2

1121 Words
Sebuah koper besar yang berisikan barang-barang yang Rey butuhkan sudah siap, ia menyeret koper itu menuju kabin pesawat. Dibelakang Rey, mengekor sejumlah pramugari dan pramugara, serta co-pilot yang akan menjadi rekannya dalam penerbangan ini. Saat Rey ingin masuk ke dalam pesawat, tangannya ditahan oleh seseorang. Rey sudah tahu siapa orang itu, karena hampir setiap saat orang itu mengganggunya. Seperti benalu, Rey sudah menggunakan berbagai cara untuk mengusir wanita itu. Namun, percuma. Bela akan selalu menempel padanya. "Terakhir kali Bela, lepaskan tangan saya." Geram Rey, ia berbalik ke belakang dan mendapati Bela yang tengah tersenyum genit padanya. "Kali ini, cuti kita seminggu. Nanti di London, jalan baremg yuk! Habis kita check up. Ya?" Bela mengedip-ngedipkan matanya, memcoba untuk merayu Rey untuk yang ke sekian kalinya, namun hasilnya selalu sama, penolakan yang akan ia dapatkan. Tidak menjawab, Rey menghempaskan tangannya. Ia lalu berjalan dengan cepat agar Bela tidak mengikutinya. Wanita itu, rasanya ingin Rey musnahkan.  Rey merasa jijik dengan wanita sejenis Bela, wanita yang selalu mengejar lelaki dengan modal wajahnya. Padahal wanita sudah ditakdirkan untuk menunggu, karena mereka adalah halte dan lelaki adalah Bus-nya. Tidak ada sejarahnya, halte yang mengejar Bus bukan? Selesai menyimpan kopernya, Rey segera masuk ke dalam kabin tempatnya untuk menjalankan pesawat. Rey duduk di kursinya, memasang headset khusus, dan mulai menekan tombol-tombol kecil didepannya. Di sampingnya ada co-pilot yang menjadi partner-nya hari ini. "Are you ready, sir?" Tanya co-pilot itu. Rey mengangguk, dan mulai menjalankan pesawatnya. Saat sudah di kecepatan yang pas, dengan perlahan Rey menarik stir yang berada di genggamannya. Pesawat pun mulai terangkat, dan Rey menyunggingkan senyum di bibirnya. "London, i'm comming." Gummam Rey. ●●●●●● " Dokter!" Teriak seorang ibu dari depan pintu rumah sakit, didalam rengkuhannya terdapat seorang anak kecil yang di penuhi darah. Para suster dengan sigap mendorong brankar, untuk menidurkan anak kecil itu diatas sana. Mereka mendorong brankar itu sembari berlari menuju ruang Unit Gawat Darurat. Tidak lama, seorang wanita yang mengenakan almameter putih khas dokter datang. "Apa yang terjadi dengan anak ini?" Tanya wanita berumur 23 tahun yang berstatus sebagai dokter muda itu. "Anakku tertabrak mobil, tolong selamatkan!" Ibu itu menangis histeris. Dokter wanita itu mengangguk, ia menyuruh suster untuk membawa ibu dari anak itu keluar. Dan, ia mulai melaksanakan kewajibannya.  "Suster, bersihkan semua darahnya. Yang lain, siapkan peralatan untuk menjahit luka anak ini." Perintah Dokter yang ber name tag Anesya Jasmeen itu. Sekitar satu jam berada didalam sana, Nesya keluar dengan pakaiannya yang berlumuran darah. Ibu tadi langsung menghampirinya dan mencercanya dengan pertanyaan bertubi-tubi. "Bagaimana keadaan anakku?" Tanya Ibu itu, suaranya parau karena ia habis menangis. Nesya tersenyum seraya menepuk sekali bahu Ibu itu. "Dia selamat." Ibu itu menangis bahagia, ia kemudian berlari masuk kedalam UGD untuk memeriksa keadaan anaknya. Nesya yang melihat itu, jadi merindukan Bundanya.  "Bunda," gumamnya pelan. Sudah tujuh tahun, Nesya tidak pernah kembali. Ia hanya menelfon keluarganya sesekali, dan ia juga menyuruh Tiara untuk merahasiakan ke semua orang kalau mereka bisa berhubungan. Nesya tidak ingin dihubungi oleh siapapun, kecuali Bunda, Tiara atau Ayah. Itu semua ia lakukan agar ia tidak memikirkan mereka, Nesya takut kalau pertahanannya akan runtuh. Ia sudah berusaha agar tidak mengingat semua yang telah di tinggalkannya, bukan tanpa alasan, kini ada hati yang harus ia jaga. Sebuah cincin yang melingkar dijari manisnya, menjadi alasan ia tidal bisa kembali. Jika ia bertemu dengan Rey lagi, bisa saja Nesya akan lupa diri dan kembali padanya. Tapi itu tidak mungkin, ia sudah bertunangan sekarang. Lamunan Nesya terhenti karena seseorang merangkulnya dari belakang, Nesya menghela nafasnya pelan kamudian menengok ke belakang. "Makan siang, yuk?"  Itu adalah Pieter, tunangan Nesya.  "Enggak, masih ada pasien. Duluan aja." Tolak Nesya secara halus, ia sedang dalam keadaan tidak mood sekarang. Dan, ia tidak ingin melampiaskan kekesalannya pada Pieter. Pieter mengangguk mengerti, ia kemudian mencium kening Nesya dan segera berlalu pergi. Nesya menghela nafasnya kasar, ia menatap punggung Pieter yang kian menjauh. "Maaf, Pieter." Gumam Nesya pelan. ●●●●● "Rey, ayo kita check up bareng. Habis itu jalan-jalan, ayuk!" Bela menarik-narik tangan Rey, tidak sadar ia masih mengenakan seragam pramugarinya. Betapa memalukannya, seorang pramugari yang biasanya terlihat anggun, kini malah bertingkah seperti anak kecil. Kalau saja pengawas tahu, bisa jadi Bela di pecat karena ulahnya sendiri. "Duluan aja, Bela. Saya masih capek." Tolak Rey datar. Bela mendengus kesal, "Rey, nggak usah pakek bahasa formal, bisa? Kita udah nggak di lingkungan kerja lagi, santai aja kenapa sih!" "Harus, coba lihat seragam yang anda kenakan. Sangat tidak pantas, seorang pramugari seperti kamu bertingkah layaknya wanita penggoda." Ujar Rey sarkas. Setelah berkata seperti itu, Rey berjalan mendahului Bela. Menuju ke Receptionist hotel, untuk check in kamar. Dan, segera istirahat. Bela menatap kepergian Rey, hatinya bergemuruh. Bela sangat malu, bukan kali ini ia mendapat kata-kata tidak mengenakan dari Rey. Bela seakan-akan menebalkan wajahnya, ia harus mendapatkan Rey. Bagaimanapun juga caranya. "Cukup, kali ini kamu nggak bisa lolos dari aku, Raelando Wirawan." Bela tersenyum sinis. Ditempat lain, Rey sedang merebahkan tubuh lelahnya diatas kasur. Ini perjalanan yang cukup panjang, menjadi pilot penerbangan internasional membuat ia harus bisa terjaga lebih dari 12 jam. Karena, perjalanan tidak menentu. Bahkan, saat sedang cuti, Rey bisa tiba-tiba di panggil untuk bekerja. Rey memijat pelipisnya yang terasa pening, ia melirik arloji putih yang melingkar ditangan kanannya. Kemudian, Rey melepaskan jam itu. Berjalan menuju kamar mandi, dan segera membersihkan tubuhnya. Sekitar dua puluh menit berada didalam sana, Rey keluar dengan selembar handuk melilit dipinggangnya. Ia berjalan menuju kopernya, dan mengambil baju untuk di kenakan ke rumah sakit. Selesai, Rey melihat pantulan dirinya di kaca. Takut jika ada kekurangan, karena bisa saja ia bertemu Nesya di sini.  Merasa sudah siap, Rey memasang sepatunya dan segera beranjak pergi dari sana. Saat ia membuka pintu, Bela sudah berdiri didepan pintunya menggunakan setelan dress terbuka. Rey mengernyit saat melihat penampilan Bela. "Yuk, pasti kamu mau check up, kan?" Tebak Bela, ia meraih tangan Rey, bermaksud ingin menarik lelaki itu untuk pergi bersamanya namun Rey menepisnya. "Lo mau kemana?" Rey memperhatikan penampilan Bela dari ujung rambut sampai ujung kaki, menjijikan. "Ke rumah sakit lah, check up. Terus jalan, sama kamu." Jawab Bela PD, ia mengerlingkan sebelah matanya. Rey menggelengkan kepalanya. "Mau ke rumah sakit, pake baju terbuka kayak gini? Waras?" Bela lagi-lagi kebal terhadap hinaan Rey, ia menggeleng-gelengkam kepalanya seraya tersenyum lebar. "Ini London, disini pakai baju kayak gini udah biasa. Ayo, ah ntar rumah sakitnya tutup." Rey menghela nafasnya kasar. "Ini memang London, disini baju kayak gitu memang biasa. Tapi buat dipakai di club, bukan dirumah sakit. Dan, satu lagi, disini rumah sakitnya 24 jam. Jangan sok jadi pramugari internasional kalau hal kecil aja nggak tau, bego." Selesai mencibir, Rey langsung berlalu meninggalkan Bela yang masih mematung karena memcerna perkataanya. ------------------------------------------------------------------------ Hai. Gimana part satu? Pasti pada kesel ya :) Hehe
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD