Hafiz memandang wanita yang kini membelakanginya. Terlihat buku-buku jemari yang memutih di gagang pintu. Dan wanita itu, enggan bertatap muka dengannya.
“Untuk apa?” tanya Humaira dengan tenggorokan tercekat. Entah sudah sekuat apa gemuruh jantungnya berdetak. Yang ia rasakan adalah tungkai kaki melemah.
Sejak hari itu … Humaira tak pernah ingin berharap pada pria di sana. Sekalipun itu dalam mimpi. Ia takut jika takdir kembali membuatnya kecewa.
“Untuk semua yang tertinggal disini, termasuk kamu.”
Hafiz yang lebih pandai menyembunyikan perasaannya, kini mencoba jujur. Meski nasi sudah menjadi bubur.
Diantara nafas berderu, ada rindu yang kian menggebu. Keinginan Hafiz untuk mendapatkan Humaira kembali semakin berpacu.
“Aku datang untuk menebus cinta kita, Humaira.”
“Cinta … kita?” Tanya Humaira, tersenyum sinis, cenderung mengejek.
Tak ada jawaban. Hafiz tahu bahwa semua angan-angannya untuk kembali sangatlah mustahil. Namun, ia yakin bahwa takdir ini masih bisa mereka ubah. Hatinya percaya bahwa ada takdir diantara mereka meski cinta pernah tergadai sementara.
“Semua sudah berlalu … Hafiz.”
Suaranya rendah tanpa emosi. Humaira menundukkan pandanganya. Air mata yang sudah mengambang, bahkan terjatuh mengenai sepatunya.
“Humaira …,” lirih Hafiz.
“Sejak kamu memutuskan nggak kembali hari itu, aku anggap nggak pernah ada cinta diantara kita ….”
Dalam hening, Humaira kembali teringat bagaimana rasa sakit menikahi Haydar yang harus ia tanggung sendirian. Sementara Hafiz, entah dimana.
“Mas kamu mau pergi lagi?” tanya wanita itu ketika melihat suaminya mengemasi baju ke koper.
“Hmmmm.”
“Tapi ‘kan kamu baru aja pulang?”
“Ada urusan apa sama kamu?”
Wanita itu hanya bisa menghela nafas. Selama tiga tahun Humaira bertahan dengan situasi yang membingungkan. Haydar seperti koin yang memiliki dua mata sisi. Saat dihadapan orang lain, ia menjadi sosok suami idaman. Bahkan tak jarang mendapat pujian karena kelembutannya. Namun, ketika hanya berdua, ia bisa menjadi orang asing yang sangat kasar. Tak peduli Humaira adalah istrinya.
“Aku istri kamu. Aku berhak tahu!”
“Aku lagi berjuang supaya perusahaan ayah kamu nggak bangkrut. Jadi nggak usah banyak nuntut!”
Setelah itu Haydar pergi membawa koper sambil membanting pintu.
Humaira hanya bisa menelan kekecewaan yang datang bertubi-tubi. Bagaimanapun perlakuan Haydar, ia selalu berusaha menjadi istri yang baik. Melayani lahir dan batin sang suami. Namun apa yang ia dapatkan? Hanya kekecewaan dan penderitaan. Seolah kehadirannya tak pernah diharapkan. Lalu apa gunanya pernikahan ini?
Tiga tahun menikah, Haydar tak pernah memperlakukannya dengan layak. Apalagi sejak memutuskan tinggal jauh dari orang tua. Haydar merasa lebih leluasa memperlakukannya seperti b***k.
Tiga tahun ini adalah mimpi buruk yang pernah Humaira alami sepanjang hidupnya. Ketika cinta yang ia semai harus dipetik oleh orang lain. Sosok yang ia harapkan tidak kembali saat dibutuhkan. Kecewa? Sangat! Humaira tak bisa menggambarkan betapa dirinya sangat kecewa terhadap pria yang kini ada di belakangnya.
Setiap detik yang ia jalani seperti berjalan diatas duri. Tapi, ia hanya seorang istri yang harus menuruti semua perintah suami. Walau sejak awal, Humaira tak pernah bisa menebak isi kepala sang suami yang selalu menunjukkan emosi.
Saat itu, menikah bukanlah keinginannya. Sebab ia telah mempersiapkan diri untuk seseorang yang lebih dicintai. Tapi ternyata takdir berkata lain.
Lambat laun isak tangis mulai terdengar. Bodoh! Sudah susah payah ia menghilangkan ingatan itu. Namun, melihat Hafiz berdiri disekitarnya membuat pertahanan hatinya runtuh seketika. Apa cinta memang semenyakitkan itu? Baginya, Hafiz adalah cinta pertama. Tapi mengapa, pria itu juga yang harus menggoreskan luka.
“Humaira ….”
Suara lembut Hafiz membelai indera pendengarannya hingga menghangatkan jiwa. Jika saja ia belum bersuami, mungkin panggilan itu mampu membuat perasaannya lebih baik. Tapi kenyataannya tidak semudah itu.
Kini Humaira memberanikan diri, berbalik dan menatap wajah pria yang selama ini masih ada dalam setiap doanya. Ahmad Hafiz. Seorang pria yang tidak pernah absen melindunginya hingga dewasa, sebelum akhirnya mereka menjadi asing karena sebuah keadaan. Sosok yang begitu ia harapkan untuk jadi imam namun tak kembali saat dibutuhkan.
Humaira menyeka air matanya dengan kasar.
“Apa kamu tahu betapa takutnya aku saat itu?”
Hafiz membisu.
“Apa kamu tahu bagaimana rasanya bertahan pada kebahagiaan yang semu?”
Sorot mata Hafiz tertuju pada wanita itu. Ya, benar juga. Humaira tampak tidak bahagia. Tubuhnya yang ringkih, senyum tak pernah lebih lebar dari sebelumnya. Hafiz bahkan tidak mengenal wanita yang kini ada di hadapannya.
“Aku … aku ….”
Suara itu semakin parau. Humaira tertunduk, menyembunyikan wajahnya yang sudah bercampur air mata. Sementara Hafiz hanya memandang tanpa berkedip, tak pula menghakimi. Dalam keheningan, Humaira melihat kilas balik perlakuan sang suami yang tak pernah menganggapnya ada.
“Kamu itu cuma anak manja yang nggak tahu apa-apa. Jadi jangan buat masalah!”
Humaira mengejapkan mata. Ingatannya berputar kembali, kemudian mendongak—memandang Hafiz yang sama sekali tak bisa berbicara. Apa ia terlihat sangat menyedihkan sekarang?
“Aku bukan mau menarik simpati kamu, Hafiz. Aku cuma ….”
“Humaira …,” sela Hafiz, lirih.
Sedikitpun, ia tak pernah berpikiran seperti itu. Sebab, ia tahu kalau Haydar bukanlah pria baik-baik. Hafiz yakin, pria itu menikahi Humaira hanya untuk mencapai tujuan dan tidak benar-benar mencintai Humaira. Dan keyakinan itulah yang membuat Hafiz rela kembali ke Indonesia demi melindungi orang terkasihnya.
“Berhenti menyebut namaku seperti itu!” pekik Humaira.
Atmosfer ruangan berubah dingin. Sudah berlalu sepuluh menit sejak Ali dan Lula pergi, tapi mereka tetap di sana seakan ingin meluruskan apa yang pernah terjadi.
“Humaira aku bisa jelaskan,” pinta Hafiz.
Langkah kakinya hampir bergerak namun Humaira langsung mendorong tangannya ke udara, meminta pria itu untuk tidak mendekat.
“Jangan mendekat!”
“Humaira, tolong dengarkan aku.”
“Berhenti! Jangan pernah mendekat!” pekik Humaira tak tertahankan.
Saat itu pula, suara dering ponsel berbunyi bersama deru nafas yang memburu.
Lula.
Humaira buru-buru menyeka air matanya dengan kasar. Kemudian mengangkat sambungan itu.
“Waalaikumussalam. Baik, kami kesana,” ucapnya dengan suara parau. Tanpa pamit, Humaira menarik gagang pintu dan hendak berlalu.
Tapi langkahnya berhenti ketika Hafiz bertanya satu hal yang tak ia temukan jawabannya.
“Humaira … apa kamu bahagia?”
Pertanyaan itu jelas membuat Humaira ingin tertawa.
‘Sekalipun aku nggak pernah bahagia, Hafiz. Karena kebahagiaanku cuma ada di diri kamu.’
Meski begitu, Humaira hanya mengucapkan kalimat tersebut dalam hati.
“Aku bahagia.”
Ceklek.
Pintu kemudian tertutup menyisakan Hafiz yang hanya tercenung dengan beribu tanda tanya.
***