CHAPTER V | Rasa Aneh & Pedih

2214 Words
[Gabriel Jourdain Lovatach] Meysha. Nama itu terus terngiang di kepala gue. Perempuan pertama yang dengan berani memberikan cup cake lezat ke gue. Karena, selama ini sama sekali gak ada perempuan yang berani melakukan itu. Terutama sejak SMA saat gue menjadi pembela Adara. Gue bukan menyesal membela Adara, justru gue bangga. Tapi, sejak saat itu gak ada lagi cewek yang deketin gue padahal sebelumnya banyak. Tapi gue bersyukur, karena sisa satu tahun gue di SMA bisa gue jalankan dengan aman dan damai tanpa gangguan dari arah manapun. Dan, sekarang gue malah merasa asing dengan rasa ini. Meysha. Gue akui dia manis. Sepertinya, mulai dari kemarin, gue merasa tertarik dengan eksistensi Meysha di hidup gue. Bahkan, gue baru menyadari bahwa Meysha secantik itu sejak dua tahun yang lalu gua kenal dekat dengan dia. Entah mengapa, gue ingin sekali bertemu dengan Meysha. Dan entah dorongan dari mana pula, saat ini gue tengah bersiap untuk menemui Meysha. Gue merasa sangat asing dengan rasa, sensasi atau apa pun semacamnya yang sejak semalam bersemayam di lubuk hati terdalam gue. Gue jatuh cinta,kah? Secepat itu? Dengan, Meysha? Gue menggeleng, pasti bukan jatuh cinta. Pasti bukan. Mungkin ini cuma rasa penasaran terhadap perempuan? Yang dapat berakhir dengan jatuh cinta? Di depan cermin, gue melihat mata gue membola dan lekas menggeleng. Nggak. Nggak. "Kenapa, Kak?" Sebuah suara mengintrupsi gue. Gue langsung menatap ke arah pintu. Terlihat adik gue tengah menyembulkan kepalanya di sana. "Lo nggak sopan banget sih," ujar gue ketus. Dia tertawa, lalu dengan santai memasuki kamar gue dan duduk di kasur gue. "Lagi mikirin cewek, ya?" Dia menebak tepat sasaran. Jelas gue memilih menggeleng, gengsi banget gue kalau adik gue tahu. "Siapa yang ngizinin lo masuk?" Dia mencebik, "Ya elah Kak, sama adik sendiri jutek amat. Aku mau nanya tentang Kak Ray dong, Kak Gabriel kan sohibnya Kak Ray." Gue menatapnya sinis. "Lo suka sama Ray?" "Cuma penasaran aja. Kak Ray orangnya lucu banget soalnya." "Gue nggak ada waktu. Gue pergi dulu." Dia menahan tangan gue. "Mau nemuin cewek, ya? Gak biasanya loh Kakak nyuekin aku kayak gini. Ngaku! Siapa ceweknya?" Gue mencoba melepas tangan dia yang memegang pergelangan tangan gue. "Udah deh, nggak usah sok tahu." "Hmm, bentar. Kak Gabriel kan ansos. Et... jangan marah!" katanya begitu melihat mata gue melotot. "Kak Gabriel cuma punya teman cewek dua. Salah satunya Kak Adara. Tapi nggak mungkin, kan Kak Adara udah jadian sama Kak Kendra. Wah, pasti Kak Meysha, ya?" Gue mendekatkan wajah. "Sok tahu!" ucap gue sambil mencubit pinggangnya lalu langsung berlari keluar kamar dan menutup pintu kamar gue. Dia berteriak nyaring, "KAK GABRIEL! NGESELIN BANGET SIH JADI KAKAK! Kok bisa ya, Zanna punya kakak kayak Kak Gabriel. Udah sombong, jahil lagi." Gue berlalu tanpa memedulikan gerutuan Zanna. Gue berjalan dengan langkah pelan sekaligus ragu menuju rumah Meysha. Gue bingung. Pikiran putar balik terus bergentayangan di otak gue. Anehnya, gue malah memilih untuk terus melangkah maju walaupun ragu. Saat sudah tiba di depan pintu Meysha, dengan cepat gue langsung memutar balik tubuh. Tapi sudah terlambat, dari belakang terdengar suara pintu terbuka dan itu adalah Meysha, terdengar dari suaranya yang khas saat kebingungan melihat gue. "Gabriel?" Ya ampun. Gue udah terlanjur tertangkap basah. Mau nggak mau gue harus berbalik untuk menjawab sapaannya yang penuh dengan tanda tanya. Gue tetap memasang wajah datar, walau demi apa pun gue gugup sekali. Mungkin Meysha bingung melihat gue sedari tadi hanya terdiam kiku. Mau gimana lagi, gue bingung banget mau jawab apa. "Ada apa?" Ayo dong, mikir! Satu ide tiba-tiba berkelibat di otak gue. Walaupun gue sangat tidak yakin. "Temenin gue jalan, yuk." Bodo amat. Gue harus menyampingkan ego. Gue harus keluar dari zona yang Gabriel banget. Walau, hanya untuk Meysha? Gue melihat dia terkejut dari gesture tubuhnya. Seketika, senyumnya melengkung berbarengan dengan matanya yang ikut berbinar. Oh god, she is so pretty! "Ke mana?" tanyanya. Oke cukup kagumnya. Gue harus mikir lagi. Mikir! Mikir! Dan, dapet. "Ke tempat biasa kita berlima ngumpul aja," ucap gue masih tidak yakin. Gue melihat raut mukanya berubah lesu. "Mau ngumpul lagi? Bukannya harusnya besok ya, kalau mau bikin ramuan dan itu di rumah gue lagi?" "Kan gue bilang temenin." Fiks. Sepertinya dia sudah mengerti. "Ya udah gue izin dulu. Tunggu sebentar." Gue mengangguk. Setelah memastikan dia masuk, gue membuang napas lega. Jantung gue berdetak kencang sejak melihat dia muncul dari balik pintu rumahnya. Dia keluar. Otomatis gue langsung memasang raut wajah datar lagi. "Ayo," ajaknya. Gue mengangguk dan berjalan lebih dulu dengan langkah kecil. Supaya Meysha bisa mengimbangi. Dan benar saja kan, dia menyusul. Kini, dia sudah berada di samping gue. Hening. Tak ada kata yang menemani kami. Baik gue ataupun Meysha hanya berjalan beriringan dan terdiam sampai kami tiba di bawah pohon rindang, tempat kami berlima biasa mengobrol. Karena tidak ada Ray, maka juga tidak ada karpet. Gue membuka sebelah sendal gue supaya Meysha duduk dan menjadikan sendal gue alasnya. Dia hanya menurut. Dan gue duduk tanpa alas apa pun. Nggak apa, kan gue cowok. "Lo mau pakai sendal gue buat alas?" dia bertanya. Gue langsung menggeleng. "Nggak usah, terima kasih." Tuhan tolong, gue bingung lagi. Gue nggak tahu harus membicarakan apa dengan Meysha. Gimana ini? "Riel?" dia berucap mengenyahkan lamunan gue. Gue menoleh dan memandang dia. Tiba-tiba gue teringat satu hal. "Mey, tahu nggak kenapa kita cuma bisa lihat pelangi setengah lingkaran?" Dia mengerutkan alis. "Nggak. Memangnya kenapa?" Dengan ragu gue berucap, "Sebab setengahnya lagi ada di mata lo." Dia menatap gue bingung, lalu membuang muka dan terkekeh. "Lo gombal, Riel?" Bukan. Gue lagi koprol. "Nggak, cuma sekadar masak mi rebus," ucap gue jenuh. Dia tersenyum. "Belajar dari mana?" Gue mengangkat bahu. "Astaga, Adara!" Itu adalah suara Ray. Otomatis gue dan Meysha langsung menoleh dan menemukan Adara yang tertawa lepas juga Ray yang terlihat jengkel. "Lo berdua ngapain di sini?" ujar gue sewot. Ya iyalah, gue malu banget kalau sampai mereka dengar gombalan gue yang garing banget itu Ray berdeham. "Gue tadi lagi mau nyamperin kalian, eh Adara muncul." Adara mengangguk, "Nah gitu, tapi gue mau ke rumah Kendra, sih. Ya udah sana Ray, katanya mau nyamperin mereka. Gue ke rumah Kendra dulu, ya." Ray memandang Adara yang sudah melangkah menjauh dengan raut menahan emosi. "Mau apa, Ray?" Meysha yang bertanya. "Eh, gue tadi ke rumah lo Mey, tapi kata Ibu lo, lo di sini jadi ya gue susul." Meysha mengangguk. "Oh, ada apa?" "Hmm, itu, cuma mau mastiin aja besok di rumah lo kan ya, bikin ramuannya? Biar gue nggak usah capek-capek bawa karpet ke sini gitu." Meysha terkekeh dan gue menggeleng heran. "Iya, di rumah gue. Besok, jangan telat ya! Seperti rencana kemarin, kita akan bikin banyak ramuan." Ray mengangguk, dia menepuk pundak gue. "Oke siap. Silakan dilanjut!" Wah, dia ngeledek gue? Jangan-jangan Ray tahu lagi apa yang barusan gue omongin ke Meysha?! Bodolah. Dia temen gue ini, kalau kata Zanna, malah dia sohib gue. Karena dia tahu, harusnya dia ngerti dan dukung dong, apa yang akan gue lakukan ke depannya. Ya ,kan? Gue sempat berbincang garing lagi dengan Meysha, sebelum akhirnya gue mengantar dia pulang ke rumah. *** [Ray Dhanadyaksa] Gue berjalan pulang ke rumah dengan hati hancur berkeping-keping. Sepertinya memang benar, Gabriel menyukai Meysha. Pupus sudah harapan gue selama ini. Sebenarnya tadi gue bohong ke Meysha tentang alasan gue tiba-tiba berada di sana. Yang benar adalah, gue lagi berjalan santai dan melihat Meysha dan Gabriel tengah mengobrol. Otomatis, gue langsung melangkah mendekat, bersembunyi dan tentu saja menguping. Memang, gue bodoh banget. Masih melakukan suatu hal yang sudah tahu akhirnya akan menyakitkan gue. Seseorang menepuk pundak gue mengagetkan. "Kak Ray!" Gue menoleh dan menemukan Zanna berada di sana. Zanna adalah adik Gabriel. Sikap keduanya berbanding terbalik. Mereka hanya selisih dua tahun. Zanna memang cantik dan baik. Gak jauh beda sama Meysha dan Adara yang juga cantik. Tapi, karena gue sudah menyukai Meysha, mau secantik apa pun cewek yang ada di depan gue, tetap Meysha yang paling cantik bagi gue. "Kak Ray lihat Kak Gabriel nggak?" dia bertanya. "Tadi sih gue lihat di bawah pohon sama Meysha. Tempat biasa kami ngumpul." Matanya melotot terkejut. "Tuh kan, bener!" Gue bingung. "Bener apa?" Dia terlihat antusias. "Ini loh, Kak. Tadi aku lihat Kak Gabriel geleng-geleng kepala di kamar. Pas aku tanya mikirin cewek dia nggak jawab. Ya udah deh, aku kuatin argumen aku dengan bilang pasti lagi mikirin dua cewek antara Kak Adara sama Kak Meysha, tapi kan Kak Adara nggak mungkin, dia udah punya pacar. Jadi pas aku tanya kalau itu Kak Meysha apa bukan, dia nggak jawab malah langsung pergi. Eh, sekarang lagi berduaan sama Kak Meysha." Deg. Oke, Ray. Mundur, yuk! Kalau saingan gue Gabriel, gue nggak yakin bisa menang. "Terus sekarang lo mau ke mana?" gue bertanya untuk mengalihkan rasa sakit. "Tadinya aku mau nyari Kak Gabriel, aku kepo banget soalnya. Tapi karena udah tau dia lagi d imana dan sama siapa ya, ya udah. Sampai rumah tinggal aku godain, deh," ujarnya sambil terkekeh di akhir. Gue butuh teman untuk cerita. Masalah ini udah nggak bisa gue pendam sendiri. Mau cerita ke Kendra, pasti dia lagi nge-bucin sama Adara. Ke Gabriel atau Meysha, kan nggak mungkin. Karena mereka orang yang bersangkutan. Satu-satunya pilihan yang paling pas, ya cuma Zanna. Tapi dia adiknya Gabriel. Gimana dong ini? "Kak? Lagi banyak pikiran ya?" Tepat. "Lo ada waktu, nggak? Gue butuh teman cerita, nih." "Ada dong, mau cerita di mana?" Gue berpikir sebentar. "Sambil jalan ke warung Bi Ida aja, sampai sana nanti gue traktir." Dia tersenyum lebar. "Asik. Ayo!" Gue mengangguk ikut merasakan senang, seakan Zanna mampu mentransfer energi positifnya ke gue. Di perjalanan, gue mulai bercerita, "Zan, menurut lo kalau gue suka sama sahabat sendiri salah, nggak?" Dia menoleh. "Rasa suka kan nggak bisa diatur Kak, rasa suka itu tumbuh dengan sendirinya. Jadi kepada siapa pun kita suka, selagi tidak menyalahkan aturan, menurut aku nggak salah." "Kalau misalnya suka sama sahabat sendiri, terus sahabat kita yang lain itu juga suka sama sahabat yang kita suka. Gimana?" Dia mengernyit. "Maaf, maksudnya gimana ya, Kak?" Oke, perkataan gue memang belibet. Gue memilih untuk langsung to the point, "Gue suka sama Meysha, Zan." Dia menghentikan jalannya dan menatap gue terkejut. "Waw. Serius? Sejak kapan?" Gue mengangkat bahu. "Mungkin sejak gue kelas satu SMA." "Beruntung banget Kak Meysha disukain cowok yang udah lama banget suka sama dia. Dan masih bertahan lagi sampai sekarang." Gue hanya diam. "Oh, aku sekarang ngerti maksud Kakak. Kak Ray suka sama Kak Meysha, terus Kakak beranggapan kalau Kak Gabriel juga suka sama Kak Meysha. Terus sekarang Kak Ray bingung deh, mau ngapain. Iya, kan?" Gue mengangguk. Apa yang Zanna ucapkan semuanya benar. "Menurut aku nih ya, Kak. Kan Kak Meysha belum ada hubungan sama siapa pun. Jadi, ya nggak apa kalau Kakak tetap suka sama Kak Meysha." Gue menghela napas, melanjutkan perjalanan. "Rasanya sakit, Zan. Melihat cewek yang kita suka dekat sama cowok lain. Dan malah menyambut baik sikap cowok itu, seakan dia juga suka sama cowok itu. Gue belum pernah jatuh cinta sedalam ini sama perempuan, sekalinya gue jatuh, gue sampai lupa caranya untuk bangkit." Dia mengelus pundak gue. "Kenapa Kakak nggak nyatain perasaan aja ke Kak Meysha? Sebelum keduluan orang lain." Gue terkekeh. "Lo lebih dukung gue daripada Kakak lo sendiri?" Dia ikut terkekeh. "Aku netral. Aku nggak dukung siapa-siapa, Kak. Sekalipun salah satunya Kakak aku. Aku dukung yang menjadi pilihan Kak Meysha, karena Kak Meysha pasti tahu, yang terbaik untuk dirinya." "Gue nggak pernah berani untuk mengungkapkan rasa kepada perempuan. Gue takut dengan kemungkinan buruk yang akan terjadi. Terlebih, gue suka sama sahabat gue sendiri. Kalau misalnya dia nolak gue, pasti kita akan jadi sepasang canggung. Gue nggak mau itu terjadi." "Kakak jangan mikir atau melihat dari sisi negatifnya terus, dong. Coba Kakak lihat dan contoh Kak Kendra, dia berani. Padahal saat itu aku tahu Kak Adara lebih dekat sama Kak Gabriel. Karena Kak Kendra berani, dan dia berhasil, dia mendapatkannya. Kita nggak pernah tahu sesuatu hal kalau kita nggak pernah mencoba untuk berani dan mulai." Gue tersenyum, sarannya bisa gue pertimbangkan. "Tapi, gue malah mikir kalau Meysha juga suka sama Gabriel," ucap gue pesimis. "Perasaan perempuan itu sulit untuk ditebak. Jalan satu-satunya supaya Kakak tahu, ya dengan Kakak mencoba dan memulai." Gue kagum dengan pikiran Zanna. Dia memiliki pola pikir yang cukup dewasa, padahal dari segi umur, sangat jelas bahwa gue jauh lebih dewasa dari dia. "Gabriel beruntung punya adik kayak lo." Dia tersenyum manis. "Aku juga beruntung punya Kakak kayak Kak Gabriel, walau kadang dia ngeselin. Tapi aku sayang banget sama Kak Gabriel. Karena aku cuma punya Kak Gabriel di sini." Gue mengerti maksud Zanna, dia hanya tinggal berdua dengan Gabriel di sini, sejak kedua orang tuanya pergi tanpa alasan meninggalkan mereka berdua lima tahun yang lalu. "Maka dari itu, kalian harus saling menjaga." Dia mengangguk. Saat sudah sampai di warung Bi Ida, gue langsung duduk begitupun dengan Zanna. Gue segera memesan mi rebus untuk gue dengan Zanna. Karena gue udah terlanjur bilang akan mentraktir Zanna. "Zan, soal ini, jangan kasih tau siapa-siapa, ya?! Apalagi salah satu dari empat sahabat gue. Gue gak mau suasana berubah jadi canggung kalau sampai mereka tahu." Dia tersenyum dan mengangguk mengerti. Setelah itu, Bi Ida datang membawa pesanan gue dan Zanna, lalu kami memakannya bersama. Setelah perbincangan singkat yang penuh dengan curhatan gue tadi, gue dapat menyimpulkan satu hal, yaitu Zanna adalah pendengar yang baik dan punya beragam solusi tanpa menjatuhkan. ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD