bc

Jinx

book_age18+
5
FOLLOW
1K
READ
fated
goodgirl
tragedy
icy
vampire
highschool
mythology
secrets
rebirth/reborn
naive
like
intro-logo
Blurb

Xavier mencari reinkarnasi cinta pertamanya untuk mengungkapkan permintaan maaf karena tidak sempat mengatakan apapun kepada Ingrid, bahkan perasaannya.

Beberapa ratus tahun kemudian, akhirnya ia menemukan dan kembali dibuat jatuh cinta karena Grace sangatlah mirip dengan Ingrid.

Namun ketika nyaris mendapatkan ending yang bahagia, sebuah fakta tiba-tiba terkuak. Xavier mengetahui asal-usul kenapa dirinya bisa menjadi vampire dan ia bisa kembali menjadi manusia.

Hidup itu memang mirip dengan kutukan, seringkali membuat kita merasa tidak nyaman. Mungkin tidak terlalu berbahaya, tapi secara tidak sengaja, kita seringkali membawa kesialan dengan cara berpikir kita.

Lantas, adakah penangkalnya? Apakah ada cara untuk mencegah atau justru menghentikannya? Jika kutukan itu memang tidak terlalu berbahaya, kekuatan sebesar apa yang bisa digunakan untuk melawan? Apakah Xavier berhasil menyelesaikan masalah hidupnya yang bagai kutukan? Apakah Grace bisa bertahan dengan orang tuanya yang menganggapnya sebagai anak pembawa sial? Akankah keduanya benar-benar mendapat akhir yang bahagia? Atau justru sebaliknya?

chap-preview
Free preview
Missing You
Cahaya bulan purnama bersinar terang di atas sana. Padahal ada seseorang yang tengah bersandar pada dinding pembatas lantai tertinggi sebuah istana dengan raut sedih yang kentara. Istana megah itu terlihat sepi, tak berpenghuni. Terlihat jelas di berbagai sisi, istana itu tak utuh lagi. Ada bekas kebakaran yang menghitam, juga reruntuhan yang tak dibangun lagi. Manik setajam elangnya menatap sayu ke arah luna. Helaian rambutnya yang mulai memanjang bergerak disapu angin malam. Dan sosoknya menghembuskan napas dengan berat secara perlahan. "Hei." Sapaan itu diiringi dengan senggolan ringan pada lengannya, juga sebuah senyuman yang membentuk bulan sabit pada mata sosok yang menyapa. Yang disapa balas tersenyum, tipis. Tak lupa menerima uluran gelas berisi cairan pekat berwarna merah. "Kau masih mencarinya?" Gelas yang baru menempel pada bibir ia jauhkan lagi, hanya untuk menoleh dan mengangkat satu alis, "Siapa?" Si rambut pirang mengedikkan bahu, "Ya, siapa lagi? Cinta pertamamu?" Tak langsung menjawab, ia memilih untuk meneguk minumannya terlebih dahulu. Namun hingga sekian detik kemudian, bahkan setelah menunggu manik merah itu kembali menjadi coklat, yang bertanya tak kunjung mendapat jawaban. "Xavier." Sang empunya nama menoleh, mengangkat satu alisnya lagi dengan tak acuh, "Apa?" Hal itu jelas membuat lawan bicaranya berdecak, "Aku bertanya, kenapa tidak kau jawab?!" Xavier menyungging senyuman, dengan sedikit tarikan di sudut yang membuatnya terlihat sedang mengejek. Namun hal itu tak bertahan lama karena kemudian terdengar suara pukulan yang cukup kuat pada punggungnya. "Volkev!" "Apa?!" Pemilik mata sipit yang berusaha melotot itu membuat Xavier tertawa kecil, tak jadi marah. Namun ia berdecak setelahnya, "Kenapa kalian hobi sekali sih memukul orang?" Volkev meneguk minumannya sekaligus sebelum menjawab Xavier, "Karena kau memang minta dipukul! Menyebalkan!" Xavier tersenyum tipis mendengar itu, "Apa dia pergi karena aku menyebalkan?" Volkev langsung melebarkan matanya, sedikit panik. "Kau gila?! Jangan mengada-ada, kita tahu jelas apa alasannya!" Xavier menggoyangkan gelasnya yang masih berisi, "Aku tidak bisa melupakannya." Volkev meletakkan gelas kosongnya cukup jauh, lalu menepuk bahu Xavier, kali ini dengan lembut, "Tidak ada yang menyuruhmu untuk melupakannya." "Apa kau masih mengingatnya juga?" Pertanyaan Xavier membuat Volkev tertawa, "Ingrid?" Ketika nama itu kembali terdengar, merambat masuk ke dalam indra pendengaran Xavier, ia merasa ada hal lain yang ikut masuk dan tembus ke dalam hatinya. Senyumnya lagi-lagi terulas dengan tipis, "Ya, Ingrid." Volkev pun tersenyum, tatapannya ikut mengawang saat sekali lagi harus menyebutkan nama itu. "Ingrid, ya? Tentu saja aku masih mengingat dan tidak akan melupakannya." Hening kemudian meraja. Xavier tak mengutarakan tanya dan Volkev tak berniat melanjutkan ucapannya. Hanya angin yang berbicara, menyapa helaian rambut keduanya. Volkev yang kemudian merasa terganggu karena walau sudah mengikat rambut panjangnya tetap saja ada helaian yang mencoba masuk ke dalam mata akhirnya bersuara, "Ck." Hanya decakan kecil, namun berhasil membuat Xavier yang sempat melamun menoleh pada sosok yang baru ditemuinya lagi setelah satu abad terlewati. "Kau tidak berniat memotong rambutmu?" Topik baru yang Xavier angkat membuat Volkev sedikit tersenyum, hanya sepersekian detik, lalu ia menggeleng dengan wajah tegasnya. "Nope. Tidak sampai ada benda ajaib yang bisa menumbuhkan rambut." Xavier pun terkekeh, "Well, mungkin benda itu akan muncul satu atau dua abad lagi." Volkev ikut terkekeh, "Topikmu masih saja, random sekali." Xavier tak lagi menyahut, memilih meneguk minumannya yang tak kunjung ia habiskan, membuat keheningan di antara mereka lagi-lagi bertaut. Volkev yang tak tahan dengan situasi ini memilih untuk memutar posisi tubuhnya, berlawanan dengan Xavier, bersandar pada tembok. Pergerakannya cukup untuk menarik atensi Xavier yang sempat melirik sedikit. Volkev tak mengatakan apapun pada Xavier, ia hanya mendongakkan kepala, menggumam tak jelas sambil mengangkat tangannya, menunjuk ke arah taburan bintang di atas sana. "Kau tahu?" Xavier bersuara, membuat Volkev menoleh ke arahnya. "Aku bisa mendengar semua ucapanmu." Volkev pun tertawa, "Aku tahu dan aku sengaja." Sosoknya kembali membalik tubuh, kali ini lebih mendekat pada Xavier dan merangkul bahunya. "Aku tahu ini tidak mudah. Tapi kalau kau membutuhkan teman cerita, aku ada. Aku tidak tahu apa mungkin kau merasa canggung setelah kita tidak bertemu selama seratus tahun terakhirㅡ" Xavier memutus ucapan Volkev, "Kita bukan manusia dan aku tidak mungkin canggung denganmu." Xavier berusaha melepaskan tangan Volkev dari bahunya, namun Volkev merangkulnya jauh lebih erat. "Hei, hei, tunggu. Oke, baik, kita tidak canggung, clear." Xavier yang akhirnya menurut membuat Volkev terkekeh, namun senyuman itu berubah menjadi sendu ketika manik keduanya beradu. "Kau tahu hanya aku yang tahu." Volkev sedikit mengguncang bahu Xavier, "Hanya aku yang memiliki dan mengingat kenangan itu bersamamu. Mungkin tidak banyak, tidak sebanyak dirimu. Tapi aku tahu, Xavier. Dan aku juga ingat." Volkev mengulum bibirnya, "Kau boleh menceritakan apapun tentang dia saat bersamaku, kau boleh mengingatnya setiap hari, setiap menit, bahkan setiap detik." Xavier menggeleng, tidak setuju dengan ide itu. "Untuk apa?" Volkev mengedikkan bahu, "Ya, mengenangnya? Aku tahu perasaanmu." Manik hazel itu memicing, disusul dengan senyuman miring, "Choose your words wisely, Your Majesty." Volkev terkekeh canggung, pelan-pelan menjauhkan tangannya dari tubuh Xavier, "Apologies my bad, Mr. Albern." Xavier meneguk sisa minumannya hingga tandas, lalu ikut terkekeh. Napasnya ia tarik dalam-dalam dengan mata yang terpejam, mencoba menghirup aroma malam. Volkev yang tak henti menatap Xavier lantas berjingkat ketika sosok itu membuka mata dan menatapnya dengan manik merah yang menyala. "Kau ini memang minta dipukul, ya!" Xavier hanya tertawa, tak berusaha menghindar walau tetap mengaduh karena dipukuli sahabatnya. "Ekhem!" Volkev berdehem keras-keras dengan tangan yang bersedekap setelah menendang Xavier dan membuatnya jatuh tersungkur. Xavier yang kemudian bangkit mencengkeram belakang leher Volkev sambil menekannya, "Bagaimana pemandangan istanamu di bawah sana? Bagus, bukan? Berminat untuk kulempar dari sini, Tuan Muda Volkev Kings?" Volkev ikut mencengkeram dinding dengan kuat, "Tuan Mudamu sudah terlalu sering melihat ini, Xavier Albern. Pemandangan bagus sebelum istana ini hancur." Senyuman paksa yang Volkev ulas membuat Xavier tertawa puas. "Oh." Xavier sempat mengangguk-angguk seolah mempertimbangkan sesuatu. "Tapi tidak ada salahnya kan untuk melihat sekali lagi?" Dan Xavier benar-benar melempar Volkev terjun ke bawah dengan mendorong kepalanya. Tidak terdengar apapun selama beberapa detik, hal itu jelas membuat Xavier penasaran dan melongok ke bawah. Belum benar-benar menunduk, Xavier lebih dulu dikejutkan dengan sebuah kelelawar yang tiba-tiba menyerang wajahnya, mencakar pipi dan dahi. Namun setelah itu sang kelelawar pergi menjauh dan berubah wujud. Bersamaan dengan langkah lebar Volkev yang buru-buru mendekat, luka pada wajah Xavier pun perlahan semakin tak terlihat. Volkev memukul Xavier sekali lagi dan Xavier balas memukulnya untuk yang terakhir kali, barulah keduanya kembali pada posisi semula, berdiri beriringan menatap bulan purnama. "Jadi, bagaimana?" Xavier menatap Volkev, "Apanya?" Volkev pun berdecak, "Kau tidak ingin bercerita atau mengatakan sesuatu tentang Ingrid?" Xavier menghela napas, "Belum selesai ternyata." Volkev kembali berdecak, "Tidak ada salahnya mengenang seseorang, Xavier." Xavier menghembuskan napasnya sekali lagi, "Tapi untuk apa? Memang ada gunanya? Sebanyak apapun aku mengucapkan namanya, bahkan sampai mulutku berbusa, dia tidak akan kembali begitu saja." "Bercerita tentang dia bukan berarti mengharap dia kembali, kan?" Ucapan Volkev membuat Xavier menatapnya, seolah bertanya, "Kau bercanda?" "Aku hanya ingin menjadi teman yang baik, tempatmu berkeluh kesah. Kau bisa mengadukan apa saja padaku, jangan dipendam sendiri begitu." Xavier menggeleng, "Aku hargai niat baikmu, tapi terima kasih, itu tidak perlu." Volkev akhirnya mengalah dengan menghembus napas pasrah, "Padahal ada bagusnya kalau kau bercerita padaku." Xavier melirik, "Apa bagusnya?" Volkev mengedikkan bahu, "Mungkin melepaskan bebanmu?" "Berarti aku harus melepaskanmu." Volkev mendelik, "Apa maksudmu?! Kau menganggapku beban?! Kalau bukan karena aku, kau sudah mati di tangan para Vampire Hunter itu, tahu?!" Xavier tertawa, Volkev itu tidak bisa dipancing. Sumbu pendek, seperti bom waktu. Jika ada satu hal saja yang salah, ia bisa langsung meledak begitu saja. "Hei, hei, aku bercanda." Xavier jelas saja langsung meralat ucapannya sebelum ucapan Volkev merembet kemana-mana. Volkev mendengus, "Tidak lucu, Xavier. Bercanda itu kalau dua-duanya tertawa, kalau salah satunya tersinggung namanya bukan bercanda. Tahu?!" Xavier mengangguk, "Memangnya kau tersinggung?" Dengan santainya Volkev menggeleng, "Aku? Tidak. Untuk apa aku tersinggung dengan ucapanmu? Lebih baik kau kupukul kalau melantur begitu." Xavier pun tersenyum, "Dia ingin terbang." Volkev mengerutkan dahi, takut salah dengar. Apakah ia ada membahas perihal terbang? Xavier akhirnya terkekeh, "Maksudku Ingrid." Senyumnya terulas lebih lebar saat menatap ke depan, dengan sendu yang seolah telah melekat pada bibir dan matanya. "Dia bilang dia ingin terbang, dia ingin pergi ke bulan." Volkev pun menatap bulan, "Well, dia selalu menyukai dan menyamakan dirinya dengan bulan." Xavier mengangguk, secara berbarengan, ia mengulurkan tangan bersama Volkev dan menunjuk sebuah bintang. "Itu kau," ucap Volkev. Dan, "Itu aku." ucap Xavier. Keduanya saling menatap, lalu tertawa. "Bintang paling dekat dengan bulan." Keduanya pun mengangguk. "Dia tidak pernah absen untuk mengatakan hal itu." "Jadi, kau selalu mengingatnya sebagai bulan?" Volkev kembali membuka suara setelah tawa mereda. Xavier mengangguk, "Setiap aku ingin melupakannya, tanpa sengaja aku selalu melihat bulan di atas sana. Dia seperti mengikutiku, memintaku untuk tetap mengingatnya di saat aku hampir lupa." Volkev tersenyum, "Wah, serius, aku jadi teringat mata bulatnya." Xavier menoleh, dadanya terasa diremas saat bertatapan dengan Volkev, mereka seolah berbagi dan melihat sesuatu yang sama, karena ia selalu mengingat mata itu juga. "Jangan menangis," ucap Volkev tiba-tiba. Xavier pun tertawa, "Tidak perlu diingatkan, aku tahu aku tidak bisa menangis." Volkev ikut tertawa. "Ingrid sering menangis." Xavier mengangguk, "Aku tahu, dia sangat cengeng." Volkev berdecak karena itu, "Kau selalu mengejeknya, padahal sebenarnya kau panik sekali jika dia sudah sampai menangis begitu." Xavier tersenyum pahit, "Aku menyesal sering membuatnya menangis." Volkev mengulum bibir, dengan cepat langsung menjawab, "Kau juga selalu membuatnya tertawa." Xavier menggeleng, "Dia lebih banyak tertawa bersamamu, bersama orang lain." Volkev pun terkekeh, "Dia merasa senang saat bersamamu. Kau itu segalanya untuk dia." "Aku tahu aku tampan." Celetukan itu membuat Volkev nyaris menepuk dahi. "Tidak ada hubungannya, Xavier." Xavier pun menoleh, "Iya?" Volkev mengangguk dan lagi-lagi terkekeh. "Terlalu banyak yang akan diceritakan." Sambung Xavier dengan tatapan yang kembali mengawang. "Ceritakan saja." "Satu malam tidak akan cukup." "Dicukup-cukupi." Giliran Xaxier yang terkekeh, ia bahkan kembali menoleh ke arah Volkev, "Kau ini sebenarnya niat mendengarkanku tidak sih?" "Mungkin lebih tepatnya aku berniat mendengarkan ceritamu yang tentang Ingrid. Benar-benar hanya tentang Ingrid." Xavier menggeleng pelan, "Terlalu banyak dan aku tidak tahu harus memulainya dari mana." "Pelan-pelan saja, kau bisa menceritakan semuanya dari awal kalau kau memang mau." Xavier kembali menatap Volkev, "Katamu satu malam dicukup-cukupi? Bagaimana aku bisa menceritakan dari awal kalau begitu?" Volkev mengerang tanpa suara, "Oke, terserahmu saja. Yang terpenting adalah cerita, keluarkan apa yang selama ini kau pendam, katakan semuanya." Sempat hening selama beberapa saat. Volkev tak bisa melepaskan tatapannya dari Xavier yang terlihat melamun. Jujur saja ia tidak bisa membayangkan bagaimana rasanya menjadi sosok itu. Karena dari posisinya yang bukan siapa-siapa pun, rasanya sesakit itu. Xavier, dengan manik hazelnya yang kembali menyendu, menatap ke arah bulan yang masih bersinar terang, "Ingrid, ya?" Ada jeda, Xavier mengukir senyuman tipis yang diam-diam membuat hati Volkev ikut teriris. "Aku sangat merindukannya."

editor-pick
Dreame-Editor's pick

bc

Siap, Mas Bos!

read
13.0K
bc

Single Man vs Single Mom

read
97.1K
bc

My Secret Little Wife

read
97.2K
bc

Tentang Cinta Kita

read
189.9K
bc

Dinikahi Karena Dendam

read
205.3K
bc

Iblis penjajah Wanita

read
3.6K
bc

Suami Cacatku Ternyata Sultan

read
15.3K

Scan code to download app

download_iosApp Store
google icon
Google Play
Facebook