gue. Gue melihat Kendra, mukanya terkejut mendengar tuduhan bunda. Gue terkekeh. "Nggak, Bun. Tadi aku tiba-tiba teringat masa kelam aku pas SMA." Saat itu juga, wajah bunda kembali teduh, dia mengusap pundak gue. "Dengan kejadian itu, kamu jadi pribadi yang lebih kuat, Ra. Kamu jangan ingat hal itu lagi, ya?" Gue tersenyum. Bunda tahu apa yang terjadi saat gue SMA. Bahkan, bunda bolak-balik ke sekolah menemui guru, mencari keadilan untuk gue. Tapi tidak di hiraukan, karena mereka menganggap ini hanya gosip sementara. Saat itu pihak sekolah masih percaya sama gue. Dan entah kenapa, keadaan tiba-tiba berbalik. "Bunda lihat, kalian saling cinta. Kendra, kamu nggak ada niat untuk nikah muda?" tanya Bunda sedikit serius. Gue dan Kendra saling tatap terkejut. "Bun," ucap gue kesal. Kendra terkekeh. "Aku belum ada niat nikah muda, Bun. Aku juga belum punya pekerjaan, nanti anak istri aku mau dikasih makan apa kalau gitu? Lagian juga, aku masih punya niat untuk kuliah, Bun." Gue melihat mata Bunda berbinar. "Wah, itu jawaban yang Bunda mau. Bagus kalau kamu berpikir rasional. Bunda jadi makin setuju kalau kamu pacaran sama Dara." "Jadi tadi Bunda cuma mengetes Kendra?" heran gue. Bunda mengangguk mantap. "Ya udah, Bunda ke dapur dulu, ya. Kendra kalau mau minum, langsung ambil aja ya, jangan sungkan." Kendra mengangguk. "Ken," panggil gue. Dia menoleh. "Apa, cantik?" Gue tersenyum. "Aku nggak mau kehilangan kamu." Dia ikut tersenyum menatap gue. "Aku juga. Kita harus saling janji, sebesar apa pun masalah yang nanti akan terjadi di hubungan kita, jangan sekali-kali kita memiliki pikiran kalau putus adalah jalan yang paling baik." Gue terenyuh mendengar ucapannya, gue mengangguk, memberikan jari kelingking, meminta untuk di sambut. "Janji." Dia menyambut jari kelingking gue, tersenyum. "Janji." Kami saling menautkan jari kelingking, saling menatap dan tersenyum. Berharap semoga semesta mendengar dan mengabulkan apa yang kami harap. "Ken, kamu kenapa bisa suka sama aku?" pertanyaan itu tiba-tiba terlontar dari mulut gue. "Karena menurut aku, kamu adalah sosok perempuan yang selama ini aku cari dan begitu kuinginkan untuk menjadi milik," jawabnya terdengar serius. Gue mengangguk. Jawaban Kendra sungguh diluar dugaan. Biasanya, dari buku novel yang sering gue pinjam dari Meysha, laki-laki kebanyakan bilang seperti ini. "Bukan karena aku berbeda dari perempuan lain?" gue langsung menanyakan hak itu kepada Kendra. "Aku nggak butuh perempuan yang berbeda, Ra. Menurutku, semua perempuan itu sama, sama-sama memiliki kecantikan luar dalam. Hanya saja, kebanyakan dari mereka memilih untuk menunjukkan hal itu kepada orang yang menurutnya tepat." Gue terharu banget mendengar perkataan Kendra. Sepertinya Kendra memang laki-laki yang tepat untuk gue. *** Saat sore hari, gue membantu Bunda membuat bolu tape. Bolu tape adalah kue favorit gue. Gue juga punya rencana akan memberikan kue ini kepada Kendra. Gue menyicipi potongan bolu tape yang sudah matang. Rasanya selalu enak, tidak ada yang bisa menandingi enaknya bolu tape buatan Bunda. Setelah itu, gue langsung mengambil wadah dan memasukan potongan besar bolu tape yang akan gue berikan untuk Kendra. Gue harap dia suka. "Udah rapi bolu untuk Kendra nya?" tanya Bunda yang melihat gue sudah memegang wadah berisi bolu tape. Gue mengangguk. "Udah, Bun. Ya sudah, aku pamit ke rumah Kendra dulu ya." Bunda tersenyum. "Iya, sayang. Hati-hati." Gue berjalan ke rumah Kendra dengan langkah kecil. Dan hati yang begitu gembira. Setiap hari gue selalu menghabiskan waktu dengan dia. Dengan bertemu Kendra setiap hari, bukannya merasa bosan, justru membuat rasa cinta gue tumbuh semakin besar. Gue tulus mencintai Kendra. Di perjalanan, gue sempat melihat Meysha yang sedang mengobrol dengan Gabriel di bawah pohon tempat biasa kami berlima berkumpul. Dan samar-samar, gue melihat Ray seperti orang yang sedang menguping obrolan mereka. Gue punya ide. Sebelum gue ke rumah Kendra, nggak ada salahnya kan, kalau gue mengerjai salah satu sahabat gue dulu? Gue berjalan memutar, menghampiri Ray. Saat tiba di belakang tubuh Ray, gue berucap, "Mereka ngomongin apa?" "Itu, si Gabriel gombal ke Meysha. Garing banget lagi," ujar Ray seakan merasa tidak ada yang salah. Gue terkekeh kecil. "Oh gitu, lo kesel banget dong?" Ray terlihat membuang napas, "Ya iyalah kan gue...." Dia diam sebentar, memproses sebuah kejanggalan yang baru saja ia sadari. Beberapa detik kemudian, dia menoleh ke belakang dan terkejut. "Astaga, Adara!" Sontak, gue melepas tawa tanpa dosa. Membuat Meysha dan Gabriel memerhatikan gue dan Ray dengan muka terkejut dan menahan malu. "Lo berdua ngapain di sini?" tanya Gabriel sedikit sewot. Ray berdeham. "Gue tadi lagi mau nyamperin kalian. Eh, Adara muncul bikin gue kaget." Gue mengangguk. "Nah gitu. Tapi gue mau ke rumah Kendra, sih. Ya udah sana Ray, katanya mau nyamperin mereka. Gue ke rumah Kendra dulu, ya." Gue langsung berlari begitu saja meninggalkan Ray yang sepertinya sedang menyembunyikan rasa canggung sekaligus rasa kesal ke gue. Ternyata, ngerjain teman seru juga, ya! Apalagi teman yang asal ceplos seperti Ray. Sesampainya di rumah Kendra, tanpa ragu, gue mengetuk pintu dan memanggil namanya, "Kendra! Kendra! Someone you love in here!" Tak lama dari itu, Kendra keluar dari rumahnya, dia tersenyum, dan langsung mengacak rambut gue. "Kamu tuh, ya. Bisa aja bikin aku bangkit dari kenyamanan rebahan di kasur." Gue terkekeh sambil merapihkan rambut. "Aku bawa bolu tape, nih. Buat kamu. Kali ini aku ikut andil dalam pembuatan ini." Mata dia berbinar mendengar penjelasan gue. "Wah, pasti enak ini. Masuk, yuk!" Gue mengangguk dan mengikuti langkah Kendra memasuki rumah. "Bibi kamu pulang?" gue bertanya, setelah melihat rumah Kendra yang sepi. Karena di Desa Tiwa, Kendra dititipkan oleh Bibinya. Sedangkan kedua orang tua Kendra bekerja di luar Desa Tiwa. Hanya pulang setiap satu bulan dua kali. Dia mengangguk. "Apa kamu mau ngobrol di luar aja?" Gue menggeleng, karena gue percaya Kendra nggak akan berbuat macam-macam ke gue. "Di sini aja. Cobain, dong kuenya!" Dia mengangguk antusias, tanpa ragu dia langsung memakan bolu tape dari gue. "Ini enak loh, Ra. Ada resep rahasia, ya?" Gue mengernyit bingung. "Nggak ada resep rahasia apa-apa, kok." Kendra tertawa lepas. "Memang gak di tambah resep cinta, gitu?" Gue tersenyum malu. "Kalau itu sih pasti. Kamu nggak perlu nanya lagi," gue ikut meladeni. Dia terkekeh. "Ra," panggil Kendra. Gue menoleh, menatap matanya. "Apa?" "Kamu tahu nggak, apa yang aku bayangin saat rebahan tadi?" tanya dia serius. "Apa pun itu, pasti aku jadi tema dari khayalan kamu. Iya, kan?" jawab gue yakin. Dia mengangguk. "Seratus. Aku tadi membayangkan bagaimana kita lima belas tahun ke depan, jika kita masih bersama. Aku membayangkan, kamu adalah orang pertama yang aku lihat saat bangun tidur. Aku bantu kamu menjaga anak kita yang masih sering nangis. Kamu mencium tangan aku saat aku akan berangkat kerja. Kamu yang dengan senang hati menyambut aku saat pulang kerja. Aku membantu kamu memasak. Intinya, aku membayangkan tentang kehidupan rumah tangga kita yang sederhana dan tetap manis di kemudian hari, Ra." Gue terharu mendengarnya, bahkan gue sendiri belum pernah berpikir sampai sejauh itu. "Aku harap apa yang kamu bayangkan, suatu saat nanti akan terjadi. Aku akan dengan senang hati berada di sampingmu, bagaimanapun kondisinya." Dia mengangguk, lalu membelai lembut pipi gue. Menciptakan kenyamanan yang sangat bagi gue. "Semoga semesta menyetujui apa yang kita cita-citakan ya, Ra." Gue mengangguk, ikut mengaminkan dalam hati apa yang Kendra ucap. ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD