Senja mulai berlabuh di peraduannya ketika Humaira tiba di rumah.
“Assalamualaikum.”
Humaira melangkahkan kaki ke dalam rumah mewah berkonsep minimalis. Hari itu terasa melelahkan baginya. Bukan hanya tentang fisik saja, tapi juga pikirannya. Belum lagi bertemu Hafiz setelah tiga tahun berpisah.
“Waalaikumussalam. Non sudah pulang? Kenapa lesu?” tanya Laila menyambut kedatangan anak asuhnya.
“Nggak apa-apa, Bi. Cuma banyak kerjaan aja.”
Humaira tersenyum tipis. Tentu saja Laila tak mudah percaya oleh hiasan di wajah tersebut. Sepandai-pandainya Humaira menutupi kesedihannya, Laila tak akan percaya dengan mudahnya.
“Jangan bohong sama Bibi, Non.”
“Humaira lapar, Bi.”
Humaira mengalihkan topik perbincangan itu kemudian menggandeng Laila untuk melangkah ke ruang makan.
“Mas Haydar belum pulang, Bi?” tanya Humaira ketika mendaratkan bokongnya di kursi. Pandangan berpendar ke sekeliling rumah. Seketika itu pula senyumnya memudar.
‘Sudah biasa. Nggak perlu sedih.’
Humaira bermonolog. Pasalnya, selain jadi kepala yayasan milik keluarga sendiri, Humaira juga berstatus sebagai istri. Tapi, kenyataannya ia tak pernah dianggap oleh sang suami. Belum lagi, ia pernah mengalami kekecewaan setelah keguguran dua kali.
Tak ingin bersedih hati, Humaira memilih memberdayakan diri karena ia selalu ingin menjadi seperti neneknya, mengabdi untuk melahirkan dan mencetak generasi insani.
Wanita manapun tak akan sanggup kehilangan bayi, apalagi sampai dua kali. Tapi, Humaira selalu berpikir positif. Apalagi tak pernah ada cinta dalam pernikahan mereka. Sekuat apapun ia bertahan, kadang kala ia merasa ingin sekali menyerah.
“Makan yang banyak, Non.”
Laila menyodorkan beberapa menu sehat hingga membuyarkan lamunan Humaira.
“Siap, Bi.”
Melihat kondisi badan Humaira yang semakin kurus kerontang membuatnya menjadi iba. Bagaimana tidak, setiap hari bahkan ketika Haydar kembali ke rumah, Humaira hanya menjadi pelampiasan syahwat dan emosi saja. Laila hampir lupa kapan terakhir kali melihat Humaira tersenyum lepas. Tiga tahun terjebak dalam pernikahan itu, justru membuat Laila yang tak tahan.
Laila satu-satunya orang terdekat Humaira. Pengasuh sejak kecil yang tahu semua penderitaan di rumah itu. Namun, Humaira selalu meminta Laila untuk tidak membocorkan problematika rumah tangganya pada kedua ayah dan ibu. Ia tak ingin menjadi beban. Apalagi membuat sang ayah merasa bersalah karena sudah menikahkannya dengan pria tak berperasaan.
Setiap hari, Laila lah yang selalu menemani Humaira makan. Di antara suara sendok garpu yang beradu, atmosfer canggung menyelimuti. Sesekali Laila memandang wajah Humaira yang tampak layu.
“Non,” panggil Laila.
“Ya, Bi?”
“Non berhak bahagia.”
Laila tak kuasa lagi. Rasa sakit itu seakan menikam batinnya. Padahal, Humaira yang mengalami semua itu.
“Humaira bahagia, Bi.”
Tentu saja itu sebuah kebohongan.
“Bibi berharap, suatu saat nanti Nak Hafiz kembali ….”
Mendengar nama Hafiz, kedua tangan Humaira berhenti. Tampak ragu untuk memandang Laila yang ada di hadapannya. Teringat bagaimana pertemuan itu terjadi sangat tiba-tiba, bahkan Humaira tak pernah menyangka. Apakah takdir yang telah menghubungkan mereka?
“Aku rindu.”
“Untuk semua yang tertinggal disini, termasuk kamu.”
“Aku datang untuk menebus cinta kita, Humaira.”
Kalimat-kalimat itu kembali menyerbu ingatannya hingga membuat dadanya terasa sesak.
“Jangan sebut nama itu lagi, Bi.”
Humaira menghela nafas, berusaha tak peduli.
“Bibi tahu, Non masih cinta sama Nak ….”
“Bibi … tolong ….”
Suara Humaira penuh penekanan. Ada emosi yang tersirat dalam setiap tarikan nafasnya.
‘Tolong jangan buat aku berharap, Bi. Aku takut … takdir membuatku kecewa.’
***
Tiba di hotel, Hafiz langsung merebahkan diri di sofa, tempat tinggal sementara sebelum mendapatkan apartemen untuk di sewa. Matanya menatap langit-langit dengan salah satu tangan bersandar di dahinya.
Setelah tiga tahun tak bersua, ada rasa asing yang mengganjal perasaannya. Si gadis ceria penuh tawa, kini berubah menjadi wanita pendiam seakan menyimpan duka.
‘Maafkan aku, Humaira.’
“Minum dulu, Bro.”
Ali duduk di sofa single seraya menawarkan kopi panas. Terdengar suara hela nafas sebelum Hafiz beranjak dari rebahnya.
“Kalau jodoh pasti balik lagi.”
Begitulah kalimat yang muncul dari bibir Ali tanpa aba-aba. Sebagai sahabat yang sudah menemani Hafiz dalam suka duka bahkan saat terpuruknya, Ali mulai memahami bagaimana perasaan pria itu.
Ternyata ini alasan dibalik kegigihannya saat menempuh studi, sampai rela tak makan berhari-hari. Hanya demi untuk mewujudkan cita-cita lalu kembali pada pujaan hati.
Hafiz berhasil melalui semua itu dan menduduki posisi sebagai seorang CEO dengan segala pesona. Meski begitu, sikapnya tak pernah bersahabat untuk setiap wanita. Hanya ada satu nama yang terpatri di hati, yaitu Humaira.
“Setelah lihat dia hari ini, gue jadi nggak yakin. Dia marah banget sama gue.”
Ali terkekeh pelan.
“Kemana Hafiz yang dulu sangat percaya diri?”
Hafiz mengedikkan bahu sambil menyesap kopi panasnya. Waktu terjeda ketika Ali memandang Hafiz yang masih menikmati kopi itu.
“Oh, ya.”
“Apa?”
“Dokumen-dokumen yang lo minta waktu itu.”
Hafiz menatap mata Ali sebelum beralih pada amplop coklat yang bertengger di udara. Tanpa membuang waktu, Hafiz meraih berkas tersebut—menarik beberapa kertas dan foto yang ada di dalamnya. Seketika itu pula darahnya mendidih.
“Humaira … apa kamu bahagia?”
“Aku bahagia.”
Teringat jawaban itu, Hafiz semakin yakin bahwa ada yang disembunyikan oleh wanita itu. Tapi mengapa?
***
Yayasan Insan Mulia
Suara kicau burung terdengar dari sela-sela jendela ruang kepala yayasan. Letaknya yang tinggi dengan dikelilingi pepohonan rimbun membuat suasana ruangan itu terasa asri. Seorang wanita kini berdiri di depan meja atasannya, menanti Humaira yang tengah bermunajat pada Sang Pencipta. Waktu dhuha tak pernah terlewatkan olehnya. Sesempit apapun, Humaira selalu menyempatkan diri. Setidaknya, itu caranya untuk berelaksasi.
“Ibu, hari ini ada meeting dengan pemerintah daerah, ya. Agenda yang akan dibahas yaitu perizinan gedung baru untuk tingkat sekolah menengah.”
“...”
Belum ada jawaban dari Humaira. Ia baru beranjak dan keluar dari mihrab yang terletak di sudut ruang kerjanya. Sebuah tempat untuk bisa menumpahkan segala isi hati pada Sang Khalik.
“Jam berapa, Lula?”
“Jam sepuluh, Bu. Mau Lula wakilkan saja atau bagaimana?”
“Kalau begitu kita berdua kesana, ya.”
“Baik, Bu.”
Lula merupakan orang kepercayaan Humaira yang banyak membantunya menjalankan operasional yayasan. Selain itu ada beberapa pegawai lainnya. Namun, karena usia yang tidak terlalu jauh, Humaira hanya bisa merasa nyaman dengan Lula.
Setelah serah terima jabatan dengan sang nenek, Habibah. Humaira memegang kendali penuh pada yayasan itu. Sementara Habibah sekarang lebih banyak menghabiskan waktu untuk bolak-balik ibadah. Itu sebabnya ia jarang ada di Indonesia.
“Kalau begitu kamu siap-siap. Saya tunggu di mobil, ya.”
“Lho, nggak pakai supir aja, Bu?”
Humaira tersenyum seraya menyiapkan beberapa barangnya ke dalam tas tangan bermerek.
“Jaraknya nggak jauh, kok. Sekalian kita makan diluar dulu habis itu.”
Lula menunjukkan senyuman khas serta kedua jempol di udara. Terkadang senyum Lula bisa menular, membuat suasana hati Humaira menjadi lebih baik.
“Siap, Bu!”
***
Ketika Humaira dan Lula selesai bertemu pihak pemerintah daerah, hari sudah beranjak siang. Rasa lapar pun langsung menggoda. Bahkan suara perut berdendang seirama. Humaira telah memarkirkan mobil BMW keluaran terbaru di depan restoran ternama berbintang lima.
“Bu, kita nggak makan di warung padang aja?” tanya Lula saat memasuki area fasad restoran bergaya klasik eropa. Pasalnya, Lula yang notabene orang kampung, tak terbiasa dengan makanan asing.
“Kamu tenang aja, disini ada makanan nusantaranya, kok.”
Humaira tersenyum seraya meyakinkan. Restoran tersebut memang sering ia kunjungi sejak kecil. Jadi, Humaira hanya ingin sedikit bernostalgia, sekaligus melepas rasa penat di kepala.
Setelah mendapat tempat duduk, Humaira langsung memesan makanan. Tak lama setelah pelayan pergi, pandangannya beralih pada sosok pria yang duduk membelakangi. Meski agak jauh, ia sangat mengenal pria itu. Tiba-tiba saja jantungnya berdetak lebih kencang. Tubuh pun gemetar hebat.
“Ibu … Ibu kenapa?”
Lula menoleh sejajar dengan arah pandang Humaira, tapi tak menyadari apa yang wanita itu pandangi.
Humaira semakin mengepalkan tangan ketika pria itu beranjak dari duduknya. Ternyata benar, itu suaminya, Haydar Pratama. Hal yang membuat darahnya kian mendidih, karena ia kini bersama wanita lain.
“Mas kamu mau pergi lagi?”
“Hmmmm.”
“Tapi ‘kan kamu baru aja pulang?”
“Ada urusan apa sama kamu?”
Teringat betapa sering Haydar pergi, Humaira mulai menaruh curiga. Dan kini, semua kecurigaan-nya terbukti. Sang suami merangkul pinggang wanita seksi di sisinya dengan mesra. Padahal, Haydar sama sekali tak pernah melakukan itu padanya.
‘Ya Allah, ternyata benar dugaanku selama ini.’
Tubuh Humaira merespon. Ia langsung beranjak dari duduk, membuat Lula semakin kebingungan.
“Ibu mau kemana?”
“Lula kamu tunggu disini, jangan kemana-mana.”
Begitu titah Humaira dengan suara bergetar.
“Oh, ba-baik, Bu.”
Humaira melangkah perlahan, mengekori sepasang pria-wanita yang kini tengah di mabuk asmara. Mereka naik melalui tangga kembar di tengah restoran itu lalu berbelok ke arah kanan. Dan Humaira tahu betul, area atas adalah sebuah hotel.
Jantung Humaira kian berpacu. Ketika tiba di lorong yang sepi, Humaira melihat dengan mata kepalanya sendiri sang suami tengah bermain api. Bahkan mereka tak sungkan berciuman di depan unit. Jemari Humaira kian mengepal. Rasanya ia ingin berlari lalu mencaci maki.
Namun, ketika kakinya hendak melangkah, seseorang tiba-tiba menghalangi jalannya. Sosok bertubuh tegap itu kini menutupi sepenuhnya pandangan yang menyebabkan hatinya terluka. Humaira mendongak bersama air mata yang sudah tumpah tak terkira. Di tengah kepingan hati, seseorang berdiri dan memandang penuh arti.
***