Tak Direstui
"Umay!! ngapain kamu sama dia? uda papa bilang jangan dekat-dekat dia lagi kan? dia itu laki-laki gak baik!! ngapain kamu masih aja dekat-dekat sama dia? ayo masuk!! jangan lagi kamu ketemu atau berhubungan sama dia!! papa gak suka!!" Bima menarik tangan sang anak gadis, Umaya.
Umay langsung terkejut saat papanya tiba-tiba datang dan marah-marah pada sang kekasih, Raka.
"Pa, papa kok gitu sih?" tanya Umay kecewa.
"Om," Raka mendekati Bima, ingin menyalim tangan Bima, tapi dengan cepat Bima menghindar.
"Lepas!! ngapain kamu dekat-dekat saya!! saya gak suka ya sama kamu!! jangan berharap kalau kamu bisa dapat restu dari saya, karena saya gak akan pernah biarin anak saya jatuh ke lelaki yang berasal dari keluarga gak jelas kayak kamu!" Bima kembali memaki Raka.
"Papa!! papa uda keterlaluan! memangnya salah mas Raka sama papa apa sih? kenapa papa sebegitu bencinya sama mas Raka? mas Raka itu baik, pa. Mas Raka yang selalu jagain Umay," jelas Umay tak terima.
Raka diam, hatinya sakit dihina dengan terang-terangan seperti ini. Tapi mau bagaimana lagi, cintanya pada Umay lebih besar dari pada harga dirinya.
"Umay!! berani kamu melawan papa ya!! pokoknya papa gak akan pernah merestui kamu dengan lelaki gak jelas ini!" ujar Bima kekeuh.
"Papa aneh tau gak? mas Raka gak pernah berbuat salah apa pun, bencinya papa ke mas Raka itu gak berdasar," bantah Umay tak setuju.
"Apa kamu lupa, Umay? Raka ini anak Mia, si tukang selingkuh itu. Dan asal kamu tau, buah gak akan jatuh jauh dari pohonnya, Umay. Apa kamu mau sakit hati karena Raka? papa gak mau kalau anak papa terjerumus ke dalam lubang. Lebih baik mencegah dari pada mengobati, Umay," peringat Bima pada sang anak gadis.
Umay tersenyum miris. "Ck, papa aneh. Setiap manusia punya pribadi masing-masing. Meski mas Raka anak tante Mia, tapi gak selamanya sifat mas Raka seperti tante Mia. Papa terlalu merasa benar sampai-sampai menyalahkan orang yang bahkan tak punya salah."
"Umayy!!"
"Om,"
Raka langsung maju, dia tak ingin hanya karena dia hubungan Umay dengan papanya akan rusak.
"Maaf kalau mungkin saya terlanjur buruk di mata om. Tapi asal om tau, saya gak pernah mencintai orang selain Umaya. Cinta saya ke Umay benar-benar tulus. Dan setiap orang dilahirkan dalam bentuk, sifat, dan kepribadian yang berbeda. Jadi om gak bisa kekeuh dengan pendapat saya dan mana saya sama." Raka angkat bicara.
"Dan asal om tau, seburuk apa pun mama saya di mata orang-orang, tapi beliau tetap mama saya, yang melahirkan saya dan membesarkan saya dengan cinta," lanjut Raka kemudian.
Bima diam. Begitu juga Umay yang sudah telanjur malu dengan ulah sang papa.
"Kalau begitu saya pamit dulu, om. Makasih untuk sambutannya. Saya gak akan pernah bosan untuk datang ke sini. Dan saya gak akan pernah menyerah untuk mendapatkan Umaya sepenuhnya. Karena saya benar-benar cinta dengan tulus pada Umaya. Terimakasih. Selamat malam, saya pamit." Raka tersenyum manis.
"Mas-"
"Gak apa-apa, aku pamit dulu. Aku gak bakalan nyerah gitu aja kok. Selamat malam, tidur yang nyenyak ya." Raka pamitan pada Umay.
Umay menghela nafasnya lega. Dia masih beruntung karena Raka masih mau menerimanya walaupun papanya sudah menghina Raka habis-habisan.
"Ayo, Umay, kamu masuk!! jangan ketemu sama dia lagi!" Bima langsung menarik tangan sang anak gadis masuk ke dalam rumah.
Umaya menyempatkan memberi senyuman manisnya pada Raka. "Hati-hati, mas Raka," ujar Umay tulus.
Raka balas tersenyum dengan manis. Mendengar ucapan hati-hati dari sang kekasih saja sudah mengobati semua rasa sakit hatinya.
Umaya langsung digeret masuk oleh sang papa. Sementara Raka langsung masuk ke dalam mobilnya. Meski tak direstui, Raka tak peduli. Jika janur kuning belum melengkung, Raka masih bebas memperjuangkan Umay untuk menjadi istrinya.
Raka melajukan mobilnya dengan kecepatan sedang, di dalam mobil hatinya melenguh, mengingat kembali penolakan-penolakan papanya Umaya yang benar-benar menusuk hati.
"Miris ya, saling mencintai tapi terbatas restu." Raka tersenyum miris.
"Kenapa keluarga jadi cerminan bagaimana masa depan ku? padahal setiap manusia punya sifat dan pribadi yang berbeda-beda. Jika alasannya buah tak akan jatuh jauh dari pohonnya, maka aku juga bisa mengelak. Terkadang buah jatuh sangat jauh terbawa angin atau air. Semuanya tak akan sama. Setiap manusia dilahirkan berbeda-beda, tak akan ada manusia yang sama persis di dunia ini." Raka menghela nafasnya kasar. Papa Umaya benar-benar kelewatan.
"Tapi tenang, aku masih sanggup berjuang demi Umaya. Setitik masalah gak akan mempengaruhi rasa cintaku yang tak terbatas. Rasa malu dan sakit hati masih kalah dengan cinta tulus ku untuk Umay,"
"Ck, rasanya naif sekali. Tapi begitulah keadaannya saat ini. Tak apa, aku akan tetap berjuang sampai nanti akhirnya halal." Raka tersenyum, membayangkan wajah sang kekasih saja sudah membuat moodnya naik kembali.
Berbeda dengan Raka yang tetap kekeuh ingin memperjuangkan sang kekasih. Bima sang ayah anak gadis itu malah semakin cemas. Khawatir yang berlebihan menyangkut kehidupan Umaya kedepannya.
"Aku benar-benar gak tau lagi harus gimana sama anak itu. Ucapan-ucapan pedas uda aku lontarkan, aku usir, bahkan aku maki-maki, tapi dia tetap aja kekeuh dengan Umay. Anak itu memang benar-benar keras kepala." Bima menghela nafasnya kasar. Dia memijat kepalanya yang pusing.
"Aku gak akan biarin Umay menikah dengan dia. Latar belakang keluarganya benar-benar kacau. Aku gak mau kalau Umay diselingkuhi dia di kemudian hari. Gak akan aku biarkan anakku satu-satunya sakit hati." Bima mencoba berpikir cara lain untuk menjauhkan Raka dengan Umaya.
"Uda lah, pa. Umay juga bahagia sama Raka kan. Lagi pula kelihatannya Raka itu anak yang baik, gak neko-neko. Selama mama kenal Raka, dia selalu sopan dan gak pernah tersandung kasus-kasus yang negatif. Raka benar-benar tulus cinta sama anak kita, pa. Biarlah mereka bersatu, cinta mereka itu murni, pa. Kita gak berhak memutuskan hubungan mereka. Sama seperti kita, mereka juga ingin hidup bahagia berdua, menjalin rumah tangga yang harmonis." Meli menghampiri sang suami, mengelus pundak sang suami, menyalurkan ketenangan pada sang suami.
"Gak bisa, ma! papa gak suka kalau Umay dekat-dekat dengan dia! lebih baik mencegah dari pada mengobati, ma!" bantah Bima kekeuh.
Meli menghela nafasnya. Menghadapi sang suami yang keras kepala memang harus banyak-banyak bersabar.
"Pa, kita gak berhak ikut campur percintaan mereka. Mereka yang ngejalanin, mereka yang tau bagaimana yang terbaik untuk mereka. Coba bayangin kalau seandainya papa yang ada di posisi Raka. Pasti papa bakalan nyerah kan? liat Raka, pa. Walaupun sudah diusir, dihina, dimaki habis-habisan, dia tetap masih mau berjuang demi anak kita. Apa papa masih gak bisa melihat ketulusan cinta Raka untuk Umay?" Meli mencoba memberi pengertian pada Bima.
Bima diam, dia tampak berpikir sejenak.
"Enggak!! tetap aja papa bilang enggak ya enggak!!" balas Bima kekeuh, tak ingin bantahan.
Meli menghela nafasnya kasar. Dia berdiri lalu langsung meninggalkan sang suami sendiri. Lebih baik pergi dari pada berdebat dengan orang keras kepala, perdebatan yang tak akan pernah ada ujungnya.