Episode 2

2130 Words
  Leon baru saja datang ke area balapan liar menggunakan mobil kesayangannya Zenvo ST1 berwarna hitam pekat dengan volet merah dan lampu berwarna putih menyala mampu menembus jalanan. Banyak orang sudah berkumpul di sana. Malam ini Leon datang sendirian karena Datan sibuk dengan teman kencannya. Ia menuruni mobil itu dengan hanya memakai kaos putihnya. Beberapa wanita menghampirinya dan berusaha untuk menyapa dan menggodanya. Tetapi sang Ice King itu hanya melengos begitu saja membuat para wanita mencibir kesal. Leon memang sulit di gapai... Leon berjalan menghampiri Doni, orang yang mengatur acara ini. Ia berbincang-bincang dengannya untuk melakukan balapan seperti biasanya. Doni mengatakan kalau ada seorang pengemudi MOGE yang ingin balapan dengannya. Leon menyetujuinnya dengan bayaran motor dan mobil. Start... Leon menginjak gas mobilnya menyusuri jalanan kosong itu dengan seseorang menggunakan motor. Mereka saling susul menyusul untuk mencapai finish karena rutenya tak terlalu jauh.  Leon mulai menekan perselingnya dan menginjak gas mobilnya hingga hembusan angin kencang itu mampu meluruhkan gigi orang di pinggir jalan.  Pertandingan itu cukup ketat, dan sulit. Mereka saling susul menyusul, hingga Leon mampu menyalip motor itu. Dan tidak di sangka-sangka motor itu menyalip dari kiri. Pertandingan yang begitu ketat sekali, hingga mencapai finish.... Sial! maki Leon. Hampir saja dirinya yang menang, tetapi si pengendara motor itu tidak lelah untuk menyusulnya hingga di garis finish ia melewati Leon dan hanya berbeda beberapa cm saja, lebih unggul si pengendara motor itu. Semuanya kaget, karena sang raja jalanan dapat di kalahkan oleh seorang Perempuan? Leon mematung di tempatnya saat perempuan itu membuka helm sport putihnya. Rambut panjangnya terurai indah membuat Leon membeku di tempatnya. Wanita itu memiliki bola mata yang indah dan berwarna hitam pekat seperti mata bayi, pipinya sedikit chubby. Ia tersenyum kecil seraya mengibaskan rambut panjangnya dan berjalan mendekati Leon yang membeku di tempatnya. “Selamat malam Mr. Ice,” ucapnya membuat Leon mengernyitkan dahinya menatap wanita yang kini menunduk dan menatapnya dari kaca mobil yang di buka tepat di sisi pengemudi. “Suatu kebanggaan bagi saya bisa mengalahkan raja jalanan di sini.” Senyuman menawan menghiasi wajah wanita cantik itu sungguh membuat Leon terpaku di tempatnya,  cukup lama Leon menatap wanita di depannya itu hingga ia tersadar dari lamunannya. Leon hanya tersenyum kecil tanpa ingin banyak bicara, ia mencabut kunci mobilnya dan menuruni mobil saat wanita itu sudah munur beberapa langkah ke belakang. Leon menyimpan kunci mobilnya ke telapak tangan wanita itu dan berlalu pergi. “Tunggu Tuan.” Leon menghentikan gerakannya mendengar suara itu dan kembali menoleh padanya. “Saya tidak butuh mobil Anda, saya tidak bisa menyetir,” ucapnya dengan jujur seraya menyerahkan kunci mobil kembali ke telapak tangan Leon.  Leon menaikkan sebelah alisnya dengan melipat tangannya di d**a. “Berikan saja aku uang senilai 50  juta, dan mobil ini tetap jadi milikmu.” “Kau berniat memerasku?” tanya Leon penuh selidik. “Tidak sama sekali, aku hanya sedang membutuhkan uang,” ucapnya dengan menggigit bibir bawahnya membuat Leon gemas. “Baiklah.” Leon mengeluarkan sesuatu dari dompetnya. “Datanglah ke alamat ini.” Leon menyerahkan kartu namanya ke wanita itu. “Aku akan memberikan apa yang kamu inginkan.” Setelah mengatakan itu Leon berlalu pergi meninggalkan wanita cantik yang tampak berseri-seri menatap kartu nama itu. Di dalam mobil Leon tersenyum kecil karena ini pertama kalinya ia kalah. Dan sialnya oleh seorang wanita. “Siapa wanita itu sebenarnya?” ♠♠♠ Leon baru pulang tepat pukul 11 malam. Dhika tampak  tengah duduk di ruang televisi sendirian. "Malam Pa," sapa Leon dan beranjak menuju kamarnya. "Leon, kemarilah." panggil Dhika membuat Leon menghentikan langkahnya yang hendak menaiki undakan tangga. 'Apa jangan jangan Papa mau negur masalah balapan?' batinnya. Leon berjalan mendekati Dhika. Dhika terlihat mematikan televisi saat Leon sudah duduk di sofa single. Dhika yang memakai tranning coklat dan kaos polo putihnya terlihat santai duduk dengan tumpang kaki. Dhika masih terdiam, tetapi Leon sudah merasakan aura tak bersahabat dari papanya. Ia tau dirinya salah di sini, apalagi kalau Papanya tau dirinya pernah bertaruh sebuah mobil sport untuk permainan balapannya seperti malam ini. "Leon, Papa dengar dari Daddy kalau kamu dan Datan tergabung dalam kegiatan balapan liar. Apa itu benar?" tanya Dhika to the point menatap Leon dengan tajam. "Itu-" Leon terdiam sesaat, bingung harus menjawab apa. Dhika memang tak pernah marah pada anaknya, ini pertama kalinya Leon memperlihatkan aura tak bersahabat dalam dari Dhika. "Katakan Leon!" tegas Dhika menyentakkan Leon. "Papa ingin kamu yang mengatakannya dengan jujur." "Iya Pa, maafkan Leon," ujar Leon menundukan kepalanya. Dhika terlihat menghebuskan nafasnya berat. "Leon, kamu tau kan itu sangat berbahaya. Kalian juga berjudi di dalam permainan itu!” "Iya Pa, Leon tau," cicit Leon. "Kalau kamu tau kenapa kamu tetap melakukannya, Leon?" "Maaf Pa." "Berapa kali kamu bermain judi? Dan apa yang kamu dapat?" tanya Dhika membuat Leon mengusap tengkuknya. Benar kata Mamanya, jangan membuat Papamu marah. Papa selama ini selalu sabar menghadapi tingkah kalian bertiga, kalau Papa sudah marah. Kamu akan langsung berkeringat dingin. Dan itu di akui Leon sekarang ini, ia orang yang tak pernah takut apapun dan tak pernah terintimidasi oleh siapapun. Ia pria cuek dan tak pernah perduli pada sekitarnya. Tapi hanya di tatap penuh intimidasi oleh Papanya, Leon merasa mulai tak nyaman. "Leon, Papa tanya kamu punya mulut untuk menjawab kan?" "Sudah sering Pa, Leon dapat mobil sport. Di sana jarang bertaruh uang, tapi langsung mobil." "Berapa mobil yang kamu dapat?" "3 mobil Pa, mobil Jaguar putih, SUV hijau dan Lamborghini merah," cicitnya. "Dan sekarang dimana ke tiga mobil itu?" "Ada di bengkel," jawab Leon. "Kembalikan ke tiga mobil itu pada pemiliknya atau kamu bakar saja," ujar Dhika membuat Leon mengernyitkan dahinya. "Tapi Pa-" "Kenapa? Kamu mau menjualnya, atau mau terus kamu simpan? Leon judi itu perbuatan dosa besar, Papa tak pernah mengajarkan kamu untuk berbuat judi!" ujar Dhika yang sudah kesal. "Papa kira ucapan Daddy kamu itu bohong, tapi ternyata benar. Papa kecewa sama kamu Leon!" "Maafin Leon, Pa." "Sudahlah, pokoknya setelah ini Papa tidak mau dengar lagi kalau kamu ikut balapan liar, dan kamu tidak boleh ikutan kegiatan apapun di kampus selama satu bulan ini," ujar Dhika final. "Tapi Pa," ujar Leon tak terima. "sebentar lagi Leon ada turnamen basket antar kampus." "Papa tidak mau tau, itu hukuman kamu. Kamu harus sudah ada di rumah setelah jam kuliah berakhir, dan jangan coba-coba bohong sama Papa. Sekarang kamu kembali kan kunci mobil kamu sama Papa," ujar Dhika menengadahkan tangannya. "Lalu Leon ke kampus bagaimana Pa?" "Kamu berangkat dan pulang bareng Leonna, cepat kasih ke Papa kunci mobilnya?" dengan berat hati Leonpun menyerahkan kunci mobilnya. "Syukur tidak Papa tutup semua fasilitasmu, sekarang kembali ke kamar dan istirahat. Ingat hukumanmu berlaku dari mulai besok," ujar Dhika dan berlalu pergi meninggalkan Leon yang merengut. "Arrghh sialan! Ini gara-gara si kunyuk Datan yang gak hati-hati," gumam Leon kesal dan langsung menyambar tasnya menuju kamarnya. Dhika masuk ke dalam kamar dan menyimpan kunci mobil Leon ke laci nakas di sana. Lita terlihat masih sibuk membaca buku di atas ranjang. "Kamu gak keras kan mendidik Leon," tanya Lita membuat Dhika merebahkan dirinya di atas ranjang dengan kepalanya yang di sandarkan ke paha Thalita. "Tidak, aku hanya memberi dia sedikit hukuman. Aku kecewa padanya, harusnya Leon kita masukan ke pesantren dulu," ujar Dhika. "Namanya juga anak muda, Sayang. Dia pasti terpengaruh pergaulan di kampusnya. Kamu kayak yang gak pernah muda saja," ujar Lita. "Iya tapi aku gak sampai senakal Leon, aku pikir yang harus selalu ku perhatikan hanya Leonna dan Adrian. Aku pikir Leon sudah cukup dewasa untuk mengatur hidupnya sendiri, tetapi aku salah." "Bagaimanapun usia Leon masih 20 tahun, dia masih butuh bimbingan kita. Pria biasanya mulai dewasa di usia 25 tahun. Dan lagi kamu juga waktu berumur 21 tahun, kamu juga sama kan belum bersikap dewasa," sindir Lita. "Kenapa sekarang kamu malah membahas aku?" ujar Dhika tak terima. "Karena kita mendidik anak harus lihat dari pengalaman kita juga saat kita masih muda, anak tidak bisa harus terus di kerasin dan di manja. Bagaimanapun caranya kita harus bisa memahami hati mereka, jadi tidak sulit untuk menegur dan mengingatkannya saat mereka salah," ujar Lita panjang lebar. "Kamu memang Ibu yang baik, aku tak salah pilih," ujar Dhika tersenyum seraya membelai pipi Thalita dengan sayang. "Aku juga banyak belajar dari pengalaman kita di masa lalu, Dhika. Aku ingin dekat dengan anak-anakku. Aku ingin mereka tak menyembunyikan apapun dariku," ujar Lita. "Iya dan kamu malah menyembunyikan kelakuan Leon dariku," sindir Dhika. "Maaf Sayang, aku pikir Leon telat pulang karena diem di bengkel," ujar Lita. "Jangan menyembunyikan apapun dariku lagi, Sayang. Terutama masalah anak-anak kita." "Baiklah suamiku Sayang," ujar Lita tersenyum. Dhika mengambil sebelah tangan Lita dan menyimpannya di depan d**a. "Kita harus bekerjasama untuk membuat anak-anak kita bahagia, itu tugas kita sekarang, Sayang," ujar Dhika dan Lita menganggukkan kepalanya tanda setuju. ♠♠♠ Leon melepas kaos yang ia kenakan di kamar mandi, seketika bayangan wajah perempuan itu melintas di kepalanya. Ia menghentikan gerakannya sambil berkacak pinggang. “Ada apa denganku? Kenapa wajah wanita itu terus mengusikku?” Ia segera melepaskan celananya dan juga melepaskan semua pakaian yang menempel di tubuhnya. Ia berjalan ke walk in shower. Ia memutar kran air di depannya hingga air hangat jatuh membasahi tubuhnya. Ia memejamkan matanya merasakan air hangat yang hangat menerpa tubuhnya. Seketika bayangan wajah wanita itu kembali melintas di kepalanya membuatnya membuka mata dengan cepat seraya mengusap wajah dan rambutnya yang basah. “Siapa wanita itu?” ♠♠♠ “Bos, ada tamu.” Leon menoleh saat salah satu montirnya menyembulkan kepalanya dari balik pintu. “Siapa?” “Seorang wanita cantik,” kekehnya. Leon berpikir itu pasti Leonna atau Chella, atau bisa saja Mamanya. “Suruh dia masuk.” “Siap Bos.” Montirnya itu berlalu pergi meninggalkan Leon yang sibuk membaca beberapa berkas di depannya. “Permisi,” Leon menengadahkan kepalanya dan tatapannya langsung bertemu dengan mata indah itu, mata sepolos dan sepekat bayi. Mata milik seorang wanita yang sejak semalam mengusik pikiran Leon. “Permisi Tuan,” ucapnya sekali lagi saat Leon hanya mematung menatapnya. “Ah yah, silahkan masuk.” Leon segera memalingkan wajahnya dengan sedikit berdeham. Wanita pertama yang mampu membuatnya hilang fokus. Wanita itu berjalan mendekati Leon sambil menatap sekeliling ruangan. Ruangan yang cukup luas, dan bersih. Padahal ini bengkel mobil dan motor, tetapi suasana di dalam ruangan itu begitu bersih. Ia duduk di depan Leon dengan senyuman kecilnya. Rambut pirangnya, ia ikat kuda. Leon mampu menatap wanita di depannya ini dengan begitu jelas, dia terlihat begitu cantik sekali walau tampak tak memakai apapun. Pipinya terlihat chubby dan saat tersenyum, ada lesung kecil di sudut bibirnya, membuat dia terlihat semakin cantik. Mata polosnya begitu indah dan menunjukkan ketidakberdayaannya seperti seorang bayi kecil, di hiasi bulu mata yang lentik, hidungnya mancung dan bibirnya terlihat berwarna pink pucat tanpa lipstik atau lips ice. Terlihat natural,, “Tuan,” ucapnya saat sadar Leon tak mendengarkannya. “Ah yah, kamu ingin mendapatkan hadiahmu?” tanya Leon yang di angguki olehnya. “Untuk apa uang sebanyak itu?” “Saya rasa itu bukan urusan anda, Tuan.” Wajahnya mendadak dingin dan datar. Leon tersenyum kecil. “Saya hanya ingin memastikan. Terlihat dari penampilan kamu, kamu bukan tipikal wanita yang suka menghabiskan uang untuk berbelanja.” Wanita itu diam membisu menatap mata tajam Leon yang setajam elang. Blam “Leon!” Keduanya menoleh ke ambang pintu dimana seorang wanita yang Leon sayangin dan juga buat Leon kesal sekaligus. “Eh ada tamu yah, tunggu di luar deh.” Dia tersenyum kecil seraya menutup pintunya. Wanita itu siapa lagi kalau bukan kembarannya yang super aktif. “Jadi bagaimana dengan hadiah saya, Tuan? Saya sedang membutuhkannya sekarang,” ucap wanita itu membuat Leon kembali mengalihkan tatapannya pada wanita di hadapannya. “Saya masih penasaran untuk apa uang sebanyak itu.” “Saya sudah katakan, itu bukan urusan anda tuan. Maaf saya tidak bisa berlama-lama,” ucapnya sedikit ketus. Leon akhirnya mengeluarkan cek miliknya, dan menuliskan sejumlah uang untuk wanita itu. “Ini hadiahmu,” ucapnya menyerahkan cek itu dan ia segera menerimanya. “Terima kasih,” ia bergegas keluar tanpa ingin melihat dan berbasa basi lagi pada Leon. Wanita itu terburu-buru keluar hingga bertabrakan dengan Leonna. “Aduh mbak, liat-liat dong kalau jalan,” pekiknya yang sakit di bagian lengannya. “Maaf.” Dia langsung berlalu pergi menaiki motornya. “Tuh orang kenapa sih,” gumam Leonna saat wanita itu sudah berlalu pergi. “Ayo balik.” Leonna kembali tersentak saat tangan Leon menyentuh pundaknya. “Wanita itu siapa?” “Gue gak tau,” jawab Leon dengan santai seraya mengambil kunci mobil di tangan Leonna. “Heh es balok, gue nanya serius. Siapa wanita itu,” teriak Leonna mengikuti Leon yang sudah menaiki mobilnya. Leon memang meminta Leonna untuk menjemputnya di bengkel karena mobilnya masih di tahan sang Papa. “Gue beneran gak tau, Ona. Sudahlah,” ucap Leon membuat Leonna mencibir. ♠♠♠
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD