2. Cermin Mawar

3318 Words
Jelena PAGI TADI AKU TERBANGUN setelah mendengar nyanyian burung gereja dari arah balkon. Tidak. Aku hanya menebak saja jika suara tersebut milik burung gereja, karena nyatanya nama burung gereja lebih familiar dari nama burung lainnya. Dama hanya pernah menunjukkan burung tersebut saat aku masih berusia sepuluh tahun. Bentuknya kecil dan suaranya merdu. Kala itu aku senang mengikuti Dama berpetualang ke hutan, bukan hutan sungguhan. Hanya ladang anggur milik Tuan Ramos, teman Dama dari Lefkadia. Lelaki tua itu memiliki ladang yang luas dengan pohon anggur yang tumbuh lebat. Saat aku berlibur ke Moskow, Dama akan menyisihkan waktu luangnya untuk mengajakku bepergian. Dan yang akan selalu aku minta adalah pergi ke ladang anggur. Bermain perang-perangan dan memetik anggur yang manis. Tuan Ramos tidak keberatan sama sekali, dia sendiri kebingungan untuk membawa semua anggur-anggurnya ke mana lagi, setelah toko yang biasa Tuan Ramos titipi tidak mampu untuk menampung anggurnya yang terlampau banyak bersamaan dengan petani lain yang menitipkan hasil panen mereka juga. Aku memasukkan satu sendok lagi sereal ke dalam mulut dan yang barusan adalah suapan terakhir. Mom sudah pergi pagi-pagi sekali saat aku belum bangun, Casante bilang jika Mom sangat terburu-buru karena perjalanannya hari ini cukup memakan waktu. Aku menyelesaikan kunyahanku beberapa saat, setelahnya beranjak dari kursi kayu dan membawa mangkuk kosong tersebut ke tempat cuci. “Bersihkan yang satu itu, Lena.” Casante berteriak dari ruang keluarga. Membuatku cemberut dan kembali membalikkan badan. Kuhidupkan keran dan mengguyur badan mangkuk, kemudian menambahkan sabun dan menggosoknya di beberapa bagian. Hanya dua gosokan dan selanjutnya kubilas. Menggiring semua buih untuk bergerak ke lubang pembuangan. “Sudah!” teriakku, sembari mengeringkan mangkuk dan meletakkannya di keranjang samping tempat cuci. Berlibur di rumah Casante memang menyenangkan, tapi kadanag-kadang akan terasa membosankan jika seharian aku hanya menghabiskan waktu untuk makan dan tidur, kemudian makan lagi, lalu tidur lagi. Siklus itu akan terulang hingga ke minggu selanjutnya. Sampai waktu yang ditentukan oleh Mom untuk kembali ke New York. Aku melangkah ke luar dapur, melewati lengkungan tembok dan melintasi ruang keluarga. Casante sedang duduk di sofa besarnya seperti biasa, tangannya bergerak-gerak merajut dengan tiga gulungan benang berbeda warna. Aku ingin melewatinya, tetapi berhenti saat Casante menyadari keberadaanku. “Kau mau ke mana?” Aku menoleh. Menatap Casante yang masih menunduk, matanya begitu fokus memperhatikan dua jarum besar yang seolah saling beradu. “Ke mana saja, asal tidak membosankan.” Aku kembali melangkah, hanya dua langkah ketika Casante kembali menginterupsi. “Tempat apa di rumah ini yang tidak membosankan?” Kepalaku menoleh dan mendapati mata biru yang sama sepertiku tengah menyorot dengan tatapan jenaka. Aku mendesah dan membalikkan badan. Melipat tangan di depan. “Sejujurnya tidak ada. Tapi, aku juga malas harus menemanimu merajut.” Sudut bibir Casante berkedut, selanjutnya tertarik ke atas dengan perlahan. Guratan kini terbentuk jelas di ujung mata Casante, karena dorongan lemak di pipi kendurnya saat tersenyum. “Merajut tidak membosankan, kau bisa menciptakan bunga-bunga kecil untuk dirimu sendiri.” Casante mengangkat hasil rajutannya ke atas. Menampilkan bunga-bunga kecil yang saling berdekatan dan terlihat hampir sepanjang syal. Dia membanggakan hasil karyanya. “Sama sekali tidak menarik.” Casante menaikkan kedua alisnya, membulatkan mata seolah-olah dirinya benar-benar sedang berada dalam keterkejutan. “Bagaimana kalau sebuah dongeng untuk menemaniku merajut.” Aku bergeming, berusaha menampilkan wajah yang terlihat biasa saja. Namun, Casante tahu dan akan selalu tahu, jika aku menyimpan ketertarikan untuk penawarannya kali ini. Tangan keriputnya mulai bergerak memanjang, menepuk lengan sofa yang berada di dekat sofa besar yang didudukinya. Bibir Casante kembali tertarik membentuk senyum kemenangan. Aku memutar mata, mau tidak mau menggerakkan tungkai dengan perlahan menuju sofa di depan sana. “Lihat. Kau sekarang menemukan tempat yang tidak membosankan di rumah ini.” Casante berbicara dengan nada kebanggan di dalam kalimatnya. Mata biru itu seperti kamera pengawas yang terus memperhatikanku mendekat ke arahnya. “Tidak juga.” Kulempar tubuhku ke permukaan sofa. Meluruskan kedua kaki dan menumpukannya di atas meja, serta punggungku yang kini bersandar ke belakang. Casante hanya berhenti sebentar dan kemudian melanjutkan kembali kegiatan merajutnya. Mom sama sepertiku, membenci hal-hal rumit yang bisa memakan waktu lama. Itu kenapa kami sangat cocok dan begitu berlainan dengan Casante untuk hal yang satu ini. “Lalu?” Aku membuka suara saat menyadari jika Casante tidak memulai ceritanya sama sekali. “Lalu?” Sekarang Casante terdengar seperti burung beo yang baru bisa menirukan ucapan manusia. Aku mendesah kasar, menurunkan kakiku dari atas meja dan mengentakkannya bergantian. “Kau menipuku. Menyebalkan,” dengusku. Casante tertawa dengan tangan yang tetap bergerak merajut benang-benang tersebut. “Kau harus bersabar, Lena. Aku perlu berkonsentrasi untuk rajutan ini.” “Bukankah, seharusnya aku tidak usah duduk di sini jika hanya memandangimu merajut.” Casante kembali tertawa, tangannya berhenti bergerak dan kemudian meraih gunting kecil dari dalam keranjang anyam di dekat kakinya. “Aku sudah tua untuk bisa melakukan dua hal dalam waktu bersamaan.” Tangannya bergerak dengan gemetar saat membuka gunting untuk memotong benang yang sudah terikat di ujung rajutan terakhirnya. Benda tersebut kemudian dia angkat, mata birunya bergulir, menelisik satu persatu bunga yang telah selesai dirajut. “Apa itu sudah selesai?” Aku mengamati Casante, melihatnya mengangguk tanpa mengalihkan pandangan dari hasil rajutan yang menggelayut di depan wajahnya. “Bisa dibilang begitu, hanya perlu membentuk pinggirannya sedikit.” Casante kemudian melipat hasil rajutannya dan meletakkan benda tersebut di atas keranjang anyam, diikuti dengan gulungan-gulungan benang di dekat kakinya. Aku membenahi posisi dudukku saat Casante terlihat sudah membereskan peralatan merajutnya. “Apa kau mau popcorn?” Aku memberinya tatapan masam, mencebik saat mendengar Casante kembali tertawa. “Aku serius, ini adalah kisah yang begitu misterius dan sudah turun temurun diceritakan.” Casante meletakkan dua jarum tersebut di atas benang rajutan dan matanya dengan cepat beralih ke arahku. Berkedip sebelah dan mulutnya mulai terbuka. “Jadi, kau mau popcorn?” “Tidak,” jawabku cepat. Memelotot kearah Casante yang sedang menahan senyumnya. “Baiklah, aku rasa sudah waktunya menceritakan yang satu ini kepadamu.” Casante perlahan membentuk senyuman dengan kesan yang misterius di wajahnya. Tidak dibuat-buat seperti biasanya, yang hanya untuk menakutiku. Mata biru tersebut seolah berpendar dengan cahaya paling aneh yang pernah kulihat. Menelisik dan mengalirkan sensasi yang mampu menegakkan bulu roman. Sejak dulu aku selalu berharap jika Casante adalah seseorang yang memiliki kemampuan khusus dan kemudian mewariskannya padaku. Konyol. “Kuharap bukan cerita pengantar tidur yang membosankan.” Sudut bibir Casante tertarik lebih lebar, hingga rasanya wajah tua tersebut akan robek saat ini juga. “Aku tidak ingat pernah memberimu cerita yang membosankan.” Casante bersandar ke belakang, tangannya bergerak membersihkan sisa benang di pangkuan. Memungut satu helai potongan kecil yang menempel di sana. “Dahulu kala, ada sebuah negeri dengan segala hal yang mustahil dapat terjadi.” Casante mengamati benang di ujung telunjuk dan ibu jarinya sesaat, yang selanjutnya membuang benda tersebut dari japitan tangannya. “Kau masih ingat Peri? Unicorn atau Nymph?” Mata birunya kembali menunjukkan pendar yang tidak kupahami, seolah memberikan daya magis yang mengaburkan setiap sudut ruangan layaknya terdistorsi. Kepalaku mengangguk dengan perasaan terhipnotis. “Negeri itu memilikinya,” imbuhnya. Aku tahu jika Casante senang berdongeng dan segala cerita yang pernah wanita itu sampaikan hanyalah sebuah imajinasi yang tanpa adanya bukti konkret apa pun. Namun, kali ini terasa ada sesuatu yang lain, seolah ikut membayangi di setiap kata yang ke luar dari bibir keriputnya. Seperti warna hitam yang setitik demi setitik mulai terbentuk dan berkumpul. Memudar secara perlahan hingga gumpalan dunia baru mulai terbentuk. Beriak layaknya genangan yang terusik tangan jahil. Aku mengerjap, menyadari jika semua itu adalah gambaran yang muncul tepat di depan mataku. Kugelengkan kepala untuk menghalau semua imajinasi yang mencoba merecoki pikiranku. Apa yang barusan terjadi, terasa amat aneh. Aku menatap kearah Casante, dan wanita itu juga tengah menatap ke arahku. Tersenyum dengan mata memincing tajam. “Apa barusan?” Pundaknya terangkat, kemudian membawa punggung itu bersandar. Kedua tangan Casante menjalin di atas pangkuannya, satu telunjuk mencuat dan mengetuk-ngetuk punggung tangan. Casante tengah berpikir saat ini, matanya menerawang jauh. Selayaknya membuka setiap lembar tirai penghalang. Pandangan Casante kembali terlempar ke arahku. “Kau harus mendengar dan melihatnya sendiri.” Cengiran terbentuk di wajah tuanya, beberapa gigi Casante sudah tanggal dan meninggalkan ruang kosong di deretan samping. Akan terlihat jelas jika wanita itu membuka bibirnya dengan lebar seperti saat ini. “Sesuatu yang tidak pernah bisa kuceritakan,” lanjutnya. Dahiku mengerut dan serasa hampir menyatukan kedua alis, dongeng yang semula Casante ceritakan seperti bergulir kearah lain. Membingungkan sekaligus membuat penasaran. “Apa? Apa yang tidak bisa kau ceritakan?” Aku mencondongkan tubuh ke depan. Menekan lututku dengan kedua siku, serta jari-jariku terjalin di bawah dagu. Cukup lama Casante terdiam, hingga akhinya bibir tersebut kembali terbuka. “Negeri itu memiliki sebuah kerajaan yang mampu membuat semua makhluk abadi di sana menundukkan kepala dan bersumpah setia kepada mereka.” Aku terdiam, mengamati Casante yang kini kembali melemparkan pandangan ke depan. Wanita tersebut tidak repot-repot untuk menjawab pertanyaanku, tentang hal lain yang sekilas kulihat beberapa saat lalu ketika sesi berdongengnya dimulai. Casante memilih untuk membiarkan pertanyaan tersebut menggantung seperti kandelir di ruang depan. Aku merasa dongeng Casante kali ini adalah sesuatu yang berbeda. Casante tidak pernah terlihat kelelahan untuk sebuah dongeng yang biasa mengalir dari bibirnya. Tidak kali ini, ketika guratan tipis di dahinya semakin mendalam, saat Casante membawa fokusnya pada satu titik. Memilah setiap kata yang akan dia gunakan. Menyimpan sebagian yang tidak ingin dia bagi kepadaku. Misterius dan turun temurun. “Kerajaan yang menjadi lawan menakutkan bagi kerajaan lain, namun menjadi sekutu yang menguntungkan. Begitulah yang dipikirkan satu kerajaan di luar benua.” Jalinan tangan Casante terlepas, beralih ke atas pahanya dan bergerak mengusap permukaan pakaian yang dia kenakan. “Hingga perjanjian itu tercetus, dengan taruhan yang besar.” Pandangannya kini tertuju ke arahku. Bergerak ke dalam, mengorek-ngorek sesuatu yang ingin Casante ketahui. Tentang reaksiku setelah kata selanjutnya dia perdengarkan. “Perjodohan.” Kedua alisku terangkat, kaget sekaligus merasa tergelitik. Sejak kapan perjodohan adalah sebuah taruhan yang besar. Aku mencebik dan kali ini berganti Casante yang mengangkat kedua alisnya. “Sejak kapan perjodohan adalah hal yang besar.” Kugerakkan tubuhku ke belakang untuk bersandar, dengan kedua tangan yang terlipat ke depan. Wanita tua tersebut tersenyum lembut, alih-alih merasa jengkel dengan responku barusan. “Sejak dulu,” guraunya. Casante tertawa sebentar, menutup bibirnya menggunakan punggung tangan dengan gerakan yang begitu anggun. “Lalu, apa yang membuatnya menjadi mengerikan?” Casante menghentikan tawanya, satu jarinya kemudian beralih mengetuk di dagu. Pandangannya menerawang ke atas. Mencari-cari lagi apa yang bisa dia katakan untuk pertanyaanku kali ini. “Orang ketiga,” cetusnya, berbarengan dengan mata biru yang menatap ke arahku. Sedetik aku terdiam, melihat mata Casante yang kembali berbinar aneh. “ Pangerandari kerajaan di luar benua tersebut sudah memiliki seorang istri. Selain itu, mereka meminta dalam perjodohan, jika bukan istri pertamalah yang menjadi ratu kelak. Melainkan istri kedua.” “Kenapa?” Aku tidak bisa menutupi rasa penasaran dibalik suaraku. Casante membawa sisi kepalanya menumpu di sandaran sofa yang sedikit melengkung. Kali ini aku melihat sorot mata yang begitu aneh dari Casante, wanita tersebut mungkin memiliki banyak imajinasi dalam kepalanya. Namun, kegilaan seharusnya tidak pernah menjadi sorot mata Casante, seperti saat ini. “Karena wanita yang akan dijodohkan adalah seorang Putri Kerajaan, seorang Takdir yang memegang Takdir lainnya.” Aku terdiam, cukup lama, hampir-hampir mempercayai semua kisah yang Casante ucapkan. Sebelum wanita tua tersebut tertawa dengan suara yang hampir terasa memenuhi ruangan ini. Sudut matanya mengalirkan sedikit air mata, serta urat-urat di sekitar lehernya menonjol dari balik kulit yang kendur dan kusut. “Oh, Lena. Lihat wajah itu, apa ceritaku begitu menakutimu?” Nadanya sarat akan godaan. Dan aku menggeram jengah, menarik bantal kecil di belakangku, membawa ke atas kepala sebelum membiarkan benda tersebut mendarat dengan kasar di lantai, dekat dengan kaki meja. Aku beralih berdiri, mengabaikan tawa Casante yang tidak berkesudahan. Rasa kesal mencuat dengan cepat di dalam sana, seperti seorang bajak laut yang baru mengetahui jika awaknya sedang merencanakan makar kepadanya. Kakiku melangkah dengan mengentak keras, bertekad untuk mendiami Casante hari ini bahkan hari-hari berikutnya. Namun, lagi-lagi suara serak wanita tua tersebut entah bagaimana dapat menghentikanku. Terasa selayaknya mantra paten yang tidak bisa dilanggar siapa pun. Seolah telah tertandai padaku dan mengikatkan simpul kencang di sekeliling tubuhku.“Lena.” Aku terdiam sambil memunggunginya, wajahku cemberut dan masam. Enggan berbalik dan enggan menyahutinya. Akan tetapi, kata-kata selanjutnya seolah mampu membangkitkan rasa penasaran, yang bergerak liar dari titik paling jauh. Alih-alih mempertahankan kekesalanku padanya. “Kau tahu kenapa penyihir tidak pernah mendapatkan jawaban yang dia inginkan dari cermin miliknya?” Badanku berbalik, aku tidak menjawab. Menatap Casante yang terlihat sangat kecil di dalam kungkungan sofa besarnya. Wajahnya kini menjadi serius, tawa jenaka telah hilang dari dirinya, dan tergantikan alunan suara lembut seperti lagu pengantar tidur. “Kenapa?” Casante mengulang pertanyaannya kembali, menuntut sebuah jawaban. Karena dia tidak tidak pernah menginginkan keterdiamanku, karena Casante menyukai perdebatan yang tentu akan selalu dimenangi olehnya. Dan karena aku mempercayai semua dongengnya. “Dia berkata yang sebenarnya dan ingin melindungi sang putri.” Casante mengulas senyum yang terasa sehangat matahari pagi di musim panas. “Seharusnya diam, alih-alih malah mengatakan sang putri adalah wanita tercantik. Bukankah dia seperti menumbalkannya. ” Tangan Casante bergerak mengebuti debu apa pun di atas pakaiannya. Saat berbicara selanjutnya, pandangan Casante tidak tertuju kepadaku. Matanya menerawang ke depan, ke sebuah titik yang tidak akan pernah bisa aku lihat. “Selayaknya bunga mawar, indah dan berduri. Cermin seperti itu, memperlihatkan sosokmu yang baik dan dapat membentuk sosok jahat di dirimu.” Selanjutnya aku melihat kesedihan di wajah Casante. Beriak dengan bebas dan tanpa malu-malu menunjukkan eksistensinya kepadaku. Kepalaku berputar seperti laju film yang dimainkan dengan cepat, acak dan berulang, membiarkanku mengingat banyak hal di masa lalu. Jika, Casante dan Dama adalah orangtua angkat Mom. Dan sebuah pertanyaan tiba-tiba menyeruak di dalam sana. Siapa Casante? Bibir keriput Casante terkatup rapat. Pandangannya tidak teralihkan, tidak berfokus pada satu hal, seolah tengah menerawang pada kisah yang begitu jauh. Tentang hal yang tidak pernah bisa dia ceritakan, tentang sebuah kisah yang tidak memiliki kebenaran, tetapi dia yakini dan aku pun mengikuti kisah tersebut dengan sukarela. Keheningan masih merambati kami, membentuk sulur-sulur tak terlihat yang rasanya terjalin satu sama lain untuk mengungkung kami di dalamnya. Aku ingin beranjak, tapi ada satu hal entah apa pun itu yang berhasil membuatku untuk tetap terdiam. Memakukan langkah tetap berada di pijakan semula. Apa yang ingin kucari? Casante mulai bergerak, membenahi posisi duduknya, sebelum menangkapku dengan pandangannya. Satu alis Casante melengkung ke atas. “Kukira kau akan pergi.” Aku bergeming, membiarkan pernyataan Casante melayang-layang di sekitarku. Seiring dengan langkah kaki yang mulai mendekat ke arahnya, mengambil posisi seperti beberapa saat yang lalu di sofa panjang. Serta kubiarkan kebingungan mengembang di wajah tuanya. “Oh, apa hantu berjanggut merah sedang merasukimu?” Casante melontarkan tawa menggoda. “Setidaknya kau harus bersyukur, aku mau menemanimu.” Semua kata itu kuludahkan dengan masam, membuat Casante mencebik sesaat dan melipat tangannya ke depan. Jika dia merajuk, maka aku hanya perlu berpura-pura tidak tahu. “Setidaknya kau juga perlu bersyukur karena menemukan tempat yang tidak membosankan.” Pandangan Casante kembali jenaka, menaburkan semburat merah kekesalan di atas wajahku dengan sengaja. “Jadi, kau ingin berperang?” “Siapa?” “Kau!” ketusku. Casante kembali memperdengarkan tawanya, mengalirkan kekesalan lebih banyak yang tertuju padaku. Sejak lama, Casante adalah orang yang sangat menyebalkan. Bahkan, saat ini sikapnya semakin bertambah menyebalkan. Entah, karena dia memang semenyebalkan itu ataukah Casante hanya sedang kesepian. Sudah empat tahun dia harus tinggal sendiri di rumah yang besar, tidak ada Dama dan tidak ada yang menemaninya lagi. Andaikan aku dan Mom tidak berada di New York, mungkin Casante akan memiliki teman di rumah ini. Teman yang bisa dia buat kesal setiap saat. “Kau memang menyebalkan.” “Tapi, aku akan menemanimu asalkan kau mau bercerita.” Kedua alis Casante tertarik ke atas, wajahnya menjadi sangat penasaran. “Apa yang ingin kau dengar, Lena?” Suara Casante memelan, terdengar seperti bisikan yang kelam, menciptakan kembali suasana misterius yang sempat memudar beberapa saat lalu. “Cerita yang tidak bisa kau ceritakan.” Mata biru Casante menatapku, warnanya sejernih lautan dan segelap malam. Wajahnya berubah mendung, ada keterkejutan yang tidak pernah dia tunjukkan sebelumnya. Akan tetapi, saat ini terlihat begitu jelas, beriak-riak dengan liar di wajah tuanya. Casante gugup, apakah dia melupakan ceritanya atau dia memang benar-benar tidak bisa mengatakannya. “Bukankah semuanya hanya dongeng.” Pandangan Casante sulit untuk kuartikan, wajahnya berusaha kembali tenang. Walaupun setitik kegugupan beberapa saat lalu masih membayang di sana. “Hanya dongeng.” Suaranya mengambang hampa di udara. Casante bergerak melepaskan diri dari sofa besarnya, mengebuti debu yang tertempel di permukaan pakaian sekali lagi. Setelahnya mengulurkan tangan dan berkata, “mau berjalan-jalan?” Aku memandanginya sebentar, kemudian bangkit dari posisiku dan bergerak ke sisi kiri tubuhnya, menggandeng tangan kecil Casante serta merasakan kulit kering yang terasa kasar di tanganku. Casante bergerak perlahan, melewati sofa menuju pintu ganda di ujung ruangan. Ketika kami berhasil melewatinya, pandanganku menangkap seberkas cahaya keemasan menembus kaca mozaik warna-warni di depan sana. Membekaskan guratan selayaknya pelangi di udara. “Sudah sangat siang rupanya.” Pandangan Casante sekilas mengamati cahaya di balik jendela tersebut. Aku memilih memperhatikan aliran cahaya yang meliuk-liuk, bukan, sesuatu seperti partikel penuh kilau di dalamnya yang memberikan kesan jika cahaya tersebut tengah bergerak. Ketika kami menembusnya, aku berharap merasakan sengatan hangat, alih-alih sensasi biasa saja yang seolah menandakan tidak pernah terjadi apa pun beberapa saat yang lalu. Apa yang kuharapkan? “Kita akan ke mana?” Casante tidak menoleh ke arahku, tapi bibirnya bergerak untuk tetap menyahuti pertanyaan tersebut. “Tempat yang tidak akan membuatmu bosan.” Aku mendengus, meremas tangan Casante sedikit lebih keras. “Aku benci membahas itu lagi.” Casante tertawa, kali ini kami sudah berada di ruang depan dan melewati tangga besar di sebelah kiri, beberapa saat lalu aku sempat mengira tujuan Casante adalah lantai atas. Mungkin dia ingin berada di ruang bersantainya. Namun, kami tetap melangkah hingga memasuki ruang tamu. Tempat yang jarang kukunjungi. Suasananya terlalu sepi dan terkesan suram, sofa-sofa besar berwarna kelabu dengan bantal hitam. Serta meja di tengah sofa, meja di pojok ruangan, serta beberapa lemari perabotan yang semua bahannya adalah kayu mahoni tua dan tentu saja mengkilap. Siapa yang membersihkannya?. Ditambah lagi lukisan-lukisan kuno yang terkesan layaknya mural yang telah usang di makan usia. Casante membawa langkah kami ke kiri, menyusuri ruangan yang luasnya setara jika menyatukan ruang keluarga hingga ke dapur. Casante menghentikan langkah kakinya ketika kami berada di ujung ruangan. Di depan pintu ganda yang sama kelabunya dengan suasana ruangan ini. Gagangnya berwarna gading, berukir membentuk dua kepalan tangan ringkih. “Menyeramkan, apa itu tulang?” Aku menunjuk gagang tersebut dan seketika Casante menyalurkan tawanya. “Ya, tulang kalkun yang tidak habis dimakan serigala.” Aku cemberut masam, Casante terlalu misterius dan rumah ini lebih terkesan seperti rumah hantu. Bukan salahku jika mengira benda tersebut dipahat dari tulang manusia. “Lalu, ini ruangan apa?” Tangan Casante bergerak ke depan, menempelkannya ke permukaan pintu dengan perlahan. “Ruangan ini terkunci dari dalam,” bisik Casante. Seketika tubuhku menegang. Otot-otot berdenyut dan menekan dengan sangat dalam, memunculkan sensasi kebas yang janggal di betis, rahang, dan buku-buku jariku. Casante tidak berbicara lagi, aku menatap ke arahnya sebentar kemudian memalingkan pandangan ke arah pintu besar di depan kami. Ada orang lain di rumah ini? Rambut halus di tubuhku berdiri, membayangkan sosok asing menakutkan yang bisa kapan pun berkeliaran di dalam rumah ini adalah sesuatu hal yang paling menakutkan. “Siapa?” Casante mengalihkan perhatiannya, “tidak ada.” Alisku tertaut menjadi satu, memunculkan kebingungan yang pasti telah Casante tangkap di mata birunya. “Tidak ada siapa pun di dalam sana, Lena.” “Tapi, kau bisa menemukan sesuatu yang akan mengantarkanmu ke tujuan yang kau inginkan.” “Bagaimana? Bahkan ruangan ini terkunci dari dalam.” Casante kembali memandang kearah pintu ganda hitam. Tangannya ditarik dari permukaan dan menggantung di sisi tubuhnya. “Jika kau berhasil menemukan sisi lainnya.”
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD