3. Kegelapan Yang Datang

3181 Words
Avraam SUARA DERAP LARS TERDENGAR selayaknya tabuhan genderang perang. Jika, pasukan ini datang setelah memenangkan peperangan, tentu sorak-sorai menjadi pengiring langkah mereka memasuki istana. Namun, kali ini penghuni istana terlalu takut bersuara. Mereka yang berdiri di depan pintu utama bersamaku, untuk menyambut rombongan prajurit kami, bergeming dengan wajah memucat. Bukan takut untuk mendengar berita kekalahan, tetapi takut dengan apa yang mereka bawa saat ini. Sebab, prajurit tersebut tidak sedang berperang, melainkan sedang menggiring kegelapan untuk datang. “Apa kau tidak bisa menolaknya?” Dorian bersuara, satu kakinya melangkah ke depan dan mensejajarkan tubuhnya denganku. Aku melirik Dorian sebentar, memperhatikan penampilannya saat ini. Pedang bergagang perak dengan mirah terang tersemat di pinggangnya. Bahkan seragamnya kali ini sudah berganti menjadi seragam perang lengkap. “Apa kau setakut itu?” Kualihkan pandangan darinya, kembali menatap rombongan di depan sana. Kereta besar berwarna hitam perlahan mendekat. Sebuah bendera mencuat dari atapnya, berwarna hitam berlambang pohon oak yang dilukis oleh tinta yang lebih terang sedikit, berkibar di kedua sisi kereta. Bahkan kuda yang menarik kereta tersebut serta pakaian para sais, sama kelamnya. Serasa tengah menyaksikan rombongan pemakaman yang memasuki istana saat ini. “Tentu saja, Yang Mulia.” Aku mendengus, Dorian sedang bercanda sekaligus berkata jujur. Mereka semua takut, bahkan setelah perdamaian yang tercetus sejak lama, tetap saja tidak memberikan kelegaan saat akan menyambut kedatangan penguasa Biserka. Negeri yang penuh dengan hewan kuno, serta kekuatan besar yang tersembunyi di dalamnya. Dan satu hal yang semakin orang-orang takuti adalah bagimana semua penghuni di benua tersebut tunduk pada para penyihir. Rombongan yang sedang bergerak memasuki halaman depan istana saat ini. Kereta berhenti di samping lingkaran air mancur. Dengan seorang prajurit bergerak ke luar dari barisan dan membuka pintu samping kereta. Seragam yang dia gunakan berwarna hitam berpinggiran benang yang senada, serta pin dari bahan perunggu yang ditempa membentuk lambang seperti pada bendera. Tubuhnya kosong tanpa senjata, terlihat seperti orang biasa dan lemah. “Mereka adalah senjatanya.” Aku melirik Dorian melalui sudut mata. Laki-laki tersebut tengah memakukan pandangannya di depan sana dan entah bagaimana seolah kami sedang berbagi pemikiran yang sama. Apa yang para prajurit Biserka butuhkan untuk melindungi dirinya, saat tubuh mereka adalah sumber kekuatan. Bahkan hanya berdiri pun, mereka bisa memenangkan sebuah pertarungan. Itulah yang selalu diceritakan turun temurun, kekuatan besar dan kengerian yang bisa Biserka bawa untuk menyelimuti dunia. Pandanganku memperhatikan sosok yang tengah menuruni kereta paling besar. Lars mengkilap berukirkan sulur-sulur tanaman dari dasar lars hingga ke bagian betis, menapak dengan keras di permukaan tanah. Jubah biru tua hampir hitam tersampir di satu sisi pundaknya, tertahan oleh pin berukuran besar berbentuk bulan sabit dan matahari yang saling berhadapan. Tunik yang dikenakan berwarna putih bersih, serta celana bahan berwarna hitam yang ujung bawahnya terselip ke dalam lars panjang. Tubuhnya terlalu muda untuk seseorang berusia delapan puluh tahun. Raja Biserka yang tidak pernah menua. Tiap langkah kakinya seolah menarik udara di sekeliling kami hingga terasa kering. Sosoknya yang semakin mengikis jarak, terasa penuh dan sesak. Dia tidak datang sendirian, seorang laki-laki dan satu wanita berjalan di belakangnya. Mereka berdua baru saja turun dari kereta nomor dua, sebuah kereta yang berukuran lebih kecil. Namun, tidak terlihat kurang mewah. Pandanganku sempat menangkap tatapannya, sebelum Raja Biserka membawa mata biru jernih tersebut kearah Ayah yang berdiri di samping kananku. “Selamat datang, Yang Mulia.” Ayah berbicara lantang. Menundukkan kepalanya sedikit untuk memberi hormat. “Sambutan yang luar biasa.” Mata dingin Raja Biserka berkeliling, mengamati kami satu persatu, dan berhenti cukup lama untuk memandangiku. “Kami tidak ingin mengecewakan anda.” “Tentu.” Satu sudut bibirnya tertarik ke atas, kali ini matanya teralihkan lagi karena pertanyaan Ayah. “Apa dia adalah Putri Taran?” Sama seperti sang raja, pertanyaan tersebut juga menarik minatku. Kurasa bukan hanya aku, melainkan seluruh orang di tempat ini tentu saja sedang mengamati sosok tersebut. Gadis yang berdiri di sisi kiri Raja Biserka. Matanya berwarna cokelat, dengan rambut sehitam arang. Wajah gadis itu sama dinginnya dengan Raja Biserka. “Bukan.” Aku menoleh kearah Raja Biserka. Lelaki itu tersenyum memandangi Ayah dan bibirnya kembali terbuka untuk bersuara. “Dia adalah Veritha, sepupu jauh Taran—“ bibir Raja Biserka melengkung sedikit, wajahnya tampak berpikir sesaat. “Dan teman masa kecil,” lanjutnya. “Taran tidak senang dengan keramaian, dia berada di kereta. Seharusnya ruangan sudah disiapkan, kalian bisa antarkan keretanya ke sana.” Jari-jariku menekuk dalam genggaman, menahan keinginan untuk menarik kerah tunik yang dia gunakan, serta menjatuhkan satu tinju di wajah awet mudanya. Tidak ada yang memerintah seorang raja, sekalipun dia juga adalah seorang raja. “Tentu, Yang Mulia.” Aku mendengus saat melihat Ayah kembali membungkuk kearah Raja Biserka. Pandanganku muak melihat bagaimana Penyihir tersebut bersikap begitu arogan dan merendahkan kami. Selama perjanjian perdamaian, tidak ada pemberontakkan yang terjadi di antara kedua kerajaan. Namun, kesepakatan yang telah kami buat saat ini adalah sesuatu yang lain, yang tidak bisa kutolak. Saat Kerajaan Biserka menawarkan bantuan untuk menangani kekurangan pangan dan pengobatan setelah kekeringan yang berlangsung hampir satu tahun lebih. Pandanganku menangkap pergerakan Ayah memerintahkan salah satu pengawalnya. Seorang laki-laki berpakaian cokelat muda dengan lapisan baju besi di bagian luarnya, pedang tipis nan tajam tersemat di sisi pinggang. Namun, wajahnya tidak bisa menyembunyikan ketakutan. Pengawal tersebut kemudian berlari kearah sais di atas kereta Raja Biserka. Langkahnya canggung serta tubuhnya bergetar. Dia berhenti cukup jauh dari kuda hitam yang menarik kereta tersebut. Bibirnya terbuka dengan kaku, berbicara sambil meremas kedua tangan, selanjutnya menunjukkan arah yang harus dituju. Tatapanku kemudian bergerak, menangkap pandangan yang begitu jernih dari dalam kereta, yang baru kusadari sejak rombongan mereka tiba. Kereta kelam menelan tubuhnya, akan tetapi, sepasang mata sebiru lautan tersebut tidak pernah terpengaruh oleh kegelapan yang mengelilingi. Sebelum sais menjalankan keretanya kembali, seorang pelayan yang sama ketika membukakan pintu kereta untuk Raja Biserka, kembali bergerak mengambil posisi yang sama untuk menutup pintu kereta. Memutuskan pandanganku dengan gadis di dalam sana. Diakah Taran? “Taran begitu cantik, bukan?” Aku menoleh, mendapati Raja Biserka tengah menatapku dengan senyuman paling tulus di wajahnya. Menampilkan satu kesan yang kukira tidak akan dimilikinya. Tidak peduli bagaimana sosoknya selama ini, Raja Biserka tetaplah seorang ayah yang tentu saja menyayangi putrinya. Pertanyaan Raja Biserka kubiarkan menggantung begitu saja, hingga lelaki tersebut kembali bersuara. “Jangan sekali-kali melihat matanya, lautan lepas adalah lautan yang paling mengerikan. Dalam nan gelap. Jangan bawa dirimu sampai tenggelam di dalamnya.” Kali ini wajah Raja Biserka menampilkan raut yang begitu berbeda dari sebelumnya. Tidak ada pandangan dingin penuh arogansi, selain keseriusan di wajah tersebut yang kini beriak ke permukaan. Pandangan kami tertaut cukup lama, hingga Raja Biserka memutusnya dan beralih ke balik bahuku. Seketika menjalarkan perasaan takut yang gelap, saat aku tahu kepada siapa pandangan tersebut dia tumpukan. “Ada apa, Yang Mulia?” Raja Biserka kembali mengalihkan perhatiannya padaku. Mata biru dinginnya memakukan tatapan dengan tajam. Menatapku seakan telah menemukan lembaran yang hilang dari sebuah buku yang baru saja dia buka. Mata birunya berkelindang bagaikan ombak liar di tengah samudra dengan badai besar yang berkecamuk. Warna biru pada matanya perlahan memudar, tertutupi oleh lapisan berkabut tipis. Aku memandanginya dengan seksama dan melemparkan pandangan kearah Ayah. Namun, tidak ada raut kebingungan yang muncul di sana. Pandangan Ayah sama terpaku pada Raja Biserka, tetapi bagaimana cara Ayah menatap sosok di depan kami, sangat berbeda denganku. Seolah tidak mendapati kejanggalan apa pun darinya. Ketika pandanganku kembali terarah ke depan, aku menemukan mata biru tersebut telah kembali seperti semula. Dengan sebuah senyuman yang kini terbentuk. ”Ada kegelapan bersamamu,” katanya, dengan wajah yang berseri-seri. “Apa?” “Aku rasa kita harus membicarakan banyak hal.” Raja Biserka beralih kepada Ayah, mengabaikan pertanyaan dan kebingunganku. Memutus semua yang membingungkan darinya beberapa saat lalu. “Tentu saja, orang-orang Anda bisa menikmati jamuan yang sudah disediakan.” Ayah bergerak menyamping dan merentangkan tangan untuk mempersilahkan Raja Biserka. Kerumunan di belakang kami sudah bergerak lebih cepat untuk membentuk celah besar di tengah-tengah. Aku memperhatikan dua punggung yang tengah bergerak menjauh, mereka memiliki banyak kesamaan, seorang raja yang memerintah sebuah negeri dan seorang Ayah yang membesarkan anaknya seorang diri. Namun, aku masih tidak bisa beralih dari kebingungan beberapa saat lalu. Dan tentu tidak memiliki kesempatan lagi untuk bertanya. Punggung itu kini telah benar-benar menjauh, memasuki aula utama istana yang dengan cepat tertutupi oleh orang-orang yang mulai bergerak untuk meninggalkan tempat ini. Kualihkan pandangan saat sentuhan kecil terasa di lengan kefta yang kugunakan. Tatapan hangat menyambutku, senyuman di wajahnya terlukis kecil. “Kita bicara nanti, kembalilah ke kamarmu.” Elain mengangguk dan menarik sedikit kerah kefta, kemudian mendaratkan satu kecupan di sisi wajahku. “Jangan lama,” katanya lembut. Badannya kemudian bergerak menjauh, berbaur dengan keramaian orang-orang di dalam aula istana. “Apa kau mempersiapkan sesuatu?” Dorian telah berada di sampingku, berbicara dengan nada rendah. “Kita bicarakan di ruanganku.” Dorian mengangguk, bergerak mengikuti langkahku memasuki aula utama istana, membelah kerumunan yang sudah semakin menipis. Kedatangan para penghuni Biserka bukanlah termasuk hal sepele yang patut diabaikan. Perjanjian yang terbentuk tidak semata-mata dapat memberikan keselamatan bagi kami. Seorang prajurit tanpa tameng masih memiliki sebuah pedang yang digunakan untuk melawan. Namun, jika sebuah kerajaan kehilangan benteng, maka kekalahan akan datang dalam satu kedipan mata. Langkah kami memasuki satu lorong di sisi lain aula, melintasi lantai pulam berlapiskan beledu merah gelap dan sebuah relief rumit yang terukir dangkal pada satu dinding. Pandanganku melirik empat pilar penyangga dari batu pualam berukir, melewatkan pemandangan tersebut beberapa hari ini, dan aku terkejut ketikan menyadari cawan perak yang biasa digunakan untuk membakar kayu ash telah tergantikan oleh patung yang mengisi celah diantara masing-masing pilar. Para arsitek kerajaan senang mengganti suasana dengan hal-hal kecil. Badanku berbelok ke kiri di persimpangan tiga lorong, memasuki bagian lain dengan beberapa kandelir berisikan tiga lilin bertingkat yang menempel ke permukaan dinding. Tiga penjaga juga terlihat berada di posisi mereka, mengisi kedua sisi lorong. Mata mereka bergerak ke sudut ketika mendengar suara langkah mengalun keras di tengah lorong, menangkap kedatangan kami dan seketika merubah posisi untuk menghadap kearah kami. Pandanganku masih memaku pada satu titik di depan sana, melewati ketiga penjaga dengan suara dentuman lars yang terus mengalun, hingga langkahku berhenti tepat di depan pintu kayu ganda berwarna hitam terpoles. Gagangnya terbuat dari perak dan berisikan titik-titik besar lazuli yang beberapa waktu lalu di datangkan dari Kerchi. Kuraih benda tersebut, mendorongnya hingga membentuk celah yang bisa di lewati. Dorian bergerak mengekor di belakang sambil menutup kembali pintu tersebut. Aku meliriknya sekilas. “Kita tidak bisa menghadapi ini seperti menangkap buronan yang mencuri sekarung gandum dan roti bakar.” Dorian bergerak kearah tempat duduk beledu besar di tengah ruangan dan melemparkan tubuh padatnya, hingga memunculkan sedikit guncangan pada benda tersebut. Kakiku melangkah ke sisi sebrang, bergerak ke meja besar dan mengitarinya. Meraih tempat duduk kayu yang berada di balik meja. “Aku tidak menganggap mereka adalah para pencuri gandum.” Kududukkan tubuhku di sana, menyandarkan bagian punggung yang sejak tadi terasa begitu kaku. “Kalau begitu seharusnya mereka tidak menjadi sekelompok penolong.” Dorian menatapku dengan jengkel. Tangannya meraih sabuk kulit di pinggangnya, melepaskan pengait serta menarik belenggu benda tersebut dari tubuhnya. Selanjutnya Dorian meletakkan sabuk kulit beserta pedang besar yang mengait di sana, ke atas meja di dekat tempat duduknya. Pandanganku terangkat dari pedang Dorian yang tergeletak. “Apa pun alasannya, Biserka tetaplah musuh kita.” Dorian berbicara sengit. Posisi duduknya sedikit berubah dari semula. Kakinya terulur ke depan dan tangannya terlipat di dekat perut. Dorian telah berjaga selama empat hari, menyiapkan jalur aman untuk kedatangan Biserka. Dan wajah mengantuk lelaki tersebut begitu kentara saat ini. Kedua mata Dorian tertutup dan tentu saja pendengarannya tetaplah bersiaga dari suara kecil apa pun. “Bagaimanapun, mereka adalah jalan satu-satunya.” Kupandangi wajah Dorian, pergerakan pundaknya naik turun dengan ritme teratur. Keheningan lelaki tersebut saat ini seolah menandakan jika dirinya benar-benar siap untuk memasuki alam tidur. “Dan membiarkan kau menjadi boneka mainan di negerimu sendiri.” Kedua mata Dorian masih tertutup. Wajahnya begitu tenang, bahkan setelah memuntahkan satu kalimat yang begitu menyebalkan. Aku mengabaikan Dorian, membiarkan pernyataan lelaki tersebut menguar hingga menghilang dibalik debu tipis di udara. Tanganku bergerak meraih tumpukan perkamen, permukaannya bertuliskan segala hal yang diperlukan untuk acara tiga hari lagi. Waktu yang sangat singkat. Namun, aku masih memiliki cukup waktu untuk merubah semuanya, menghentikan kekonyolan ini dan menjalani semuanya seperti semula. Akan tetapi, kilasan penderitaan yang dialami rakyat negeri ini seolah membayangi selayaknya mimpi buruk yang terus saja terulang. Mereka hanya bisa mengais tanah kering untuk mencari sebiji kacang yang masih bisa dikumpulkan dalam lumbung. Atau bagaimana mereka begitu takut kehilangan satu tetes air dari dalam kaldron. Sedangkan, penghuni istana masih bisa menyantap kalkun panggang berbalur madu dan sebotol anggur di atas meja jamuan. Tidak ada solusi lain. Selalu ada risiko yang akan membayangi untuk sebuah pilihan, bahkan jika hal tersebut adalah sebuah bentuk pertolongan sekali pun. Tidak ada yang cuma-cuma di dunia ini, darah dibayar oleh darah, tulang dibayar oleh tulang. Harga mati untuk sebuah belas kasih adalah pengorbanan yang besar. Mereka memberikan pertolongan, maka aku harus memberikan apa yang mereka inginkan. Perkamen tersebut kuletakkan kembali ke tempat semula. Tubuhku beranjak dari tempat duduk, bergerak mendekat kearah jendela besar. Hari masih terlalu siang, sinarnya yang begitu terang menembus beberapa bagian kaca dengan permukaan mozaik, hingga memunculkan rona berbagai warna di atas lantai pualam bersih. Aku bergerak lebih dekat, memutus aliran cahaya yang terbentuk. Bagian kecil dari jendela bening di tengah mozaik menampilkan sedikit sisi luar istana. Sebuah taman tidak terawat dan mengering, bahkan satu pohon memperlihatkan setengah daunnya telah berguguran dan meninggalkan sedikit daun menguning di deretan ranting bagian bawah. Bunga-bunga yang sempat muncul, menggantung layu pada tangkai melengkung. Mengabaikan, jika seharusnya bunga tersebut telah mekar mengisi pohon dengan warna merah jambu dari kelopaknya. Kakiku hendak bergerak kembali, akan tetapi, sesuatu menarik tubuhku untuk tetap terdiam di tempat semula. Saat satu bayangan tertangkap oleh pandanganku. Hanya tampak bagian punggung, dengan gaun berwarna biru gelap dan rambut cokelat tua sebatas pinggang. Satu sosok lagi berjalan di belakangnya, menggunakan gaun berwarna ungu dengan rambut yang dijalin ke atas. Wajahnya tampak sekilas, ketika badannya bergerak menyamping dan menghadap pohon yang hampir mengering, pohon yang beberapa saat lalu kuperhatikan. Tangan gadis tersebut bergerak ke atas, berhenti, dan menyisakan jarak yang sempit dengan cabang paling bawah. Jeda beberapa saat, tidak ada yang terjadi. Mereka berdua hanya menatap pohon tersebut dengan keheningan, dan gadis bergaun biru gelap masih tetap mempertahankan posisinya. Pikirku, untuk meninggalkan mereka kali ini. Dan sekali lagi langkahku tertahan, seberkas cahaya muncul secara tiba-tiba dari tangan gadis tersebut. Berpendar dan bergerak ke atas, menyentuh cabang pertama. Cahaya tersebut seolah terhisap begitu saja. Dan mataku seakan dibuat untuk tidak kehilangan fokus untuk apa yang akan terjadi selanjutnya. Gadis tersebut telah menurunkan tangannya bersamaan dengan hal yang paling menakjubkan mulai terjadi. Pohon tersebut perlahan bergerak ke atas, meregang dan hidup kembali dengan daun-daun hijau yang tumbuh dari ranting-ranting kering, serta bunga yang sempat layu kini kembali tegak merekahkan kelopak yang terbuka lebar. Pandanganku beralih memperhatikan bagian samping wajah gadis tersebut. Bergerak ke bawah, hingga ingatan beberapa saat lalu kembali muncul, gaun yang dia gunakan sama dengan sosok gadis yang kulihat di dalam kereta Raja Biserka. Saat itu Raja Biserka tidak mengatakan dengan jelas apakah sosok di dalam sana merupakan Taran. Namun, gadis bergaun gelap dengan mata sebiru lautan adalah satu-satunya sosok yang berada di dalam kereta kala itu. Dan kini, gadis yang sama tengah berada di luar sana, yang beberapa saat lalu menunjukkan sedikit sihir kecilnya untuk memperbaiki pohon yang hampir meranggas sepenuhnya. Dan keyakinanku semakin kuat, jika keduanya adalah sosok yang sama. Kala tubuh tersebut berputar, menghadap gadis bergaun ungu yang memperhatikannya sedari tadi. Memperlihatkan kilau biru di matanya. Mereka berbicara sebentar, sebelum gadis bergaun ungu tersebut menyamping dan membiarkan gadis tersebut—Taran, bergerak melewatinya. Aku kehilangan pergerakan mereka, akan tetapi, rasa penasaran tersebut telah terbayarkan. Taran merupakan sosok kunci dalam perjanjian ini, mereka hanya membutuhkan suatu ikatan dan kami membutuhkan kekuatan yang hanya dimiliki kaum mereka. Tidak. Seperti yang Raja Biserka katakan beberapa bulan lalu, saat pertemuan pertama kami di perbatasan. “Hanya Taran yang memilikinya.” Kakiku melangkah mundur, selanjutnya memutar tubuh, dan keterkejutan menyergapku begitu saja. Dorian tengah berdiri di balik kursi besar, menatap ke arahku dengan wajah yang mengantuk dan rambut sedikit acak-acakan. “Kau sedang apa?” tanyanya, sembari membuka mulut lebar-lebar untuk menguap. “Tidak,” jawabku cepat. Tubuhku kemudian bergerak mendekat ke arahnya. Memutari kursi besar dan berhenti di dekat meja. Kuraih pedang besar dengan gagang dan sarung pedang yang terbuat dari perak tempa. Ukirannya sedikit, akan tetapi, berliuk-liuk dengan indah. “Bisa kau siapkan pedang biasa untukku?” Pandanganku beralih menatap Dorian, dan lelaki tersebut masih menguap kecil beberapa kali, menggaruk kepalanya, sebelum menjawab pertanyaanku. “Untuk apa?” “Buatkan saja.” Kuletakkan kembali pedang tersebut ke atas meja. “Jika, karena perak adalah kelemahan mereka. Maka, aku tidak mau.” Kuputar pandanganku dengan jengkel, sembari melipat kedua tangan di depan. “Jadi, kau ingin berperang,” sergahku. Dorian tidak pernah kehilangan jiwa pembangkangnya, bahkan hal tersebut berdampak pada dirinya yang menjadi begitu keras kepala. Lelaki tersebut balik menatapku dengan jengkel, “kau terlalu memperhatikan mereka.” Dorian meraih sabuk kulit tersebut, sekaligus menenteng pedangnya, dan kemudian berjalan melewatiku. Kuabaikan sikapnya yang terkesan tidak pernah sopan, setelah kata-kata yang ke luar dari bibir lelaki tersebut. “Perintah Anda akan segera dilaksanakan, Yang Mulia.” Kemudian aku mendengar suara pintu yang terbuka dan tertutup setelahnya. Ruangan ini dengan cepat terasa begitu sunyi, meninggalkan kehampaan yang secara perlahan membentuk sulur-sulur pengikat. Pikiranku yang runyam telah kembali dari persembuanyiannya entah di mana pun itu. Aku melemparkan tubuh ke permukaan kursi besar yang sebelumnya dikuasai oleh Dorian, membenarkan posisi kakiku hingga menyerupai seperti yang Dorian lakukan beberapa saat lalu. Tubuhku mengendur dengan segera, merasakan kenyamanan dan kelembutan beledu di bawah sana secara bersamaan. Dorian begitu nyaman tidur di kursi ini, dan kini, aku tahu kenapa. Kuraih kegelapan kala mataku terpejam. Membenarkan sedikit posisi kepalaku yang menumpu pada lengan kursi. Aku hanya ingin beristirahat sebentar, akan tetapi, kilasan beberapa saat lalu ketika Raja Biserka mengatakan hal yang sulit kupahami, kembali menyeruak di dalam sana. Menarik-narik jalinan kusut yang hampir membentuk simpul mati, yang tidak akan pernah terlepas lagi. Kala itu mata biru milik Raja Biserka mulai memudar, berbayang-bayang oleh selaput aneh yang kuyakini hanya dia tunjukkan kepadaku. Saat Ayah bergeming dengan tatapan biasa saja. Ada satu tujuan yang ingin Raja Biserka capai, mungkin saja hal tersebut dia lakukan hanya untuk menekanku. Mengancam secara terang-terangan dan mengharapkan rasa takut untuk menjalariku. Namun, hal tersebut terasa begitu tidak masuk akal. Dia bukanlah seorang pemain amatir, ada begitu banyak muslihat yang tentunya pernah dia lakoni. Dan menakut-nakuti bukanlah sesuatu yang pas untuk Raja Biserka lakukan. Ketika dia tahu betul, bahwa semua orang di negeri ini begitu takut akan dirinya. Tanpa terkecuali padaku, setitik perasaan ngeri memang telah muncul sejak lama. Kala perang besar tersebut muncul di depan mataku. Menyibak segala masa kecil yang terbentuk dengan tawa riang, berubah menjadi teriakan ketakutan, rasa trauma, dan benci yang kini bergumul menjadi segumpalan dendam kotor. “Kata-kata itu.” Aku meraih kembali ingatan tentang perkataan Raja Biserka saat menyambutnya di depan istana. “Bukankah dialah kegelapan yang dimaksud.”
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD