Melted

1741 Words
Di dalam gelapnya malam, di antara lebatnya pepohonan dalam hutan, ada sebuah bangunan. Tak besar, tak mewah, bangunan itu terbuat dari tumpukan bata. Tingginya tak melebihi pepohonan yang menjulang, sengaja dibuat samar. Jika diperhatikan lebih dekat, penerangan di dalam sangatlah minim. Hanya beberapa tempat yang terlihat diterangi lilin. Dengan bantuan cahaya itu dan juga paparan rembulan yang kebetulan sedang bersinar terang, terlihat seseorang sedang berdiri di depan cermin. Maniknya yang berwarna merah terlihat menyala dalam cahaya yang remang. Sosok itu tengah memilih baju, mencoba pakaian berwarna hitamnya satu-persatu. Ketika telah menemukan motif yang cocok, ia segera mengenakan baju itu. Pergerakannya tak terlihat, terlalu cepat. Namun baju-baju yang tadinya berserakan telah kembali ke tempat. Sosok itu tersenyum menatap pantulannya di cermin, lalu mengibaskan jubah merahnya dan membuat padam cahaya dari lilin yang ada. Wujudnya tak terlihat setelahnya, namun ada sebuah kelelawar yang sedang terbang keluar dari sana, menuju sebuah istana. Di dalam ruangan yang ramai dengan pesta, nyaris seluruh pasang mata pasti melirik pada seseorang. Seseorang yang baru saja datang, namun telah menarik perhatian. Sosok yang mengenakan setelan berwarna hitam dengan jubah merah bak pakaian bangsawan itu tampak mencolok di antara yang lain. Xavier balas menyapa beberapa orang dan hanya menyunggingkan senyuman miring menanggapi ucapan atau lebih tepatnya sindiran dari beberapa kawannya. Ia pun meraih sebuah gelas dari atas meja dan meneguk segelas minuman berwarna merah pekat itu yang menjadi candunya. Lelaki yang mati di usia tujuh belas tahun dan telah berubah menjadi vampire selama tiga ratus tahun itu memiliki tinggi 178 cm dengan berat tak sampai 70 kg, membuat tubuhnya terlihat kurus, namun memiliki postur yang tegap. Rambutnya hitam legam dengan poni yang cukup panjang. Rambut itu seringkali dibelah dua, disisir dengan poni yang naik memperlihatkan dahi lebarnya. Alisnya tebal, manik hazel-nya dibingkai dengan tatapan yang tajam serta bulu mata yang lentik dan panjang. Hidungnya mancung bak perosotan. Bibirnya sama tebal, bila tersenyum dapat mengukir sebuah garis lurus yang lebar, dan bila tertawa sebuah kotak terlihat dari bentuk bibirnya. Tulang pipinya terlihat karena wajahnya yang tirus. Rahangnya tegas, semakin menambah aura kelam dari tatapan Xavier yang tajam. Dengan kulitnya yang berwarna tan, Xavier seringkali memakai pakaian berwarna hitam. Telinganya memiliki beberapa bolongan untuk piercing dan anting-anting. Sosoknya juga sering mengenakan cincin, gelang, kalung, dan asesoris lain. Semua benda-benda itu Xavier dapat dengan mengambil uang dan barang berharga yang dimiliki oleh mangsanya. Xavier sudah bisa mengendalikan tubuh dan pikirannya hanya dalam waktu satu tahun, membuat sosok itu dapat bertahan hidup dan berbaur bersama manusia dengan mudah, bahkan membangun sebuah kastil seorang diri tanpa bantuan orang lain. Hidupnya yang telah melewati satu abad membuat sosok itu menjadi golongan bangsawan atas ketetapan baru dari raja diraja. "Siapapun yang berhasil hidup menjadi vampire selama lebih dari seratus tahun, secara otomatis akan menjadi kaum bangsawan. Kerajaan akan mengumumkan hal itu selama identitas kalian tercatat." Atas ucapan King Dracula pula setiap kerajaan di seluruh dunia mengadakan pesta. Xavier tak mengingat sama sekali kehidupan masa lalunya selama menjadi manusia, bahkan saat dirinya pertama kali berubah menjadi vampire pun sosoknya tak mengingat jelas. Namun Xavier yang selama berbulan-bulan mencari mangsa secara brutal dengan mengenakan seragam sekolah membuat dirinya kemudian sadar jika statusnya masihlah seorang siswa. Xavier baru benar-benar mengingat kehidupan vampirenya setelah berhasil mengendalikan segalanya. "Tuan Albern." Panggilan itu membuat Xavier dan beberapa temannya menoleh. Terdapat seorang gadis yang juga membawa gelas berisi cairan berwarna merah pekat, menatap Xavier lekat. "Apa kau mau berdansa denganku?" tanyanya kemudian. Xavier terdiam, membuat temannya lebih dulu mengambil tindakan. Ia mengambil alih gelas Xavier dan sang gadis, lalu mengutarakan jawaban, "He will." Dan sosoknya mendorong bahu Xavier agar lebih mendekat pada gadis itu, dengan sebuah senyuman manis yang menjadi candu. Xavier yang kemudian sadar menatap kawannya itu tajam, membuat sosoknya tertawa dan membuka mulut tanpa suara, "Have fun!" Mau tak mau, Xavier meladeni gadis yang ia yakini benar-benar seorang keturunan bangsawan karena paras dan cara berpakaiannya, ikut berdansa bersama pasangan lain, sebisa mungkin menjaga image-nya agar tetap dipandang baik. "Kau melakukannya dengan sangat baik." Xavier menunduk mendengar bisikan itu, "Am I?" Tatapan dan jarak yang Xavier buat membuat sang gadis menunduk untuk tertawa, semakin jatuh pada pesonanya. Sang gadis pun mengusap bahu Xavier sebelum kembali menatapnya, "Apa kau mau menjadi milikku? Aku bisa membuatmu menjadi raja yang selanjutnya." Xavier menyunggingkan senyum miring, "Not too interest to be a king. Lagipula, untuk apa bersama kalau kita saja tidak bisa jatuh cinta?" Tuan putri pun mencebik, "Ouch, that's hurt." Xavier mengangguk sekali dengan senyuman tipis, "Reality, and I'm sorry." Perlahan-lahan ia melepaskan segala afeksi dan akhirnya mengundurkan setelah membungkukkan diri. Xavier memilih naik ke lantai dua, memperhatikan pesta dari pojok di atas sana. "Kau menolaknya?" Xavier tak segera menoleh, tak juga terkejut, dan ia hanya mengangguk, sudah terbiasa dengan kebiasaan sahabatnya. Volkev berdecak karena itu, lalu menyenggol bahu Xavier cukup kuat dan menunjuk ke arah bawah, "Wah, kau gila. Dia itu putri kerajaan sebelah, tahu? Aku dengar dia kabur dari istananya sendiri hanya untuk menemuimu di sini." Xavier memukul tangan Volkev yang terulur, menyuruh sosok itu menyimpan kembali tangannya karena tak ingin ada yang melihat tindakan yang tergolong tak sopan itu dilakukan oleh sahabatnya. Volkev berdecak, ia mengusap-usap tangannya yang sama sekali tak sakit. Sudah kebiasaan nyaris seluruh vampire bersikap layaknya manusia, berbaur dengan mereka, agar nantinya lebih mudah untuk membujuk dan memangsanya. Volkev pun menatap Xavier sinis dari ujung matanya yang sipit, "Kau ini kenapa santai sekali sih?! Kalau dia mengadu pada orang tuanya bagaimana?! Lalu kau dipaksa untuk menikahinya." Xavier menoleh karena itu, mendengar ucapan Volkev membuatnya mengulas senyum, menahan tawa. Tangannya pun terangkat untuk menepuk kepala sang sahabat, "Kau satu abad lebih tua, tapi otakmu tidak membesar ya ternyata." Volkev melebarkan matanya, reaksi terkejut yang nyata. Sosok itu berniat untuk memukul Xavier atas ucapan tidak sopannya, namun Xavier lebih dulu melesat, menjauh dari jangkauan sang sahabat. Volkev pun menghela napasnya, Xavier yang tak begitu tertarik dengan cinta karena fakta tentang mereka yang sudah mati dan tak bisa merasakan berdebar lagi membuat sosok itu jadi merasa bersalah, karena begitu banyak gadis yang meminta tolong padanya untuk dikenalkan pada Xavier yang berstatus sahabatnya. Bersahabat selama satu abad terakhir juga membuat Volkev mengetahui betul sifat dan sikap Xavier. Hidupnya monoton, tak begitu menyukai keramaian namun tak kesulitan berbaur. Sikap realistisnya membuat sosok itu nyaris tak tersentuh, namun sama sekali tak begitu. Xavier adalah salah satu vampire yang sangat santai, tak mudah tersinggung, tak mudah marah. Emosinya stabil, bahkan saat dihadapkan dengan darah segar yang vampire manapun pasti akan langsung menerjang, ia tetap bisa mengendalikan diri dengan sabar. Xavier sama sekali tidak tertarik dengan urusan orang lain, karena hal itu tidak penting. Hidupnya sendiri saja tak selalu baik, untuk apa mengurusi hidup orang lain? Bahkan Volkev yang berstatus sahabatnya sendiri pun, kalau bukan mengenai hal penting yang menyangkut hidup dan mati, atau mungkin mati dan mati sekali lagi, Xavier tak berkomentar sama sekali. Tak acuh menjawab racauan Volkev dengan ucapannya yang membeberkan fakta, menusuk hati sahabatnya. Namun Xavier selalu membuat hidupnya bermakna, ia berbakat dalam berbagai bidang karena terus mengasah kemampuan, berlatih dan belajar. IQ-nya entah setinggi apa dengan banyaknya ilmu yang ia bawa dalam otaknya. Xavier bisa menggunakan seluruh bahasa wajib yang ada di setiap negara, jika ada bahasa baru, pasti ia akan mempelajarinya. Dan dengan sikapnya yang realistis, Xavier menyukai seni dan juga sastra. Imajinasinya tak kalah baik dari caranya menghadapi kenyataan, penilaiannya terhadap sesuatu, kepekaan, dan bagaimana ia memahami rasa juga sama baiknya. Hal itulah yang membuat Volkev sadar kenapa sejak pertama kali ia bertemu dengan Xavier hingga sekarang, siapa saja pasti tertarik padanya. Tak hanya karena parasnya yang bak pahatan dewa, tapi karena apapun yang ada pada Xavier memang luar biasa. Volkev pun mendengus melihat Xavier yang telah tiba di pintu utama, hendak keluar dari istana. Xavier yang sempat menatapnya sekali sambil menyunggingkan seringai sebelum berlalu pergi membuat Volkev berdecih, lalu menyusul sahabatnya untuk keluar dari istana. Keduanya saling mengejar, berlari dengan kecepatan di atas rata-rata hingga yang terlihat di mata orang awam hanyalah kilasan semata. Xavier hanya tertawa dan berusaha menepis saat melihat Volkev yang meraih apapun di sekitarnya dan melemparkan benda itu ke arahnya. Dan ia segera berlari ke arah Volkev saat sosok itu masih saja sibuk melemparinya, tak melihat dengan teliti apa yang ada di depan mereka. Sebelum Volkev melewati batas, Xavier segera menarik kerah bagian belakang milik sahabatnya hingga sosok itu tercekik, Xavier hanya berusaha mencegah sahabatnya yang nyaris saja jatuh ke jurang di bawah sana. Volkev yang terkejut hanya bisa menahan napas yang selama ini direkayasa, membiarkan Xavier menarik tubuhnya mundur hingga ke tempat aman, barulah ia menghela napasnya. "Wah, gila, hampir saja." Xavier berdecak, "Matamu yang sipit itu benar-benar tidak bisa melihat apa-apa, ya?! Kau tidak memperlambat larimu sama sekali padahal jelas-jelas ada jurang di depan sini!" Volkev yang kesal mendengar itu langsung saja memukul bahu Xavier yang kebetulan tak menghindar, "Sembarangan! Aku bisa lihat, ya!" Ia pun berusaha melebarkan matanya, "Dan mataku tidak sipit, tahu! Matamu saja yang terlalu besar!" Xavier akhirnya tertawa mendengar itu, "Ya, ya, terserahmu, pendek." Ia menunjuk ke arah belakang dengan jempolnya, "Pestanya membosankan, aku mau pulang saja." Volkev melebarkan mata dan mengangkat tangannya sekali lagi, terfokus pada kata 'pendek' yang diucapkan Xavier. "Hei! Aku ini lebih tua darimu, ya, dari segi hidup dan mati! Mana sopan santunmu, Xavier Albern?!" Namun Xavier tak mendengarkan itu, sosoknya telah melesat, masuk ke dalam hutan untuk menunaikan niatnya yang hendak pulang. Tak membutuhkan waktu lama bagi Xavier untuk tiba di rumahnya. Ia mengubah wujudnya dari kelelawar menjadi manusia. Lantas tersenyum di hadapan cermin yang menampakkan bayangannya. Xavier yang telah tiba di kastil ini mengerutkan dahinya kala sedang melepas jubah, dirinya mendengar sebuah tangisan. Ia pun keluar dari kamar, menuruni tangga, dan membuka pintu depan yang nyaris tak pernah ia gunakan. Xavier kembali mengerutkan dahi saat melihat seorang bayi tergeletak di depan kakinya. Ia sempat menoleh ke kanan dan ke kiri, namun mata merahnya yang waspada tak menemukan apapun di kejauhan, telinganya juga tidak mendengar apa-apa selain suara burung hantu dan derik jangkrik. Maka Xavier mengangkat bayi itu, tatapan keduanya beradu, dan untuk yang pertama kali, Xavier merasa hatinya yang beku menghangat, seolah mencair bagai es saat menatap manik kecoklatan milik sang bayi. Xavier pun memutuskan untuk membawa bayi itu masuk ke dalam kastilnya, ingin merawatnya. Hanya karena sebuah pemikiran yang terlintas dalam benaknya, "Dia tidak mengetahui apalagi mengingat kehidupannya yang sebelumnya." Kalimat itu yang menjadi dasar dan alasan kenapa Xavier memutuskan untuk tetap menggendong seorang bayi perempuan yang pada selimutnya terukir nama Ingrid Carter.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD